Read More >>"> Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa (Bab 15. Pengkhianatan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 15. PENGKHIANATAN

 

Rasanya ini tak mungkin. Campuran perasaan kaget, bingung, dan murka menggelegak dalam kepalaku. Aku menggeleng, tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Zhen dan kedua buronan itu tampaknya sudah saling kenal.

“Kenapa kau mendukung mereka? kau mengkhianati kami!”

“Ya, memang,” Zhen melepas kacamata tebalnya, lalu menyisir poninya ke belakang. Penampilannya berubah total, sudah tak tampak seperti kutu buku lagi. “Akhirnya aku bisa menyingkirkanmu, Lutfi. Sudah lama sekali aku merencanakan hal ini.”

Aku menggeleng, menolak memercayainya. “Sandiwara apa ini? Ini sama sekali tidak lucu! Kau teman kami, bukan?”

“Aku tak pernah menganggap kalian teman,” Zhen memandangku dengan tatapan penuh kebencian. “Dan kau hanya penghalang bagiku, Lutfi.”

“Kenapa kau membantu dua penjahat ini?” Igo menggeram.

“Tampaknya kalian belum pernah kuberi tahu, ya?” Zhen menatap kami bergantian, sorot matanya tampak menghina. “Baiklah, akan kuberi tahu. Sebenarnya pria ini, Marsekal Taher alias Brewok, adalah kakakku.” Zhen menarik kerahnya, memperlihatkan tato tengkorak bernomor satu di bahunya. “Dan aku juga petinggi Jerangkong, Nomor Satu. Aku petarung terkuat di organisasi ini, setelah bos dan wakilnya, tentu saja.”

Kami terperangah mendengar pengakuannya. Itu hal paling gila dan mustahil yang pernah kudengar. Darahku berdesir. Perasaan dingin yang aneh merayapi kulitku. Aku tak pernah tahu soal kakaknya. Selama ini aku mengira kakaknya adalah orang baik-baik yang mengambil alih perusahaan Shen Travel dari Brewok, memberi kami tiket ekspedisi gratis. Ternyata Brewok ini sendirilah kakaknya. Jangan-jangan, Zhen juga yang mengirimkan...

“Foto!” seruku. “Pasti kau yang membuat foto editan Ruqoyah dan Nelly waktu itu kan? Kau mengedit foto seolah-olah mereka tewas disiksa, lalu mengirimnya ke penginapan di Ambon untuk meneror kami kan?”

"Ya, itu memang kiriman dariku,” Zhen berlagak. “Ide yang bagus bukan? Aku tahu kalian sedang transit di penginapan, karena aku menaruh pelacak di kamera yang kuberikan ke Harto. Apalagi kalian selalu mengupdate lokasi di facebook. Aku menyuruh anak buahku yang ada di Ambon untuk membuat dan mengirim foto editan itu. Aku tahu sifatmu, Lutfi. Aku yakin foto itu akan menimbulkan perpecahan di antara kalian, sehingga akan lebih mudah untuk menjebakmu ke tempat ini. Sayangnya perhitunganku meleset.”

Zhen tersenyum sinis, telunjuknya yang panjang mengarah wajahku. “Kau, Lutfi, hanya junior tak berbakat di tempat latihan, tapi entah mengapa kau lebih disukai senior daripada aku. Itu membuatku jengkel. Apa yang kurang dariku? Tak ingin kalah, aku terus berusaha dan berlatih untuk membuktikan diri. Akhirnya, aku berhasil menjuarai turnamen empat kali berturut-turut. Tapi para pelatih tak ada yang datang untuk melihatku memegang medali. Mereka lebih suka melatih anak emas sepertimu. Itu menyakitkan. Dan terakhir, kau mempermalukanku di pertandingan tempo hari. Kau merebut kemenanganku.”

“Konyol... alasan utamamu bukan itu kan?” kataku keras-keras, mulai muak dengan pembicaraan yang bertele-tele. Zhen sepertinya menikmati kejengkelanku.

“Ya, memang bukan,” dia menyeringai. “Alasanku yang sebenarnya adalah karena aku benci melihat kalian berdakwah, berkoar-koar tentang membela agama, tentang jihad yang membosankan itu. Aku juga benci saat kalian menyebar propaganda di mana-mana, melarang mahasiswa berpacaran, merusak kebebasan kami. Aku ingin mengalihkanmu dari semua itu. Aku sengaja menambah waktu latihanmu, tapi kau lebih mementingkan shalat daripada mendengarkan seniormu. Kau sangat menyebalkan, Lutfi.”

Aku geram mendengar semua itu, dadaku naik turun. “Apa agamamu tak pernah mengajarimu untuk menghormati agama lain, hah?”

“Oh ya, kau belum kuberi tahu,” Zhen mengacungkan telunjuk. “Sebenarnya, aku sudah lama membuang agamaku. Aku tak punya agama lagi sekarang. Bagiku, tuhan yang pantas kuikuti adalah akal sehatku sendiri, karena akal dan instingku selalu benar. Aku lebih suka hidup begini, bebas tanpa terikat agama apapun!”

“Kau sudah gila, ya?” kataku, melirik tato bergambar tengkorak dan arit bersilangan di bahunya. Sekarang aku tahu makna tato itu: komunis.

“Aku tidak gila,” kata Zhen. “Aku hanya terobsesi untuk mengalahkanmu. Sekarang, aku tak sendirian lagi. Aku membawa bala bantuan untuk menuntaskan dendamku. Kebetulan kakakku punya urusan yang sama. Kali ini, di tempat ini juga, kami akan menghabisimu!”

Aku memelototinya. Jika melihat wajah bengisnya, aku membayangkan wisatawan gila yang berfoto di atas tumpukan mayat korban bencana alam. Dia tampak tak peduli sedikitpun pada penderitaan orang lain di sekitarnya. Yang ia pedulikan hanya hawa nafsunya.

Aku ingat, kedua narapidana ini kabur tiga bulan lalu. Zhen mungkin mendengar dari berita bahwa salah satu tawanan yang kabur itu kakaknya. Pantas saja Zhen mendadak baik padaku, menawariku tiket gratis keliling Indonesia sesuai perintah kakaknya. Mereka merencanakan skenario pembunuhan keji, dan Zhen sendiri juga mungkin mencari celah saat aku sendirian, karena itu adalah saat yang tepat untuk membalas dendamnya. Saat di Way Kambas misalnya, insiden kaki Harto yang digigit buaya itu pasti salah satu rencananya, dan kutebak sasaran utamanya adalah aku. Tapi hal itu tak pernah berhasil dilakukannya karena aku selalu bersama temanku yang lain. Hampir mustahil jika Zhen mencoba mencelakaiku sendirian. Jadi, dia pasti meminta bantuan kakaknya untuk menjebakku di tempat ini, lalu membuat agar kematianku tampak seperti kecelakaan biasa. Dasar keluarga kriminal.

“Aku tak peduli dengan masalahmu, Zhen,” kata Igo, bosan dengan pembicaraan yang berputar-putar. “Lepaskan Inayah, dia tak terlibat dengan masalah ini!”

“Aku akan melepasnya jika kalian mati!” kata Zhen.

Brewok, yang sejak tadi hanya duduk diam, berdiri. “Kalian sudah selesai bicara? Aku sudah tak sabar lagi. Mari kita selesaikan masalah utama kita. Kau, Lutfi, mungkin kau belum memberitahu teman-temanmu, atau mungkin kau sendiri juga belum tahu jika ayahmu mewariskan beberapa perusahaannya di luar negeri untukmu. Tapi adikku Zhen sudah menyelidiki asal-usulmu. Bukan kebetulan dia mendaftar di kampus yang sama denganmu, lalu berpura-pura akrab denganmu. Sekarang cepat kautandatangani surat kuasa ini dan bubuhkan sidik jarimu. Dengan begitu semua aset perusahaan ayahmu akan jadi milikku. Setelah itu kalian boleh pergi, dan gadis itu akan kubebaskan.”

Brewok mengulurkan selembar kertas beserta pena. Harto dan Igo menatapku, kaget mendengar tentang warisanku yang luar biasa. Aku menghela napas, sudah kuduga akan begini. Aku menggeleng, mana mungkin dia membiarkanku hidup setelah merampok hartaku habis-habisan. Brewok tampak kecewa, meletakkan kertas itu di atas peti kemas.

“Baiklah, kalau begitu terpaksa kupakai cara kasar. Akan kupaksa kau agar menurut. Lagipula tanganku sudah haus darah, aku ingin bertarung. Ayo, majulah kalian.”

Zhen dan Mandra melangkah maju. Aku tahu ini akan terjadi. Kami bersiap menghadapi mereka—final boss, satu orang jawara beladiri dan dua orang napi. Tak ada gunanya takut pada nama besar buronan kelas kakap, belum tentu mereka jago beladiri. Kami masih saling mengawasi. Aku menatap mereka dengan ekspresi muram.

“Ingat, jangan menyerang duluan,” aku mengingatkan. “Igo, kau bawa Inayah ke luar dan biarkan aku dan Harto yang menahan mereka. Setelah itu kami akan menyusul. Kita tak perlu menghadapi orang-orang ini. Biar polisi saja yang mengurus mereka.”

“Aku dengar itu,” kata Brewok. “Kalian tak bisa lari. Banyak anak buahku yang berjaga di luar. Takkan kubiarkan kalian pergi ke mana-mana.”

Aku mencelos mendengarnya. Brewok menatap kami satu persatu, seolah menilai kami. “Siapa di antara kalian yang paling kuat? Biar jadi lawanku.”

Harto dan Igo serentak menoleh padaku, bahkan Igo menunjukku dengan jempolnya. Aku memelototi Igo. Enak saja, tadi dia sok keren menerobos masuk. Giliran ditantang bos musuh, malah dilempar padaku. Brewok tampak sangsi.

“Oh, jadi kau ya? Tamu utama kita, Si Topi Koboi yang ada di foto, juara turnamen se-provinsi. Padahal fisikmu yang kecil tak meyakinkan.” Brewok terbahak, dan aku jengkel disebut kecil olehnya. Brewok menoleh pada rekan-rekannya. “Zhen Adikku, kau hadapi si jangkung itu. Dia berteriak terus sejak tadi. Sepertinya dia pacar gadis ini. Dan Mandra, kau urus si jabrik yang orangtuanya kaubunuh itu. Kebetulan sekali, Mandra. Aku ingin lihat siapa yang lebih kuat, kau atau aku.”

Di sebelahku, Harto meremas tinjunya yang sudah gatal. Igo menghunus baton sword yang diselipkannya di sabuk, mengacungkannya ke arah musuh untuk menantang mereka. Orang-orang ini telah membuat perhitungan dengan kami, jawara-jawara beladiri kampus. Mereka mencari masalah dengan orang yang salah.

“Sejak tadi kalian sudah kami beri waktu untuk mengulur nyawa,” kata Mandra. “Sekarang kuulangi lagi pertanyaanku, mau mati sekarang atau nanti?”

“SEKARANG!” teriakku sambil melompat. Tentu saja dalam artian menginstruksi teman-temanku, bukan soal mati konyol yang diocehkan Mandra.

Pertempuran dimulai.

Harto menyerang Mandra, menerjang dengan tinjunya. Penjahat itu tersenyum sinis, mengeluarkan beberapa bilah pisau dari balik bajunya dan melemparnya ke arah Harto, yang menghindar ke balik tumpukan peti kemas. Pisau-pisau itu menancap di kayu, sebagian jatuh berguguran. Harto tercengang melihat serangan yang di luar dugaan itu. Mandra terus melempar pisau yang entah ada berapa banyak di balik bajunya, tertawa-tawa liar. Harto bersembunyi, menunggu pisau lawan habis, kemudian merunduk untuk memungut salah satu pisau dan menggunakannya untuk menyerang balik. Mandra menangkis sabetan itu dengan mudah, pisau mereka beradu di udara. Keduanya bertukar serangan dengan gesit, sehingga meski yang mereka pegang pisau, bagiku tampak seperti beradu pedang.

“Ini pertama kalinya aku tertawa setelah sekian lama,” Mandra menyeringai. “Kau lawan yang menarik, kemampuanmu boleh juga.”

Igo berlari menuju Inayah untuk melindunginya, namun Zhen menghalangi jalannya. Igo tak tampak gentar mengetahui lawannya adalah Zhen, mantan jawara provinsi yang menang empat kali berturut-turut. Ia sadar dirinya belum tentu menang, mengingat aku saja begitu kesulitan menghadapi Zhen. Sementara itu, aku sendiri harus menghadapi Brewok, napi bertubuh besar dan memiliki aura mengerikan bagaikan iblis.

