i.
KADANG, saya ingin coba merokok.
Saat kelas 2 SMA, saya mendapatkan kesempatan untuk magang di salah satu media cetak mingguan di kota saya. Para awak magang yang lain berasal dari SMA berbeda-beda, sehingga saya pikir, pasti akan menyenangkan apabila bisa membuat teman baru dari lingkungan yang lain lagi. Selama magang itu, saya bersahabat dengan dua orang laki-laki dan kerap kali kami janjian untuk bertemu di Sekretariat meskipun hari itu bukan jadwalnya awak magang kumpul.
Biasanya, saya hanya membaca buku-buku yang berserakan di situ, atau menyalakan komputer untuk mengetik atau memainkan Spider Solitaire karena komputer ini tidak ada koneksi internetnya. Sementara dua teman saya itu akan mengajak saya mengobrol soal topik-topik entah apa, kadang hanya soal cuaca yang tak menentu atau sudah sampai sejauh mana materi di sekolah.
Ruang Sekretariat ini berbentuk persegi panjang, dengan ukuran sekitar 6x3 meter persegi. Pintu masuk terletak di pojok kiri bagian depan. Alasnya karpet roll berwarna hijau, membuat saya mau tak mau teringat pada alas di laboratorium komputer sekolah. Hanya saja tanpa AC. Dan berbeda dengan laboratorium sekolah yang karpetnya bau kaus kaki, karpet di Sekretariat ini bau kaki. Dan bau asap rokok. Ada satu kipas angin besar di pojok kanan bagian depan—samping papan tulis putih yang besarnya memenuhi tembok—yang hanya boleh dinyalakan kalau tidak ada satu pun penghuni ruangan yang menyalakan rokok.
Rak buku pendek berpenampilan minimalis menempel di dinding kanan dan kiri ruangan. Bagian sebelah kanan, yang sejajar dengan kipas angin, berisi buku-buku dan komik-komik sumbangan dari awak-awak magang, sementara rak buku yang di sebelah kiri berisi buku tebal berukuran A4 bersampul batik dengan motif yang sama hanya berbeda warna. Buku-buku batik itu kami namakan Buku Tema, berisi daftar tema yang akan ditulis setiap awak magang begitu tema yang mereka ajukan disetujui oleh pemimpin redaksi. Tujuannya agar tidak ada tema yang sama. (Caranya tradisional sekali. Padahal komputer sudah ada.)
Sementara di bagian belakangnya, di pojok kanan, ada CPU yang di bagian atasnya ditindih tanpa ampun oleh buku-buku yang malas dikembalikan ke dalam rak dan alat tulis yang ketinggalan. Di sampingnya tersembul meja kecil dengan komputer tabung beserta keyboard-nya disesakkan sedemikian rupa sehingga memenuhi permukaan meja. Kemudian ada meja kecil yang sama, hanya saja ditimpakan mesin printer di atasnya. Di pojok kiri ada tempat sampah dan sapu yang serat-serat ijuknya sudah tercerabut, sepaket dengan pengki yang mudah lepas dari gagangnya.
Total jumlah awak magang ada enam belas, dan kami semua dibagi menjadi lima kelompok, anggotanya masing-masing berjumlah tiga-tiga-tiga-tiga-empat. Saya satu kelompok dengan kedua teman saya itu. Namanya Dimas dan Bintang.
Dimas ini bernama lengkap Dimas Amulacantra K., sejak awal dia selalu menyingkat nama belakangnya jadi sampai sekarang saya tidak tahu kepanjangannya apa. Nama yang dia pakai di tampilan namanya di LINE adalah DIMASAK, gabungan dari nama panggilan dan huruf pertama dari dua nama belakangnya. Sampai sekarang saya sendiri tidak yakin apakah dia melakukannya karena punya selera humor (karena dia memang punya) atau sebagai antisipasi sebelum didahului orang lain dengan selera humor. yang sama. Ukuran tingginya sama seperti laki-laki kebanyakan, tidak pendek dan tidak jangkung. Rambutnya cepak, sedikit merah karena kena sengatan matahari, beberapa jumput rambutnya ia biarkan menutupi telinga. Wajahnya lonjong, kulit wajahnya lebih hitam dibandingkan kedua tangannya karena suka panas-panasan.
Nama lengkap Bintang adalah Bintang Teguh Agam Meutuwah. Aslinya dari Aceh. Bermasalah sekali bocahnya, padahal saya berani jamin bahwa di daerah asalnya Bintang anak baik-baik. Barangkali karena pergaulan, apalagi ia tiba di sini dengan modal Nilai Ujian Nasional seadanya (meskipun ia bersikeras kalau nilai itu bagus di lingkungannya, tetapi tentu saja lain ladang lain belalang, sekali lihat pun kentara kalau nilainya dia tidak bisa membantunya mendapatkan SMA bagus di kota ini) sehingga hanya bisa diterima di sekolah pas-pasan. Rambutnya pendek berantakan, bekas dipotong gurunya saat pemeriksaan rambut dadakan. Tinggi badannya di atas rata-rata. Kesannya dari luar sungguh-sungguh kotor—wajahnya kotor, seragamnya kotor … caranya bicara juga kotor. Ia sudah fasih berbahasa Jawa; hal yang mengesankan padahal baru setahun di sini. Bahasa Jawa yang gaul, tentu saja.
