Bangunan kusam berlantai dua itu sudah dapat dikatakan layak ditempati. Penampilan depan gedung Amore Karaoke dilapisi lagi oleh cat biru dan beberapa bagian ditutupi warna merah muda. Papan yang menampilkan tulisan “Amore Karaoke” harus meninggalkan tempatnya yang berdiri tegak menempel di pinggir atap. Digantikan oleh huruf berbentuk balok bercahaya yang merangkai nama tempat karaoke itu. Tiga cowok itu harusnya terjun menangani penampilan depan gedung ini, tapi hanya ada dua cowok yang berkutat di sana. Revi yang tangannya sedang sibuk menggerakan kuas roll di samping gedung, sesekali dia menaik turunkan pundaknya yang pegal. Di atas sana Taki yang dibantu beberapa teman kuliahnya memasang huruf-huruf balok itu. Sedangkan satu cowok yang harusnya ikut andil di atas sana atau membantu meringakan beban Revi, sibuk mengatur wallpaper yang sebenarnya bisa dilakukan oleh para cewek.
“Aaahh…Devon! Lo bantu aja Revi ngecat deh!” Seru Cecil gemas. “Biar kita yang ngatur penempatan wallpaper!”
Devon menggeleng. Menolak terang-terangan. “Gue pengen terjung langsung ngurus setiap room. Jangan sampai ada detail sedikit pun yang sama kayak tempat karaoke si Nenek lampir.”
“Iya..iya..gue tahu. Tapi ide lo itu nggak ada yang bagus.” Serang Mora. “Room ini ukurannya 5 x 5 m, kalau lo mau nambahin satu sofa malah bikin sempit. Dan gue menolak banget kalau sofa putih ini diganti.” Mora menekan kuat sofa itu seolah Devon akan mengambilnya.
“Gue nggak suka ruangan ini serba putih. Tempat kita khusus para remaja, seenggaknya colourfull lah. Atau setiap ruangan pakai perpaduan dua sampai tiga warna.”
“Emangnya ini ruang karaoke buat anak TK.” Celetuk Cecil yang langsunng mendapat delikan dari Devon.
“Sebelumnya lo bilang desain gue lumayan.”
“Lumayan. Bukan bagus. Bukan juga menandakan gue setuju.”
Mora berdesis geram. Andai mempunyai gigi taring setajam drakula, cowok itu tidak akan selamat malam nanti dan besok pagi akan muncul berita seorang pemuda tewas di balik semak-semak karena kehabisan darah. Mora menggelengkan kepala. Mengusir gambaran dirinya yang mendadak menjadi drakula yang penuh darah di mulutnya.
“Ruangan ini udah keren.” Mora menunjuk gulungan wallpaper yang belum terpasang menyandar ke dinding. “Pas banget Ambar memilih putih yang sedikit ada warna keemasannya. Jendela buatan itu juga perpaduan putih dan krem, dan soal jendela buatan gue terima saran lo. Kita pindahin ke dekat lemari pajangan yang kita ganti dengan guci besar di lobby. Meja setengah lingkaran ini juga cocok disandingkan dengan sofa putih. Tingginya sesuai, kalau diganti dengan sofa biru, meja ini jadi kelihatan kecil banget.”
“Tapi bakal jomplang banget sama 3 ruangan yang rata-rata berwarna--.”
“Kalian buang-buang waktu dengan meributkan masalah warna doang.” Ambar yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu menyahuti. “Apalagi demi menyaingi tempat karaoke sebelah. Oke, pemikiran itu memang harus ada, kita harus struggle lawan tempat karaoke yang lebih terkenal itu. Tapi bukan itu terus yang menjadi fokus utama.”
“Kita membahas ini termasuk memberikan pelayanan terbaik ke pelanggan.” Balas Devon
“Nggak!” Tandas Ambar. “Gue nggak bela Mora ataupun Devon. Kalian berdua nafsu pengen ngalahin tempat karaoke itu. Nggak mikir bagaimana memberikan kepuasan buat pelanggan.” Ambar menghela napas. Kesal mendengar perdebatan yang tak ada ujungnya itu. Dari siang sampai matahari mulai tenggelam, persoalan yang mereka ributkan terus berkutat tentang satu room itu. Ambar malah sudah selesai menyusun menun-menu yang akan disediakan setiap bulannya. Dia juga sempat membeli kudapan ke toko kue yang jaraknya lumayan jauh dari Amore karaoke untuk mereka yang bekerja hari ini.
“Kalau kalian gini terus. Gue nggak bakal pisahin risol, piscok, getuk, buat kalian berdua! Cari makan aja sendiri!”
Cecil mengerjap begitu pula dengan Mora. Tak lama Ola yang sibuk berkutat dengan laptop di ruang tunggu mendengar ancaman Ambar lalu ikut melongokkan kepala saat Ambar baru saja pergi dari ambang pintu.
“Ancaman dia nggak main-main.” Seloroh Ola.
“Gue berpengalaman. Tentu lo juga, Ra.” Cecil memperjelas.
Ola melipat tangannya di dada. “Von, mendingan bantu Revi tuh. Atau jangan-jangan lo nggak mau panas-panasan ya?”