“Serang aku dari mana saja,” tantang Brewok, percaya diri sekali. “Aku pintar, tak seperti anak buahku yang otaknya di dengkul.”

Aku memasang sikap waspada, berkonsentrasi. Orang ini tak sembarangan. Dia bukan penjahat abal-abal macam keorco di film petualangan anak, yang tidak kapok-kapok meski kena jebakan berkali-kali dengan mudahnya. Dia bukan pecundang bermulut besar seperti berandal yang kami hadapi di terminal Jakarta. Levelnya jauh berbeda. Pria ini adalah bahaya sesungguhnya, lengah sedikit saja aku bisa terbunuh. Dari sikapnya, ia berpengalaman dan kekuatan saja tak cukup untuk menghadapinya.

Aku maju dan meninju perutnya secepat kilat. Dia tak bereaksi. Kuat sekali, pria ini tak sedikitpun merasakan sakit! Malah tanganku yang rasanya terkilir. Aku menyerbunya dengan tinju beruntun, mencoba membuatnya berlutut. Namun dia hanya tertawa, seakan seranganku hanya terasa seperti tiupan angin saja.

Tiba-tiba Brewok menatapku tajam, tatapannya aneh, seakan ada aura dahsyat yang memancar dari tubuhnya. Mendadak tubuhku tak bisa digerakkan. Ketakutan menjalar ke sekujur tubuhku, seperti racun yang melumpuhkan syaraf. Keringat dingin menetes dari badanku yang gemetar. Sensasi aneh menghinggapiku, merasa seperti tikus yang diawasi seekor elang, seakan pria itu melintangkan pisau di leherku meski kenyataannya masih berdiri di sana. Inikah intimidasi seorang penjahat? Aku memejamkan mata, berpikir keras. Aku sudah sering mengalami ini, menghadapi berbagai lawan tangguh di pertandingan. Aku tak boleh kalah. Perlahan kucoba menggeser telapak kaki, lalu mengangkat tangan, memaksa bergerak. Akhirnya pengaruh itu lepas sepenuhnya. Aku bisa mengontrol diriku lagi.

“Hoo, nyalimu besar juga, padahal masih usia SMA.”

"Aku... bukan... anak SMA!” raungku.

Aku menyerang lagi, kali ini dengan pukulan beruntun. Brewok mementahkan semua pukulanku dengan tangkisan yang tak kalah cepat. Pertahanannya sempurna tanpa celah. Dia meladeniku santai, dan dia melakukan itu hanya dengan satu tangan! Aku tak tahu beladiri apa yang dia pelajari selama di Angkatan Laut. Tangannya menyambar, tapi aku tak cukup cepat dan kuat menghadapinya. Aku terhuyung ketika tinjunya menyerempet sisi kepalaku. Jika tak menghindar, maka habislah aku. Padahal itu baru serangan pertamanya. Aku bersalto ke belakang, memutuskan mundur senejak. Brewok memberi isyarat dengan menggerak-gerakkan empat jarinya, menantangku maju. Aku memutuskan dialah lawan terkuat yang pernah kuhadapi, bahkan jauh melebihi Zhen adiknya.

“Ayo, hanya segitu kemampuanmu? Jangan membuatku kecewa!”

Aku tak akan segan, sudah waktunya serius. Aku melompat, dan, BUK! Tinjuku telak mengenai wajahnya, hingga dia tertoleh. Untuk pertama kalinya, seranganku berhasil! Dia mengusap pipinya, seakan tak percaya, menoleh padaku sambil mendelik, lalu tertawa.

“Kau menarik, Anak Muda! Jarang sekali ada lawan sepertimu. Akan kubayar mahal jika mau jadi anak buahku. Kuangkat sebagai Anggota Nomor Satu, kau tertarik?”

“Jika harimau makan rumput!” teriakku.

Aku menoleh sekitar, mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan senjata. Aku meraih linggis di lantai dan menggebuk kepala Brewok sekuat tenaga. Betapa tercengangnya aku melihat linggis itu ditahannya dengan tangan, lalu direnggutnya dariku dan dibengkokkan semudah melengkungkan kawat tipis. Brewok menyeringai, melempar linggis ke samping, lalu mengangkat sebuah kotak kayu besar dan membantingnya ke arahku. Aku menghindar saat kotak itu berdebum, lalu berkelit lagi saat dia melempar kotak-kotak lainnya.

Tak ingin menyerah, aku melompat lagi dan menyikut dagunya. Namun Brewok lebih lihai dan lebih cepat dari perhitunganku. Aku tercengang. Dia menghindar dengan mudah, kemudian melayangkan tangannya di tengah serangan, menyambar leher dan mencekikku, mengangkat tubuhku. Aku sesak napas, tak bisa bergerak, kakiku menendang-nendang udara. Tangannya semakin kuat meremas tenggorokanku. Aku berusaha bernapas, mencoba melepas cengkeramannya. Brewok tertawa, lalu mengangkat dan melemparku ke dinding belakang. Rasa sakit menjalar di sekujur tubuh ketika aku terhempas, mataku berkunang-kunang. Aku dikalahkannya dengan mudah. Dia adalah sesosok teror—bukan—pria ini monster!

Aku tergeletak di lantai. Brewok mendekatiku penuh kemenangan, mengambil topiku yang terjatuh di sebelahku.

“Jangan,” kataku. “Jangan sentuh topiku!”

“Aku kenal topi ini,” kata Brewok, menjejalkan topi kesayanganku itu di kepalanya yang besar. “Topi ini milik ayahmu yang menyebalkan itu. Kau harusnya benci padanya. Aku bertemu dengannya belum lama ini.”

“Apa yang kau katakan? Jadi ayahku masih hidup?”

Brewok tak menjawab, memainkan topiku.

Aku menoleh, mendapati Igo kewalahan menghadapi Zhen yang bukan tandingannya. Igo terdesak mundur, tak kuasa menangkis serangan-serangan maut yang dilancarkan Zhen, lalu terhuyung jatuh ketika Mandra menghantam kepalanya dari belakang. Aku berteriak. Mandra berdiri di atas tubuh Igo yang terkapar. Zhen tampak senang menerima bantuannya. Aku geram melihat sahabatku dibuat tak berdaya di lantai, gemetar ketika mencoba bangkit, lalu kembali mencium tanah, kehabisan tenaga. Harto terkapar tak jauh dariku, dikalahkan Mandra beberapa saat lalu.

"Aku... belum... kalah!”

Dengan tubuh bergetar, Harto bangkit sekali lagi, berhadapan dengan Mandra. Mereka saling pandang penuh kebencian, lalu bertukar serangan dengan gesit. Sial bagi Harto yang kurang konsentrasi. Melihat celah, Mandra meninju perutnya hingga terbungkuk, lalu menyikut punggung dan menjatuhkannya hingga berdebum. Aku berteriak marah. Sulit membayangkan Harto bisa dilumpuhkan hanya dengan beberapa pukulan sederhana. Artinya, satu pukulan saja dari Mandra bisa sangat mematikan.

“Berdiri!” hardik Mandra.

Harto mengangkat wajah, perlahan berusaha bangkit. Entah sudah berapa kali Harto jatuh bangun, dia tetap gigih mencoba berdiri. Meski sempoyongan dan wajahnya sangat kesakitan, tatapan membaranya tak surut sedikitpun saat dia kembali menghadapi Mandra.

“Kau juga sama kan, orang terbuang yang butuh kasih sayang?”

“Apa katamu?” Mandra melotot. “Tahu apa kau tentang masa laluku?”

Mandra mengibaskan tangannya dan Harto kembali mencium lantai, tak sanggup lagi berdiri. Tak cukup sampai di situ, Mandra mengangkat tubuh Harto, lalu melemparnya ke seberang ruangan. Terdengar bunyi derak mengerikan, seperti kayu patah. Aku berteriak panik. Kami benar-benar kalah telak. Di lantai, Inayah menjerit-jerit.

“Jangan! Jangan sakiti teman-temanku, aku mohon!” isaknya.

“Nah, kalian sudah kalah,” kata Brewok, mengulurkan surat kuasa dan pena ke depan wajahku. “Sekarang cepat tandatangani surat ini, atau kalian akan lebih menderita lagi.”

Aku melotot padanya, masih terkapar, perlahan mengulurkan tangan dan mencoretkan tandatangan di surat itu. Aku terpaksa melakukannya, tak ada pilihan lain. Dalam hati aku merasa sangat berdosa pada ayahku.

“Bagus,” kata Brewok, menyambar surat itu dan mengamatinya. “Sekarang kau sudah tak berguna lagi. Aku akan duduk dan melihat kalian mati. Kau, bereskan mereka!”

Brewok memberi isyarat pada adiknya, lalu melangkah ke sudut ruangan dan duduk di kotak kayu, mengabaikan teriakan protesku. Sudah kuduga dia akan mengingkari janjinya. Tak mungkin kami dibiarkan pulang hidup-hidup.

“Sebelum kalian kubunuh, aku ingin bermain-main sejenak,” Zhen berjalan tenang melintasi ruangan. “Akan kubuat kalian menderita dan merasakan hal yang sama denganku. Pertama-tama, gadis ini duluan. Ladies first.

Zhen berhenti di depan Inayah, menendang tubuhnya membalik hingga telentang. Aku mencela tindakannya yang kasar. Wanita itu hanya bisa terisak diperlakukan seperti itu.

“Ada kata-kata terakhir, Nona Manis?” Zhen membungkuk di atasnya. “Ayo, jangan malu-malu. Kuberi lima menit untuk salam perpisahan. Kami akan mendengarkan.”

Inayah menoleh perlahan. Kalau matanya tidak ditutup kain, dia pasti menatap lurus-lurus ke arah Igo. “Ma... maafkan aku Teman-teman, semua ini gara-gara aku,” dia terbata, gemetar. “Ka... kalau aku boleh bicara, aku ingin mengatakan ini. Kita memang belum lama berteman. Aku baru mengenal kalian, tapi... kalian perlu tahu, kalian adalah teman terbaik yang pernah kutemui. Kalian begitu ramah, peduli dan mau menerimaku sebagai teman. Kalian tak seperti teman-teman masa kecil yang gemar menjahiliku. Aku senang bisa bepergian bersama kalian, dan aku bersyukur bisa mengenal kalian, meski hanya sebentar. Aku takkan melupakan kalian.”

“Hentikan,” Igo berkaca-kaca. “Kau bicara apa?”

“Dan... Kang Igo,” Inayah berkata lagi, dengan suara lebih lembut. “Akang boleh membenciku. Akang boleh marah dan menghukumku. Aku memang gadis bodoh yang tak tahu diri. Aku merasa sangat berdosa telah mengecewakan Kang Igo. Aku... aku bukan istri yang baik. Aku hanya bisa menyusahkan kalian. Aku ini payah.”

“Tolong hentikan,” Igo meratap, tak sanggup melihat istrinya merana. “Jangan berkata seperti itu, aku mohon... jangan bicara lagi.”

“Kang Igo tahu, betapa tulusnya perasaan cintaku. Jika kau minta aku berlutut dan mencium kakimu, akan kulakukan. Jika kau minta jantungku, akan kuberikan dengan senang hati. Apapun akan kulakukan asal kau mau menerimaku. Bahkan aku rela jadi budakmu, asal bisa hidup bersamamu. Tapi aku sadar, cintaku tak ada seujung jari jika dibandingkan Mbak Ruqoyah. Ya, aku sangat mengenalnya. Dialah yang sering kutelepon diam-diam. Aku paham perasaannya pada Kang Igo, merasa ikut menangis darah saat mendengar ceritanya. Hatiku ikut berlubang mengetahui cintanya yang suci telah kurebut dengan lancang. Dia sudah lama mengenal Kang Igo, sedangkan aku... aku bukan siapa-siapa, hanya wanita bodoh yang berlumur dosa. Sampai kapanpun, aku takkan pernah bisa setara dengannya. Aku bukan apa-apa, hanya bayangan dari bayangannya. Dia wanita baik dan shalehah, pendamping yang lebih cocok untuk Kang Igo. Kembalilah padanya, Kang, aku ikhlas. Kang Igo lebih baik bersama dia. Kalian pasangan serasi. Lebih baik aku mundur, hilang dari dunia kalian. Sayang sekali aku tak bisa melihat wajahmu untuk terakhir kali.”

