Belum samar di ingatanku atas kejadian waktu itu, meski sudah begitu banyak memori - memori baru yang tertulis di dunia hujanku ini.
Aku adalah perempuan berkerudung pecinta hujan yang berusaha menutupi rasa kagum akan sosok pria yang mengenakan jaket merah maroon itu. Yang secara tidak sengaja, bahwa merah maroon adalah warna kesukaanku. Tunggu.. yang ia kenakan bukanlah jaket tapi sweater, sweater yang bagian ketiaknya bolong. Aku sudah mengenal pria yang tak bisa kusebutkan namanya itu hampir 4 bulan, kebetulan kami juga ditempatkan di 1 kelas yang sama jadi beberapa kali kami sering bersama. Ditambah dengan teman dekatku juga teman dekatnya.
Saat ada tugas dari kampus, pria ini selalu memimpin kelompok. Selalu merangkul kelompok. Bahkan pria ini mampu memotivasi salah satu anak kelas yang sangat malas. Karena begitu malasnya, bahkan anak ini sudah hampir di black list dari kampus. Namun ketika si anak malas satu kelompok dengan pria yang kukagumi. Si malas jadi begitu rajin. Si malas selalu menanyakan tugas padaku. Si malas sering hadir dalam kelas. Entah sihir apa yang diberikan pria ini sampai bisa membuat si malas berubah menjadi si rajin.
Lalu dalam 3 bulan sebelumnya aku dan pria itu sering berkomunikasi melalui pesan elektronik. Maksudku chattingan hehe. Entah mengapa percakapanku dengan dia semakin membuatku kagum dan begitu percaya padanya. Mungkin karena pria ini mahir berkata - kata. Atau mungkin karena pria ini selalu membuatku tertawa di sela - sela percakapan. Selain itu aku sering diajak makan malam bersama dan di saat kami makan berdua pun dia juga selalu mampu membuat diri ini tertawa lepas meskipun sedang dilanda rindu dengan orang tuaku yang ada dirumah. Oya, aku berasal dari Kalimantan yang sekarang berkuliah di salah satu Universitas kota Malang. Jadi aku terpisah jauh dengan orang tuaku.
Kembali lagi dengan pria itu.
Kebiasaan kami sering berinteraksi membuatku menganggap hal itu adalah yang 'harus' aku lakukan. Seperti sebuah kebiasaan yang benar - benar aku lakukan dikala sibuk maupun renggang.
Hingga 1 waktu, tepatnya 2 hari sebelum ulang tahunnya, pria ini tidak mengirimkan pesan padaku. Seolah - olah ada yang aneh pada diriku. Seperti ada sepi yang menjelma menjadi kekhawatiran.
1 jam aku menunggu.
2 jam masih menunggu.
3 jam pun aku masih tetap menunggu.
Hingga akhirnya aku berfikir, mengapa aku menunggu pesannya. Mengapa aku begitu kesepian. Aku bukanlah wanita yang menjadi kewajiban dia. Dia pun bukan pria menjadi hakku. Akan tetapi mengapa aku merasakan hal demikian.
Pertanyaan itu terus menerus berkutat di kepala ini. Hingga aku teringat. Disaat aku pertama kali mengenalinya, bahwa aku mengaguminya. Aku mengagumi pria bersweater merah maroon yang bagian ketiaknya bolong.
Kemudian didalam kamar yang sunyi ini, aku berdiri didepan cermin kamarku yang kusam.
Didepan cermin kusam itu aku berdiri tegap dan terus bertanya "apa yang membuatku kagum padanya" wajahnya yang rupawan? Senyumnya yang menawan? Cara berbicaranya yang menarik? Cara dia memimpin teman - teman yang lain? Bukan.. Bukan itu semua. Akan tetapi kata - katanya yang ia sampaikan bahwa ia mengakui kebenaran Tuhannya. Keagungan Tuhannya. Kata - kata yang mudah di pahami bagiku. Seperti "Dunia itu udah modern, canggih, asoy dah. Tapi sampe sekarang belom ada kamera yang bisa nyamain kecanggihannya mata lu. Mata yang diciptain Tuhan lu" katanya sambil berkaca melalui kamera hand phone milik dia. Kata - kata serupa dia sampaikan pada malam bulan purnama tepatnya tanggal dua puluh tujuh September. Aku kira cukup untuk menjelaskan mengapa aku mengaguminya. Mengapa aku menunggu pesan darinya.
