"Hachihhh.."
"Hachihhh.."
"Astagafirullah..badan non Zahra panas..non Zahra sakit ya non?"
Aku terkejut mendapati Bik Imah yang sudah berdiri di belakangku dengan ekspresi khawatirnya.
Ku usap usap hidung Ku yang terasa lembab dan sesak agar dapat memberikan Ku ruang untuk menghirup udara ke dalam rongga hidung dan di salurkan ke dalam tubuh Ku.
"Hhmm..enggak kok, Bik..Zahra gak sakit..cuman hidung Zahra lagi gatal-gatal aja makanya jadi bersin-bersin begini.." Elak Ku menyangkal kekhawatiran Bik Imah.
Yah, saat ini
badan Ku terasa hangat dan tubuh ku meriang menandakan jika saat ini tubuh Ku dalam keadaan yang tidak stabil.
"Non Zahra lebih baik masuk saja..ini hampir sudah 5 jam non Zahra duduk di sini. Apalagi teh ini lagi hujan non..udara menjadi lembab dan penyakit sangat mudah menyerang manusia.
Non Zahra masih kecil, tubuh non masih belum bisa menerima kondisi seperti ini.." Nasihat Bik Imah bermaksud membawa Ku masuk ke dalam rumah.
Benar, mungkin ini hampir sudah 5 jam Ku menunggu Mereka.Tepatnya menunggu kepulangan Abi dan Umi.
Tidak!
Aku bukanlah gadis manja atau cengeng yang tak bisa di tinggal orang tuanya.Akan tetapi, hanya saja..ini mungkin karena Aku yang sudah terbiasa di tinggal Abi dan Umi bekerja..yang terkadang pulang atau tidak membuat Ku menjadi aneh seperti ini.
Berdiam diri di depan pintu dengan kepastian yang belum tentu Ku dapatkan.
Itu saja.
Tapi Aku lega jika melakukannya.
" Non Zahra dari tadi pagi belum makan apa apa..Bibi takut jika non Zahra kenapa napa.." Ucapnya lagi memperjelas kekhawatirannya.
Aku tersenyum, dalam hati menyesali perbuatan bodoh Ku ini kepadanya.Akan tetapi, entah kenapa Aku seperti berharap hal bodoh itu terjadi.
Yah, Aku berharap jika Aku sakit.
"Non Zah-"
"Abi..Umi.." Teriak Ku bersemangat seraya berlari menyambut Mereka di teras.
"Assalamualaikum..sayang.." Salam Abi singkat mengabaikan sambutan Ku seraya berlari masuk ke dalam rumah.Tergesa gesa rupanya.
"Assalamualaikum..Sayang.." Salam Umi seraya meraih puncak kepala Ku dan mengusapnya singkat dan berlalu meninggalkan Ku masuk ke dalam rumah.
"Waalaikumsalam..." Jawab Ku bergumam.
Bik Imah menatap Ku sendu sambil berjalan ke arah Ku.
"Tuan dan Nyonya sepertinya sedang terburu buru non..mungkin karena pekerjaan kantor yang kian menumpuk.." Ucap Umi bermaksud menghapus perasangka Ku.
"Iyah..mungkin." Gumam Ku lemah.
"Ayo non.." Ajak Bik Imah seraya menuntun tubuh Ku untuk melangkah mengikutinya.
Sambil berjalan, Ku lepas tangan Bik Imah dari ujung pundak Ku seraya memberikan tatapan meminta maaf.
Aku tak tau mengapa Aku seperti ini, Aku sakit.
Aku melangkah menuju kamar Abi dan Umi yang terdengar sedang ribut ribut.
"Abi, apakah semua barang barang Annisa sudah siap?" Tanya Umi terdengar khawatir.
"Iya Umi, sudah Abi siapkan.." Jawab Abi terdengar tak kalah khawatir.
"Umi sudah sering katakan jika seharusnya Kita lebih sering menengok Annisa dan Razi..maka kejadian seperti ini tak akan pernah terjadi dua kali.." Ucap Umi terdengar putus asa.
