13 Oktober 2015, Jalan Handimuka di Ujung Barat
Hujan yang mengguyur bumi sore itu mengiringi langkah lari Devon, Nanzo, Revi dan Taki. Percikan air dari langkah mereka dimanfaatkan untuk saling membasahi satu sama lain sehingga gelak tawa dan teriakan protes mengalahkan suara derasnya hujan. Keadaan jalanan yang cukup sepi dan lalu lalang mobil yang jarang, membuat mereka leluasa berlari lebih kencang.
“Yang paling telat sampai tempat karaoke, berarti dia yang harus bayar.” Sahut Nanzo berteriak. Lalu mengambil ancang-ancang dan langsung berlari tanpa minta persetujuan dengan yang lain.
“Curang lo, nggak bisa gitu.”Balas Taki berteriak namun tetap mengikuti permainan Nanzo.
Devon dan Revi yang tertinggal paling belakang berhenti berlari. Mengatur napas sambil membungkukan badan. “Gila…kalau gini…sa..lah satu dari kita bakal..kalah.” Keluh Revi di tengah napasnya yang tersengal-sengal.
Devon tersenyum geli. Walaupun suasana tubuhnya bercampur tidak jelas, antara kepanasan dan kedinginan dia tetap menikmati kebebasan sore ini setelah berkutat dengan soal-soal ujian tengah semester. “Sialan emang si Nanzo… mentang-mentang…atlit lari, taruhannya malah lomba lari.Dia pasti lagi manfaatin gue.”
Revi menepuk punggung Devon, “Sepupu lo jago lari, tapi lo belet banget.” Setelah udara mengalir lancar di tenggorokkanya, Revi kembali menegakkan badannya.“Gue duluan ya.Lo siap-siap tekor hari ini.”
Devon mendengus pasrah. Dadanya masih naik turun heboh menandakan napasnya yang belum beraturan.“Enak aja, gue nggak akan nyerah!”Sahutnya kencang sambil mengambil ancang-ancang dan mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mengejar tiga sahabatnya yang nyaris hilang dari pandangan.
***
13 Oktober 2015, Jalan Handimuka di Ujung Timur.
“Gue nggak mau kebasahan. Nggak mau..nggak mau..Ahhh…Mora yang bener dong pegang payungnya.” Protes Cecil. Suara cemprengnya nyaris menghancurkan gendang telinga Mora dan mengalahkan derasnya suara hujan. Mora menghentikan langkah mendadak dengan hentakan yang cukup membangkitkan percikan air menggapai rok abu Cecil.
“Cil, kalau lagi hujan pasti kebasahan meskipun kita pake payung.Lagian nih payung kecil banget.”Balas Mora. Dia berusaha memecahkan pula gendang telinga sobatnya itu namun suaranya yang serak tidak menjanjikan hal itu.
Cecil terperangah menatap rok abunya yang dipenuhi bercak-bercak coklat.“Rok gue baru dicuci kemarin.”Rengeknya.
“Lo setiap hari ganti rok ya, Cil?”Ambar membenarkan batang kacamata yang melorot di hidungnya. Mata di balik kacamata bulat itu menatap Cecil menyelidik sangat dalam seolah menunggu jawaban dari seorang kriminal. Ditambah nada suaranya yang datar tanpa ada tanjakan atau turunan.
“Pasti dia langsung mandi susu setelah kehujanan kayak gini.” Suara berat Ola menyelinap di tengah derasnya hujan. Sebelah tangannya menggantung di atas pundak Ambar. Posisi ternyamannya namun tidak bagi Ambar.
Mora tersenyum jahil. Senyuman yang langsung memunculkan sinyal bahaya di otak Ambar. Cewek itu bahkan semakin merapatkan tubuhnya ke Ola. Melihat perhatian Cecil yang tak lepas dari roknya yang kotor, Mora langsung menarik payung ke arah dirinya. Memberi jalan bagi kucuran air dari atap yang tepat berada di atas Cecil menghantam rambut panjang di bawahnya. “Ahhh..Mora! Gue baru dari salon kemarin!!!!”
Gelak tawa Mora yang disusul oleh tawa berat Ola dan disertai cekikikan Ambar tidak hanya mengalahkan derasnya suara hujan tapi juga mengalahkan rengekan cempreng super dahsyat Cecil.
***
13 Oktober 2015, Amore Karaoke
“SMA Winayasa.” Bisik Cecil di telinga Mora.
