Pemenang pertandingan sepak bola tadi melanjutkan permainnya di sore mendung ini. Bagai sulap, setelah keluar dari rumah Nenek tekanan di sel-sel tubuh mereka mengendur. Hanya pengaruh dari sebuah foto memberikan efek mengerikan seperti tadi. Ya, memang. Itu bukan sembarang foto. Rumah Nenek Devon hanya berjarak 300 m dari lapangan dan terhalang oleh satu rumah di depannya. Itulah mengapa Mora mulai memaklumi saudara Devon meminta untuk membawanya ke rumah Nenek, bukan saja karena dirinya tamu yang datang bersama Devon, tapi juga karena jaraknya yang tidak memakan waktu. Sedangkan rumah Vino harus melewati gang -gang kecil yang sampai sekarang belum dihafal Mora. Oleh karena itu, di saat teman-temannya asyik menontoh pertandingan penentu tim yang dapat melenggang ke perempatan final, Mora yang mencoba terhanyut dalam euforia ingin sekali hengkang dari sana dan beristirahat di rumah Vino, tapi dia tidak ingat gang mana yang harus dilalui.
“Yeaayyyy!!!!” Teriakan Ambar membuat Mora menyingkir beberapa langkah sambil memegangi telinga. Heran, dia ikut memandangi apa yang membuat Ambar berteriak. Rupanya sebuah gola tercetak oleh Revi. Dalam waktu sehari cowok berkulit putih itu sukses mencuri hati para gadis desa yang kegeringan karena berhasil mencetak gol. Pesona cowok itu bahkan mampu menyihir Ambar yang menjadi gila seperti ini.
“Gue lebih setuju lo sama Taki aja. Di antara dua cowok itu yang paling waras, ya si Taki.” Bisik Mora.
Ambar langsug menolehkan kepala dan mengernyit. Setelah menangkap maksud perkataan Mora, dia menepuk kencang lengan Mora yang cukup membuat Mora meringis sakit. “Ngomong apa sih lo? Nggak jelas!” Elaknya.
“Awas aja kalau lo ntar nangis gara-gara dia! Gue nggak mau bantu!”
Sebagai jawaban, Ambar mengerlikan mata lalu beralih menatap hamparan lapangan hijau itu. Disadarkan oleh ucapan Mora, membuatnya langsung membuang mata saat Revi menatapnya juga dari lapangan. Tapi dia tidak bisa menahan senyuman tipis saat dilihatnya melalui eko mata, cowok itu masih menatapnya di tempat.
***
Mora lebih baik berdiri di pinggir lapangan dari pada pergi ke rumah itu lagi. Vino menyuruhnya untuk mengambil kudapan yang telah disiapkan Nenek Devon untuk para panitia. Saat akan pergi tadi, Vino lupa membawanya karena seorang panitia menyuruhnya cepat datang ke balai desa.
Mora hendak mengajak Ola, tapi teringat bagaimana tegangnya wajah Ola saat di rumah itu. Dia tidak ingin membangkitkan kenangan terlalu jelas di benak Ola, apalagi dalam suasana “liburan” seperti ini. Terpaksa, dia menyeret kakinya sendiri ke rumah Nenek.
“Neng Mora?” Suara bernada sunda itu menyambut Mora yang memunculkan kepala melewati pintu yang terbuka. “Mau ngambil kue titipan Vino?”
“Iya Nek. Kak Vino menyuruh saya.”
“Masuk dulu. Masuk dulu.” Nenek menarik pelan Mora lalu merangkul melalui pundaknya.
Mora sebisa mungkin agar tidak tertarik menatap pajangan foto-foto itu. Namun, entah mengapa sel-sel otaknya terus menuntun dan menggodanya untuk merefleksikan lagi foto-foto itu di benaknya. Mora agak melambatkan langkahnya saat Nenek bukan menuntunnya menuju dapur, tapi membelokkan langkah ke tangga.
“Ada barang peninggalan Kakek Wandi.”
Langkah Mora sedikit tersendat dan membuat Nenek langsung menariknya lagi pelan-pelan menaiki tangga. “Sesuatu tentang Amore Karaoke yang harus kalian berdua ketahui.”
Berarti tujuan Vino menyuruhnya membawa kudapan hanyalah sebuah alasan. Awalnya Mora juga merasa heran mengapa Vino tidak menyuruh saja panitia yang sedang tidak sibuk.
Di depan sebuah pintu yang ukirannya berupa not-not lagu itu, Nenek menghentikan tarikannya. Dari ukiran pintunya yang unik saja sudah jelas barang-barang yang tersembunyi di baliknya. Ruangan 5 x 5 m itu bercat biru laut yang dipadati oleh lemari-lemari kaca yang menampilkan deretan gitar dan bass menggantung di dalamnya. Satu set drum memakan tempat di pojok ruangan. Sertifikat berfigura menempel di dinding di antara lemari-lemari. Foto-foto hitam putih bertengger pula di area kosong samping set drum itu. Terdapat foto close up dari samping, seorang laki-laki berambut gondrong yang mulutnya menganga lebar seperti sedang meneriakan sesuatu lewat mikrofon yang dipegangnya. Di beberapa foto yang lain, laki-laki gondrong itu memegang Mic yang menunjukkan perannya sebagai vokalis band.
