Sejujurnya mereka mengantuk berat. Penutupan Pesta rakyat semalam berlangsung meriah dan seperti biasa di akhir acara dibumbui percikan kembang api di langit malam. Acaranya tidak memakan waktu sampai tengah malam. Tapi mereka membantu Vino dan panitia membereskan hal-hal yang bisa diselesaikan malam itu, selain itu para pemuda yang telah mengenal tiga cowok itu terutama Devon mengobrol semalaman sembari menonton pertandingan sepak bola karena tepat sekali malam itu Timnas Indonesia bertanding. Mora cs sebenarnya bisa saja langsung pulang, tapi gara-gara harus melalui gang sempit di malam hari mereka memilih bersantai di balai desa yang terang benderang semalaman menunggu Devon cs dan Vino.
Senyum hangat Nenek di pagi hari langsung menghapus rasa kantuk Mora. Dia balas tersenyum lalu cepat menghampiri Nenek yang datang bersama orang suruhannya sambil menenteng banyak kantung plastik berisi makanan dan sebuah ember hitam yang membuat Mora mengernyit.
“Itu apa, Nek?” Tanya Mora menilik ember hitam bertutup itu.
“Ini Tape Ketan, neng. Oleh-oleh buat Ibu bapak kalian di Bandung.”
“Masa lo nggak tahu sih? Tape Ketan ember itu kan terkenal banget” Devon menyeloroh melewati Mora dan Nenek lalu kembali lagi setelah menyimpan tasnya ke mobil.
Mora mencibir di belakangnya dan tak sadar dia melakukan itu di depan Neneknya sang objek cibiran. Nenek terkikik sambil menggelengkan kepala. Tak lama yang lain menghampiri Nenek dan menyalami Nenek satu per satu.
“Main ke sini lagi ya. Nenek bawakan nasi juga buat kalian biar nggak perlu berhenti di jalan buat beli makan.”
“Nenek..” Taki menggelengkan kepala. “Nggak usah repot-repot. Udah bawain oleh-oleh banyak ditambah nasi juga buat kita.” Lalu memeluk Nenek. Kebiasaan Nenek yang selalu membuatkan bekal setiap mereka akan pulang dari sini selalu menyentuh hati Taki, mengingatkan pada Neneknya yang telah meninggal.
“Berapa porsi, Nek?” Celetuk Revi yang langsung ditendang kakinya oleh Taki.
“Satu orang dua porsi. Biar kalian nggak cepat lelah saat nyetir.”
“Sebenrnya cewek-cewek lebih parah makannya dari kita, Nek.”
Tahu-tahu Cecil sudah menipuk belakang kepala Revi dengan tas jinjingnya. “Bilang aja kalau itu kepengen lo! Bantuin masukin oleh-oleh dari Nenek tuh ke mobil, cowok kan?”
Revi menaikkan kepalan tangan saat Cecil melengos pergi setelah mengatakan itu. Apalagi barang cewek itu lebih banyak dibandingkan tiga temannya. Ada tiga tas yang entah isinya apa. Sepertinya dari awal Cecil memang tidak niat balik ke Bandung untuk kuliah. Dia telah merencakan kunjungan ini menjadi liburan selama 3 hari. Nenek menepuk pelan pundak Revi sambil tertawa melihat Revi yang kena pukulan cukup nyeri.
Ola yang rupanya baru muncul dari dalam rumah langsung menyalami Nenek. Sesaat Nenek tidak mengizinkan Ola melepaskan tangannya. Mata berkeriput itu menilik wajah Ola lalu jemarinya menelusuri lembut pinggir wajah Ola. “Seperti yang pernah diceritakan Nanzo. Neng Ola manis sekali.”
Ola tak berkutik. Tubuhnya mengeras dan Nenek langsung merasakan tegangnya tangan yang tergenggam itu. “Dia dulu janji akan mengajak yang namanya Ola ke sini. Dan janjinya terpenuhi dengan cara tidak langsung dia menuntun kamu ke sini.”