Mora yang sedang merapihkan rambut keritingnya, mendongakan kepala, mengikuti arah pandang Cecil ke tiga cowok yang bergiliran mengeringkan rambut dengan handuk. Air menetes dari kemeja biru muda dan celana hitam mereka. Perpaduan dua warna seragam SMA Winayasa—SMA terfavorit di Bandung. Tak berapa lama, seorang cowok berambut spike muncul. Napasnya yang tak beraturan dan wajahnya yang memerah mengundang gelak tawa tiga cowok itu.Terdengar kata kalah dan traktir menghujani cowok itu yang dibalas dengan gerutuan protes.
“Kita nggak punya handuk kecil. Rambut gue basah banget.”Keluhan Cecil membawa kembali Mora ke teman-temannya. Ambar dan Ola yang duduk di sampingnya kompak menggeleng.Mora bergeming sesaat lalu celingak celinguk mencari seseorang yang biasanya bertengger di bagian kasir.
“Kak Vino!” Nama orang yang dicarinya itu dipanggil oleh cowok berambut spike tadi. Vino yang berperawakan gempal muncul dari dalam menghampiri empat cowok itu. Mereka dan Vino saling bergiliran bersalaman.
“Ada handuk lagi nggak? Gue ogah bekas pake yang mereka.” Protes cowok berambut spike itu.
Mora menaikkan sebelah alisnya, memandang remeh cowok itu dan cap cowok super manja langsung tercetus begitu saja saat melihat peringai cowok itu. Nama Devon Enggal Putranto tercetak dengan huruf besar di kemeja birunya.
“Iya ada ko. Tunggu dulu.”
Mora menangkap nada penuh keakraban di jawaban Vino untuk cowok itu. Mendengar Cecil yang masih bergurutu tentang handuk, dia bergegas mendekati Vino sebelum kembali ke dalam. “Kak Vino!”
Empat cowok itu kompak menoleh ke arahnya.
“Aku juga mau, dua handuk aja Kak.”
“Hai Mora, oke tunggu.” Balas Vino tak kalah akrab.
Melihat karaoke semakin dipadati pengunjung, Mora kembali menghentikan Vino. ”Kak, ada yang kosong kan?”
“Ada ko. Kamu mau pes-- .”
“Tunggu Kak, gue juga mau.” Devon menyela sambil melangkah lalu mengambil posisi di antara Mora dan Vino.
Mora mengernyit. Cowok sawo matang itu semakin menyebalkan, tidak hanya manja tapi tidak menunjukan kesopanan sedikit pun. Vino menggigit bibir bawahnya. Raut ketakutan yang tercetak di wajahnya membuat Devon langsung mengerti arti ekspresi wajah tembam itu.“Tinggal satu?”
Vino mengangguk takut.
Devon menghela napas.“Itu punya gue!”Tandasnya.
Mora mengerjap. Tanpa pikir panjang, dia mendorong kasar sosok tinggi di depannya. “Enak aja!Gue yang duluan ngomong!”
Devon membalikkan badannya. Tak menyangka ada orang yang berani memperlakukannya sekasar ini. Mata bulat berbulu mata lentik itu menyorotinya tajam, membuat Devon tersihir sesaat sebelum dia menyadari betapa ngerinya ekspresi cewek itu di balik wajah tirusnya.
Devon memendekkan jaraknya. Balas menatap dengan penuh intimidasi namun tatapan mata bulat itu lebih mengintimidasinya sehingga dia harus menahan napasnya sesaat sambil menelusuri setiap detail cantik di wajah itu.
“Kakek gue yang punya karaoke ini!”Semburnya setelah berhasil menguasai diri.
“So?” Balas Mora penuh tantangan. Kedua tangannya bertengger gagah di pinggangnya.
“Ya..jadi gue yang punya kekuasaan di sini!”
“Yang punya tempat ini kakek lo. Bukan lo. Jangan jadi orang yang seenaknya.”Tekanan penuh terdengar jelas di setiap kalimat itu. Rambut keriting Mora bergoyang-goyang saking kuatnya dia melontarkan kalimat itu.
Devon menggerakan telunjuknya.“Denger ya! Tempat ini sepenuhnya milik gue, karena ini bakal jadi warisan buat gue!” Air bertetesan dari sela-sela rambut Devon yang semakin menambah ketegangan wajah oval itu.
“Baru bakal. Berarti belum! Dasar cowok manja!”
Tiga kata terakhir mengundang gelak tawa Nanzo, Revi dan Taki seolah sedang menjawab kebenaran dari tiga kata terakhir itu.
“Cewek barbar!”