“Itu kakek Hasan.” Nenek tersipu malu. Saat menatap foto sang suami, senyumannya kian melebar, tatapannya mendalam begitu merindukan sosok yang meninggal 4 tahun lalu itu.
Mora ikut tersenyum mendapati roman Nenek yang memerah. Kini, Nenek menjelma seperti seorang ABG yang merindukan sang pacar. “Ganteng ya, Nek. Untung Mora hidup di zaman sekarang, kalau dulu Mora udah lahir, Mora embat deh Kakek Hasan.”
Nenek mencubit gemas pinggang Mora. Mereka tertawa sambil terus memandangi sosok Kakek Hasan yang berahang tegas, hidung mancung dan besar serta kulitnya yang sawo matang.
Eh?
Mendadak, sosok menyebalkan itu melintasi benaknya. Mengapa semakin lama dipandang yang muncul adalah potret diri seorang Devon? Dia cepat mengalihkan perhatian ke sebelah foto kakek Hasan. Seorang laki-laki berambut cepak sedang memetik gitar di atas panggung. Baju belelnya yang tampak menempel dengan kulit menandakan suasana di foto itu sedang hujan. Meskipun dia sedikit menunduk, Mora bisa langsung menebak sosok yang tangan kirinya memetik senar gitar itu. Tak perlu menilik wajahnya karena Mora tahu Kakek Wandi adalah seorang pemain gitar kidal.
“Kakek Wandi nggak kalah keren ko” Goda Mora sambil terkekeh. Kemudian sorotannya jatuh ke foto selanjutnya yang menunjukkan seorag pria brewokan yang rambut panjangnya diikat cepol. Kedua tangannya terayun hendak memukul bass drum dan cymbal. Gayanya benar-benar keren dengan mulut yang terbuka lebar sedang berteriak. Kulit hitamnya yang menjadi daya tarik membuatnya tampak manis, dilengkapi dengan hidung lancip dan bibir yang porsinya tidak ketebalan atau ketipisan. Bahkan, Mora memandangi foto itu lebih lama dibandingkan foto kakeknya sendiri.
“Nenek sempet suka sama beliau loh sebelum akhirnya pacaran sama kakek Hasan?”
“Oh ya? Nenek kayaknya dulu cukup nakal ya?” Goda Mora lagi.
Nenek terbahak. Di umurnya dan fisiknya yang jauh dari kata kuat, di balik itu Nenek sangat kuat tertawa. Memang tak ada bisa yang mengalahkan semangat. Umur dan fisik bukan penentu besarnya semangat seseorang. Nenek masih semangat menjalani hidup di kala tua yang membuatnya masih mampu tertawa lebar.
“Namanya Bang Amor.” Ucap Nenek lirih. Mendadak, suasanan menjadi sendu. Nenek berjalan mendekati foto Bang Amor, mengusap lembut figura kayu itu. “Anggana Mores Ramadita. Itu nama sebenarnya. Karena Kakek Hasan dan Wandi sebal nama Bang Amor begitu panjang dan paling bagus diantara mereka bertiga, maka mereka berdua sepakat membuatkan nama yang mudah diucapkan.”
“Amor? Amor…” Mora ternganga menyadari nama itu begitu lekat dengan sesuatu. “Amore Karaoke. Apa asal nama karaoke itu dari sana?”
Nenek mengangguk. Dia berbalik menuju deretan sertifikat yang telah berwarna kecoklatan. “Secondary Band. Itu nama band yang mereka buat saat di umur 20 tahun. Nenek waktu itu yang masih umur 19 tahun menjadi manager mereka.”
“Kenapa secondary namanya? Lebih baik primary, yang paling diutamakan.”
“Untuk menjadi besar tidak perlu selalu menjadi yang paling diutamakan. Mereka bisa menjadi secondary, pelengkap bagi kehidupan para pecinta musik. Meskipun menjadi pelengkap mereka bisa menjadi paling besar dari yang diutamakan, bahkan lebih berarti.” Nenek beralih ke sertifikat selanjutnya yang menunjukkan tahun 1975. Bukti bahwa Secondary Band pernah mengisi acara launching suatu produk di Jakarta pada zaman itu.”Debut mereka terbilang sukses. Dalam waktu 2 tahun langsung dikenal orang meskipun hanya di sekitaran Bandung. Di tahun selanjutnya mereka sering diundang ke acara-acara perusahaan di Jakarta. Banyaklah yang mengenal lagu-lagu pop mereka. Tapi karir mereka cepat juga turun. Dimulai oleh kejadian 40 tahun lalu.”
Terlalu terhanyut dengan cerita Nenek, Mora baru sadar dirinya sudah berada di sebrang tempatnya tadi dan menghadap ke sebuah sertifikat bertahun 1978. “Apa yang terjadi Nek?”
