“Warna mempengaruhi mood lho.”
Ambar terlonjak kaget ketika embusan suara yang sangat dikenali itu menyapu tengkuknya. Butuh beberapa detik untuk melenturkan tubuhnya yang menegang lalu berbalik menghadapi senyuman manis cowok itu.
Sial!
Kini, senyuman Revi beda versi. Ujung bibirnya terangkat ke atas, menampakkan sebagian gigi putihnya, dan yang membuat gila yaitu cengiran ujung bibir itu lebih nyaman dipandangi dibandingkan senyuman lebar andalannya.
Ambar tergagap. Otaknya tidak mampu menata kata-kata untuk membalas. Demi menghindari tampang bloon, buru-buru dia membalikkan badan menatap gulungan dinding wallpaper vinyl bermotif gelembung air yang terikat pada untaian garis-garis tipis.
“Warna ungu yang ini terlalu suram. Bisa-bisa pelanggan kita yang setia menunggu giliran bete berat.” Telunjuk Revi beralih ke dinding wallpaper bermotif sejenis, tapi dengan perpaduan warna biru langit dan putih. “Ini lebih segar.”
Bukannya memberi tanggapan, sorot mata Ambar terkunci pada rahang tegas cowok itu saat berbicara.
“Ah iya..” Gumam Ambar salang tingkah karena aksinya tertangkap basah. “Gue pikir juga begitu. Sekarang..hmmm..ya sekarang kita pilih buat yang dipasang di room.” Dengan cepat dia berbalik, menghampiri Salsa—anak pemilik toko yang bergerak di bidang interior ini.
“Itu…..Kak Revi dari Winayasa Band? Kakak dekat sama play boy macam dia?” Salsa menyemprot Ambar sembari menuliskan pesanan kakak kelasnya itu. Cewek berambut lurus seperti spaghetti itu memang sangat membenci Mora, tapi hal itu tidak membuatnya harus membenci salah satu orang terdekat Mora. Lagian, setahunya kini tiga sahabat itu tidak lagi membersamai Mora.
Awalnya Ambar sudah menghapus toko milik orang tua Salsa itu dari daftar toko yang menjual dinding wallpaper karena adik kelasnya itu kepo akut dan bisa menimbulkan bencana bila mengetahui ada Mora di balik Amore Karaoke. Namun, mengingat mereka harus menekan biaya dan Salsa dapat memberikan diskon karena koneksi mereka yang pernah bekerja bareng di klub musik, akhirnya Ambar memberanikan diri menghubungi Salsa dan berbohong.
“Gue pengen lihat wallpaper terbaru dong.” Salsa mengiyakan walaupun kesal karena Ambar mengalihkan pembicaraan.
“Kenapa Tantenya Kakak nggak datang sendiri aja? Biar dia sekalian daftar jadi member di toko kita.”
Tentu Ambar telah menyiapkan jawaban. “Tante lagi sibuk ngurusin butiknya di Palembang.”
“Emang berapa lantai butik yang di Bandung? Setiap lantai beda wallpaper ya?”
“Dua kalau nggak salah.” Dan yang Ambar harapakan semoga nanti Tantenya benar-benar membuka butik di Bandung.
“Tapi ko Kakak pesan tiga wallpaper. Yang satu lagi buat di mana?”
Helaan napas kencang mengawali Ambar yang dengan sabar menjawab si kepo ini. “Buat di ruang ganti.”
“Di mana sih, Kak, alamatnya? Salsa pengen lihat kayak gimana gedungnya..”
Ambar tersenyum tabah. “Rahasia. Bisa-bisa kamu mengganggu para pegawai di sana yang lagi persiapan karena banyak nanya.”
Beruntung kehadiran Revi memutuskan niat Salsa yang hendak membombandir pertanyaan. “Yang ini motifnya bagus, tapi terlalu rame. Yang lebih simpel ada?”
Salsa menjulurkan tangan meminta bersalaman. “Gue Salsa. Fans berat Winayasa Band meskipun gue nggak sekolah di sana. Btw, Winayasa Band nggak bubar, kan, meskipun udah nggak ada Kak Nanzo?” Wajahnya mengisyaratkan bila permintaa Revi mau dituruti maka dia harus balas menyalami Salsa.
Mulut Revi setengah terbuka. Terpukau dengan kecepatan bicara Salsa yang menyaingi kecepatan cahaya. Dia membalas uluran tangan kecil Salsa sembari tersenyum lebar. “Kita sempat vakum tapi sekarang kita mau mulai aktif lagi, malah udah dapat personel tambahan.”
Ambar menginjak kaki Revi saat namanya nyaris tercetus. Dia mendelik dan sedikit menggelengkan kepala.
