Donita tidak dapat tidur nyenyak malam itu. Peluh di dahinya mengucur dan kerah bajunya basah. Cuaca kemarau membikin hawa malam semakin terasa engap. Donita semakin gelisah; meracau tidak karuan.
“Apa yang Dedek lakukan?”
“Gak mungkin!”
“Ahh…”
Nafas Donita tersengal, matanya belum berkedip hampir 1 menit terakhir sejak terkesiap sadar dari mimpinya. Setelah puas memandang kosong ke depan, Donita sengaja melihat ranjang tidur adiknya yang bersebelahan. Pada sekeliling ranjang adiknya, dipasang balok-balok kayu yang menjadi alat untuk menjaga sang adik agar tidak terjatuh.
Betapa terkejut Donita melihat ranjang adiknya yang kosong.
“Dedek ke mana? Dek?” Donita beringsut turun dari tempat tidur, menyingkap gorden kamar sembari berteriak memanggil adiknya.
“Praaang!!!” Suara berisik dari dapur mengalihkan kekhawatiran Donita saat ini, lalu segera menghampiri sumber suara.
“Dedek!!!” Donita memeluk adiknya yang beberapa saat lalu telah memotong ruas jari telunjuk kirinya dengan pisau.
Dengan bersimbah air mata, Donita menyambar ujung kain bajunya dan menyobeknya untuk menutup tangan adiknya yang sudah dilumeri oleh darah yang kental dan banyak. Namun, tidak ada suara menjerit kesakitan atau air mata yang keluar dari mata adiknya yang pucat menghitam di sekitar kantung matanya.
Donita tidak bisa berkata apa-apa saat ini. Air matanya kini semakin deras keluar. Yang hanya bisa dilakukan yaitu memeluk adiknya erat-erat dan melawan rasa takutnya kuat-kuat untuk terus bertahan demi adiknya, Kanya.
Sampai pukul 02.00 dini hari, Donita belum bisa memalingkan wajahnya dari Kanya yang sudah tertidur pulas. Seperti yang pernah dipesan oleh almarhum orang tuanya agar mengikat kaki serta tangan Kanya pada balok tempat tidur. Terutama ketika malam tiba—saat hendak tidur. Tetapi Donita telah menyadari bahwa ia lupa untuk mengikat tangan dan kaki Kanya malam ini. Akhirnya, kali ini Donita lengah sampai-sampai adik tercintanya itu mengiris ruas jari telunjuknya sendiri.
Dengan sisa tenaga yang ada, Donita berusaha berpikir keras bagaimana akan menangani adiknya dengan perilaku-perilaku anehnya tersebut. Ini sudah menjadi hal biasa bagi Donita. Dokter hanya mampu memvonis kalau Kanya menderita kelainan Autisme, yaitu suatu gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak mampu berkomunikasi dan mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu.
Hari semakin pagi, tak terasa Donita tertidur pulas bersandar pada tempat tidur adiknya.
***
Bunyi pada jam beker membangunkan tidur nyenyak Donita. Ini sudah pukul 07.00 pagi. Saatnya melepas tali pengikat pada pergelangan tangan dan kaki Kanya.
“Semoga Dedek gak berulah, ya, hari ini. Kakak sayang Dedek.” Donita mengecup pipi Kanya dengan penuh kasih sayang.
Ini adalah hari Minggu di akhir pekan pertama pada bulan Februari. Perkuliahan libur. Saatnya bagi Joshua, calon suami Donita, datang ke rumah untuk menjemput Donita pergi mencari perlengkapan untuk pernikahan.
“Akhirnya kamu datang juga, Sayang.” Donita memeluk Joshua yang tersenyum semringah.
“Ayo kita berangkat!” Ajak Joshua kepada Donita.
“Aku harus ajak Kanya hari ini. Boleh, ‘kan? Bibi gak bisa datang; sakit flu berat, katanya.” Jelas Donita.
“Gak bisa. Kamu mau buat aku malu dengan tingkah ‘Dedek-mu’ yang aneh itu?” Tegas Joshua dengan matanya yang nanar.
Donita menatap ke arah sepatu sneakers-nya yang berwarna merah muda, sembari menghela nafas.
“Gak bisa, Joshua. Kanya gak bisa aku tinggal sendiri. Semalam dia…”
“Dengar, ya. Sejak awal aku hubungan sama kamu, aku gak pernah sudi lihat ‘Dedek-mu’ yang menjijikan itu ada di hadapan aku. Biarlah setelah nikah nanti kita hidup bahagia. ‘Kan kamu bisa taruh dia di panti asuhan atau rumah sakit jiwa sekalian.” Joshua memotong pembicaraan Donita dan semakin mempertajam tatapan nanarnya.
“Tapi, Jo…”
“Kita batal untuk ke butik hari ini. Tunggu kabar dari aku saja kapan kita akan pergi ke butik.” Joshua membalikkan badannya begitu saja. Sikap dinginnya semakin menjadi-jadi sejak kepergian kedua orang tua Donita. Sebab Joshua merasa bahwa Donita menjadi lebih sibuk mengurus adiknya yang “sakit” ketimbang mengurus hubungannya dengan Joshua.
Setelah mengunci pintu depan rumah, Donita dibuat terkejut saat mendapati Kanya tengah berdiri sambil bersandar pada daun pintu kamar sambil tertawa-tawa melihat kea rah Donita. Anehnya kali ini mulut Kanya penuh dengan darah. Apa yang terjadi?!