Ku lihat dari balik pintu, Abi menundukan kepalanya. Ia terlihat pasrah.
"Kita tak akan pernah membiarkan ini terjadi lagi.." Ucap Abi mendekati Umi dan memeluknya.
"Abi..janji." Janji Abi kepada Umi yang sudah disambut isak tangis oleh Umi.
Setelah semua keadaan membaik, Aku memberanikan diri untuk masuk ke kamar Mereka dengan bersin Ku yang tidak bisa Ku hentikan dan terus saja keluar.
"Umi..Abi.." Panggil Ku bermaksud memberitahu Mereka keadaan Ku saat ini.
"Iya, sayang.."
"Zahra rasa-"
"Apakah semua dokumen untuk meeting besok sudah siap?" Tanya Umi kepada Abi.
"Iya, semua sudah siap.."
"Kenapa Sayang?" Tanya Umi kepada Ku.
"Umi..Zahra-"
Terdddd...
Terdddd..
tiba tiba Hand Phone Umi berdering menandakan ada panggilan masuk.
"Hallo..Assalamualaikum.."
"Oh, iya..bagaimana keadaannya sekarang?"
"Astagafirullah..Annisa di larikan ke Rumah Sakit?"
"Baik..baik Kami akan segera berangkat..iya waalaikumsalam." Tutup Umi terdengar sangat khawatir.
"Abi, ayo Kita berangkat sekarang..Umi takut.."
"Iya..ayo..
Tenangkanlah dirimu dahulu agar Kita bisa selamat sampai tujuan.." Hibur Abi seraya membawa tubuh Umi ke dalam pelukannya.
Aku memilih diam melihat pemandangan ini, Aku bingung ada apa dengan semua ini?
Umi menangis dalam pelukan Abi dengan bibir lembut Umi yang terus saja membisikan nama Kak Annisa.
Kak Annisa?
Ada apa dengan Kak Annisa?
Mengapa Umi bisa menangis seperti ini sambil menyebut nama Kak Annisa?
Apa yang telah Kak Annisa lakukan kepada Umi?
"Umi.." Panggil Ku dengan suara lemah karena kondisi tubuh Ku yang Ku rasa semakin tidak stabil saja.
Ku dekati Umi dan Abi dengan langkah pelan, mungkin karena berat badan Ku yang belum bisa Ku imbangi saat ini.
"Umi..Kepala Zah-"
"Ayo Abi, kasihan Annisa di sana menunggu Kita. Pasti saat ini Ia sedang ketakutan karena hanya mendapati Razi di sisinya.." Ajak Umi seraya mengambil barang barang yang telah di kemasnya.
"Zahra..sama Bik Imah dulu ya nak..jangan nakal dan dengarkan perkataan Bik Imah.." Nasihat Umi seraya mengecup puncak kepalaku dengan lembut.
Ah..
Aku rindu belaian ini.
"Abi pergi ya sayang.." Pamit Abi sambil mengusap puncak kepala Ku ringan.
Abi dan Umi berlalu meninggalkan Ku sendiri di sini.
Aku merasa sedih dan kesepian.
Tapi entah mengapa setiap Aku berniat mengungkapkannya selalu saja ada halangan yang berdatangan.
Aku kecewa.
Selalu saja berakhir seperti ini.
"Umi..Abi.." Panggil Ku lemah.
Tanpa Ku sadari cairan hangat mengalir lembut dari pipi Ku.
"Badan Zahra sakit.."
"Kepala Zahra juga pusing.."
Mengapa Kalian tak bisa
merasakannya?.
"Non..Non..Non Zahra.." Sayup sayup Ku dengar suara Bik Imah memanggil Ku.
Terdengar khawatir.
"Non..Non Zahra bangun Non.." Panggilnya lagi terdengar lebih khawatir dari yang tadi.
Penglihatan Ku buram, Aku tak bisa melihat dengan jelas.
Kelopak mata Ku terasa berat untuk Ku angkat.
Yah, sangat berat.
Dan semuanya menjadi gelap.