“Kita akan pulang, Istriku. Jangan bicara seolah kau akan mati!” Igo memukul lantai. “Aku akan melindungimu, aku sudah berjanji!”

“Mungkin Kang Igo tidak ingat, dulu waktu aku sembilan tahun dan kau sepuluh tahun, kita pernah bermain bersama. Kau teman masa kecil terbaikku. Saat itu kita masih mungil sekali, main bersama di sawah, saling mecipratkan air di sungai, kejar-kejaran sampai lupa waktu, hingga Kak Langit menjemput kita. Aku ingat, saat itu aku mengajakmu lari dari pengawasan Kak Langit, mengajakmu duduk berdua di tepi danau, menyaksikan matahari terbenam. Tempat yang sangat romantis andai saja kita sudah dewasa. Banyak sekali angsa liar di situ. Aku takut sekali dipatuk, dan kau mengusir mereka demi aku. Akhirnya malah kau yang dikejar-kejar. Ketika pulang, hari sudah beranjak gelap, kakiku tersandung akar dan keseleo. Aku ingat kau menggendongku pulang, sementara aku tertidur di punggungmu. Kak Langit yang kebingungan mencariku, kagum melihat anak berumur sepuluh tahun menggendong temannya...

“Hingga hari perpisahan itu tiba, saat tugas dinas ayahmu di Bandung selesai, kau harus pergi. Aku sedih sekali, merajuk sambil memeluk Bapak. Aku menunggumu di ujung jalan desa, mengharap perpisahan yang layak. Saat mobil ayahmu lewat, aku berlari mengejar, melihat kaca depan dibuka dan kau melambai padaku, berjanji akan menemuiku lagi. Aku terus berlari, menangis, hingga mobilmu tak terlihat lagi. Kak Langit menghentikan dan menghiburku. Itulah terakhir kali aku melihatmu. Setiap hari, aku menunggu di tempat yang sama, hatiku penuh harap melihat wajah ceriamu lagi.

"Hari berganti hari, bulan dan tahun turut berganti, tapi kau tak pernah kembali. Aku tak pernah lupa masa-masa indah itu. Kau tahu, aku lebih lama mengenalmu dibanding siapapun. Saat kuliah, aku beruntung bisa bertemu ayahmu. Beliau senang sekali menjadi pembimbingku. Ada getaran yang kembali melanda hatiku, tapi aku malu bertanya tentang kabarmu. Lalu, beberapa minggu lalu doaku terkabul. Akhirnya kita bertemu lagi di kebun stroberi. Meski kau banyak berubah, saat melihat sorot matamu, aku tak mungkin salah. Pasti itu kau. Kau mungkin lupa padaku, tapi aku sangat senang melihatmu baik-baik saja.”

“Jangan berkata lagi, kumohon!” Igo memelas. Pasti hatinya terenyuh mengetahui bahwa ternyata Inayah memendam perasaan padanya selama bertahun-tahun, sejak masih kanak-kanak. “Aku akan membawamu pulang dengan selamat, Istriku... Aku sudah berjanji pada ayahmu! Aku... aku mencintaimu!”

Aku terpana mendengarnya, hatiku seperti dicelup dalam es. Terjawab sudah alasan mengapa Inayah langsung terpincut hatinya pada Igo meski baru sehari bertemu. Ternyata dia mengenal Igo sudah lebih dari sepuluh tahun, dan selama ini dia sabar menunggu, tak lelah mengharap perjumpaan kembali dengan pria yang disukainya sejak kecil.

“Tak apa Kang, aku rela jika Kang Igo membenciku sekalipun. Tapi, seperti apapun sikapmu padaku, perasaanku padamu tak akan berubah. Aku tak keberatan jika harus mati di sini. Hidupku memang singkat, dan belum lama kita menikmati indahnya pernikahan. Tapi aku senang bisa mengenal pria baik sepertimu. Aku lega kau menemukan pengganti yang lebih baik, seperti Mbak Ruqoyah. Semoga kalian hidup bahagia. Se... selamat tinggal.”

Dia mengucapkan semua itu dengan suara tegar, tulus, tanpa beban, meski sedikit tersendat. Entah kenapa, dia terlihat seperti tersenyum, tak peduli dirinya terancam bahaya maut. Hatiku seperti tersayat-sayat mendengarnya, membuatku merasa tersiksa. Manusia mana yang tak terenyuh hatinya mendengar kata-kata seperti itu. Dia benar-benar gadis berhati malaikat, sulit dicari tandingannya di dunia. Di balik luka-luka itu, aku baru menyadari, betapa cantiknya dia. Cantik fisik dan juga hatinya. Igo gemetar, menyesal sudah memarahi Inayah dan membuat nyawanya dalam bahaya. Ia merasa sangat bersalah.

“Manis sekali,” Zhen menatap Inayah dan Igo bergantian, sorot matanya mengejek. “Kisah yang menyentuh. Aku yakin cerita itu akan bagus kalau dijadikan film drama.” Dia tersenyum sinis, mengangkat sebelah kaki di atas perut Inayah. “Sayang, kalian harus mati!”

“Jangaaan!” Igo berteriak.

Percuma. Zhen menggeleng dan menginjak keras-keras.

"AAAAAAAHHH!"

Terdengar jeritan panjang memilukan, menyayat hati. Inayah terlonjak ketika perutnya dihantam sepatu Zhen. Kepalanya terangkat, kemudian jatuh dan terkulai tak berdaya ke samping. Mulutnya terbuka dan mengeluarkan darah, mengalir dari sudut bibirnya. Aku menggeram marah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dalam kondisiku yang menyedihkan ini. Tubuhku tak mau bergerak.

“Lemah sekali, baru sekali injak sudah pingsan,” Zhen mendesis sinis, menyentuh pipi Inayah dengan ujung sepatunya. “Aku belum puas. Apa harus kupatahkan kakinya sebelum kubunuh?”

“Pengecut! Dia itu wanita!” teriakku. Kalau aku punya tenaga, pasti Zhen sudah kuhajar. “Sejak kecil, hidupnya menderita! Kakak dan ibunya meninggal, dan dia sering diganggu teman-temannya! Dia kesepian! Kenapa kau setega itu melakukannya? Padahal, akhirnya dia bisa tersenyum. Sekarang, kau merenggut senyuman itu darinya!”

Igo menjulurkan tangan, menggapai-gapai tak berdaya ke arah tubuh wanita yang selalu mengaguminya itu. Igo masih merasa bersalah karena sudah memarahinya. Aku pilu melihat pemuda itu merangkak, gemetar kehabisan tenaga. Tangannya terulur. Namun ia tak pernah sampai karena Mandra menginjak tangannya. Igo berteriak kesakitan saat sol sepatu Mandra menggerus jari-jarinya. Kami benar-benar terdesak. Brewok menjulang di atasku bagai sesosok algojo pencabut nyawa. Dengan kasar, dia merenggut topi dari kepalanya dan menghempaskannya ke lantai, kemudian diinjak-injak tanpa ampun. Aku mendesis murka melihat topi warisan ayahku diperlakukan seperti sampah, tapi aku tak bisa berkutik.

“Ya Allah, tolonglah hamba-Mu ini,” bisikku dalam doa. Igo menangis, lebih kepada nasib Inayah daripada tangannya yang diinjak. Semua harapan kami menguap sirna. Aku hanya bisa mengutuki diri, mencela kelemahanku. Menanti siksaan tanpa henti dan maut yang akan menjemput tak lama lagi. Zhen tertawa penuh kemenangan.

“Aku ingin melihat ekspresi kalian saat gadis ini mati,” katanya, menarik lengan Inayah yang pingsan dan memaksanya berdiri. “Sayang, padahal jika melihat wajah cantiknya, ingin sekali aku menciumnya. Lihat, dia menggemaskan sekali. Apa kujadikan pacarku saja ya?”

Zhen menekan mata pisau yang tajam ke leher Inayah. Aku berteriak ngeri ketika segaris darah muncul di kulitnya yang putih. Igo menangis dan membenturkan dahinya ke lantai. Zhen tertawa puas, mengacungkan pisaunya ke arahku.

“Kalian lihat? Harusnya kalian berterima kasih karena aku tak jadi membunuhnya. Aku berubah pikiran. Lebih baik kukurung dia dan kujadikan pacarku. Tahu tidak? Tadi saat aku melepas kerudungnya, dia berontak sambil menangis, bilang jangan sentuh karena dia sudah menikah. Aku pun berhenti sampai situ. Lagipula pipiku sempat tertendang. Kalian tahu apa yang dikatakannya setelah itu? Dia minta maaf! Hahaha, benar-benar gadis yang menarik!”

“Jadi kau yang melepas kerudungnya?” Igo menatap geram.

Zhen terbahak lagi, menunjuk Igo. Saat itulah keajaiban terjadi.

Entah dari mana datangnya, Nasuti muncul di belakang Zhen, menghantam belakang kepalanya dengan batang kayu besar yang ujungnya menyala-nyala dilalap api. Zhen meraung kesakitan ketika kepalanya dihajar obor. Inayah jatuh tergeletak ke lantai. Darah tercecer. Lengan atasnya sempat terkena sayatan Zhen yang kalap. Entah seberapa dalam luka goresnya, semoga tidak parah. Zhen terhuyung, lalu berbalik dalam sekejap dan menghadapi Nasuti dengan ekspresi murka.

“Itu balasan karena menyakiti teman-temanku!” Nasuti berteriak garang. Pandangannya membakar saat dia menoleh padaku. “Maaf, jagoan selalu datang terlambat, Kapten!”

“Kurang ajar kau, dasar Juara Tiga!” Zhen memegangi kepalanya yang berdenyut.

“Siapa yang Juara Tiga, hah?” Nasuti balas berteriak. “Dalam hal kesetiaan, aku lebih baik darimu, Medali Perak!”

Zhen semakin berang, lepas kendali. Dia melancarkan jurus-jurus liar yang bagiku sama sekali tak tampak seperti jurus yang diajarkan dalam Shorinji Kempo. Rupanya Zhen bertindak atas dasar kemarahan dan melupakan semua ilmunya. Ia tampak berbahaya dengan gerakan liarnya, meski dalam waktu bersamaan juga rentan dan tak terkendali.

Nasuti melompat mundur, mengeluarkan botol dan menenggak cairan di dalamnya. Ia mengacungkan obor di depan mulut dan menyembur, menciptakan lidah api merah yang menjilat-jilat dan membakar kulit Zhen. Aku tercengang, sudah lama aku tak menyaksikan keahlian Nasuti yang satu ini sejak semester satu. Ini dia Si Anak Naga, mantan Pramuka yang legendaris. Zhen melangkah keluar dari kobaran api tanpa lecet sedikitpun, bahkan bajunya tidak terbakar. Aku ingat dia pernah mempelajari debus yang membuatnya kebal api.

“Kukira Pansus sudah membereskanmu,” geramnya.

“Oh, maksudmu si sniper itu?” kata Nasuti. “Ya, dia lawan yang tangguh, sempat memberiku beberapa benjol di dahi, dan pistol anehnya cukup merepotkan. Untunglah Torik dan Muqodas datang membantu. Muqodas muncul di belakang si sniper dan memukulnya hingga tersungkur, lalu meringkusnya. Setelah itu kami langsung pergi ke pantai tempat kalian menambatkan kapal. Tempat itu sepi, jauh dari pemukiman penduduk. Kami berhasil menyusup dan merusak kapal itu, membakar peti-peti berisi barang haram di dalamnya. Kau pasti kecewa kan, narkotika kalian tak bisa lagi beredar di pasaran.”

“Tak mungkin, kapalku dijaga ratusan anak buah tangguh,” kata Brewok. Ia yang sejak tadi duduk di kotak kayu, berdiri saat Nasuti datang. “Mustahil kau mengalahkan mereka semua. Apalagi ada dua petinggi Jerangkong—Akhsay Si Pawang Binatang dan Zefry Si Raja Geng Motor. Mereka bukan lawan enteng.”

“Ya, jelas mereka membuat kami kerepotan,” kata Nasuti. “Penyusupan kami secara diam-diam gagal. Tak kusangka banyak sekali pria bersenjata di kapal itu, menyerbu kami bersamaan. Aku berhasil menjegal beberapa orang dan menceburkan mereka ke laut sebelum mereka mengepungku. Sejak lahir aku sudah nekat, hobi berbuat onar dan menghancurkan sesuatu. Tak mungkin aku menang kalau keroyokan, jadi aku berlarian di kapal dan membuat kekacauan. Aku merusak kemudi, membakar kotak-kotak berisi obat-obatan, melempar botol wiski atau apalah itu ke para pengepung, dan merobohkan lemari di atas tubuh mereka. Torik dan Muqodas membantuku dari belakang—kami saling beradu punggung, menghadapi musuh yang terus berdatangan seperti air bah. Lama sekali kami bertahan, bertukar tinju dengan lawan sebanyak itu, lebih banyak kena pukul dibanding menyerang.”