“Bang Amor meninggal karena kecapean.”
Hal yang berhubungan dengan kematian bukanlah sesuatu yang mampu diemban oleh hati Mora. Apapun cerita tentang kematian ujung-ujungnya kematian Nanzo lah yang kembali bercerita di benak Mora.
“Waktu itu Nenek baru menikah satu tahun dengan Kakek Hasan. Nenek juga sedang mengandung sekitar 3 bulan Mamanya Devon. Dalam sebulan itu jadwal manggung sangat padat. Mereka juga berada di bawah tekanan harus membuat lagu-lagu baru, terutama Bang Amor yang berperan penting dalam pembuatan lagu-lagunya Secondary Band. Hari itu Bang Amor sakit, tapi bos sebuah perusahaan yang berperan andil juga atas ketenaraan Seconday Band mengadakan acara musik. Kakek Hasan tak bisa tak menolak permintaan itu. Dia meminta Bang Amor untuk ikut, dia juga memberikan banyak vitamin agar Bang Amor tetap prima. Lain halnya dengan Kakek Wandi, dia menolak permintaan itu apalagi dengan kondisi Bang Amor yang drop. Sempat Kakek Wandi mengusulkan mencari pengganti Bang Amor untuk manggung kali ini, tapi Kakek Hasan menolaknya karena acara ini spesial untuk bos perusahaan itu.”
Nenek menghirup pasokan oksigen demi melancarkan ceritanya yang sempat terputus. Mora sempat khawatir dan mengajak Nenek keluar dari ruangan ini lalu duduk sembari melanjutkan cerita. Acungan tangan Nenek dan gelengan tegasnya menandakan cerita ini hanya sanggup dituturkan di ruangan ini.
“Bang Amor tetap ikut akhirnya?”
Mata Nenek berkaca-kaca. Sorotnya tidak lama memandangi foto Bang Amor, tapi terpaku pada foto Kakek Hasan dan Kakek Wandi. Dia mengangguk lemah. “Dan akhirnya Kakek Wandi menyalahkan Kakek Hasan atas kematian Bang Amor.”
DEG
Degupan kencang menampar jantung Mora. Mengapa cerita ini terasa tak asing?
“Dari sanalah semuanya hancur. Secondary Band tidak terdengar gaungnya lagi. Kakek Hasan fokus pada Nenek dan kandungan Nenek. Sedangkan Kakek Wandi kembali ke rumah orang tuanya di Jogja. Dan 5 tahun lalu merupakan kejadian yang paling mengharukan, entah karena apa tiba-tiba Kakek Hasan meminta izin ingin menemui Kakek Wandi. Dengan diantar ayah Devon, dia pergi menemui Kakek Wandi. Mereka berbaikan, saling memaafkan dan setelah itu mereka memutuskan untuk membangun Amore Karaoke di Bandung. Nenek pikir nama Amore itu berasal dari nama Bang Amor. Tapi kata Kakek Hasan, bukan hanya itu alasan utamanya. Amore artinya cinta. Mereka membangun kembali cinta yang telah lama terkubur karena kesalahpahaman. Mereka kembali bersama karena rasa cinta satu sama lain. Itulah mengapa ketika Nenek ke sana, tidak ada satu foto pun tentang Secondary Band. Mereka masih berusaha bangkit dari kenangan masa lalu, belum mampu mengemban masa lalu di pundak mereka.” Nenek membawa tangan Mora dalam genggamannya. “Itu ide kakekmu untuk membangun karaoke khusus para remaja. Dia ingin cucunya yang sering nyanyi di kamar mandi, berani nyanyi dulu di karaoke. Tapi harus di tempat karaoke yang aman. Dia bertekad akan mengajakmu ke sana saat umurmu 17 tahun. Tapi sayang, Kakek Wandi pergi duluan meninggalkan kita, yang tak lama Kakek Hasan pun menyusul. Mereka seperti sudah bersekongkol meninggalkan Nenek duluan.” Di akhir kalimat itu Nenek tertawa dengan linangan air mata berkumpul di pelupuk mata. “Tidak hanya itu alasannya, mereka memberi nama Amore Karaoke karena Kakekmu ingin ada namamu menyertai karaoke itu.”
Mora tak mampu membendung tangis. Dirangkulnya Nenek erat hingga dia harus membungkukkan badan. Respon dari cerita itu hanya mampu ditunjukkan melalui tangis. Lidahnya terlalu kelu untuk menanggapi. Dari kisah saling menyalahkan karena kematian seseorang, berakhir dengan saling merangkul karena saling cinta, serta peran sang Kakek yang telah menyiapkan segalanya hanya untuk dirinya. Untuk seorang Mora Fredella Putri.
“Tolong maafkan Devon ya, Mora. Maafkan sikap buruknya terhadap kamu. Jangan terlalu larut dalam permusuhan karena hal itu akan menuntun kalian pada kehancuran. Nenek mohon tuntun Devon menjadi lebih baik.”
***
fresh banget ceritanya hehe. ditunggu kelanjutannya ya :)
Comment on chapter Chapter 1