***
"Umi..Abi.." Teriak Ku tanpa sadar.
Ku lihat sekeliling, oh ternyata Aku hanya bermimpi.
Mimpi buruk.
Eh?
Tapi dimana ini?
Ini bukan pondok pesantren itu.
Lalu dimana ini?
Ruangan luas tanpa ujung dengan nuansa putih putih.
Lho?
Dimana seragam SMA Ku?
Bukankah sebelum tidur Aku masih mengenakannya?
Mengapa Aku menggunakan baju aneh ini?
Hem..
Jika Ku ingat ingat baju ini sangat sering digunakan Umi dan Annisa saat di rumah.
Oh, yah..daster!!
Baju Emak Emak!
Tapi, mengapa semuanya jadi sangat aneh seperti ini?.
Saat Aku berdiri dari posisi Ku saat ini bermaksud untuk mencari jalan keluar, tiba tiba jauh di depan Ku berdiri Andrini dan Latifa yang sudah memasang ekspresi tidak suka. Menurut Ku.
"Ann?"
"Latifa?"
"Kalian berdua juga ada di sini?" Tanya Ku antusias sambil berjalan mendekati Mereka berdua.
"Jangan dekati Kami Zahra!" Teriak Andrini dengan wajah penuh kemarahan.
Mendengar teriakan Andrini yang sangat menggelegar membuat langkah Ku terhenti.
"Kenapa?" Tanya Ku takut.
"Karena Kami tak ingin berteman dengan seorang PEMBUNUH!!!" Jawab Latifa dengan eksperesi membunuh nya.
Deg!
Apa ini?
Aku pembunuh?
Mereka bilang Aku pembunuh?
Tapi kenapa?
"Bagaimana bisa Kalian berbicara seperti it-"
"Alvin!"
"Cukup Alvin yang menjadi korban keserakahan Mu Zahra!"
"Apa?" Tanya Ku tak mengerti.
"Tidak!
Kalian hanya salah paham!" Teriak Ku berlari mengejar Andrini dan Latifa yang entah mengapa jaraknya semakin jauh dan sangat sulit untuk Ku kejar.
"Tidak!!
Aku bukan pembunuh.
Tolong, tolong dengarkanlah penjelasan Ku. Kalian tak akan pernah mengerti jika Kalian tak mendengarkan Ku!" Ucap Ku terisak.
Aku memohon, agar Mereka mau mendengarkan Ku. Akan tetapi bukannya mengiyakan permohonan Ku, Mereka justru menjauhi Ku. Hilang dari pandangan Ku.
Bagaimana ini?
Mereka pasti akan selalu berpikir jika Aku adalah seorang pembunuh, jika tak mendengarkan penjelasan Ku.
Aku takut.
"Zahra.." Panggil seseorang yang sangat sudah tidak asing lagi bagi Ku.
Fia?
Benarkah itu Dia?
Yah, tidak salah lagi. Itu adalah Fia, sahabat Ku.
"Fi-"
"Jangan pernah berpikir jika Kau adalah sahabat Ku!" Potong Fia dengan ekspresi dinginnya.
Apa?
Mengapa Ia menjadi sangat aneh seperti ini, bagaimana bisa Fia mengatakan hal bodoh seperti ini setelah semua yang telah Kami lalui bersama.
"Apa maksud Mu,Fi-"
"Tentu saja!
setelah semua yang Kau lakukan kepada Mereka, bagaimana bisa Aku masih menyebut Mu sahabat?"
"Mereka?"
"Jangan mendekat!"
"Aku merasa jijik jika Kau dekati!" Ucap Fia seraya berjalan menjauhi Ku.
"Tidak, Fi!"
"Apa maksud Mu dengan Mereka?" Tanya Ku berteriak.
Namun Fia semakin menjauh dari pandangan Ku dan hilang.
"Fia!"
"Fia!"
"Fiaaaa!"
Tolong jelaskan pada Ku, "Mereka"?
Siapa " Mereka ", Fi?
Apa maksud Mu dengan Mereka.
"Zahra.." Panggil seseorang sambil menyentuh pundak Ku lembut.