“Dek, mulutmu kenapa?” Tanya Donita dengan panik. “Dek, ini kenapa lagi? Kakak udah minta kamu jangan berulah, Dek. Kamu kenapa gak nurut, sih?!” Wajah Donita tampak memelas menyadari nasibnya harus serba kerepotan dengan ulah Kanya yang memang selalu aneh. Tapi tidak seperti biasanya, Kanya yang penurut dan tidak banyak bicara. Sewaktu masih ada Mama dan Papa, Mama rajin membelikan Kanya majalah anak-anak yang isinya penuh dengan gambar kartun dan permainan. Kanya suka dengan gambar-gambar kartun.
Saat Donita tengah mengambil segelas air putih untuk Kanya, terdengar suara Kanya.
“Dia itu Iblis. Harus mati. Kakak harus di sini.” Suara Kanya yang tidak terlalu jelas artikulasinya, sontak membuat Donita terdiam sejenak untuk mendengar apa yang Kanya katakan. Apa maksud dari ucapan Kanya? Donita segera menghiraukannya dan menganggapnya sebagai hal yang tidak penting.
Malam harinya, Donita pergi keluar rumah untuk membeli beberapa persediaan makanan di swalayan. Jarak rumah dengan swalayan cukup jauh, yaitu sekitar 5 – 6 kilometer. Sebelum berangkat, sudah barang tentu Donita mempersiapkan diri agar bisa pergi keluar rumah dengan leluasa. Barang-barang berbahaya dan tajam di rumah sudah dimasukkannya ke dalam lemari yang telah dikunci ganda olehnya, khawatir Kanya akan menggunakannya lagi untuk menyakiti dirinya.
Satu jam berlalu, akhirnya Donita selesai berbelanja di swalayan. Sekitar jarak 50 meter ke arah kanan swalayan, ada sedikit keributan. Ada beberapa pria mabuk dengan botol alkohol di tangannya. Sedangkan pada tubuh-tubuh mereka, terdapat gadis-gadis malam yang sedang merangkul dibalut hanya dengan bikini. Memalukan!
Donita memicingkan matanya. Sungguh lampu yang lumayan berpendar. Hawa malam ini sungguh dingin. Donita merapatkan mantel yang dikenakan. Setelah beberapa saat, Donita semakin tampak mengenali salah satu pria yang tengah mabuk di sana. Joshua!
Air mata Donita pun keluar banyak-banyak. Ini di luar dugaan. Donita segera masuk ke dalm mobilnya. Setelah memasang sabuk pengaman, tangisan Donita terhenti saat melihat di depan ada sosok Kanya dengan pakaian lusuhnya yang sangat kotor, dan rambutnya berantakan. Berada di balik tiang dekat Joshua berada. Mata Kanya tampak marah dan menyeramkan.
“Dedek? Mustahil kamu bisa keluar rumah, Dek?” Donita terheran dengan apa yang dilihatnya.
Sial! Joshua terhuyung-huyung menjauhi kerumunan di sana. Kini ia berjalan sendirian menuju jembatan penyebrangan. Ternyata Kanya mengikuti Joshua dari belakang. Mata Donita terbelalak melihat di tangan kiri Kanya terdapat pisau.
“Kenapa bisa? Pisau di tangan Kanya?” Donita semakin takut dan panik. Tubuhnya sekarang keringat dingin.
Joshua yang berada di tepi jembatan, mengarahkan wajahnya ke arah jurang. Joshua muntah-muntah. Sedangkan di belakangnya tepat ada Kanya dengan pisau teracung. Donita bergegas keluar dari mobilnya da berlari menghampiri Kanya. Ini sangat berbahaya.
“Dedeeekkkkk!!!” Donita berteriak pada Kanya. Tapi, sayang sekali, Kanya tidak mendengar sama sekali.
Joshua membalik badan dan terkejut melihat Kanya di belakangnya. Kanya memukul kepala Joshua. Joshua terjungkal, kehilangan kendali. Tubuh Joshua terhempas, tetapi tangannya masih memegang besi penyangga pada jembatan. Kini Joshua mulai tersadar dari pengaruh alkoholnya.
“Kanya ini aku, Joshua!”
“Mati kamu, Iblis!” Kanya menghantam kepala Joshua dengan pisau.
“Joshuaaaa!!!” Lutut Donita melemas dan tersungkur tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pria yang dicintanya dibunuh oleh adik kesayangannya sendiri dan jatuh ke jurang. Nafas Donita semakin sesak. Impiannya untuk menikah telah hilang. Meskipun beberapa saat Joshua telah menyakiti hatinya dengan berhura-hura dengan gadis jalang.
“Dedek sudah usir Iblis agar kehidupan kita tenang. Kakak gak akan tinggalin dedek. Selamanya bersama dedek.” Tetiba Kanya sudah berada di hadapan Donita.
“Apa yang Dedek lakukan? Kenapa Dedek bisa ada di sini? Joshua itu calon suami Kakak. Kamu kenapa selalu suka merepotkan kehidupan Kakak. Selalu buat Kakak takut dengan keanehan-keanehan yang kamu lakukan, Dek. Kamu itu sakit apa, sih, Dek?” Donita merasa kesal dengan beban hidupnya dan menangis.
“Dedek gak berguna.” Suara Kanya lirih. “Terima kasih Kakak sudah baik sekali mau urus Dedek yang gila ini. Dedek hanya mau Kakak terus bersama Dedek.” Kanya berjalan menuju tepi jurang, tempat di mana Joshua terjatuh.
Donita mengusap air matanya. Aneh melihat bekas pisau yang dipegang Kanya telah berada di ujung lututnya, adapun potongan jari telunjuk. Jari telunjuk? Kanya? Kanya ke mana? Donita berlari ke arah tepi jembatan tempat Joshua terjatuh.
“Dedeeek!!!”
Malam itu ‘kan menjadi terakhir kali Donita melihat calon suaminya dan adik kesayangannya. Donita semakin sakit.