Nasuti semangat sekali menceritakan aksi heroiknya. Zhen membeku sejenak, bahkan Brewok dan Mandra tampak tertarik.

“Para keroco itu semakin marah, mereka terus berdatangan seakan tak ada habisnya. Tapi dua orang petinggi bernama Akhsay dan Zefry berteriak dari atas anjungan kapal, menyuruh mereka minggir. Jadilah dua lawan tiga. Aku mendongak, agak gentar mengamati kedua petinggi itu, yang tampak tenang, seakan kami cuma serangga pengganggu. Zefry duduk santai di atas motor trailnya, bertopang dagu sambil tersenyum mengamati kami, sedangkan Akhsay duduk bersila di lantai dengan mata terpejam, seakan sedang bermeditasi.

“Jujur saja, aku tak yakin kami bertiga bisa menang. Kondisi kami sudah kelelahan, dan dua orang itu bukan lawan biasa. Si Pawang Binatang maju duluan. Aku ingat dia, orang India yang waktu itu tidur di mobil di hutan Kalimantan. Pria itu mendengus sinis, menjentikkan jarinya, dan tiba-tiba saja beberapa ekor anjing besar muncul dari dalam kabin, menyalak dan menggonggong mengejarku. Sial sekali, rupanya hanya aku yang dikejar, sementara Torik dan Muqodas berlari ke arah lain. Aku menghalau dengan pecahan botol, melukai anjing-anjing itu, menendang beberapa ekor sisanya ke laut. Aku tak menyesal. Nyawaku di ujung tanduk, tak ada waktu untuk berbelas kasih.

“Lalu Akhsay mengeluarkan sesuatu yang lebih mengerikan dari kandang besi besar. Hewan yang katanya beberapa hari dikurung tanpa diberi makan. Seekor harimau! Entah bagaimana dia bisa membuat macan itu menuruti perintahnya, maju mendekatiku, siap menerkam. Aku mundur hingga terpojok, mencari jalan keluar. Aku meraba lantai, menemukan sebatang besi, mengacungkannya untuk menakuti, tapi percuma saja. Anehnya macan itu tak langsung menerkam. Aku ingat, itu macan yang kulihat di hutan Kalimantan.

“Saat harapanku sirna, bersiap jadi santapan macan, Torik datang membantuku. Dia melompat ke depanku, menghadapi si harimau dan merentangkan tangan. Harimau itu berhenti, ragu menyerang saat melihat lawannya bersikap superior. Torik melambaikan paha kambing yang diambilnya dari dapur kapal, lalu berlari dan membuat perhatian si macan teralih. Akhsay tak bisa mengontrolnya lagi. Torik memang hebat, seorang pecinta alam sejati. Dia memasukkan daging ke kandang, menunggu si harimau masuk, lalu menutup pintu dan menguncinya.

“Akhsay, Si Nomor Tiga itu geram dan melepas ular kobra yang melilit lehernya, melemparnya ke lantai di depan Torik. Torik lebih hebat dari dugaanku, menangkap kobra itu tepat di bawah leher, titik lemahnya, lalu membuangnya ke laut. Akhsay murka dan memutuskan maju sendiri, mengeluarkan sesuatu dari tasnya, semacam tanaman obat yang baunya menyengat. Dia menghirup baunya, dan tiba-tiba sorot matanya berubah. Sikapnya jadi liar seperti kesurupan, mirip binatang buas. Tenaganya juga gila. Kuduga sesuatu yang dihirupnya tadi semacam doping. Akhsay menerjang Torik, mencakar dengan kukunya yang tajam, lalu mencekik dan memitingnya ke lantai kapal. Kelihatannya Torik akan kalah, hingga dia menusuk tangan pria itu dengan garpu dan berhasil menyayat lengan satunya dengan pisau kecil yang selalu dibawanya. Torik bergulat dengan Akhsay, beradu tenaga, meninju perut Si Pawang sepuluh kali. Kau tahu sendiri seberapa besar otot-otot Torik, Zhen. Yang terjadi kemudian, Akhsay bernasib sama seperti ularnya, dilempar ke laut.

“Sementara itu, aku menghadapi Zefry, Si Nomor Dua yang anehnya malah menatapku iba, bilang ingin bertemu lagi denganku. Aku ingat dia, tentu saja. Aku tahu wajah ramahnya hanya tipuan. Pemuda berambut hitam itu terjun ke geladak dengan motor trailnya, mencoba melindasku. Dia menarik bajuku dan melemparku ke darat, lalu dia sendiri melompat dari kapal dengan mengendarai motornya. Aku terkapar di tanah, mencoba berdiri, lalu bergegas lari di sela pepohonan begitu melihat Zefry mengejar, berniat melindasku.

“Tiba-tiba dia mengeluarkan rantai dan mengayunnya seperti laso. Tahu-tahu ujung rantai itu melilit kakiku, membuatku terjerembap. Zefry memacu motornya, dengan satu tangan memegang rantai yang menjerat kakiku. Tak ayal tubuhku terseret-seret di tanah, sampai punggungku penuh lecet akibat berkali-kali terantuk batu. Ketika rantai itu akhirnya terlepas, Zefry memutar balik motornya, menuju ke arahku. Nekat saja, aku meraih batang kayu di tanah dan menghantam perut pria itu, menjatuhkan dia dari motornya.

“Kukira dia akan langsung roboh, tapi rupanya dia tangguh sekali. Bagai pemain akrobat, Zefry bersalto dan sigap melompat berdiri, menyerangku dengan jurus maut. Dia bahkan lebih tangguh dari Pansus si sniper. Gerakannya cepat sekali, ilmu beladirinya mumpuni dan bervariasi. Dalam sekejap dia berhasil memitingku di tanah dan mencekikku, lalu mendekatkan wajahnya sambil tersenyum, bilang akan mengampuniku karena katanya wajahku mirip adiknya yang sudah meninggal. Namun kata-katanya yang lembut tak sesuai dengan sikapnya yang kasar. Dia menarik sorban kesayanganku sampai koyak, dan itu membuatku murka. Kusundul hidungnya keras-keras, membuat kunciannya mengendur sehingga aku bisa melepaskan diri. Saat dia menatapku, wajahnya yang ramah itu seketika lenyap, digantikan tatapan membara penuh kebencian.

“Aku bergulat dengannya selama beberapa menit, saling cekik, dan tenagaku hampir habis saat aku berhasil menonjoknya hingga pingsan. Yah, meski susah payah, aku akhirnya berhasil menumbangkan salah satu perwira. Merepotkan sekali, si Zefry itu. Awak kapal yang lain, para keroco itu berseru marah melihat dua petinggi mereka kalah. Mereka berlompatan dari kapal dan mengejarku, sehingga aku harus kabur dan bergegas kemari, memanfaatkan motor trail Zefry yang ternyata sangat berguna di medan berbatu. Torik dan Muqodas lari ke arah lain setelah sebelumnya melempar kantong berisi kalajengking milik Akhsay ke arah para pengejar. Kuharap mereka berdua selamat.”

Nasuti mengakhiri ceritanya.

“Nah, enam pentolan Jerangkong sudah dikalahkan,” katanya. “Artinya yang tersisa tinggal kau saja, Zhen. Kau Nomor Satu kan? Aku akan mengalahkanmu juga. Dan satu hal lagi, kalian bodoh sekali membiarkanku bercerita selama itu. Aku sengaja mengulur waktu, sebentar lagi pasukan gabungan polisi dan TNI akan menggerebek tempat ini.”

Mendengar ancaman itu, Zhen dan Mandra memelototi Nasuti galak, sementara Brewok malah menguap dan duduk kembali di atas peti kemas, menaikkan satu kakinya.

“Aku tak peduli, sebanyak apapun polisi yang datang takkan ada artinya,” katanya tenang. “Akan kusambut mereka. Biar kulihat kejutan apa yang mereka suguhkan padaku.”

“Yah, kita lihat saja,” kata Nasuti, kembali menenggak minyak tanah lebih banyak, bersiap menyembur api lagi.

“Kau mencari ini?” kata Zhen, melambaikan sesuatu yang tampaknya sehelai kertas. Nasuti berhenti, terbelalak melihat foto yang diperlihatkan Zhen—foto tua ayahnya. “Orang yang menubrukmu di kapal waktu itu adalah orang suruhan kami. Harus kupuji dia karena berhasil mencuri foto jelek ini darimu. Sudah kami bilang, jaringan kami ada di mana-mana. Aku ingin tahu, bagaimana reaksimu saat kulakukan ini.”

Zhen merobek foto itu menjadi dua, melemparnya ke wajah Nasuti, yang menggerung murka melihat barang berharga miliknya dirusak dan dicampakkan. Nasuti melempar obor ke arah Zhen, namun dihindarinya dengan mudah. Zhen melompat keluar pintu dan kabur. Tanpa diperintah, Nasuti mengejarnya menuju kegelapan malam.

Aku menyaksikan semua itu dengan hati bergejolak, terpancing untuk melakukan serangan balasan. Igo berteriak, mendapat kekuatan entah dari mana, kemudian menghentak tangannya sekuat tenaga, membuat Mandra—yang masih menginjak—terhuyung dengan terkejut. Dari balik tumpukan peti kemas, Harto meraung-raung dan muncul kembali dengan tekad membara, bersiap membalas kekalahan. Aku juga merasakan hal yang sama ketika secara ajaib tenagaku pulih kembali.

“Sampai kapan kau mau tiduran begitu, Lutfi?” Igo melirikku.

"Bangunlah! Kau kapten kami, kan?” kata Harto.

Aku tersenyum, melompat berdiri, meneriakkan yel-yel peperangan, bertekad memberi serangan balik. “Yeah, ayo mengamuk!”

“Tidak mungkin,” Mandra menatap kami bertiga bergantian, tak percaya. “Kalian sudah kalah, tak mungkin bisa mengalahkan kami!”

“Ayo maju, serang!” kami berteriak bersamaan. Aku merasa seperti mujahid yang berjuang di medan tempur. “Kejahatan pasti kalah! Allahuakbar!”

Harto menerjang Mandra sekali lagi. Tampaknya Mandra kehilangan sikap tenangnya. Dia melepaskan pecut di pinggangnya, terdengar bunyi desing ketika cambuk itu melecut lurus ke arah Harto. Pemuda itu membentuk tameng dengan menyilangkan lengan di depan wajah, meringis saat cambuk itu menyambar, meninggalkan luka memerah di kulitnya.

“Kau itu kesepian kan? Akui saja!” teriak Harto.

“Diam! Itu bukan urusanmu! Kau cerewet sama seperti ayahmu!”

Mandra mengayun cambuknya lagi. Bergerak sigap, Harto menghindar dan menangkap ujung tali itu dengan kepalan, kemudian menariknya hingga Mandra terhuyung maju, lalu menghajar wajahnya telak. Mandra tersungkur dengan terbelalak.

“Jangan senang dulu!” Mandra bangkit dan mengacungkan sesuatu yang berkilat, sebilah keris. “Inilah senjata yang mencabut nyawa orangtuamu! Selalu kulumuri racun kalajengking, kau akan mati dalam sekejap begitu tersentuh!”

Mandra mengarah perut Harto yang tak terlindung. Igo melompat tepat waktu ke depan Harto dan menangkisnya dengan baton sword. Kedua pria itu saling bertahan dengan serangan masing-masing dan bertukar geram sangar, senjata mereka beradu. Kemudian Igo menendang perut Mandra, membuatnya terjengkang sekali lagi. Mandra tersentak ketika dijatuhkan, lalu melotot saat melihat ujung sepatu Harto hampir mendarat di wajahnya. Pria itu berguling menghindar, dengan gesit melompat berdiri.

“Kalian mendesakku sejauh ini. Tak kusangka aku harus mengeluarkan andalanku hanya untuk melawan kalian. Bersiaplah, aku mulai serius! Akan kuperlihatkan kekuatanku!”

Mandra memejamkan mata, mulutnya komat-kamit merapal mantra. Aku merasakan udara berubah dingin. Aku mengawasi Mandra, mengira dia akan berubah wujud atau apa, tapi tak terjadi apa-apa padanya. Hanya saja, kegelapan di sekelilingnya menjadi lebih pekat, dan aku merasa itu bukan kegelapan biasa. Seolah ada sesuatu yang tak tampak di situ.