"Fira?"
"Dengarkan Mereka."
"Maksud Mu?"
"Mereka tak membutuhkan Mu!"
"Apa yang Kau bicarakan?"
"Jangan dekati Mereka, jika Kau dekati maka Mereka akan terluka oleh Mu."
"Aku sungguh tak mengerti!"
"Jangan berbuat bodoh lagi Zahra! sudahi semua kebodohan ini!" Ucap Fira dingin seraya menjauh dari pandangan Ku.
Oh, Tuhan!!!
Apa apaan semua ini?
Mengapa Mereka semua mengatakan hal yang sangat tidak Ku mengerti.
Bingung!
Aku bingung, apa yang harus Aku lakukan?
Saat Aku ingin menjelaskan semuanya mengapa Mereka semua menjauh?
Bukankah yang Mereka inginkan adalah sebuah kebenaran?
Lalu, mengapa saat Aku ingin mengatakan semuanya Mereka malah menjauh!
Ada apa ini?
"Zahra.."
Benarkah?
Benarkah ini Umi?
Ini adalah suara Umi!
Sungguh Aku tidak berbohong.
Ini adalah suara Umi.
Dimana?
Dimana Dia?
Aku merindukannya. Aku sangat merindukannya.
"Umi?"
Ternyata memang benar suara itu adalah suara Umi.
"Zahra.."
"Umi..Zahra merindukan Mu, Umi..Zahra takut di sin-"
"Ini salah Mu, nak." Ucap Umi memotong ucapan Ku.
Deg!
hah?
Apakah Aku salah dengar?
Tidak!
Dia Umi Ku.
Ia tak akan sejahat itu mengatakan hal kejam seperti ini.
Yah, benar.
Mungkin Aku yang salah dengar.
"Umi..
Zahra tidak-"
"Mengertilah sayang.."
"Mereka tidak pernah menyakiti Mu, tapi Kau lah yang menyakiti Mereka semua nak..Karena Kau terlalu egois..ZAHRA." Potong Umi seraya berlalu meninggalkan Ku sendiri yang masih tak percaya dengan apa yang Umi ucapkan.
"Aku?"
"Semua ini adalah salah Ku?"
Entahlah, alur kehidupan apa sebenarnya yang Ku lalui ini.
Mengapa sang pencipta senang sekali mempermainkan hidup Ku di dunia ini.
Sungguh, sebuah lelucon yang buruk.
"Zahra.." Panggil seorang pemuda dari kejauhan.
Ia melambaikan tangannya kepada Ku, seperti meminta perhatian Ku.
Ku lihat sosok pemuda tersebut yang semakin lama Ku lihat Ia semakin jelas.
Deg.
Alif?
Benarkah itu Alif?
Ia masih seperti biasa, tampan.
Aku memberanikan diri untuk berjalan mendekatinya, namun belum beberapa langkah saja tiba tiba langkah Ku terhenti.
Yah, ternyata ada gadis lain di samping Alif.
Siapa?
Siapa Dia?
Annisa?
Sungguh?
Itu benar benar Annisa.
Tik
Tik
Aku menangis!
Penderitaan ini sungguh menyakiti Ku.
Aku sakit!
Apa ini?
Apa ini Tuhan?
Cukup!
Aku tak ingin bertemu yang lain lagi!
Hentikan semua ini, Aku tak ingin mendengarkan perkataan yang lain lagi.
Ini sakit.
Ini sangat sakit!
Aku takut!
Aku takut mendengar hal buruk yang lain lagi, yah Aku takut.
Tolong!
Tolong siapa pun yang ada di sini katakanlah kepada Ku sebenarnya apa yang terjadi di tempat aneh ini?
Tolong keluar kan Aku dari tempat ini!.
"Zahra.."
Tiba tiba suara yang terdengar cukup berat dan menenangkan bergema di tempat ini.
"Kenapa Kau tak melangkah lagi, Zahra?" Tanya suara tersebut tanpa merespon keterkejutan Ku.
"Siapa?" Tanya Ku takut takut.