Mora menghentakan kakinya. “Gue emang barbar tapi gue nggak manja kayak lo. Itu lebih baik daripada menggunakan kekuasaan keluarga buat berlaku sewenang-wenang.” Tangannya langsung terangkat, menginterupsi Devon yang hendak bernafsu membalasnya. “Karena gue yakin lo nggak bakal mau ngalah, jadi…” Mora melipat tangannya di dada sambil meniupkan napas kuat-kuat.“Kita taruhan!”
Devon mengangguk penuh semangat bahkan tanpa sadar dia menaikkan lengan kemejanya seolah akan bertarung. Mora tak kuasa menahan senyum menggelikan melihat tingkah cowok itu.
“Kita taruhan lari di luar sana!” Tandas Mora.
Refleks, aksi sok hebat Devon terhenti. Terdengar cekikikan dari tiga sobatnya yang seolah memperingatkan kalau dia baru saja kalah taruhan lari.
“Cewek sih, tapi nyalinya gede banget.” Bisik Taki.
“Lo yakin mau ngalahin dia? Dia hentakin kaki aja tempat karaoke ini langsung bergetar.”Giliran Revi membisikkan kalimat yang menurunkan nyali Devon.
“Ya udah gue aja yang lari, kecuali kalau lo pengen duit lo aman.”Bisikan Nanzo setidaknya membantu tapi dibaliknya penuh dengan penghinaan.
Devon mengibaskan tangannya ke kiri dan kanan, menghalau bisikan tiga sobatnya yang tidak berguna. Dia boleh kalah lari dari si sepupunya yang atlit lari nasional itu tapi tidak dengan cewek keriting barbar ini. Lagian ini waktu mereka bersenang-senang selain berlatih musik di studio yang sering mereka lakukan di akhir pekan.
Devon mengulurkan tangannya. “Oke..gue teri--.”
“Gue yang lari.”Nanzo menyerobot, menarik tangan Mora lalu menggengamnya, menyalaminya tanda setuju. ”Gue yang lari,dia lagi flu. Kasihan nanti suaranya sumbang soalnya dia vokalis di band kita.”
Devon menyikut pinggang Nanzo.“Nggak bisa.Gue yang bakal lari.”
“Dev, gue nggak mau kita sia-sia datang ke sini. Kita udah hujan-hujanan.”
Mora mengangguk setuju yang dibumbui senyuman mengejek di ujung bibir.“Oke, kalau baby boy ini nggak boleh hujan-hujanan.”
“Dasar lo—“
“Nggak bisa, nggak adil!” Suara lain ikut nimbrung. Pemilik suara itu menarik tangan Mora lalu menatap kikuk Nanzo di balik wajahnya yang dipaksa tegas.“Dia atlit lari. Lo pasti bakal kalah. Gue aja yang lawan dia.”Imbuh Ola—si pemilik suara itu.
“Nanzo Tunggal Sudirman. Atlit lari Nasional yang kemarin baru menang mendali emas.”Ambar tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, menatap lurus Nanzo seolah sedang membaca informasi yang keluar dari muka cowok putih itu. “Kalau lo lawan dia, rencana ngerayain ulang tahun Cecil bakal batal.”Imbuh Ambar berbisik yang dibalas dengan anggukan Mora.
Nanzo tersenyum pongah.“Jadi lo La yang mau lawan gue?”
“Iya Kak, siapa takut.” Ola mengangkat bahu sebagai upaya meredam jantungnya yang bertalu heboh.
“Lo yakin bisa?” Bisik Mora.
Ola membalas dengan anggukan mantap dan acungan jempol.
“Oke kalau gitu.” Mora menghela napas lega karena tidak perlu menyiksa diri melawan si atlit nasional. Biarlah si atlit bertanding dengan lawan yang cukup sepadan—dengan Ola yang baru juga memenangkan perunggu. Walaupun pada kenyataannya pertandingan ini sangat tidak sepadan, tapi mengingat Ola lebih kuat dari kebanyakan cowok-cowok di sekolah, Mora ikut mengangguk mantap meyakinkan diri sendiri.
“Kak mau bakso nggak?”Tanya Mora tiba-tiba ke Kak Vino setelah mendapatkan ide untuk pertandingan ini.
“Mau sih, lagi hujan gini makan bakso enak banget.” Jawab Vino.
“Kak, lo emang mau apa aja. Badan lo gede gitu.” Ejek Devon
Mora menatap jijik Devon. Bahasa cowok itu benar-benar menjengkelkan, mentang-mentang keluarganya yang mempunyai tempat ini seenaknya saja bertingkah ke Kak Vino yang kerjanya cuman jadi penjaga kasir.
“Di ujung jalan ada tukang bakso, siapa yang duluan sampai sana dan berhasil bawain bakso buat kak Vino, dia pemenangnya.” Papar Mora.