Karena Amore Karaoke? Batin Ola.
Dada Ola bergejolak. Awalnya sesak dan berat penuh timbunan rasa bersalah karena tidak sempat menerima maaf cowok itu. Lalu kini terasa kosong dan ringan mengingat bergabungnya dia dengan Amore Karaoke adalah jalannya untuk belajar menerima kematian Nanzo.
Ola merangkul Nenek, mengalirkan ketenangan dari tubuh ringkih itu. Usapan lembut Nenek seolah memberitahu bahwa dia mampu menjalaninya. Aliran air mata yang tercetak di kedua pipinya dengan buru-buru langsung dihapusnya. Dia mematri senyuman tegar merespon kekuatan yang dialirkan Nenek.
Mora mengencangkan tali tas gendongnya lalu mengambil plastik besar dan ember di tangan orang suruhan Nenek. Tarikan pada kantung plastik dan ember mengagetkannya. Kini dua benda itu berpindah tangan. Kejadian cepat itu membuat Mora refleks melepaskan pegangannya, terlebih lagi dia terlalu kaget saat melihat Devon yang telah berpaling dari hadapannya itu yang membantunya.
Tepuk pelan Nenek mendistraksi pandangan Mora terhadap punggung tegap Devon. Nenek tersenyum sambil menatapnya dan Devon bergantian. “Devon sepertinya mulai sedikit berubah.”
Perkataan Nenek memang benar. Dimulai dari dua hari lalu, tepatnya di sore hari setelah Mora mengunjungi rumah Nenek untuk mengambil kudapan titipan Vino. Sorot membunuh yang selalu maksimal ditunjukkan Devon tidak semengerikan biasanya. Jika saat rapat saja Devon mau menatap dua mata bulat itu, maka dimulai hari itu Mora memergoki Devon sempat menatapnya beberapa kali dari kejauhan. Nada suaranya pun menurun beberapa oktaf meskipun masih terdengar ketus.
Kejadian luar biasa yang pantas masuk tujuk keajaiban dunia itu membuatnya Mora bergidik. Bisa saja Devon sedang merencakan sesuatu yang mengerikan. Tapi sikap Devon hari ini setidaknya menurunkan sedikit rasa ngeri itu.
Setelah semua barang menempati dua mobil itu, Devon kembali menghampiri Nenek yang berdiri di samping Mora. Nenek mengecup kening, kedua pipi, hidung dan kepala cucunya. Ritual perpisahan ala Nenek untuk cucunya. “Jangan marah terlalu lama pada orang tuamu. Tidak baik.” Nasehat Nenek yang membuat raut Devon mengerut sebal diingatkan itu. Devon mengangguk dan memberikan pesan kepada Nenek untuk selalu menjaga kesehatan.
“Jangan ke-GR an. Gue bantuin karena nggak mau kepala gue kena timpuk juga. Kekuatan lo kan lebih mengerikan.” Bisik Devon saat beralih ke hadapan Mora lalu berbalik santai.
Mora mengangaga. Penilaian Nenek salah besar. Cucunya itu tidak berubah sama sekali!
Setelah kedua kalinya berpamitan dengan Nenek, Mora melangkah lebar mendekati Devon yang hendak menutup pintu bagasi mobil. “Lo yang ke-GR an dikiranya gue terpesona sama aksi lo. Kepikiran sampe situ aja nggak pernah.Gue malah ngira lo sedang merencakan kejahatan luar biasa terhadap gue.” Semprot Mora lalu berpaling menuju mobil para cewek yang terparkir di depan mobil para cowok.
“Gue harap perjalanan kita aman sentosa!” Sindir Taki yang nyaris berontak karena dua makhluk itu masih saja bersitegang setelah Vino memberikan petuah-petuah yang sepertinya memang langsung memantul dari telinga mereka.