"Melangkahlah Zahra."
"Tidak! Aku tidak mau!
Aku takut!"
"Melangkahlah Zahra, Kau tak perlu takut."
"Tidak!
Kau tak akan mengerti!. Jika Aku melangkah satu langkah saja maka pasti akan ada yang terluka, dan Aku tak ingin melukai siapa pun lagi."
"Melangkahlah Zahra, Kau tak perlu takut."
"Aku takut."
"Semuanya sangat menakutkan bagi Ku."
"Melangkahlah.."
"Tidak!"
"Tidak!!"
"Tidak!!!"
Brakkk
"Aaww..sakit." Ucap Ku mengaduh kesakitan karena mendapati kepala Ku yang terbentur tembok di sisi kasur Ku.
Oh, itu ternyata hanya mimpi.
Mimpi dalam mimpi, yah?
Tapi, mengapa rasanya sangat sakit.
Masih sangat terasa, sampai saat ini.
Tik
Tik
Aku menangis?
Terserah!
Aku tak perduli lagi, yang Aku tau ini sangat sakit. Aku tak sanggup menyembunyikannya, terlalu sakit untuk Ku tahan.
"Mbak Zahra.." Panggil seseorang seraya memeluk Ku erat.
Aku sangat terkejut mendapatkan pergerakan ini yang secara tiba tiba menyerang Ku.
Siapa gadis yang memeluk Ku ini?
"Mbak Zahra..hiks..hiks.."
Dia menangis?
Dia menangis sambil memeluk Ku??
Apakah Ia menangis untuk Ku?
Dan suara ini seperti tidak asing..?
Aku beringsut menegak kan posisi duduk Ku lebih nyaman lagi seraya mencoba melihat siapa gadis ini.
Oh, ternyata Dia.
Marwah!
Gadis aneh yang selalu mendekati Ku selama seharian ini, Ia selalu bertanya apa yang Ku butuh kan dan Ku keluhkan di tempat ini.
Aneh!
Tapi, bukan kah itu wajar?
Yah, secara kan Aku ini anak baru di tempat ini. So, sudah pasti Aku akan banyak bertanya dan kebingungan dengan tempat ini.
Yah, Dia benar.
Aku masih belum mengenal tempat ini, jadi jelas saja Ia mendekati Ku.
"Mbak Zahra..hiks..hiks.." Panggil Marwah sambil mengeratkan pelukannya pada pinggang Ku.
"Ada apa?" TanyaKu kebingungan melihat sikapnya yang aneh ini.
Ia tak menjawab pertanyaan Ku dan masih terdengar menangis.
"Sesak." Ucap Ku bersuara karena merasa sulit bernafas.
"Hah.." Respon Marwah masih belum mengerti dengan apa yang telah Aku ucapkan.
"Aku tidak bisa bernafas.." Jawab Ku jujur.
Ku rasakan jika tubuhnya sedikit berjenggit dan bergerak melepaskan pelukannya dari Ku.
Hah..akhirnya Aku bisa bernafas dengan lancar.
"Maaf, mbak." Mohonnya tak berani menatap Ku.
Aku terdiam mendengar permintaan maafnya.Ini aneh, kenapa Aku merasa jika permintaan maaf gadis ini terdengar sangat tulus di pendengaran Ku?
Benar, Dia adalah orang ke dua yang meminta maaf terdengar sangat tulus di pendengaran Ku setelah Fia.
Saat itu, Aku masih mengingatnya.Permintaan maaf dan suara tangisannya yang Ku anggap palsu ternyata adalah bukti sebuah kebenaran.
Fia dan Alif adalah satu keluarga.
Bodohnya Aku saat itu tak mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu dan menyimpulkan bahwa Mereka berdua mempunyai hubungan. Sekali lagi, Aku kehilangan orang orang yang Ku sayang.
Akan tetapi mengapa Ia tak pernah menceritakan kepada Ku bahwa Ia dan Alif adalah keluarga?
Dan juga Fia pernah mengatakan dimalam itu jika kehidupan nya sehari hari memamg menggunakan pakaian seperti yang digunakan Annisa dan Umi di rumah.