“Ada yang melindungimu kan?” kata Igo. Aku mengucek mata dan menatap Mandra sekali lagi. Aku sendiri tak melihat apa-apa selain kegelapan yang mengelilinginya.

Mandra menggeram, membuka matanya. “Kau melihatnya? Kau takut sekarang? Aku akan menggunakannya untuk menghabisi kalian!”

“Kau bersekutu dengan jin!” teriak Igo. Pemuda itu mengambil kotak kayu di dekat dinding, mengangkatnya, lalu melemparnya ke arah Mandra. Kami semua tercengang melihat kotak itu hancur sesaat sebelum menyentuh Mandra. Ternyata memang ada sesuatu yang melindunginya. “Hati-hati Harto, dia memakai ilmu hitam. Aku tak tahu dia mempelajarinya di mana. Tapi jangan takut padanya. Kita hanya diperbolehkan takut kepada Allah, tak boleh takut kepada makhluk apapun termasuk jin. Kuserahkan dia padamu.”

Harto mengangguk, berkonsentrasi menatap musuh yang selama ini dibencinya, lalu berteriak dan menyeruduk Mandra dengan kepalanya, mencengkeram pinggangnya. Keduanya bergulingan di lantai, bergulat dan saling pukul. Igo hanya mengawasi dan tak membantu Harto. Pertarungan ini harus diselesaikannya sendiri. Harto masih berkutat dan menggayuti Mandra hingga menubruk jatuh kotak-kotak kayu. Keduanya baru saling melepaskan saat terdengar letusan pistol di luar sana.

“Sial, musuh baru berdatangan,” Mandra bangkit.

“Itu Angkatan Laut,” kata Brewok. “Biarkan saja. Anak buahku akan menyibukkan mereka. Kebetulan aku juga punya dendam pada para marinir itu.”

Bunyi pertempuran berlangsung seru di luar sana. Bunyi tembakan bersahutan, sesekali terdengar teriakan mengaduh. Para TNI pasti sibuk menghalau para bandit, yang agaknya memberi perlawanan sengit. Mandra menatap Harto, yang baru saja bangun dan mengibaskan debu dari bajunya. Tanpa memberi kesempatan, Mandra menyerang lagi, mengayunkan kerisnya. Namun senjata itu sudah tak ada di tangannya.

“Kau mencari ini?” kata Harto.

“Sial, kerisku! Bagaimana bisa kau mengambilnya?” pria itu terbelalak. Seketika itu, kegelapan yang menyelimutinya memudar dan hilang sama sekali. Kekuatannya lenyap.

Harto menyeringai. Selain jago menyusup dan mengambil gambar diam-diam dengan kameranya, ternyata dia juga berbakat mencopet. Pemuda itu melempar keris rampasannya ke sudut, lalu membungkuk untuk memungut sebongkah batu bulat sebesar kepalan tangan, menimang beratnya. Mandra memungut salah satu pisaunya yang berserakan di lantai. Sesaat, keduanya saling pandang. Dua musuh lama yang ditakdirkan bertemu di arena pembantaian. Dengan senjata di tangan, keduanya berjalan saling mendekat, lalu semakin cepat. Harto berlari, mengangkat batu di tangan kanan sebagai senjata. Mandra melompat dan menusukkan pisaunya, mengarah perut Harto. Keduanya semakin dekat.

“Rasakaaaan!” Harto berteriak.

“Terima seranganku ini!” Mandra balas berteriak.

Harto menghindar di saat yang tepat hingga pisau itu mengenai angin. Secepat kilat, Harto menghantamkan batu ke perut Mandra. Bersamaan dengan jerit kekalahan, terdengar suara derak keras yang aneh saat batu itu menghantam. Mandra terlempar hingga menubruk dinding dan perlahan merosot ke lantai. Matanya terbelalak menatap Harto, tak percaya dikalahkan. Serpihan kayu berjatuhan dari balik bajunya, tempat Harto menghantamnya. Rupanya Mandra menyembunyikan papan kayu di balik baju untuk melindungi perutnya. Pantas saja tendangan Igo di awal tadi tak mempan. Ternyata hanya trik murahan. Aku tak tahu dari mana Harto mendapat kekuatan seperti itu. Apakah itu tekad?

Akibat benturan tadi, rak kecil lapuk di atas dinding bergoyang, sebuah botol berlabel tengkorak terguling jatuh menimpa kepala Mandra. Pria itu menjerit kesakitan saat wajahnya melepuh dan berasap akibat tersiram cairan di dalamnya.

“Argh, apa ini, asam sulfat?” dia mencakar-cakar wajahnya.

Harto tak peduli, berjalan tenang dengan batu di tangan, menghampiri Mandra yang tampak mengenaskan. Mandra merangkak, menyeret-nyeret tubuh menjauh, ketakutan jelas tampak di wajahnya. Kubayangkan persis seperti inilah adegan ketika orangtua Harto terbunuh. Sekarang keadaannya berbalik.

“Tidak, jangan mendekat!” desis Mandra, mengibaskan tangan, meski kondisinya terpojok tapi tak bersedia minta ampun. “Pergilah, menjauh dariku!”

Harto tak menghiraukannya, menatap dingin, berteriak keras dan memukulkan batu ke kepala lawannya. Bunyi benturan itu terdengar seperti gong. Mata si pria terbeliak ke atas.

"Kau... memang kuat,” kata Mandra, dan pandangannya menjadi kosong, kepalanya terkulai. Harto tak peduli meski musuhnya sudah tergeletak. Tatapannya penuh kemarahan saat dia menendang dan menginjak-injak tubuh orang yang dibencinya, meski pria itu sudah tak berdaya. Harto meraung-raung penuh kemenangan.

“Untuk ibu dan ayahku! Rasakan, rasakan!”

“Sudah, sudah... cukup, Harto!” Igo memegang bahunya. Harto menghentikan aksinya, gemetar, lalu jatuh terduduk dan terengah-engah. Batu di tangannya terlepas, mengelinding. Sorot matanya meredup digantikan tatapan pilu. Igo merangkul dan memeluknya.

Satu lawan lagi telah ditumbangkan.

Di saat bersamaan, aku menghadapi Brewok sekali lagi, kini hanya ada aku dan dia. Pertarungan ini lebih seperti Daud versus Goliath, karena perbedaan ukuran kami. Dari segi kekuatan fisik, kecepatan, skill beladiri, bahkan kecerdasan, dia lebih unggul dariku, tapi aku tidak takut. Brewok menggerakkan telunjuk, menantangku maju. Aku berteriak, menyerang dengan kedua tangan, dan dia juga sama. Kami bertubrukan, beradu tenaga, dengan tangan saling mencengkeram, berusaha mendorong lawan seperti bertanding sumo. Brewok menggeram, lalu menyundul kepalaku keras-keras. Sakitnya tak tertahankan.

Tanpa memberi kesempatan, Brewok menarik bajuku dan meninju daguku, hingga aku terbanting ke belakang. Pada saat bersamaan, Harto dan Igo melompat maju menggantikan posisiku. Rupanya mereka berniat membantu, berbarengan menyerang Brewok dari dua sisi, melayangkan pukulan dan tendangan tanpa memberi jeda sedikitpun. Namun percuma saja, semua serangan itu seolah tak ada artinya. Brewok sigap meladeni mereka, mementahkan semua serangan dengan leluasa, bahkan lebih banyak mendaratkan pukulan di tubuh Harto dan Igo. Aku pun segera bangkit dan ikut menyerang. Kali ini tiga lawan satu, dan sialnya keadaan tetap tak berubah. Brewok masih saja unggul. Ini gila, orang ini terlalu kuat. Aku heran bagaimana orang bertubuh besar seperti dia bisa bergerak segesit itu. Staminanya juga seakan tak ada habisnya, tak goyah sedikitpun walau berkali-kali terkena pukulan, bahkan meski kami bertiga mengeroyoknya sekalipun.

“Kalian bukan tandinganku,” Brewok menyeringai, menghindar dengan cepat saat Harto mencoba menendang anunya. “Kalian tahu kenapa? Karena aku bisa membaca semua gerakan kalian. Aku punya rekaman semua pertandingan kalian, dan aku sudah mempelajari semuanya. Jurus apapun yang akan kalian keluarkan, aku bisa memprediksinya.”

Bagai pemain capoeira yang lihai, Brewok bermanuver di lantai dan menyapu kaki Igo, membuatnya terjatuh. Secepat kilat, Brewok menyambar kaki Igo dan membanting tubuhnya ke dinding, hingga dia jatuh ke lantai dan meringkuk kesakitan. Lima detik kemudian Harto menyusul tumbang setelah Brewok meninju perutnya, lalu mengangkat tubuhnya dan membantingnya ke lantai. Aku berteriak geram melihat teman-temanku dikalahkan. Situasi semakin menyudutkan karena yang masih bertahan hanya tinggal aku seorang. Kedua temanku sudah terkapar kehabisan tenaga, hanya bisa menatap jerih sambil meringis menahan nyeri. Aku sendiri sudah sangat kewalahan, tapi tekadku yang membara membuatku tak ingin menyerah begitu saja. Brewok tertawa melihat kondisiku, menggerakkan empat jarinya, menyuruhku maju. Lagi-lagi satu lawan satu.

Kami kembali saling serang, bertukar tendangan dan sapuan. Awalnya pertarungan berlangsung sengit, hingga aku merasa ada yang aneh. Mendadak, suhu udara berubah panas, dan tercium bau sesuatu terbakar. Ketika melihat ke belakang, aku terkejut karena ternyata dinding dipenuhi api, berkobar-kobar mengancam bagai iblis dari neraka. Cahaya ganjil membuat bayangan kami menari-nari. Rupanya obor yang tadi dilempar Nasuti jatuh di dekat kotak kayu. Mulanya api kecil saja sehingga kami tak menyadarinya. Namun percikan kecil itu menjelma menjadi ancaman besar. Api merambat ke kotak, lalu menjalar ke benda-benda lain dan membesar hingga tingginya mencapai tiga meter. Ujungnya menjilat-jilat dinding, menimbulkan jelaga, menyambar apa saja yang mudah terbakar. Udara mulai terasa sesak akibat dipenuhi karbon monoksida.

“Harto, Igo, cepat pergi! Dan bawa Inayah keluar dari sini!” teriakku.

Tanpa disuruh dua kali, kedua rekanku menurut. Meski sekujur tubuh lebam, keduanya berusaha bangkit dan berjalan tertatih-tatih. Igo menggendong Inayah yang pingsan, menerobos api menuju udara segar. Aku sendiri tak bisa berlama-lama di sini. Jika terjebak di sini, aku pasti mati. Seraya merutuki Nasuti dalam hati, aku menutupi hidung, berlari ke pintu, berpikir untuk menghentikan pertarungan dan melarikan diri keluar. Namun sebelum aku menyusul keluar, tiba-tiba Brewok mendahuluiku, melompati kotak-kotak kayu, berayun di rantai lampu dan mendarat di depanku, menghalangi jalan.

“Kalahkan aku dulu, baru boleh keluar.”

Aku menelan ludah, berhitung dengan situasi. Selama beberapa detik, kami saling tatap di tengah kobaran api, menunggu lawan bergerak duluan. Tiba-tiba Brewok menjangkau ke belakang dan mengeluarkan benda besar yang dibungkus kain putih—benda yang selalu dibawanya sejak dari Sumbawa, senjata khusus yang katanya dipesan dari Amerika. Dia menyibak kainnya, dan aku terbelalak melihat senjata besar mengerikan, gergaji mesin! Aku sadar itu bukan gergaji yang biasa digunakan menebang pohon, tapi yang sering dipakai preman-preman bule di film horor. Meski ukurannya lebih kecil, tetap saja mengerikan.

“Habislah kau!” Brewok menyalakan mesinnya. Aku tercengang melihat gigi-gigi besi tajam itu berputar mengancam saat Brewok mengangkat gergajinya, bersiap mencincangku. Aku meraih kursi kayu yang tadi dipakai mengikat Inayah, menggunakannya sebagai tameng dan balas memukul liar. Senjata kami beradu di udara, berderak mengerikan. Kursi itu hancur, tak berdaya, dan gergajinya nyaris memenggal kepalaku, rambutku terserempet. Aku bersalto ke belakang, mundur sejenak dan mengambil jarak.