“Siapa, Kak?” Tanya Salsa antusias.
Mengerti instruksi Ambar, Revi langsung memasang tampang jahil. “Ada deh. Ntar juga tahu.”
“Siapa, Kak? Ayo dong kasih tahu.”
Revi menggeleng tegas. “Mendingan tolong ambilin wallpaper yang—AWWWW…”
Cubitan kecil mematikan mendarat mulus di pinggang Revi. Cowok itu mengadu nyeri sambil mengusap heboh punggungnya.
“Baby! Kenapa ada di sini? Katanya belum sampai di Bandung!” Cewek berambut gelombang dengan highlight coklat hitam berkacak pinggang. Tatapannya nyalang dan menusuk.
Alarm peringatan setiap Revi tertangkap basah biasanya langsung menggaung di telinganya. Kerja syaraf otaknya mendadak bekerja 10 kali lebih cepat dari biasanya. Rentetan kata-kata biasanya sudah tertata jelas dan dia akan mengucapkan alasan dengan santai dan menenangkan korbannya. Namun, kini berbeda. Alarmnya mati. Syarafnya membeku. Bukan karena penyakit menyerangnya, tapi berasal dari kernyitan heran Ambar.
“Ba--, eh, lo, ngapain…di…si…ni?” Tanya Revi tergagap yang sukses memicu munculnya panas di wajah cewek itu.
Pacarnya memanggilnya, Lo?
“Baby! Apa tadi kamu bilang? Tadi kamu manggil aku apa?” Tanyanya bernada manja.
Revi tidak berkutik. Yang dikhawatirkan bukan hubungannya dengan cewek bernama Kely ini yang dipastikan dan telah dikhlaskan akan berakhir. Yang jelas membuat hatinya ketar-ketir ketakutan—dia juga tak mengerti mengapa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—adalah membayangkan isi pikiran Ambar saat melihat insiden ketahuan berbohong oleh pacar.
“Dan…tadi baby kamu bisik-bisik apa sama cewek ini…” Kely menaikkan sebelah alisnya, memandang dari atas hingga bawah gaya pakaian Ambar, yang menurutnya bukan sama sekali selera Revi. Selera Revi kan sepertinya dirinya. Dengan rok denim pendek yang memamerkan paha, dipadu dengan pakaian tanpa lengan, bertali tipis. Sedangkan cewek berkaca mata itu mengenakan rok lipit di bawah lutut berikat pinggang kecil merah, yang dipasangkan dengan blus putih. Dan rambutnya yang digerai itu mengatakan sudah bertahun-tahun tidak tersentuh salon.
Ambar merasa rambut panjang ikalnya menjadi pusat perhatian cewek itu. Dia menyentuh rambutnya membuyarkan fokus cewek cantik itu. Dia balas memandangi cewek itu dan saat itu rasanya dia langsung kalah telak, apalagi mengingat ini adalah pacar Revi, perutnya seperti dibakar habis.
“Baby, kalau mau selingkuhin aku pilih cewek yang lebih dari aku.” Matanya mendelik ke arah Ambar. “Bukan kayak gini. Kalau gini sih aku nggak akan marah dan akan tetap mempertahakan hubungan kita. Mungkin kamu lagi kecapean kemarin seharian pergi, jadi salah pilih korban selanjutnya untuk buat aku nangis.” Kely menggelayut di lengan Revi lalu hendak menariknya saat Revi mengenyahkan dengan kasar.
“Maksud lo apa?” Tanya Revi tajam.
Kely tersenyum manis. Dia menepuk pelan pipi sang pacar. “Aku tahu kamu itu terkenal play boy. Aku udah siap menerima konsekuensinya saat memutuskan berpacaran sama kamu dan aku bertekad mempertahankan kamu meskipun kamu selingkuh. Tapi Baby, yang benar aja, masa aku diselingkuhin dengan cewek yang gaya dan tampangnya aja cocoknya bergaul di pelosok. Kalau kamu mau menguji perasaan aku, harusnya cari korban yang buat aku sampai jatuh bangun mempertahankan kamu. Kalau gini caranya, aku nggak perlu capek-capek mempertahankan hubungan kita.”
“Kely!” Sentak Revi. “Nyatanya, kalau dibandingkan. Lo itu jauh levelnya di bawah dia!”
Kely terkesiap. Ini bencana besar. Bagaimana bisa dia kalah saing?
Ambar berusaha tak terusik. Dia malah sibuk menilik wajah berpoles make up yang menurut pengamatannya tebalnya kira-kita 3-4 sentimeter. Dia melirik Revi yang juga sedang menatapnya. Cowok itu jelas-jelas takut Ambar akan termakan emosi ucapan Kely. Padahal, Ambar menyayangkan selera Revi rupanya cewek muda yang menjelma tante-tante.