Tapi, Aku memilih tak percaya dan menganggapnya pembohong malam itu.
Yah, dan sekarang Ia pergi meninggalkan Aku.
Ia pergi setelah identitasnya Ku ketahui. Mengapa selama ini Ia menyembunyikan identitas aslinya dari Ku?
Rahasia apa yang sebenarnya di sembunyikan.?
Heh..
Selalu saja seperti ini.
Berakhir kehilangan karena kecerobohan Ku sendiri.
"Badan Mbak Zahra terasa hangat, Mbak Zahra sakit yah?" Tanya Marwah membuyarkan lamunan Ku.
"Sakit?" Tanya Ku seraya meraba raba badan Ku yang memang terasa hangat.
Mengapa Aku tak menyadarinya sedari tadi? padahal yang punya tubuh ini kan Aku.Seharusnya si pemilik tubuh lah yang menyadarinya duluan daripada orang lain.
hem..
Zahra..Zahra..
"Em..mungkin ini cuma masuk angin biasa.." Jawab Ku menjawab pertanyaan Marwah seadanya.
"Tapi ini teh de-"
"Cuma masuk angin biasa!" Ucap Ku memotong ucapan Marwah guna menegaskan ucapan Ku.
Marwah terlihat diam.
Terasa canggung.
"Eh..ini jam berapa yah?" Tanya Ku mencairkan suasana.
Ia melihat Ku dengan ekspresi aneh dan bergerak mengambil sesuatu dari bawah bantalnya.
BUSETTT!!!!
Ini anak sehat gak sih?
serius nih?
Dia nyimpan jam dinding segedek koper di bawah bantalnya.?
Gak salah nih?
Itu kan jam dinding kenapa gak di gantung di dinding aja?
Tapi kok malah di simpan bawah bantal??
"Ini jam 2.17 menit Mbak..bentar lagi Kita masuk waktu sholat tahajjut.." Ucap nya dengan wajah yang sambangi senyum merekah.
Ia seperti bisa membaca pikiran Ku dan mengatakan "Ini tidak masalah.." atau "Ini bukan hal yang salah.." dengan senyum yang Ia berikan kepada Ku.
Ho..ho..tampaknya otak Ku mulai geser!
"Oh.." Respon Ku singkat.
Sholat tahajjut?
Hah, gak dirumah gak di sini toh sama saja.Aneh.
"Ao.." Pekik Ku merasa sakit.
Yah, seperti ada sebuah tinjuan keras yang menghantam isi perut Ku.Terasa berdenyut dan sangat sakit.
Ku raba perut Ku yang terasa sakit, mungkin saja bisa meredakan sakitnya.
"Astagafirullah..Mbak Zahra kenapa?" Teriak Marwah histeris dan membuat anak anak yang lain terbangun dari tidur Mereka.
ASTAGA!!!
Kok ini anak lama lama ngeselin juga yah, duh mana ni tangan gatal banget yah pengen ninju muka si Marw-
Ao!
Sakit!
Perut Ku semakin terasa sakit.
Tiba tiba lampu dinyalakan dan beberapa anak yang terbangun langsung bergerak ke arah kasur Ku.
Tergambar jelas ada ekspresi kekhawatiran yang terlukis di wajah Mereka.
"Astagafirullah..Zahra Kamu teh kenapa?" Tanya Kaila.
Aku meringis menahan sakit yang mendera perut Ku.Ku ukirkan senyum yang sangat jelas terlihat dipaksakan.
"Aku enggak apa apa kok.." Jawab Ku seadanya.
"Gak apa apa gimana? wajah Kamu teh pucat pisan.." Jelas Kaila terdengar sangat khawatir.
"Gak apa apa kok, Marwah..anterin Aku ke kamar mandi yuk.." Putus Ku tak mau terdesak lagi.
Ku tarik tangan Marwah untuk keluar dari kamar ini, yah di sini memang tak di sediakan kamar mandi khusus di setiap kamar.