“Oke siapa takut.”Balas Devon sok tangguh padahal bukan dia yang bertarung.
“Iya lah lo nggak takut, bukan lo yang lari.”Balas Mora sengit. Devon semakin menekan jarinya ke telapak tangan, menguarkan aroma permusuhan yang pertama kali ditujukan pada seorang perempuan.
“Yuk mulai.” Ajak Nanzo ke Ola memutus hasrat Devon yang telah menyiapkan kalimat debat di ujung lidahnya. Lalu mereka menuju pintu karaoke yang telah steril dari lalu lalang orang.
Di ambang pintu, Ola meregangkan otot tangan dan kakinya begitu pula dengan Nanzo sambil mencuri pandang ke juniornya di klub sekaligus mantan gebetannya itu.
“Kita akhirnya ketemu di sini. Rupanya lo datang.” Bisik Nanzo.
“Diem lo, Kak. Gue datang ke sini bukan karena lo.” Balas Ola sengit menarik perhatian orang di sekitarnya. Risi mendapatkan tatapan tak mengerti dari teman-temannya, Ola memilih melangkah duluan, melewati barisan motor dan menembus hujan, meninggalkan Nanzo yang menatapnya penuh rindu.
“Ada apa, Nan?” Tanya Devon
Nanzo hanya menjawab dengan acungan jempol. Lalu kaki panjangnya mendekati Ola yang telah menunggu di trotoar.
“La.” Panggil Nanzo
“Ayo Ra..mulai aba-aba.” Teriak Ola tidak mengacuhkan panggilan itu.
“La.”
“Ayo, Ra.”
“La!”
“Tunggu!”Nanzo menaikkan tangannya, menginterupsi Mora yang hendak memulai aba-aba.
“Gue minta maaf, La.” Nanzo menyoroti Ola melewati air hujan yang jatuh dari bulu mata lentiknya. Penyesalan yang terpancar dari mata sipit itu membawa Ola ke kubangan masa lalu yang penuh kenangan tanpa ada status di antara mereka. Rambut Ola bergoyang-goyang efek dari gelengan kepalanya yang begitu tegas.
Di tengah derasnya hujan yang penuh sesak itu, Nanzo mengangguk mengerti. Penolakan permintaan maaf adalah bekal menyakitkan yang akan dia bawa sebelum meninggalkan Ola.
“Gue mau pergi La. Gue dapet beasiswa kuliah di luar negeri.” Nanzo mengelus puncak kepala Ola. “Terakhir kalinya gue ketemu lo di sini. Di arena balapan lari.” Ditatapnya jalanan becek yang berperan sebagai tempat menerima muntahan air dari langit. “Meskipun ini bukan arena balapan lari sebenarnya. Kita juga pertama kali ketemu di arena balapan lari ya.Mungkin kita diciptakan untuk saling berlari menjauh.”
Ola termangu. Tanpa sadar,badannya telah menghadap Nanzo. Sentuhan di puncak kepala itu tiba-tiba terasa sangat hangat dan mampu menyingkirkan hawa dingin yang di detik-detik sebelumnya membuat sekujur tubuhnya menggigil.
“Gue duluan ya.” Pamit Nanzo.
Sentuhan lembut itu terlepas, pergi menjauh, terbang ke belahan dunia lain. Dipandanginya Nanzo yang mulai memacu kaki panjangnya di jalanan licin itu. Sesak yang menjalari tubuhnya berefek memaku dirinya di tempat. Teriakan Mora yang memanggil-manggil namanya tidak mampu melepaskan Ola dari tempatnya. Tumpahan langit itu semakin mematikan semua sel tubuhnya, menghanyutkan seluruh kenangan tentang Nanzo Tunggal Sudirman, si pelari yang telah berlari marathon di setiap detak jantungnya.
BRUKKK…
Lemparan sosok tubuh yang menghantam tiang listrik dan mendarat dahsyat di kasarnya aspal jalan menyabut paku yang menenggelamkan Ola. Tak ada teriakan, hanya derasnya hujan yang merespon kecelakan di depan matanya. Ola berjalan menyusuri trotoar dengan tatapan kosong lalu diikuti orang—orang yang berlarian menuju jalan raya yang telah digenangi darah. Semuanya berjalan begitu lambat bahkan kelopak matanya tidak berkedip sebagaimana tugasnya. Yang Ola harapkan sekarang, hujan menghanyutkan juga dirinya ke beberapa menit yang lalu untuk menerima permintaan maaf dari sosok yang sudah tak bernyawa di tengah jalan itu.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1