“Baby, kamu kena pelet ya?” Dia beralih ke Ambar. “Lo! Nyecokin apa ke otak pacar gue?”
“Malah dia yang nyecokin otak gue.” Jawab Ambar enteng lalu berbalik menghadap Salsa, si penonton eksklusif. “Sal, kirim ke alamat rumah gue aja.”
“Kenapa nggak ke tokonya aja sekalian? Biar sekalian dipasangin.”
“Nggak perlu. Ada karyawan yang bisa masang ko.”
Ambar menyibukkan diri dengan menulis alamat rumahnya beserta nomor teleponnya, menghalau segala kecaman dan cacian yang semakin parah disemprotkan Kely.
“Denger apa kata dia? Justru gue udah malas pacaran sama lo. Manja lo udah akut! Baby Baby! Apaan tuh, emang gue bayi lo!” Telunjuk Revi mengarah tegas ke wajah tegang Kely. “Jangan pernah lo mandang orang dari penampilannya aja. Penampilan keren tapi otak kosong? Hasilnya nol besar! Kita putus!
“Hah? Lo…” Saking kagetnya, Kely kehilangan kata-kata. Tangannya mengepal dan sudah siap melakukan aksi andalannya untuk merusak rambut kusut si cewek berkacamata. Namun, sebelum jemari indahnya itu mengenai rambut objek sasarannya, Ambar mengangkat tangan, mencengkram pergelangan tangan Kely.
“Gue nggak mau ribut gara-gara cowok. Apalagi malah jambak-jambakan. Itu norak! Kampungan! Kalau mau lawan gue, pakai ini.” Ambar menunjuk keningnya. “Pakai otak! Gue udah selesai, dan sekarang mendingan kalian berdua bicara baik-baik.” Dia mendelik ke Revi. “Dan lo, Rev, kalau memang suka cewek yang make up nya setebal ini sah-sah aja asalkan otaknya nggak kosong. Dan perkataan dia ada benarnya juga. Gue jelas korban yang nggak memenuhi salah satu kriteria itu.”
Ambar berusaha mematri tampang setenang mungkin lalu berlalu dari toko itu. Ditekannya bibirnya kuat-kuat, menahan tusukan-tusukan di sekitar matanya agar tak menimbulkan cairan bening. Harusnya dia mendengarkan perkataan Mora. Revi hanya ingin bermain dengannya karena dari sisi manapun tidak ada bagian dari dirinya yang membuat cowok itu mendekatinya dengan maksud baik.
***
“Gila! Si Nenek lampir punya lima cabang. Dua di Bandung. Dua di Jakarta. Sisanya di Medan. Tempat karaoke yang di ujung jalan ini adalah tempat karaoke pertamanya. Sisa yang di Bandung ada di daerah Dago.” Cecil melanjutkan membaca artikel di website tempat karaoke si Nenek lampir. Devon dan Mora yang duduk di samping kiri dan kanannya ikut menjulurkan kepala, membaca berita kesuksesan The Song Karaoke. Seketika darah Cecil mendidih saat Mora menceritakan tentang kehadiran perempuan tak dikenal yang tiba-tiba menghina Amore Karoake. Gemas, akhirnya Cecil bertanya pada google tentang informasi The Song Karaoke. Halaman pertama langsung memunculkan gedung mewah The Song Karaoke beserta pemiliknya—si perempuan menyebalkan itu.
“The Song Karaoke.” Gumam Devon. “Namanya kalah keren dari kita.” Ucapnya bangga.
“Hah? Coba baca paragraf terakhir.” Perintah Mora dengan mengarahkan telunjuk ke layar.
Devon dan Cecil langsung menyipitkan mata lalu sepersekian detik kemudian mata mereka melebar kaget.
“Jadi tempat karaoke di daerah Dago itu khusus remaja?” Cecil melanjutkan bacaannya. “Didirikan tahun 2014. Jelas banget nih karaoke ngikutin Amore Karaoke yang lebih dulu ada tahun 2013 dan satu-satunya karaoke yang buka khusus remaja.”
“Mereka juga plagiat desain ruangan kita.” Devon mengklik gambar yang tertera pada artikel tersebut. Sebuah room karaoke berwallpaper batu-bata abu, dengan sofa coklat berbentuk L. “Lihat. room ini persis dengan room nomor 1 punya kita. Cuman beda warna sofa aja. Perhatikan foto-foto yang menggantung di sana, posisinya sama. Ada juga dua bean bag diletakkan di depan sofa. Dan yang paling parah mereka juga bikin jendela tiruan.”