Akan tetapi justru kamar mandi di khususkan di luar kamar.
"Aku?" Ucap Marwah terdengar seperti bertanya di telinga Ku.
Aku menoleh menghadapnya Sambil mengernyitkan kedua alis Ku.
"Mbak Zahra teh terdengar berbeda kalo pakek 'Aku' " Jelasnya terlihat bahagia.
Aku menyipitkan mata Ku, berpikir lama hingga akhirnya Ku sadari jika sedari tadi Aku melakukannya.
"Oh..Gue...Ao..sakit! perut Aku sakit!" Ringis Ku sambil memeluk perut Ku erat.
"Astagafirullah..Mbak Zahra teh baik baik saja?" Tanya Marwah terdengar khawatir seraya menyentuh pundak Ku gemetar.
"Enggak..Aku enggak apa apa.." Jawab Ku singkat seraya masuk ke dalam kamar mandi karena kebetulan Kami telah sampai di depan kamar mandi.
Setelah sampai kamar mandi, Ku tutup pintu itu kuat.
Aku merebahkan tubuh Ku di atas dinginnya lantai sambil bersandar disisi pintu.
"Sakit.."
Ringis Ku kesakitan.
Apakah ini adalah akhir dari hidup Ku?
Mungkinkah Tuhan sudah bosan melihat tingkah Ku yang sangat tak bisa di toleransi?
Aku takut!
Aku takut meninggalkan dunia ini di saat semua yang Ku perbuat telah menyakiti Mereka semua.
Akan tetapi, jika dengan begini Mereka bisa memaafkan Ku maka Aku rela pergi.
Jika ini bisa membuat Mereka bahagia, Aku rela.
Jika dengan begini Mereka akan menyadari semua kesalahan Mereka di masa lalu kepada Ku, maka Aku ikhlas.
"Umi..Zahra sayang sama Umi."
"Zahra minta maaf jika Zahra selalu membuat Umi menangis.Tapi Zahra berbuat bodoh seperti ini karena Zahra mau membuat Umi menyadari nya! menyadari kesalahan kecil yang membuat Zahra harus seperti ini...Zahra sakit."
Jujur, Aku menyesali semua kesalahan Ku sebagai seorang anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Akan tetapi, jika saja Mereka menyadarinya sedari awal maka Aku akan menjadi seperti yang Mereka inginkan. Dan bukan menjadi Zahra yang Kalian benci.
"Mbak Zahra?" Panggil Marwah.
Sakit!
Tubuh Ku seraya di hantam bermacam macam benda. Ini sakit.
"Mbak..Mbak Zahra baik baik saja kan?" Tanya nya terdengar khawatir lagi.
"Saaakkkiittt!!!" Teriak Ku spontan karena tak dapat menahan rasa sakit yang kian menggerogoti tubuh Ku.
"Mbak..Mbak Zahra buka Mbak..buka Mbak.." Teriak Marwah terdengar menangis dari luar.
Cih...
mengapa Ia sangat cengeng?
"Mbak Zahra buka Mbak.." Isak nya lagi lebih keras.
Entahlah, saat ini Aku benar benar tak perduli.Rasanya tubuh Ku memang sudah saat nya istirahat.
Sudah saatnya pulang.
Penglihatan Ku buram, tak begitu jelas.
Nafas Ku naik turun tak karuan.Cukup membuat aku menangis.
Ahhh..mungkin ini sudah saatnya.
"Gus..Gus Fansyah tolong Zahra Gus.." Teriak Marwa Ku dengar sayup sayup.
"Zahra?"
"Zahra di da-"
Alif?
Hahaha..bodoh sekali Kamu Zahra. Di saat seperti ini Kamu masih memikirkan Dia, dasar bodoh.
Itu mustahil.
Itu hanya halunasi belaka Mu saja Zahra.
"Zahra..tolong menying-"
Ah, kelopak mataKu terasa berat.
Sial.
Aku sudah tak kuat.
Gelap.
BERSAMBUNG...
Tetap lanjut kok, ditunggu aja yah
Comment on chapter Lembar baru, tinta hitam