Keinginan untuk merokok datang pada salah satu hari selama masa magang saya bersama dua laki-laki ini. Saat itu, saya sedang bermain Spider Solitaire ketika pintu Sekretariat terbuka. Saya menolehkan kepala ke belakang, memeriksa siapa yang datang. Bintang, rupanya.
“Halo!” sapanya. Wajahnya berseri-seri, seperti biasa. “Sudah lama?”
Segera saya matikan permainan saya, langsung saya tutup tanpa menyimpannya dan mematikan komputer. “Belum.”
“Sudah baca chat dari Dimas?” tanya Bintang, melepas tas ranselnya. Ia segera duduk bersandar pada rak buku berisi novel dan komik, meluruskan kedua kakinya. Saat ia membuka tasnya, saya pikir ia akan mengeluarkan ponsel, tetapi yang ia ambil justru rokok. Bintang meneruskan celotehannya. “Dia masih di jalan. Antre beli bensin.”
Saya menganggukan kepala, paham. Saya perhatikan rokok yang ia keluarkan dan ia geletakkan begitu saja di atas karpet karena kemudian Bintang kembali merogoh tas, mencari ponselnya. Bintang dan Dimas memang perokok, tetapi keduanya tidak mau merokok apabila ada saya. Entah itu karena toleransi, atau karena mereka kepanasan di ruangan tanpa aliran udara ini sehingga rela menahan diri untuk tidak merokok asal kipas anginnya dinyalakan.
Di Sekretariat ini ada dua jendela besar-besar di dinding belakang, tepat di atas komputer. Hanya saja kedua jendela itu tertutup karena digembok dan sekarang tidak tahu deh, gemboknya di mana. Keadaannya sudah seperti itu sejak saya pertama kali datang untuk tes wawancara. Oleh karena itu, satu-satunya angin penyegar ruangan hanyalah dari kipas angin saja.
Alis saya terangkat saat menyadari bahwa rokok yang ia beli bukan yang biasa dibelinya. Saya yang semula hanya menolehkan kepala mulai memutar badan, masih tetap duduk bersila, hanya saja sekarang saya membelakangi komputer. “Tumben, beli rokok yang itu.”
“Iya!” jawab Bintang bersemangat. Senang bahwa saya sadar. “Dari dulu sudah pengin. Tapi mahal. Karena sekarang lagi iseng, jadi beli, deh.”
Saya mengangguk-anggukan kepala. “Sudah dicoba?”
“Sudah. Nggak enak! Hahaha. Nyesel aku.”
Saya ikut tertawa. Tentu saja saya tidak berhak meragukannya, karena parameter enak atau tidaknya rokok itu belum terukur di kepala saya. Saya tidak pernah coba merokok, jadi mana mungkin saya tahu seperti apa rasa rokok yang enak dan seperti apa rasa yang tidak? Saya memilih untuk percaya saja.
“Eh, ngomong-ngomong, Mer, tahu vapor?”
“Tahu,” jawab saya. “Lagi rame dibahas, sih.”
“Kuajarin cara ganti kapasnya, mau?” tawarnya, iseng. Saya tidak mengatakan apa-apa, karena kemudian Bintang sudah mengeluarkan vapor, gunting, kapas, dan ada pinset segala. Ia menegakkan tubuhnya dan mengubah posisi kakinya yang semula diluruskan menjadi duduk bersila, menata barang-barangnya tepat di hadapan saya kemudian menyesuaikan letak duduknya agar kami dapat berhadapan.
Bukan pertama kalinya, sih, Bintang (dan Dimas juga) mengajari saya aneh-aneh. Mereka pernah mengajari saya bagaimana cara menyalakan korek api gas yang gasnya habis tetapi batu apinya masih berfungsi, dan menyuruh saya menghafalkan merek-merek rokok yang rasanya tidak enak beserta alasannya agar saya bisa menolak tawaran rokok dengan lebih elegan (kata mereka!) dan tidak sekadar, “Nggak baik untuk kesehatan.”
Pelajaran dimulai. Bintang melepas penutupnya dan dengan hati-hati mengambil kapas yang gosong dengan pinset. Saya mengamati dengan saksama, sementara ia terus saja berceloteh. Ia menyebutkan satu per satu bagian rokok elektrik itu, memberi tahu namanya dan menyuruh saya mengucapkannya ulang agar saya hafal. Ia memaparkan bahwa bagian yang bentuknya menyerupai cincin kecil namanya coil ini harus dibersihkan karena salah-salah nanti bisa rusak atau berkarat.