Devon terenyak. Gelagatnya menandakan terkaan Ola sepertinya benar. Cowok itu melemparkan delikan yang tidak terlalu kentara tapi cukup mendidihkan darah Mora, lalu beranjak dari sana. Sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Mora, dia membalikan setengah tubuhnya sambil bekata. “Desain semua ruangan di sini lo yang tanggung jawab. Kalau terjadi sesuatu..ya..semoga lo bisa melaluinya. Kalau nggak mampu mohon-mohon lah ke gue.”
Yang terjadi setelah itu, Mora menendang-nendang udara penuh nafsu, maksudnya berhasrat menendang kepala cowok itu dari belakang. Tak tahan, dia melangkah lebar hendak menyusul Devon yang telah melalui ambang pintu berniat melakukan kekerasan itu. Ola cekatan menghalangi ambang pintu, langsung menahan dan mendorong pelan tubuh Mora begitpula dengan Cecil yang langsung membawa Mora kembali ke dalam.
“Cowok manja! Sinting!” Teriak Mora
“Ra, mendingan ngopi atau nyalon dulu yu. Biar di otak lo nggak dipenuhi kekerasan.” Cecil mencetuskan saran yang sebenarnya ungkapan hatinya sendiri yang seminggu ini tidak pernah bersantai.
“Gue bertapa, bersemedi pun percuma kalau udah berhadapan sama cowok itu.”
***
Awalnya Taki tidak mempedulikan dua orang berjas hitam dan berkacamata gelap itu. Namun, dari detik ke detik hingga waktu menunjukkkan 60 menit telah berlalu, dua laki-laki berpostur gagah yang berdiri terpisah itu memandang gedung Amore Karaoke dengan tatapan aneh. Satu laki-laki berambut gondrong dan dikuncir kuda menyandarkan bahunya di sela-sela antar dua gedung di sebrang gedung Amore Karaoke. Sisanya, laki-laki botak duduk di kursi trotoar, tak jauh dari si laki-laki gondrong.
“Akhirnya lo keluar, Von!” Teriakan Revi mendistraksi fokus Taki ke dua orang mencurigakan itu. Taki menyunggingkan senyum di ujung bibir melihat Devon yang ogah-ogahan menerima kuas roll dari Revi. Mana mau cowok itu berkerja yang mengandalkan otot lebih besar. Lihat saja, Revi dengan sabar mengarahkan Devon yang belepotan dan malah mengotori jendela dengan cat. Taki nyaris refleks melompat dari atap saat Revi hendak bernafsu melayangkan tinju karena gemas. Untung saja cowok itu bisa menahan diri, sedangkan Devon semakin menampilkan raut menantang.
“Devon kelihatan lebih fresh.” Ucap Yoga—teman kuliah Taki.
Senyuman Taki kian melebar. Bersyukur tidak hanya dirinya sebagai sahabat Devon yang menyadari perubahan dalam diri Devon, orang lain pun memiliki pandangan yang sama. “Dia pelan-pelan mulai berubah. Tapi belum sepenuhnya.” Ya, memang belum sepenuhnya. Luka di hatinya masih menganga lebar. Sulit untuk menjahit dan menghentikan rasa sakit itu. Kehadiran Mora dan Amore Karaoke semoga tidak memperdalam luka itu, tapi membawa benang-benang yang dapat merapatkan luka itu.
“Tempat karaoke ini berarti banget ya buat kalian? Maksud gue, kesampingkan dulu hal tentang kematian sepupu Devon. Pasti ada alasan lain kan?”
Taki mengangguk lalu menghela napas. Matanya menyoroti langit yang telah berganti warna menjadi jingga. “Dari SMP kita berempat cinta banget sama musik karena Kakeknya Devon selalu main gitar setiap kita main ke rumah Devon. Beliau ngajarin kita tentang musik. Ngasih pembelajaran tentang membuat lagu, memainkan alat-alat musik dan dia juga yang nyaranin kita bikin band kecil-kecilan. Setelah tahu Kakek bikin tempat karaoke, kita manfaatin hal itu sekalian melatih vokal kita. Hampir tiap minggu bahkan kalau libur sekolah, tempat liburan kita ya di sini. Di tempat ini persahabatn kita makin erat. Gue pribadi udah menganggap tempat ini rumah kedua. Banyak hal yang terjadi di tempat ini. Termasuk kematian Nanzo.”
Yoga yang juga satu SMA dengan Taki, menepuk bahu Taki. Ketika pembicaraan mengarah pada kematian Nanzo, dialihkannya ke pembicaraan lain. “Btw, kapan The Soul manggung? Kalian udah punya personil baru kan?”
“Kepotong karena sibuk ngurusin tempat ini. Dalam waktu dekat ini kayaknya nggak mungkin.”
“Meskipun bayarannya gede?”
Taki langsung menghadapkan seluruh tubuhnya ke Yoga. “Di mana?”
Yoga merogoh celana jeansnya yang terselip ponsel lalu menggeser layar. Setelah menemukan foto yang dia cari dari galeri, ditunjukannya ke Taki. “Kemarin, Om gue posting pengumuman itu di instagramnya.”
“Teman Om gue pengen penampilan dari band-band anak muda. Makanya dia buka audisi untuk anak muda yang punya band. Audisinya dengan cara lo kirim video terbaik penampilan The Soul. Di situ sih batasnya sampai bulan depan. Pengumumannya dua hari kemudian. Masih ada waktu.”
Taki membaca dengan detail informasi dari flyer berdesign mewah itu. “Ini buat acara pembukaan tempat Karaoke?”
“Iya. Kalau nggak salah nama tempatnya The Song Karaoke.”
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1