Vino yang menangkap maksud perkataan Taki malah terbahak. Dia menepuk-nepuk bahu Taki menyuruhnya untuk bersabar karena tak biasanya Taki lepas kendali seperti tadi. Seharusnya Revi yang pusing seperti itu tapi cowok itu tampak selalu menikmati pertarungan Devon-Mora. “Awasi mereka berdua. Jangan sampai saling bunuh-bunuhan.” Canda Vino.
“Gue yang duluan bertindak sebelum mereka benar-benar jadi gila.” Balas Taki.
Setelah kembali berpamitan dengan Nenek dan Vino, Taki dan Cecil yang memegang kemudi di mobil masing-masing langsung menancapkan gas lalu menghilang dari pandangan Vino dan Nenek.
***
Getaran di saku jeans mengagetkan Mora yang hampir terlelap di tengah kemacetan. Dia memang mengantuk berat tapi baru bisa benar-benar tidur saat mobil memasuki daerah Bandung. Nomor Mama tertera di layar lalu ditekannya tombol hijau di layar.
“Mora masih di jalan Mi, bentar lagi.”
Sontak informasi yang disalurkan Mami lewat benda canggih itu menghapus kantuknya. Sesuatu tentang ayahnya telah dipastikan. Tanpa sadar punggungnya langsung tertarik tegak. Di sebrangnya sana Mami memohonnya untuk datang ke kantor polisi.
“Iya.” Hanya balasan singkat itu menutup pembicaran mereka.
Kini, kata pembunuh telah resmi disematkan pada Papi.
“Ra, ada apa?” Tanya Ambar melihat linangan air mata berkumpul di pelupuk matanya.
Ola yang duduk di samping kemudi menolehkan kepala. Cecil yang penasaran mencoba menatap lewat kaca spion tengah.
“Kita ke kantor polisi dulu ya, Cil.”
Mengerti arah pembicaraan itu, Ambar langsung mendekap Mora yang menangis sepanjang perjalanan. Ini adalah kali pertamanya menangis semenjak Papi ditahan. Saat itu Mora menahan mati-matian dengan harapan Papi hanyalah saksi atau dijebak sebagai pelaku oleh seseorang. Tapi mendengar cerita Mami tentang sidik jari di senjata pembunuhan, jejak sepatu serta uang hasil pencurian mobil korban yang masuk ke rekening Papi, Mora mengeluarkan pedih atas beban baru yang ditangguhnya.
Dulu menanggung dirinya sendiri saat dicap pembunuh. Kini tanggungan itu bertambah karena cap baru di diri Papi. Semoga tidak kian memburuk, walaupun dia tahu itu hanyalah sekedar harapan yang tidak akan pernah terjadi.
***
“Loh ko malah belok?” Tanya Revi yang duduk di samping kemudi. Mobil merah para cewek yang terhalang dua mobil di depan mereka mengambil jalur yang berbeda. Sebelum berangkat mereka sepakat mampir ke Amore Karaoke untuk membicarakan rencana mereka sehingga besok bisa langsung beraksi sesuai tugas masing-masing.
“Jalan di depan sana emang biangnya macet sih. Mungkin mereka tahu jalan lain.” Taki berspekulasi lalu cepat memutar stir mengikuti pergerakan mobil Mora cs.
Devon yang duduk di belakang bersama bingkisan buah tangan dari Nenek tidak mempermasalahkan hal itu. Dia hanya bergumam tak jelas, yang intinya setuju dengan dugaan Taki.
Semakin diikuti jalan yang dilalui melenceng dari tujuan Amore Karaoke. Tangan Taki bergerak-gerak menyuruh Revi menelpon salah satu dari tiga cewek itu. Revi dengan senang hati mencari nama Ambar di layar sentuhnya.
“Kantor polisi?” Kepala Devon terjulur dari belakang, membuat niat Revi menelpon Ambar terhenti saat mobil merah itu berbelok ke kantor polisi.