Kapas yang ia bawa diguntingnya berukuran persegi panjang kecil, kemudian ia gulung sedemikian rupa, perlahan sekali, sampai jadi seperti guling dan cukup untuk bisa dimasukkan ke dalam cincin itu. Saya kadang-kadang memperhatikan dan kadang-kadang tidak, karena tidak ada gunanya juga mengetahui hal ini. Dicari di internet, kan, bisa. Ngomong-ngomong, saya sendiri tidak pernah mengalami kejadian harus menyalakan api dengan geretan yang gasnya sudah habis, jadi mana mungkin saya akan terjebak dalam keadaan sayalah yang menjadi satu-satunya harapan untuk mengganti kapas dalam rokok elektrik?
Bintang meneteskan dengan hati-hati cairan dalam botol kecil ke dalam kapas. Ia tidak mengatakan apa-apa saat melakukan proses ini, jadi saya memperhatikannya saja. Saya tertawa sendiri.
“Bikin cowok-cowok jadi telaten, ya.”
Bintang terkejut, menatap saya, dan kemudian tertawa. Ia kembali memasang penutup yang semula dilepasnya. “Kapasnya nggak murahan, lho, ini! Soalnya kalau kapasnya cepat putus, ribet jadinya. Harus sering ganti-ganti soalnya gampang putus. Bisa kerasa pas mengisapnya, ada kesan gosong dan nggak enak di tenggorokan gitu.”
Saya mengangguk, tertawa lagi. Memang sedang ramai dibahas di sekolah-sekolah. Banyak diberitakan karena ada isu kalau vapor ini kandungannya lebih aman dibandingkan rokok. Sama seperti yang disemburkan oleh Bintang tadi selama ia menjelaskan isi cairan dalam botol kecil yang ia teteskan ke dalam kapas.
“Kalian cuma bisa tanya-tanya terus, ‘Isinya aman nggak?’ hah! Ini tuh, kebanyakan isinya minyak tumbuhan. Rasanya manis. Ada bahan organik juga, tujuannya cuma biar bikin kita familier karena kesannya mirip kayak merokok biasa. Tapi bahannya dapat izin, tuh. Kalau kamu cewek-cewek pakai kosmetik, ada kandungan ini juga. Kita juga bisa memilih rasa, ada vanila, ada buah. Ini perisa statusnya aman juga!”
“Ada nikotinnya juga, katanya?” sela saya saat itu.
“Opsional. Orang-orang memang gampang menggeneralisir, mentang-mentang boleh ditambahkan nikotin jadi berpikir kalau semua pengguna vapor pakai nikotin,” tukas Bintang berapi-api. “Tapi kesal juga kalau vapor dibilang ‘rokok sehat’, memangnya siapa juga yang bilang? Memangnya kita-kita pernah ditanya, kita pakai vapor karena apa? Karena lebih sehat? Bukan, tuh. Cuma ikutan tren doang, cuy!”
Saya tertawa.
Pintu terbuka bersamaan dengan suara Dimas. Sama seperti Bintang, seragam atasan pemuda itu, yang saking kotornya hampir sewarna dengan celana kelabunya, sudah berantakan. “Halo—wah! Vape!”
“Halo!” Kami menyahut bersamaan.
Bintang melanjutkan. “Pakai juga, Dim?”
Dimas menaruh tas ranselnya, menepuk-nepuk celananya, dan duduk bersila di antara saya dan Bintang. Refleks, Bintang memundurkan posisi duduknya dan menyesuaikan Dimas agar posisi duduk kami membentuk bangun datar segitiga. “Belum,” jawab Dimas, menghela napas. “Paling sebentar lagi. Sudah telanjur ngestok rokok banyak-banyak di bawah tempat tidur.”
Sama seperti saya tadi, Dimas terusik ketika melihat sebungkus rokok yang baru dilihatnya di tengah-tengah kami. Segera ia mengambilnya, membolak-balikkannya. “Punyamu, Tang?”
“Iya. Iseng beli. Ambil saja.”
“Weh. Tumben boleh.” Dimas dengan semangat mengambil sebatang, kemudian menyodorkannya pada saya. “Mau, Mer?”
Saya tertawa. “Nggak. Nggak enak.”
Tawa saya semakin keras ketika menyaksikan tampang Dimas, bocah itu seperti kena setrum listrik. Ia langsung menunjukkan reaksi keterkejutan, “HAH?” semburnya, kedua matanya membelalak selama beberapa detik. Kemudian begitu Bintang ikut tertawa, lantas saja ia menyadari apa yang terjadi. Segera dilemparnya bungkus rokok itu ke arah Bintang. “Kamu pasti yang ngajarin!”
“Iya. Hahahaha!” Bintang refleks menepis bungkus rokok itu yang hampir mengenai kepala dengan tangannya sambil tertawa.