“Nah, bagaimana kau menghadapiku?” tantang Brewok. “Ini senjata terkuatku, Texas Chainsaw kesayanganku. Kau tak bisa mendekat!”

Pria ini gila. Tampaknya dia tak peduli dengan api yang semakin membesar, melebar ke seluruh dinding. Sesuatu meledak di ujung ruangan, membuatku terlonjak. Agaknya ada beberapa bahan kimia eksplosif di situ. Waktu kami tidak banyak.

“Kalau begitu, aku akan menyerang dari sini!” kataku yakin, melebarkan kaki dan mengambil ancang-ancang, seperti hendak berlari.

“Kau akan menyerangku dari jarak sejauh itu?”

“Coba saja!” teriakku, mengayun kaki sekuat tenaga, berpura-pura menendang, hingga sandalku lepas dan terlontar, menghantam keras hidungnya hingga berdarah. Benar-benar serangan jarak jauh namanya. “Kunamakan Jurus Kaki Panjang, rasakan itu!”

Brewok mengusap hidung, terkejut. Kali ini dia benar-benar marah, makin beringas mengayunkan gergajinya. Aku menghindar dan berlari di antara kotak-kotak kayu, terdengar derak keras saat salah satu kotak terpotong, isinya berhamburan. Aku hampir terpeleset saat menginjak ratusan bungkus pil yang berserakan. Dia melompat maju, memaksaku merapat ke tembok yang belum terjamah api. Aku tak bisa lari lagi. Senang melihatku terpojok, pria itu makin ganas dan menyabetkan benda berat itu dengan kekuatan abnormal. Gerakannya seperti ahli pedang, efisien dan terarah. Serangan berikutnya hampir saja mengenai dahiku andai saja tidak kutahan bagian tepi gergajinya yang pipih dengan dua tangan. Ujungnya berdesing tepat di depan wajahku. Brewok memepetku mundur ke dinding yang tak terjamah api. Aku menghindar tepat waktu ketika ujung gergaji itu berdesing dan menghantam tembok. Perlahan rantainya berhenti berdesing, gerakannya macet dan terbenam menembus dinding hingga retak, lalu terjebak di sana. Brewok mencoba menariknya, tapi tampaknya menancap terlalu dalam.

Memanfaatkan kesempatan, aku menendang tangan Brewok keras-keras, memisahkan penjahat ini dengan gergajinya. Aku menggebrak gergaji yang menancap di sebelahku hingga bagian pemotong yang bergerigi itu terpisah dari mesinnya. Entah dari mana kekuatanku datang. Mungkin campuran antara latihan pukulan yang kulatih setiap hari, tangan baja, dan kekuatan amarah. Mungkin kekuatan yang sama dengan Harto. Kudengar manusia bisa melakukan berbagai hal luar biasa ketika terdesak.

“Kaupikir siapa aku, hah?” teriak Brewok. “Apa kau tahu, sudah berapa banyak pria yang kubunuh? Mereka lebih kuat dan berpengalaman dibanding anak ingusan sepertimu! Kaupikir dengan kemampuan seperti itu bisa mengalahkanku?”

Pria itu melepas jaket kulit dan kemejanya yang bermotif macan tutul, memperlihatkan sebidang tubuh kekar berotot dan dipenuhi tato. Tak lupa, dia juga menautkan knuckles atau besi pemukul di jari-jarinya. Aku sadar pria ini jauh lebih besar dariku, bergulat tanpa strategi yang matang sama saja dengan menyerahkan nyawa. Aku menghindar saat pria itu memukul, membuat retakan pada tembok di belakangku. Sambil terus berkelit, aku mencari akal, memikirkan cara paling efektif untuk menaklukkannya tanpa membuang banyak tenaga.

Terdengar bunyi ledakan lagi, disusul benda berjatuhan. Aku menoleh cemas. Api kian melebar, asap mengepul membuat mataku perih. Napasku makin sesak. Sedikit sekali oksigen yang tersisa di ruangan itu. Aku harus bertindak cepat.

“Ayo, hibur aku, Kurus!” pancingnya. Mendengar itu, telingaku berkedut.

"Kurus? KURUS?!” teriakku. Ucapan Brewok memancing sifat asliku keluar. Itu kata tabu bagiku, dan itu membuatku sangat marah. Aku meraung-raung, gemetar tak terkendali. Aku seakan mengalami power up, menghilangkan sikap kehati-hatianku, dan sebagai gantinya menghadirkan kebuasan liar yang membuatku ingin menghancurkan apa saja. Rasanya aku sudah tak peduli apapun lagi. Aku tak peduli luka-lukaku, atau tubuhku sakit semua, atau api berkobar-kobar di sekitarku. Yang kuinginkan hanya melumat Brewok jadi bubur dan memaksa dia menarik ucapannya. Aku sudah all out sekarang. Akan kuperlihatkan kekuatanku yang sebenarnya.

Brewok tertawa, meninju dengan knuckles berkilat-kilat, mengira sasaranya tepat, namun dia terbelalak mendapati tinjunya hanya mengenai angin. Dalam sekejap, aku sudah berada di belakangnya, tanpa dia sadari. Secepat kilat kutinju punggungnya hingga dia terjengkang menubruk kotak-kotak kayu.

“Jangan pernah… mengataiku kurus!” geramku.

“Kecepatan dan kekuatanmu bertambah drastis,” dia bangkit lagi, menyingkirkan papan-papan kayu. Matanya memerah seperti menyala-nyala di tengah kepulan debu. “Menarik, jadi sekarang kau berhasil mengimbangiku ya?”

Dia berdiri tegak dan menghadapiku lagi, wajahnya tenang meski kemarahan meluap-luap. Kengerian sebenarnya dari pria ini bukan kekuatan yang luar biasa atau kecerdasannya, melainkan kemampuannya mengontrol emosi. Akan kucari kelemahannya dalam hal itu.

“Aku tak suka cara pengecut, tapi terpaksa aku menggunakan ini untuk membunuhmu,” Brewok menarik sesuatu dari saku celananya—sepucuk pistol.

Aku bergerak cepat. Sebelum tangannya terangkat, aku menendang pistol di tangannya hingga terpental, jatuh di sudut. Brewok bergerak hendak mengambilnya. Aku melepas jaket Rohis yang kupakai, mengibaskannya sebagai senjata sekaligus pengalih perhatian. Brewok marah diperlakukan seperti banteng, beralih menyerangku. Setiap pukulannya berhasil kubelokkan dengan kibasan jaket, yang kugunakan seperti cambuk. Aku berzig-zag, menyerang berkali-kali sambil berpindah tempat dalam waktu singkat. Aku akhirnya berhasil melukainya, membuat dadanya lebam, mengirim uppercut ke dagunya, dan mendaratkan beberapa tendangan di pelipisnya.

Brewok semakin murka dan balas menyerang, namun kali ini serangannya lebih berantakan, tak lagi dengan kelihaian yang mematikan seperti sebelumnya. Aku melompat ketika dia mendekat, melempar jaketku ke wajahnya. Tak bisa melihat, pria besar itu terhuyung ke lantai, berusaha menyingkirkan jaketku. Secepat kilat aku menduduki bahunya yang lebar, lalu memeluk leher dan mencekiknya. Brewok meronta dan berusaha melepas cengkeramanku, memukuli setiap bagian tubuhku yang bisa terjangkau tinjunya. Dia berlari ke tembok yang terbakar dan membenturkanku, berusaha menjatuhkanku dari pungungnya.

Bahuku terasa melepuh dan jaketku terjatuh. Mengubah strategi, aku mencengkeram kepalanya dan memuntirnya ke kanan. Jika itu kepala orang biasa pasti lehernya sudah patah. Kami bertahan mati-matian selama beberapa saat, berkeringat dan terengah. Aku takkan menyerah meski otot lenganku menjerit protes. Entah berapa lama aku terus berkutat di punggungnya, hingga kemudian kurasakan tubuhnya mulai melemas. Aku hampir menang.

“Takkan kubiarkan kau menebang hutan atau menjual obat terlarang lagi!” teriakku. “Kau merusak masa depan anak muda Indonesia, KAU MERUSAK BANGSA!”

“Kau tak bisa menghentikanku!” dia bertahan. Dahinya berkerut dan raut wajahnya sedih saat melirik kotak-kotak yang terbakar—pasokan barang haram yang siap diedarkan. Yang meledak tadi pasti salah satu bahan bakunya. “Itu sumber penghasilan yang kubangun dengan kerja keras bertahun-tahun, kau tak bisa menghancurkannya begitu saja!”

“Kalau begitu, KAU HARUS KUKALAHKAN!”

Sebagai serangan pamungkas, aku mengganti teknik dengan mencondongkan bobot tubuh, melompat dari bahunya dan mencoba menjungkir tubuhnya ke belakang, kemudian membenturkan kepalanya ke lantai. Pria besar itu ambruk bersamaan denganku, tertimbun gumpalan debu yang beterbangan. Kami berdua tak bergerak, terbaring lemas. Tenagaku terkuras habis. Terdengar suara Igo dan Harto batuk-batuk di dekatku, tapi aku tak bisa melihat mereka karena terhalang debu. Rupanya mereka nekat kembali untuk menolongku. Aku terengah, perlahan berdiri di tengah kepulan debu yang mulai menipis, menatap tubuh lawanku yang tak sanggup lagi bergerak.

“Kau pria sejati, sudah lama aku tak bertarung seserius ini,” kata Brewok, dadanya naik turun dan matanya terpejam. “Pertarungan yang menarik, kau menghiburku sampai kehabisan tenaga seperti ini. Siapa namamu, Jagoan?”

“Lutfi,” engahku, memegangi bahu. Sekujur tubuh rasanya sakit semua. “Bukankah kau sudah tahu namaku?”

"Ya, aku tahu! Bukan itu... nama lengkapmu...”

"Badruzzaman Lutfi Al Fatih.”

“Akan kuingat,” katanya, lalu pingsan, dengan cengiran puas terpeta di wajahnya. Sungguh musuh yang aneh, dan aku tak sanggup membayangkan jika harus bertarung lagi dengannya. Tapi aku tak peduli, karena aku menang. Aku berhasil mengalahkannya!

“Kau hebat, Lutfi!” Harto berseru, tertatih mendekatiku.

“Bersenang-senangnya nanti saja. Kita harus cepat!” Igo mengawasi api yang semakin melebar, mengepung dinding. Hampir tak ada celah yang tersisa untuk jalan keluar.

Aku memungut topiku, mengibaskan debu yang menempel, lalu memakainya. Kuambil juga jaket dan sandalku yang berada tak jauh dari situ. Kami lalu bergegas keluar menerobos api, merunduk untuk menghindari kayu penyangga atap yang berjatuhan, dan baru bernapas lega saat berhasil tiba di luar.

Kami menghampiri Inayah yang masih terbaring di atas rumput, melepas semua ikatan di tangan-kakinya serta kain yang menutupi matanya, lalu memeriksa luka-lukanya.

“Masya Allah, banyak sekali lecetnya,” kata Igo khawatir. “Memang luka di lengannya tidak dalam, tapi darah yang keluar banyak sekali. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”

“Tapi tak ada rumah sakit besar di sini,” kataku. “Paling dekat ada di Sorong, Papua Barat. Akan butuh waktu lama untuk tiba di sana.”

“Apa lukanya separah itu?” kata Harto.

“Bagaimana rasanya jika kau dicambuk, ditampar dan perutmu diinjak?” Igo melepas jaketnya dan menyelimuti Inayah, menutupi pakaiannya yang compang-camping. Tatapannya mengiba saat melihat Inayah. Air matanya mengalir. Dengan jemarinya, diusapnya darah di sudut bibir istrinya. “Maafkan aku, Ine. Ini semua salahku hingga kau menderita seperti ini.”

“Hei, kau mau ke mana, Lutfi?” seru Harto.

“Brewok dan Mandra, aku tak bisa membiarkan mereka!”

“Jangan, kau bisa mati!” Harto berteriak.

Aku tak peduli, berlari masuk ke gudang dan menerobos kayu yang berjatuhan, berjengit saat tanganku bergesekan dengan benda panas, sampai kulitku melepuh. Sulit untuk bergerak di antara benda-benda yang terbakar. Aku menarik tubuh Brewok yang berat, menyeretnya keluar. Di luar dugaan, Harto muncul dan membantuku, menarik tubuh Mandra sambil menggerutu, membenci tugasnya.

“Bangunan ini hampir roboh,” kataku. “Lewat sini, cepat!”

