Aysha memandang Alvaro sedih, "Pak, kalau mau bercanda, bukan gini caranya...."
Alvaro membawa Aysha ke dalam pelukan hangatnya, "Saya tidak berbohong, Sha, saya serius."
"Hiks..."
"Pak Alvaro jahat!"
"Hiks... Tega, hiks..."
Tanpa di perintah, airmata gadis itu turun begitu derasnya, ini semua terlalu tiba-tiba.
"Sha, saya mohon, jangan menangis,"
"Hiks.. Bagaimana bisa saya tidak menangis kalau nyatanya Bapak akan tetap pergi ke Jepang?" isak tangis Aysha semakin terdengar pilu, "Lalu, untuk apa Bapak menyatakan cinta Bapak kepada saya kalau nyatanya saya ditinggal pergi dan disuruh menjaga semua janji Bapak?"
"Tapi maaf, Pak, ini semua terlalu menyakitkan untuk saya! Saya memang tidak punya pengalaman dalam hal percintaan, tapi saya masih punya hati yang berfungsi dengan baik, Pak!"
"Apa Bapak kira, saya akan hidup bahagia dengan janji-janji manis Bapak tadi?"
"Apa Bapak kira, Bapak bisa jaga janji itu sendiri?"
"Dan apa Pak Alvaro juga berfikir, bahwa tiga tahun adalah waktu yang sangat lama?!"
"PAK ALVARO JAHAT!!"
"Saya seharusnya mempercayai ucapan sahabat-sahabat saya tadi, kalau Bapak memang bukan pria yang baik!"
"Bapak begitu tega mengucapkan cinta pada saya dan pergi meninggalkan cinta ini begitu saja?"
"Pak Alvaro terlalu menggampangkan segala sesuatu, termasuk tentang cinta!"
"Cinta itu bukanlah perkara yang mudah!"
"Jangan bermain-main dengan cinta, Pak!"
"Kalau memang ingin mencari pelampiasan, jangan datang menemui saya!"
"Ternyata, Pak Alvaro jahat! Hiks..."
Rentetan kalimat yang keluar dari bibir Aysha benar-benar tajam. Layaknya tombak yang menghunus hati Alvaro secara tidak langsung.
Alvaro terdiam, sangat pasrah dengan keadaan ini.
Di pelukan pemuda itu, Aysha terus memukul dada bidang miliknya. Sedikit sakit, namun tidak sesakit apa yang hati mereka rasakan saat ini.
"Kalau Bapak mau pergi, silahkan!"
"Tapi apakah harus meninggalkan luka yang menyakitkan untuk saya? Kenapa harus saya, Pak?"
"Kalau memang nyatanya Pak Alvaro membenci saya, saya tidak akan marah, Pak.."
Alvaro tetap diam, menunggu gadisnya untuk tenang.
"H-hiks.."
Lima menit kemudian, Aysha sudah dapat mengontrol segala emosinya. Tetapi, isak tangisnya tidak hilang, bahkan semakin terdengar menyedihkan.
Alvaro mempererat pelukan mereka, mengusap kepala Aysha penuh dengan kasih sayang.
"Aysha, dengarkan saya. Oke? Jangan disela,"
Mau tak mau, gadis di pelukannya tersebut hanya mengangguk lemah.
"Aysha, yang kamu katakan itu benar. Katakanlah saya orang yang jahat dan pengecut. Tetapi, saya menyatakan cinta ini khusus untuk kamu. Saya akan lebih lega bila menyatakan daripada harus saya tahan selama tiga tahun nantinya. Karena, saya tahu, kamu adalah gadis baik yang dapat menjaga cinta kita ini. Saya tahu, dengan segala emosi yang kamu luapkan tadi, sudah tertebak bahwa kamu membalas cinta saya, 'kan? Jadi, lebih baik saya jujur dan, saya akan kembali secepat mungkin."
"Saya juga akan sering menghubungimu lewat telepon, atau email, jangan khawatir ya?"
Aysha mencerna ucapan Alvaro, ada benarnya juga. Namun, pikiran-pikiran negatif langsung menyergap dirinya. Ia bimbang, tidak tahu harus bagaimana lagi.
Bolehkah ia egois dengan menahan Alvaro agar tidak berangkat ke Jepang?
Atau,
Haruskah ia bertahan menjaga cinta mereka berdua sampai waktu dimana Alvaro kembali lagi?
Mengapa merasakan cinta bisa sesakit ini?
"Pak Alvaro, Aysha sayang, sayang sekali sama kamu.."
***
Suka suka suka sekali sama ceritanya dek<3
Comment on chapter PROLOG