Mentari belum memperlihatkan tandanya untuk muncul di ufuk timur. Udara masih sangat dingin, hingga membuat orang-orang kian menarik selimut untuk mengahalau udara dingin tersebut. Namun, berbeda dengan gadis bernama Meriana. Dia sudah terjaga dari jam 4 pagi. Seperti sudah terbiasa dengan sendirinya, tubuhnya selalu terjaga di jam segitu. Bukannya langsung melanjutkan tidur kembali, tapi Meriana malah melakukan kegiatan favoritenya di mulai dari jam 5 pagi.
Disaat udara yang sangat dingin ini menusuk pori-pori kulit, Meriana masih bergerak aktif menyusuri kolam renangnya dengan lincah. Iya, gadis itu sedang berenang. Berenang adalah kegiatan rutin yang selalu Meriana lakukan. Baginya, berenang adalah segalanya.
Hidup sebagai anak bungsu keluarga Lauw, tidaklah membuat Meriana senang. Orang tua dan kakak laki-lakinya terlalu sibuk untuk memikirkan Meriana. Hidup Meriana terbilang lebih dari cukup, jika di nilai dari harta dan uang. Tapi, jika untuk perhatian dan kasih sayang maka tak ada nilai yang pantas untuk disebutkan.
Tak seperti biasanya, hari ini Meriana hanya berenang selam 20 menit. Dia merasa ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Hingga Meriana memutuskan untuk menyudahi kegiatan favoritenya itu.
Menyambar handuk yang tergeletak di atas kursi santai, lalu memakainya. Meriana mengikat handuk bajunya itu sambil melangkah masuk ke dalam rumahnya dan menuju dapur. Meriana melihat punggung yang sudah 16 tahun ini selalu dilihatnya.
“Pagi, Mbok Dar.” Sapa Meriana saat sudah di meja makan. Lokasi meja makan dan dapur hanya terhalang oleh Kitchen table saja.
Jika kalian menganggap punggung yang selalu Meriana lihat di dapur itu adalah punggung ibunya, itu salah. Punggung yang selama 16 tahun Meriana lihat adalah pembantu dan pengasuhnya di rumah ini. Jangan bertanya kemana ibunya Meriana. Ibunya terlalu sibuk bersama ayahnya. Dan sekarang mereka sedang berada di luar kota.
“pagi juga non, tumben latihannya lebih cepat dari biasanya?” Jawab Mbok Dar perhatian dan merasa aneh, karena biasanya nona mudanya itu berlatih lebih dari 30 menit di setiap paginya.
“ngga apa-apa Mbok, saya kurang enak badan kayaknya. Mei masuk kamar dulu deh Mbok. Mau siap-siap sekolah.” Jelas Meriana dengan menenangkan. Namun, Mbok Dar malah terlihat melihat nona muda yang sudah dia urus selama 16 tahun ini.
“Mbok buatin wedang jahe anget ya, Non?” Tanya Mbok Dar sesaat sebelum Meriana masuk ke kamarnya di lantai 2.
“ngga usah Mbok, buatin susu coklat aja kaya biasa. Makasih Mbok.” Tolak Meriana, bukan karena apa, Meriana tidak suka wedang jahe.
Setelah mengucapkan itu, Meriana pun pergi memasuki kamarnya yang berada di lantai 2. Kamarnya bersebelahan dengan Kak Marchello Lauw, kakak laki-laki Meriana. Biasanya Meriana selalu memanggil Kak Marchel.
Pintu kamar itu masih tertutup saat Meriana sudah berada di lantai 2. Meriana mendekatkan dirinya ke hadapan pintu kamar kakaknya itu. Namun tak ada tanda-tanda ada orang di dalam. ‘apa Kak Marchel belum bangun? Atau semalam tidak pulang ke rumah lagi?’ batin Meriana.
Tidak ingin ambil pusing, Meriana pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Setelah memasuki kamarnya, Meriana tidak segera bersiap. Melainkan menuju balkon kamarnya dan duduk sebentar di bangku yang disediakan di sana.
Balkon kamarnya menghadap ke taman belakang rumahnya. Seharusnya taman belakang itu menjadi tempat favorite menghabiskan waktu keluarga seperti dalam cerita film. Namun taman itu terlihat sunyi dan tak tersentuh. Taman itu terawatt dengan baik. Namun terkesan dingin. Tak ada satu pun kenangan hangat yang tercipta disana.
“hufh…”
Setelah mengela nafasnya itu, barulah Meriana kembali masuk ke dalam kamarnya dan bersiap untuk pergi sekolah.
Kamarnya cukup luas, dengan semua fasilitas. Orang tuanya memberikan perhatian dengan fasilitas yang tercukupi. Tapi, Meriana tidak membutuhkannya. Dia hanya membutuhkan kasih sayang orang tuanya saja.
Selamat pagi Nona,
Tuan dan Nyonya menitipkan salam,dan selamat beraktifitas. Semoga hari Nona menyenangkan.
-Pak Darma-
Setelah membaca pesan yang selalu Meriana dapatkan setiap paginya, Meriana memasukkan Handphonenya ke dalam tasnya. Bukan tidak menghargai Pak Darma sekretaris ayahnya itu, hanya saja Meriana tak butuh pesan itu. Meriana hanya butuh pesan langsung yang diucapkan orang tuanya.
Apa susah membagi waktu barang dua menit saja dengan anaknya? Apa Meriana harus mengatur janji terlebih dahulu untuk bertemu kedua orang tuanya? Meriana terlalu merindukan mereka saja. hanya itu yang Meriana inginkan.
Setelah merasa selelsai dengan persiapannya, Meriana pun memutuskan untuk turun ke lantai 1 dan berniat sarapan terlebih dahulu.
Saat sudah berada di ujung tangga, Meriana melihat kakaknya yang sedang memainkan handphonenya sembari mengunya nasi goring yang dibuatkan Mbok Dar.
“pagi, Kak.” Sapa Meriana setelah berada di meja makan, dan menarik kursi yang ada dihadapan kakaknya itu.
“pagi.” Jawab Marchel dingin.
“hari ini kakak kuliah?” Tanya Meriana mencairkan suasana.
“ngga.” Jawab Marchel tetap dingin.
“kalau gitu, anterin Mei sekolah ya?” Tanya Meriana penuh harap.
Marchel tidak langsung menjawab melainkan mengalihkan pandangannya yang semula menuju handphonenya tehadap Meriana yang memandangi Marchel penuh harap.
“ngga bisa, kakak sibuk.” Jawaban Marchel sekita itu membuat raut wajah Meriana langsung muram.
“ah sibuk, harusnya aku tau. Semua anggota keluarga ini sangat sibuk. Kenapa aku selalu mengharapkan hal yang mustahil terjadi.” Kata Meriana sembari tersenyum sedih.
“Dek..”
“tidak perlu memperlihatkan raut menyesal dan kasihan terhadapku. Jika itu hanya untuk menghindariku. Aku tidak cukup bodoh untuk terus tertipu dengan raut wajah itu.” Potong Meriana sebelum Marchel menyelesaikan ucapannya.
“sepertinya aku tidak ada pun, tidak akan ada yang menyesal. Ah bukan menyesal, mungkin tak ada yang menyadarinya. Benarkan?” Tanya Meriana.
Marchel tidak menjawab pertanyaan konyol Meriana itu. Marchel bingung akan menjawab apa. Karena tak biasanya Meriana bersikap seperti ini. Biasanya adiknya itu akan menjawab dengan jawaban pengertian. Tapi sepertinya semuanya telah berubah, semuanya.
.
.
.
TBC