Aku menendang kayu yang menghalangi jalan, merasakan suhu ruang semakin panas. Kami melompat tepat sebelum ledakan besar menghanguskan seisi bunker. Nyaris sekali, telat beberapa detik saja kami bisa terpanggang. Kami tergeletak di tanah, perlahan menoleh ke belakang. Gudang itu tak berbentuk lagi. Hanya bagian depannya yang terbuat dari beton yang masih utuh. Untunglah tanah di sekitar situ lapang, sehingga api tak merambat ke hutan. Kami menumpuk tubuh Mandra dan Brewok, mengikat mereka dalam posisi beradu punggung. Setelah itu kami menghampri Igo yang masih tertunduk sedih.

“Begini saja,” kataku, menepuk bahunya. “Igo, kau bawa Inayah ke hotel dan cari tim medis. Kemarin aku bertemu dengan beberapa anggota PMI di Waigeo Barat. Pastikan Inayah mendapat perawatan pertama. Sementara itu, aku dan Harto akan membantu Nasuti mengejar Zhen. Anak itu harus diberi pelajaran.”

“Tidak, aku ikut denganmu, Lutfi,” kata Igo. “Aku juga ingin menghajarnya, mengingat apa yang dilakukannya pada Inayah. Perbuatannya sangat keji, tak bisa dimaafkan.” Dia menepuk bahu Harto. “Kuserahkan Inayah padamu, Kawan.”

“Lho, memangnya boleh?” Harto menatap kepergian kami, lalu mencoba mengangkat Inayah. “Aduh, tak kusangka anak ini berat sekali.”

Aku dan Igo berlari sambil mencari tanda-tanda pengejaran. Ada jejak-jejak yang membawa kami ke arah hutan. Daerah itu kosong. Anak buah Brewok tak ada satu pun yang berpatroli, mungkin mereka kabur saat TNI menyerbu daerah ini. Anehnya, para TNI juga tak ada. Kami terus berlari. Tiba di dekat bukit, kami bertemu Nasuti.

“Sial, dia lolos,” katanya, terengah kehabisan napas.

Kami melanjutkan pencarian ke kawasan hutan yang gelap. Kami kebingungan karena sama sekali tak ada jejak ke mana perginya. Setelah berkeliling bukit, akhirnya aku menemukan sosoknya, berjalan di dekat pepohonan lebat. Zhen berhenti, terengah. Aku melihatnya, dan dia melihatku. Dia menoleh ke sekitar, namun tak menemukan jalan lain. Dia menatapku lurus, jalan kabur satu-satunya adalah dengan melewatiku. Dia berlari ke arahku. Akhirnya, kami saling berteriak.

"LUTFIIII!"

"ZHEEEEEN!"

Kami berlari, makin lama makin cepat mengurangi jarak yang memisahkan kami. Napasku memburu dan mataku membara penuh kebencian. Saat jarak semakin dekat, aku mengacungkan tinju dan dia menodongkan pisau, kami bersiap saling menyerang.

Namun aku berbelok ke kanan.

“Aku mau pipis dulu! Igo, kuserahkan dia padamu!”

“Apa?” Igo kebingungan melihatku tiba-tiba mengubah arah, tapi aku keburu pergi. Igo menatap ke depan saat Zhen berlari tepat ke arahnya. Aku hanya berpura-pura ke hutan dan mengintip dari balik semak, mengawasi dua pemuda itu berhadapan. Kubiarkan saja Igo yang menanganinya, toh dia pantas mendapat kesenangan itu. Masing-masing dari kami sudah mengalahkan para petinggi Jerangkong. Muqodas vs Hendrik, Torik vs Akhsay, Nasuti vs Zefry, Harto vs Mandra, dan aku sendiri menaklukkan bosnya, Brewok.

Sekarang giliran Igo. Dia tak punya pilihan lain selain berlari maju menyambut serangan Zhen, menghunus baton sword-nya, dan berteriak-teriak. Jarak mereka semakin dekat, aku menahan napas, menghitung mundur, tiga... dua... satu...

WUUSH... ZRAT!

Keduanya melompat begitu cepat ketika saling melewati satu sama lain, dan berhenti beberapa meter setelah beradu tebasan, lengan mereka terentang dengan senjata di ujung tangan. Keduanya diam tak bergerak selama beberapa saat. Kemudian Igo terbungkuk memegangi perutnya, aku memekik ngeri. Zhen tertawa penuh kemenangan, mengangkat kedua tangannya ke atas.

Namun tawanya mereda dan padam saat tubuhnya oleng dan jatuh ke tanah. Igo menunggu Zhen ambruk, lalu menegakkan diri. Aku terpana sejenak menatap situasi yang membingungkan itu, lalu sekejap kemudian terbahak-bahak. Rupanya Igo hanya pura-pura tertusuk. Dialah pemenangnya. Zhen tidak terluka karena Igo hanya memukulnya dengan sisi tumpul baton sword, tapi dia tumbang karena pukulan itu tetap menyakitkan. Sementara itu Igo tidak terluka sama sekali oleh serangan Zhen. Aku menghampiri dan menepuk bahunya.

“Aktingmu bagus juga. Dasar, kukira kau yang tertusuk tadi,” kataku, lalu menatap tubuh Zhen yang tergeletak di tanah, antara jijik dan benci.

“Cepat selesaikan!” erang Zhen. “Bunuh saja aku!”

Zhen bergerak lemah, merangkak tak tentu arah. Igo menatapnya dingin, menghunus kembali baton sword dan berdiri di atas Zhen. Aku menatap mereka tegang, tak berkedip saat Igo mengangkat tangan, secepat kilat mengayun senjatanya. Ada kilatan perak. Aku menahan napas. Namun Igo hanya menancapkan benda itu ke tanah di sebelah wajah Zhen.

“Aku bukan penjagal,” katanya, perlahan berbalik meninggalkan Zhen. “Lagipula benda ini tidak tajam, kulitmu pun takkan tergores, jadi tak ada gunanya.”

Zhen terpana, tak percaya dirinya diampuni. Dia mencengkeram tanah seperti orang gila, meraungkan kekalahan. Gemetar, dia bangun lagi, berdiri linglung, bergerak serampangan, dengan liciknya menyerang Igo dari belakang, dan... BUK!

“Pertandingan selesai!” kata Igo, meninju perut Zhen sambil berjalan melewatinya, tanpa menoleh. “Dalam hal ini, kakakmu lebih terhormat darimu.”

Zhen memekik pelan, tak bergerak, entah dia masih mendengar atau tidak. Tubuhnya oleng. Mulanya dia jatuh berlutut, lalu ambruk mencium tanah.

Pasukan gabungan TNI dan polisi berdatangan tak lama kemudian, menginterogasi kami, memeriksa sisa-sisa bunker, menyeret Brewok dan Mandra untuk dikembalikan ke LP. Nusakambangan. Polisi juga menangkap semua anggota Jerangkong yang berkeliaran, meski tadi sempat kebingungan mencari lokasi bunker yang jadi pangkalan rahasianya, karena anak buah Brewok tak bersedia buka mulut. Mereka baru menyadari lokasinya saat melihat ada asap mengepul dari arah hutan, dari gudang yang terbakar. Zhen juga diciduk atas tuduhan percobaan pembunuhan berencana. Kami mengawasi mereka digelandang ke kapal patroli dengan tangan diborgol. Meski berhasil diringkus, Brewok malah tertawa, tak terlihat menyesal sama sekali. Aku menghampirinya, bertanya sesuatu.

"Oi, benarkah kau pernah bertemu ayahku?”

Pria itu hanya tertawa ganjil. “Aku tak ingin menyebut namanya lagi, jadi lupakan saja. Kau harus menemukan jawabannya sendiri.”

Aku menatap pria itu, mencari kebenaran di balik sorot matanya yang misterius, namun tak menemukan apa-apa. Aku menoleh saat pesakitan berikutnya digiring lewat di depanku. Begitu melihat kami, Zhen menyeringai jahat.

“Awas kau, Lutfi! Aku bersumpah akan membuatmu menderita! Lihat saja nanti!” katanya sinis. Aku hendak membalas, namun pintu ruang tahanan kapal terlanjur ditutup. Aku mendengus. Kebetulan aku memang tak ingin melihat wajahnya lagi.

Polisi keheranan setelah mendengar kesaksian kami. Mereka bilang bahwa kami beruntung karena masih hidup setelah menghadapi dua orang napi berbahaya itu. Menurutku juga begitu. Semua pertempuran barusan rasanya seperti mimpi. Sungguh keajaiban kami bisa selamat, lebih karena keberuntungan dan doa yang selalu kupanjatkan. Tuhan memang selalu memihak kebenaran. Aku bahkan tak percaya sudah mengalami ini semua. Rasanya mustahil kami terlibat dalam perkelahian melawan penjahat, seperti di film-film barat saja.

“Ah, kita bertemu lagi, Dik. Sudah kuduga kau akan banyak membantu dalam operasi kami.” Kapten tentara yang lewat menepuk bahuku. Aku mendongak melihat wajahnya.

“Kapten Jojo?”

Pria itu mengangkat topinya. “Saya baru ingat, kamu yang waktu itu jadi juara Kempo di Porprov Jawa Tengah kan? Saya menonton pertandinganmu, lewat rekaman. Kebetulan anak saya kuliah di Unsoed. Gerakanmu bagus, sepertinya kamu cocok jadi aktor laga. Film-film action kan sekarang sedang booming. Atau mungkin suatu saat kamu bisa bergabung dengan TNI. Jika kamu seorang hafidz, Pak Jenderal akan senang sekali menerimamu.”

Pujian itu tidak membuatku bangga.

“Tindakan kami tadi brutal sekali,” kataku. “Harusnya aku tidak ikut campur dengan tugas aparat. Ibu pasti marah kalau tahu aku berkelahi.”

“Itu namanya membela diri Dik, kalian tak salah karena terpaksa melakukan itu. Kami mohon maaf atas keterlambatan kami. Anak buah Brewok membuat kami cukup kewalahan. Kalau kami tiba lebih cepat, mungkin kalian tidak harus menghadapi mereka sendiri. Dan soal harimau Jawa itu, beberapa petugas akan mengembalikan hewan itu ke habitat aslinya.”

Kapten Jojo mengangkat topinya lagi, pergi melanjutkan tugasnya. Nasuti menepuk bahuku. “Perbuatan kita tadi tidak salah, Lutfi. Kita sudah menyelamatkan nyawa seorang teman. Tak mungkin kita diam saja melihat teman kita dianiaya, kan? Lagipula, membela harta pribadi itu hukumnya wajib, sama seperti berjihad. Bahkan Rasulullah beberapa kali berangkat ke medan perang setelah ada perintah angkat senjata. Rasulullah yang biasanya lemah lembut pada semua orang itu, tak segan mengacungkan pedang dan membunuh musuh, karena di medan perang, jika tidak membunuh maka akan terbunuh. Kita juga tak bisa tinggal diam saat ada yang memerangi kita. Kita diperbolehkan melawan, Lutfi.”

“Kejadian tadi membuka mata kita, bahwa dunia tak hanya dipenuhi hal baik saja,” kata Igo. “Dunia juga punya sisi kelam. Kita harus ingat bahwa saudara-saudara kita di Palestina mengalami hal yang jauh lebih parah. Mereka tinggal di medan perang, berbeda dengan kita yang terbiasa hidup damai. Dan jangan berpikir jauh-jauh ke Palestina. Di Indonesia juga banyak hal semacam itu. Kalian sering lihat kan berita kriminal yang hampir setiap hari tayang di televisi? Kejahatan akan selalu ada, bersaing dengan kebaikan, dan sudah tugas kitalah untuk mencegah kemungkaran di bumi ini. Amar makruf nahi munkar.”

“Yah, kita memang babak belur dan memar, yang menang jadi arang dan yang kalah jadi abu,” kata Nasuti. “Tapi aku puas, karena pemenang sejati adalah yang berdiri sampai akhir. Sejak awal aku percaya kau akan menang, Lutfi, bahkan jika aku tidak datang membantu. Kau orang hebat yang bisa merangkul pemuda-pemuda aneh seperti kami. Aku percaya padamu. Kita pasti bisa menyelesaikan perjalanan ini dengan selamat.”

“Ya, terima kasih, Teman-teman,” kataku.

Setelah selesai meringkus semua penjahat, pihak kepolisian berterima kasih pada kami karena telah membantu operasi mereka menangkap para buronan ini. Organisasi Jerangkong sudah hancur, kapal mereka disita berikut isinya yang sebagian sudah hangus terbakar. Polisi juga berjanji akan menghadiahi kami imbalan yang dijanjikan, tapi aku menolaknya. Nasuti dan Igo setuju denganku, meski Nasuti sedikit mengeluh, menelan ludah. Akhirnya, aku menatap kapal patroli itu menjauh dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk.