Tidak mau sembarangan mengomentari, jemari Mora menuju file yang berisikan foto-foto room Amore Karaoke yang sebelumnya dipotret di kamera ponselnya sebagai referensi membuat desain baru. Setelah menyejajarkan dua gambar itu, dugaan Devon tidak dapat dibantah. Bahkan rak kayu sebagai menyimpan pajangan saja disimpan di tempat yang sama.
“Pantas saja dia tadi nafsu banget pengen lihat ke dalam. Kayakanya dia baru berhasil niru salah satu room kita. Lihat lima room yang lian, desainnya jomplang banget.” Cerocos Mora kesal.
“Kita harus ubah semua desain room, termasuk ganti wallpaper.” Usul Devon yang lebih terdengar seperti pemaksaan.
“Dana kita nggak akan cukup. Kita—”
“Kita bakal cari dana tambahan.” Tandasnya. “Kali ini ikutin perintah gue. Jangan membantah. Gue nggak mau malah Amore Karaoke yang dianggap plagiat, karena tempat karaoke si Nenek lampir sekarang lebih tenar.”
“Oke, kita ubah posisi barang-barang di sana. Tapi ganti wallpaper semua room bukan—”
“Bar, Ambar. Lo nggak marah sama gue, kan?” Kehadiran Revi yang mengejar Ambar menyedot perhatian dua orang yang nyaris bertengkar itu.
Ambar melewati Mora, Cecil, dan Devon lalu menghilang di koridor kanan. Di belakang Revi muncul pula Taki yang baru datang dan heran dengan Revi yang mengejar Ambar di sepanjang jalan tadi.
“Gue kebelet pipis, Rev. Kenapa ngikutin gue terus?” Suara Ambar yang terdegar sampai ruang tunggu saking heningnya tempat ini pasti terdengar biasa saja di tiga telinga cowok itu. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Mora dan Cecil. Di telinga mereka dalam nada suara itu terkandung makna “Jangan ganggu gue dulu.”. Mengerti, mereka pun saling memandang, yakin cowok play boy itu mulai berulah.
Taki menyusul ke koridor dan mendapati Revi berjalan lesuh ke arahnya. Dengan tarikan paksa, dibawanya Revi ke salah satu room dan mendaratkannya dengan kasar ke dinding.
“Lo apain dia?”
Revi berlaga santai. “Gue nggak apa-apa in dia. Dengar sendiri tadi dia lari karena kebelet pipis.”
“Dari suaranya memang kayak nggak terjadi apa-apa. Tapi mukanya nggak bisa bohong.” Taki menekan suaranya agar tidak terdengar terlalu kentara. Dadanya terasa panas saat dia melihat Ambar yang baru turun dari angkot memasang wajah mendung. Cewek itu bahkan menekan kuat-kuat bibirnya seperti menahan tangis. “Cukup Devon dan Mora yang bermasalah. Jangan sampai gue atau lo ada masalah sama empat cewek itu.”
Revi mengernyit. Dia menangkap sesuatu yang ganjil. “Sebenarnya yang lo khawatirkan kerja sama kita yang bakal hancur atau hati Ambar yang hancur?”
“Hah?”
“Muka lo juga nggak bisa bohong. Lo suka sama Ambar?”
Sial! Taki berhasrat sekali mendamprat mulut sembarangan itu.
“Kenapa diam aja? Dugaan gue benar?”
Taki mengusap wajahnya. Badannya berbalik, membelakangi Revi, lalu menghela napas kencang-kencang sebelum melawan sahabatnya yang kurang ajar ini.
“Kalau lo buat nangis Ambar. Tiga temannya bakal berontak, lalu Devon kepancing melawan mereka terutama melawan Mora. Lalu yang terjadi mereka nggak bakal mau ngurusin Amore Karaoke. Dan usaha kita selama ini membangun kembali Amore Karaoke bakal hancur.”
“Taki.” Revi menepuk pundak cowok itu lalu merangkulnya.“Kita bukan anak kecil. Kalau itu terjadi, gue yakin mereka bakal bersikap profesional.” Dia menarik Taki untuk menghadap ke arahnya. “Ki, kalau bikin alasan itu yang jelas, yang logis. Bilang aja kalau lo memang ada rasa sama Ambar, biar gue menyiapkan diri dari sekarang. Lagian, buat gue, menyakiti Ambar adalah hal yang paling gue hindari.”
Revi berlalu meninggalkan Taki yang terpaku kuat di lantai. Taki meniup napasnya berulang kali berharap dadanya akan benar-benar merasa ringan. Dan hasilnya jauh dari kata ringan, dadanya semakin terhimpit mengingat dia harus berhadapan dengan Revi yang mulai serius menjalin hubungan.
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1