Berbeda dengan Meriana, hidup Rheiga penuh dengan limpahan kasih sayang. Ayahnya salah satu petinggi di salah satu rumah sakit swasta yang terkenal. Ibunya mempunyai butik yang sudah mememiliki beberapa cabang. Namun, keluarga Rheiga selalu memetingkan keluarga. Sehingga kedua anaknya tidak kekurangan figur akan orang tua.
Rheiga memiliki seorang adik perempuan bernama Rheiya Arsenio. Adiknya masih berumur 11 tahun dan sekarang kelas 6 SD. Rheiya sangat manja, apalagi terhadap Rheiga. Bagi Rheiya kakak laki-lakinya adalah segalanya.
“mau kemana lagi kak? Baru juga pulang.” Ucap Laraya ibunya Rheiga yang sedang duduk di ruang keluarga.
“eh, mamah udah pulang? Kakak mau benerin ban motor.” Jawab Rheiga menghampiri ibunya.
“udah dari satu jam tadi. Kok pulang nya telat sih, Kak?” Tanya Laraya kembali saat putra sulungnya itu sudah duduk di sebelahnya.
“iya abis kumpulan basket dulu. Mana nunggu bis nya lumayan lama tadi.”
“nunggu bis lama atau gimana? Bis kan 15-20 menit satu kali lewat kak.” Goda Laraya terhadap anaknya.
“eh, iya kok. Tadi bis nya lama.” Jawab Rheiga gugup. Muka Rheiga yang mulai merona itu malah semakin membuat Laraya ingin menggoda anaknya itu.
“masa sih kak? Kok mukanya merona gitu. Hayo abis ngapain tadi di halte.”
Mendengar godaan ibunya yang tepat sasaran itu semakin membuat Rheiga gugup dan merona. Seakan tertangkap basah melakukan hal yang aneh. “mamah. Udah ah, kakak mau pergi dulu.”
“mau kemana sih, Kak? Kan pertanyaan mamah belum dijawab.” Cegah Laraya menahan lengan Rheiga yang sudah beranjak dari duduknya.
“kakak kan mau benerin motor, Mah.”
“udah di betulin kok. Mamah tadi suruh Pak Sarip.” Ucap Laraya dengan santai dan mulai menarik anaknya kembali supaya terduduk. “jadi sekarang jawab pertanyaan Mamah yang tadi.” Paksa Laraya.
“pertanyaan yang mana, Mah?” Kilah Rheiga.
“kejadian di halte tadi.” Jawab Laraya langsung. “ayo cepetan jawab.” Lanjut Laraya saat anaknya ingin berkilah kembali.
“ngga ada apa-apa kok.” Jawab Rheiga yang masih tidak mau bercerita.
“ga ada apa-apa kok mukanya merah?”
“Rhei, cuman ketemu cewe yang Rhei bikin jatoh aja.” Putus Rheiga akhirnya.
“loh kok bisa. Coba certain gimana kejadiannya.” Ucap Laraya yang kemudian serius.
“Rhei ga sengaja ngenain bola basket ke paha dia, lagian cewek nya jatoh karena lagi sakit. Tapi, Rhei tanggung jawab kok bawa dia ke UKS. Trus yang kedua Rhei ga sengaja nabrak dia di koridor. Rhei lagi buru-buru trus ga sengaja. Salahnya Rhei, Rhei bilang dia lemah jadi cewek dan manja.” Cerita Rhei sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.
“ya ampun kak, hati-hati dong. Kamu yang salah kok salahin orang lain sih. Mau cewek itu sakit atau ngga, kakak udah salah. Besok minta maaf sama dia.” Kata Laraya menasehati anaknya.
“Rhei udah bilang minta maaf. Rhei nyesel saat tau dia salah satu perenang, jadi wajar dia mengeluh saat bahu nya terbentur gara-gara Rhei. Jadi pas waktu ketemu di halte tadi Rhei minta maaf. Namun, sikap dia sama Rhei jutek dan arogan banget Ma.” Keluh Rhei saat ingat sikap Meriana yang dingin terhadapnya.
“kalau sama orang lain gimana?” Tanya Laraya penasaran saat melihat raut kesal di wajah anaknya itu.
“baik banget dan ramah. Rela ngasih kursinya demi orang lain. Padahal Rhei tau dia masih sakit, wajahnya masih pucat. Dan Rhei ngerasa dia kesepian. Dia selalu bilang ga akan ada yang marah dan peduli terhadapnya. Padahal supir nya selalu ketakutan saat dia ingin naik umum atau membuka pintu mobil. Mungkin dia dari kalangan atas.”
“mungkin karena kamu sudah membuatnya kesal maka dari itu sikapnya berbeda terhadap Kakak. Lain kali minta maaf secara tulus.” ucap Laraya seraya mengusap kepala anaknya dengan sayang.
“Rhei tulus kok Mah. Tapi Rhei jadi kesal lagi saat sikap nya yang acuh itu. Tapi di balik raut dinginnya, ada kesedihan disana. Bahkan saat di UKS tadi, dia mengingau memanggil seseorang. Waktu Rhei bawa ke UKS tadi mukanya pucat banget belum lagi keringat dinginnya sangat banyak. Bukankah itu hal yang cukup serius?” Tanya Rhei penasaran yang hanya di jawab gelengan oleh Laraya.
“jika masalah medis, tanyakan sama ayah. Ayah lebih paham tentang hal itu.”
“kapan-kapan ajak dia makan bareng di sini ya. Mamah penasaran. Kamu pertma ketemu udah kaya gini aja.” Lanjut Laraya menyuruh anaknya mengajak Meriana untuk makan bersama di rumahnya.
“lah ngapain sih Ma?” protes Rheiga tanda tidak setuju.
“karena mamah penasaran sama orang yang udah bikin anak Mamah jatuh hati.” Jawab Laraya menggona Rheiga sambil mencubit gemas hidung anaknya itu.
“pokoknya ajak ke sini aja. Kalau bisa besok. Udah ah Mamah mau masak dulu.” Lanjut Laraya. Setelah mengatakan hal itu Laraya pun beranjak dan pergi ke dapur untuk memasak.
Terkadang jika Laraya sedang di rumah, ia memang selalu memasak sendiri untuk keluarganya. Karena baginya, inilah tugas seorang ibu dan istri yang penting.
Rheiga yang masih duduk di sofa pun hanya bisa memandang ibunya itu dengan pasrah. Jika sudah begini Rheiga harus memenuhi permintaan ibunya itu. Jika tidak mungkin kehidupannya akan terganggu.
.
.
.
.
.
TBC