Taki giat mengikuti. Sepasang mata mereka menyelidik saat mobil itu berhenti dan Mora keluar dari sana dengan terburu-buru tanpa sempat menutup pintu mobil lalu setengah berlari memasuki gedung dua tingkat itu.
Pekikan klakson dari mobil di belakang mobil Devon cs memaksa Taki mengambil tempat parkir di samping mobil merah itu.
“Kayaknya Mora berniat ngelaporin lo ke polisi.” Celetuk Revi yang langsung ditoyor oleh Devon.
“Lo ingat perkataan Mora waktu di cafe nggak?” Tanya Revi setelah mesin mobil berhenti.
“Pas kapan?”
“Pas mereka berantem di cafe itu.”
Revi tak bereaksi yang artinya tak berhasil mengingat, Taki mengalihkan muka ke Devon yang sedang mengingat lagi malam pertama mereka bertemu dan saling adu mulut itu. Tanpa memberikan jawaban, cowok itu langsung keluar dari mobil dan menghampiri Ambar, Cecil dan Ola yang bersandar di badan mobil.
“Berita tentang bokapnya itu benar?”
Tiga cewek itu kaget. Dikiranya tiga cowok ini tidak mengikutinya dan Cecil hendak menghubungi Taki agar menunggu mereka di Amore Karaoke.
“Emang lo kira Mora bikin berita hoax tentang keluarganya sendiri?” Ketus Cecil.
Ambar menaikkan batang kacamatanya sebelum dia maju selangkah menghadap Devon. “Mendingan lo jangan ada di sini, duluan aja ke Amore Karaoke. Jangan menyulutkan lagi kenangan tentang kalian berdua di tempat ini. Makanya kita nggak berani masuk ke dalam karena nggak mau mengingatkan Mora, walaupun pastinya dia akan sangat mengingatnya.”
Tudingan mata tajam itu menyentak Devon selangkah ke belakang. Persis di gedung ini, cacian, pekikan, teriakan yang berbalut emosi diluapkannya pada seorang cewek yang duduk meringkuk ketakutan. Saking geramnya tidak ada reaksi dari cewek itu, Devon nyaris melayangkan kursi ke tubuh kecil itu.
“Penjarakan saja dia, Pak. Dia otak pembunuhan itu! Dasar lo pembunuh! PEMBUNUH!”
“Kalau bukan gara- gara permainan bodoh lo, orang itu masih hidup. Sekarang dia harusnya aman di sisi gue! Sok jagoan lo! Pembunuh harusnya dibunuh juga, Pak!”
Masih tercetak jelas di benaknya raut merah penuh linangan air mata itu, setiap inchi tubuhnya yang bergetar, kepalanya yang tenggelam, dan yang membuat emosi Devon melebihi batas maksimal saat cewek itu masih tangguh untuk mengelak dengan mata tegar tapi kedua bibir yang bergetar.
“Kenapa hanya gue yang habis-habisan disalahkan? Harusnya lo tanya ke diri sendiri. Kenapa lo nggak menahannya saat dia bersikeras menggantikan lo? Itu juga salah lo.” Mora menggeleng. “Sebenarnya bukan. Itu bukan salah lo atau pun gue. Memang saat itu Tuhan menggerakkannya untuk bersiap menuju kematiannya.”
Yang terjadi setelah Mora memberanikan diri mengatakan itu, Devon berontak sambil memakinya dibumbui nama-nama binatang memperkeruh hinaannya. Butuh lebih dari dua polisi untuk mengunci pergerakan Devon yang hendak menyerang Mora. Ambar dan Cecil dengan sigap membawa Mora berdiri dan memagarinya.
Kaki Devon menendang-nendang udara dan kekuatan dari amarahnya berhasil menyeret para polisi maju ke depan, mendekati Mora. Aksinya baru terhenti saat tonjokan telak Revi mendarat mulus di hidungnya. Devo yang hidungnya mengucurkan darah segar ambruk di tengah ruangan. Napasnya yang memburu perlahan melambat lalu gelap mengambil alih pandangannya.
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1