Setelah semua beres, kami langsung bergegas kembali ke hotel. Setiba di sana, Hana menyambut dengan raut cemas dan membawa kami ke kamar. Setelah Harto membawanya pulang, Inayah langsung dirawat karena kondisinya kritis. Dia tak hentinya merintih dan mengerang-erang. Luka akibat diinjak atau dicambuk tak begitu parah, tapi goresan di lengannya cukup fatal karena menguras darah. Untung saja ada unit PMI dan beberapa orang tim medis yang sedang bertugas di sekitar pulau. Mereka langsung cepat tanggap menangani Inayah. Kami merubung di tempat tidur saat tim medis melakukan transfusi darah.

“Apa ada yang memiliki golongan darah O?” kata dokter.

Tak ada yang menjawab. Semua hanya saling pandang. Aku ingat golongan darahku O. Aku hampir saja mengajukan diri. Kemudian...

“Ambil saja darah saya!” kata Igo, menjulurkan lengannya dan menyingsingkan baju. “Ambil sebanyak apapun yang kalian perlukan. Darah saya O, sampai habispun akan saya berikan!” Igo menoleh menatap kami. “Kalian ingat, Pak Asep menitipkan putrinya padaku, amanah berat yang harus kujaga baik-baik. Akan kulindungi Inayah dengan nyawaku.”

“Oooh, so sweet,” kata Hana, wajahnya teduh. Dia lalu menoleh padaku. “Oh tidak, dahimu berdarah, Lutfi.” Dengan cekatan, tanpa sempat kucegah, Hana mengeluarkan saputangan dan mengelap dahiku. Aku agak malu dilihat banyak orang.

Aku merebahkan diri di kasur, lelah dengan luka-luka fisikku, dan lelah dengan semua keadaan ini. Dokter memberiku perawatan seadanya karena memang lukaku tak terlalu parah. Memar akibat dibanting, kena pukul dan tendang sudah biasa kualami saat latihan beladiri, biasanya dua hari juga baikan. Di sebelahku, Harto tertidur pulas, pasti dia puas karena berhasil mengirim pembunuh orangtuanya kembali ke penjara. Di ruang depan, terdengar suara Igo, Nasuti, Torik dan Muqodas yang membicarakan kebejatan Zhen, yang kini harus mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatan biadabnya. Mereka juga membahas nasib perjalanan kami, apakah akan dilanjutkan atau tidak, mengingat kondisi Inayah yang seperti itu.

“Lutfi bilang dia akan menanggung semua biaya perjalanan,” kata Igo, suaranya terdengar lemah setelah transfusi darah. “Kalian lanjutkan saja perjalanan ini tanpa aku. Aku akan tetap di sini menjaga Inayah. Dia perlu istrahat.”

“Tidak apa-apa, Kang, aku masih sanggup,” terdengar suara lemah. Kami semua menoleh. Inayah sudah sadar, berjalan tertatih dibimbing Hana, sekujur kulitnya dipenuhi plester dan perban. Rasa sakit akibat luka cambukan tampaknya tak seberapa berpengaruh baginya. Di luar dugaan, fisiknya memang kuat melebihi wanita biasa. “Aku mohon, jangan hentikan perjalanan karena aku. Aku masih bisa ikut kok. Luka-luka segini sih tak ada apa-apanya. Aku kan kuat, hehehe.”

Teman-teman hanya tersenyum melihat sikap polosnya. Igo menatapnya iba, lalu berdiri dan mengelus kepalanya. “Maafkan aku, Istriku.”

“Aduduh, sakit Kang. Iya, nggak apa-apa,” Inayah meringis. Igo melepasnya. “Emm, makasih ya Kang, sudah menolong aku dan mati-matian melawan penjahat itu. Maaf, aku memang ceroboh dan selalu merepotkan kalian. Terima kasih juga untuk darahnya, berkat itu, aku...” dia menunduk malu, mengingat bahwa kini darahnya telah bercampur dengan darah Igo. “Dan buat Teman-teman juga, aku merasa sangat berhutang budi pada kalian. Kalau kalian tidakdatang, mungkin aku tidak akan selamat.”

“Sudah, sudah, yang penting kan kamu aman sekarang,” kata Hana, tersenyum. “Dan kalau kamu masih ingin ikut, kusarankan istirahat dulu dua atau tiga hari, karena perjalanan berikutnya sangat berat. Jangan memaksakan diri. Apalagi dengan kondisi seperti itu.”

Hana menoleh menatap Igo, lalu aku dan Harto yang ikut nimbrung setelah puas berbaring pun tak luput dari tatapan keibuannya. Kondisi kami bertiga memang yang paling parah. “Kalian bertiga juga, kenapa sih, suka sekali mencoba hal-hal berisiko? Lihat, kalian sampai luka-luka begitu. Khususnya kamu Harto, jangan kabur lagi seperti waktu di rumah sakit Lampung ya?”

“Ah, aku sih nggak apa-apa, lari keliling pulau seratus kali pun aku sanggup,” Harto sok kuat, tapi langsung mengaduh begitu Nasuti menyikut rusuknya.

“Haah, dasar cowok,” Hana mengusap dahi.

“Aku juga nggak apa-apa kok Mbak. Luka-lukaku tak terlalu parah, agaknya penjahat itu tak serius menyiksaku, lihat!” Inayah menunjukkan tangannya yang diperban. “Saat mereka menyiksaku, aku merasakan keraguan dalam diri mereka, tahu bahwa sebenarnya mereka masih punya kebaikan di dasar hati mereka. Aku tak bisa menyalahkan tindakan mereka, karena hanya orang kurang kasih sayang dan tak bahagia yang rela melakukan kejahatan. Coba kita renungkan, awalnya mereka juga bayi yang lahir tanpa dosa, sama seperti kita. Hanya saja cara mereka dibesarkan lebih keras, sejak kecil ditindas dan dikasari, maka mereka tumbuh jadi sosok pendendam, kejam, dan suka menyakiti orang lain. Menurut psikologi, itu karena mereka ingin membuat orang lain merasakan penderitaan yang sama.”

“Ya, kamu benar, Inayah,” kata Harto. “Awalnya kukira Brewok hanya orang serakah yang gila harta, dan Mandra cuma maniak yang suka bersenang-senang dengan nyawa orang lain. Tapi sebenarnya tidak. Aku tahu itu dari sorot mata mereka. Masa lalu mereka kurang beruntung seperti yang kita dengar. Terutama si Mandra itu, dia kesepian. Mereka punya banyak pilihan, tapi menempuh jalan yang keliru. Itulah kesalahan mereka.”

“Aku pernah baca di suatu jurnal ilmiah, bahwa setiap perbuatan buruk pasti ada alasan positif di baliknya,” kata Torik. “Bisa jadi kita juga sama dengan mereka. Tanpa sadar, mungkin kita sering melakukan dosa kecil, namun menganggapnya wajar dan terus mengulanginya sehingga bisa saja kadar dosa kita sama atau melebihi mereka.”

“Setelah mendengar cerita kalian, kayaknya bandit-bandit itu nggak sejahat itu, ya?” Muqodas nimbrung. “Seolah mereka punya hati nurani, meski cuma secuil sih. Tapi kalau penjahatnya baik, mana seru kan? Lagian, menurutku si Brewok, bos musuh yang kalian lawan itu keren juga. Skill beladiri oke, otak encer, lulusan akademi ternama, anak buah di mana-mana, konglomerat pula. Kurang apa lagi coba?”

“Ih, kok malah memuji musuh sih?” Nasuti menyikutnya.

Hening sejenak, semua menunduk dengan pikiran masing-masing. Igo menatap Inayah saat istrinya curi-curi pandang. Wanita itu langsung menunduk, wajahnya memerah karena tertangkap basah, meringis saat Hana tak sengaja menyenggol lengannya.

“Mereka tidak melakukan apa-apa padamu kan, Ine?” tanya Igo. “Maksudku, kau sampai dibuat terluka parah seperti ini. Tapi selain itu, kau tidak diapa-apakan kan?”

“Aku mengerti maksud Kang Igo,” Inayah menunduk. “Aku selalu berzikir dan berdoa selama disekap. Saat Zhen dan kakaknya hendak berbuat kurang ajar, aku berontak hingga mereka tak sampai menyentuhku lebih jauh. Kang Igo boleh memeriksanya kalau mau.”

“Aduh, jangan bilang begitu dong, malu kan sama yang lain,” Igo menggaruk kepala, menoleh menatap kami yang tersenyum. Dia lalu memegang bahu Inayah, bertanya serius, “Kau dendam pada orang-orang itu? Jawab aku, Ine. Apa kau membenci mereka?”

Inayah menunduk, lalu menjawab, pelan sekali, “Tidak, Kang. Aku bisa memaklumi perlakuan mereka. Rasa sakit yang kualami tak seberapa dibandingkan kepedihan mereka.”

Jawabannya begitu yakin, tanpa keraguan sedikitpun. Kami semua menatapnya iba. Aku sendiri kagum padanya, dan aku tak melihat sedikitpun kebencian di matanya yang polos. Padahal para penjahat itu sudah menyiksanya habis-habisan, namun dia begitu mudah memaafkan mereka. Dia benar-benar bidadari dunia berhati emas. Igo menatapnya haru. Jika saja tidak sedang terluka, Igo pasti sudah menarik Inayah dalam pelukannya.

“Aku beruntung memilikimu, Istriku,” katanya, tersenyum.

Aku terenyuh melihat mereka. Lagi-lagi kisah cinta yang indah. Rumit? Kisah mereka sudah seperti labirin saja. Entah apa yang saat ini kurasakan. Iri? Cemburu? Lihatlah, teman-temanku sungguh beruntung. Aku kagum melihat betapa indahnya kisah Harto dengan Renata. Hatiku tersentuh saat Harto mendengar saranku untuk melamar gadis itu. Sekarang Igo juga menemukan cinta sejatinya, meski sempat terjadi ketidaknyamanan di pihak Ruqoyah yang ternyata juga mengharapkannya. Nasuti, meski kisahnya masih samar-samar, setidaknya dia bercerita bahwa ada seorang gadis yang menunggunya. Torik juga baru saja melamar gadis yang katanya teman dekat kami. Kisah romantisme mereka sungguh membuat hati ini berbunga, sekaligus juga iri karena hanya aku yang masih jomblo. Apa daya, aku hanya bisa mengamati kemesraan mereka sambil gigit jari, duduk manis layaknya penonton, seakan kisah cinta seindah itu hanya rezekinya orang-orang keren saja.

Lalu, mana kisah cintaku? Hei, aku ini tokoh utama, tahu!

*****

Tiga hari berlalu sejak insiden di Raja Ampat. Sambil menunggu pulih, kami menghabiskan waktu dengan bersantai di resort, sambil melihat-lihat hasil video selama perjalanan. Inayah hampir sepenuhnya pulih, meski langkahnya masih terhuyung. Kulihat ia sesekali memegangi perutnya, tempat sepatu Zhen melukainya. Selain itu Igo terlihat lemas dan lebih kurus dari biasanya setelah mendonorkan darahnya pada Inayah.

Kini aku berdiri di haluan kapal, menatap laut. Angin sejuk mengobrak-abrik rambutku. Aku berdiri selama beberapa jam menyaksikan matahari di puncak langit, mengamati pancaran cahayanya yang keemasan menerangi riak lautan seperti ribuan permata, cantik sekaligus memukau. Ketika panasnya menguar dan menghangatkan kulitku, perasaan cemasku berangsur menguap. Aku menarik napas, mendongak dengan semangat dan tersenyum menanti petualangan baru.

Yang perlu kulakukan sekarang hanyalah melupakan kegalauan tak bertepi ini, tak ada gunanya bersedih. Biarlah insiden kemarin kuanggap sebagai angin lalu. Liburan ini tak boleh dirusak suasana duka dan muram. Tinggal satu destinasi lagi yang harus kucapai. Aku menatap jauh ke depan, ketika daratan raksasa membentang di depan mataku, meluas dari sisi ke sisi meski jaraknya masih jauh. Akhirnya kami sampai di tujuan terakhir.

Kami telah tiba di Papua.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Melihat Mimpi Awan Biru
3125      1076     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Koma
15873      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
802      451     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6670      1628     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1912      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2374      833     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5097      1199     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?