Lalu aku teringat oleh pesan singkatnya. Dia akan datang menemuiku dimalam ulang tahunnya yang ke-19, oleh sebab itu aku memutuskan berkeliling dikota kecil yang asing ini untuk membeli seloyang kecil kue ulang tahun, aku berkeliling kota asing itu menggunakan motor bersama teman perempuanku. Sempat diperjalanan aku berkata "Udahlah pulang aja, gak ketemu tokonya, udah malam juga". Setelah lelah dan hampir putus asa, aku melihat di kanan jalan ada sinar lampu terang dari toko kue yang juga terkenal di Ibu Kota, saat itu nasib baik menemuiku, mungkin itu salam sapa dari kota asing yang akan kutinggali beberapa tahun kedepan ini.
Seperti janjinya, malam itu dia benar menemuiku. Mengucapkan salam dan senyum semanis - manisnya. Aku pun tersenyum malu saat melihatnya. Dia selalu bisa membuatku nyaman saat melihatnya. Aku menunggu detik - detik pergantian hari bersamanya, aku mau waktu berputar cepat agar kue yang sudah kubeli tidak meleleh dan masih enak untuk disantap bersama. Aku tak sama sekali mempersiapkan skenario malam itu, aku berusaha memutar otak memikirkan bagaimana cara memberikan kue yang sudah susah payah ku cari itu. Jam telah menunjukan pukul 00:00 otakku juga belum mengeluarkan ide. Akhirnya aku hanya memeluknya dengan erat sambil mengucapkan selamat ulang tahun dan mengucap doa.
Tiba - tiba ada yang berubah, dari senyum yang semanis - manisnya, ada dua mata yang mengisyaratkan sesuatu, ada yang ingin dia bicarakan. Sesuatu penting katanya. Sampai akhirnya hujan membanjiri pipiku yang dua tahun sudah dapat menahan tetesan - tetasan kecil dari sepasang bola mata. Aku tidak ingin melihat matanya lagi, tidak. Dia terus memelukku dari belakang, kencang sekali. Aku berusaha untuk melepaskan pelukannya, menandakan aku tak ingin ada kepura - puraan lagi.
Aku menyuruhnya agar segera pergi, aku menggembok pintu gerbang dan menutup rapat pintu. Aku masuk sambil mengusap segala sesuatu yang tumpah dari mataku. Didalam kamar kosan, aku memandangi seloyang kecil kue coklat itu, menancapkan lilin satu persatu lalu menyalakan lilin dan bertepuk tangan menyanyikan lagu selamat ulang tahun sambil terisak - isak. Aku tak mau sedih dipesta ulang tahunnya itu. Aku berusaha tersenyum melihat namanya tertulis di kue coklat itu. Lalu aku merapikannya kembali dan aku masih saja berharap bahwa seloyang kecil kue coklat itu sampai dihadapannya dengan senyum bahagia.
Aku menitipkan seloyang kecil kue coklat itu ke salah satu temanku yang memiliki mesin penyimpan makanan, khawatir kue yang sudah kubeli itu hancur dan lumat. Aku ingat itu hari Jumat saat pelajaran Bahasa Inggris. Aku benar - benar malas beranjak menghadiri kelas, mataku masih sembab dan aku masih ngantuk karena tidak tidur semalaman. Alih - alih ingin memberi kue itu, dia malah tidak datang untuk kelas. Aku tetap menunggunya sampai satu per satu teman sekelasku pergi. Ada beberapa temanku yang setia menunggu dan memelukku. Salah satu temanku ada yang menangis (kau pasti taulah dia menangis karna lelaki) aku peluk tubuhnya erat dan berkata "ikhlas, sabar, ridho". Aku jadi teringat oleh perkataan ibu dan ayahku "kunci hidup itu tulus, sabar, ikhlas, ridho". Tidak sampai disitu saja perjalanan seloyang kecil kue coklat itu, dia harus menunggu sampai hari Senin untuk bisa disantap. Aku masih menitipkan kue itu ke temanku yang memiliki mesin penyimpan makanan itu.
Senin pun tiba. Aku ingat itu kelas Filsafat. Seusai kelas dengan malu - malu aku mengambil kue yang telah ku titipkan dikantin. Menunggu diluar, menyalakan lilin yang selalu mati tertiup oleh angin, meniup balon hingga pipiku sakit dan ngilu. Wajahnya masih tetap sama dengan wajah terakhir di teras kosan. Tapi aku berusaha mengelak semua perasaan burukku itu. Aku berusaha menerima wajahnya Senin siang itu. Aku berusaha menjadi seseorang yang sewajarnya ketika memberikan kejutan (kejutan yang gagal) itu kepadanya. Ya simpul senyumku masih tetap melekat pada bibir sampai seorang teman mengambil foto kita dengan handphone miliknya.
Terimakasih telah membuat aku berpikir bahwa ada yang lebih istimewa daripada seloyang kecil kue coklat, pelukan kecil, dan sedikit doa yang aku berikan malam itu.
Maaf kuenya sudah hancur dan tidak enak, seharusnya aku membeli kue yang baru