“Jadi semua itu rencanamu?” tanya Jung-Im tak percaya ketika mereka bersantai di tempat persembunyian mereka. Baru saja sahabatnya itu menguraikan semua kejadian tentang penculikan Eun-Hye dan insiden racun, serta pasukan yang menyelamatkan mereka. Sekarang sahabatnya itu hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun. Hal yang biasa dilakukan oleh Kim Hyun-Shik.
“Aigoo. Kau merencanakan semua ini tanpa sepengetahuanku dan Ketua Kang?” Jung-Im tampak kesal. Hyun-Shik sering membuat rencana tanpa melibatkan ia atau Ketua Kang, dan yang membuatnya kesal ketika rencana itu berhasil dengan sempurna.
Hyun-Shik mengangguk. “Maaf, terkadang membohongi sahabat juga bisa membantuku. Tapi sebenarnya ada hal yang salah dalam perhitunganku,” ujar Hyun-Shik dengan raut wajah serius membuat sahabatnya itu penasaran. Ia meletakkan kopi hangatnya ke atas meja, menautkan jemari seolah sedang berpikir keras. Hal ini menambah keingintahuan Jung-Im dengan spekulasi-spekulasi yang hampir tak masuk akal dari sahabatnya itu. Seperti peramal yang mampu memprediksikan apa yang terjadi di masa depan.
“Aku tidak akan mengira dia mulai menerimaku. Aku telah melakukan kesalahan.”
“Bukankah itu yang kau mau? Kau mencintainya, ‘kan?”
Hyun-Shik mengangguk. “Aku memang mencintainya, tapi dengan membuatnya menerima keberadaanku malah membuatku makin bersalah. Ia kehilangan ayahnya karena aku, dan aku menyembunyikan kebenaran tentang Ji-Hyun.”
“Tapi itu demi kebaikannya sendiri. Kau merahasiakan hal itu agar ia tidak terlibat jauh dalam masalah ini.”
“Aku tahu, tapi aku rasa seorang Kim Eun-Hye tidak akan berhenti sebelum tujuannya tercapai.” Hyun-Shik berdiri, lalu menghampiri ponselnya yang berdering di atas nakas tempat tidur. Sudut bibirnya terangkat ketika membaca nama Chae-Yeong di layar ponselnya.
“Kurasa aku harus menemui seseorang sekarang.” Hyun-Shik menunjukkan ponselnya, lalu berjalan meninggalkan Jung-Im sembari mengangkat panggilan. Jung-Im hanya terdiam dengan spekulasi yang terus berputar di benaknya.
Sahabatnya itu selalu penuh kejutan. Terlihat dari bagaimana ia merencanakan sesuatu dan tak ragu mengorbankan nyawanya sendiri. Memang semua itu benar. Setelah melihat catatan kesehatan Im Jae-Ra, menyambungkannya dengan rencana penyanderaan Eun-Hye. Sejak itu juga ia tidak bisa memprediksi arah pemikiran Hyun-Shik. Spontan, terarah, dan tepat. Seakan tidak memiliki celah.
Dari dalam ia bisa mendengar suara mesin mobil Hyun-Shik yang meninggalkan tempat persembunyian mereka. Jung-Im bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruang rahasia di balik dinding, mengambil beberapa dokumen kasus, lalu membacanya untuk mempelajari kasus pembunuhan putra presiden, peledakkan gedung, dan juga kematian Seo-Jung.
Ia tidak bisa membiarkan sahabatnya berjuang seorang diri karena ia juga terlibat dalam semua kasus yang berkaitan ini. Kematian Seo-Jung juga tanggung jawabnya. Begitu juga melindungi Eun-Hye, Ji-Hyun, dan Hyun-Shik.
***
Hanya membutuhkan lima belas menit untuk sampai di kantor pusat perusahaan J&R yang terlihat dari beberapa penjuru Seoul. Perusahaan yang memengaruhi sebagian besar perekonomian Seoul. Mata lelaki itu tertuju pada Chae-Yeong yang sedang berbincang dengan seorang lelaki yang seusianya. Di sebelah lelaki itu, seorang perempuan berdiri, mungkin sekretaris atau asistennya.
Hyun-Shik turun dari mobil dan menghampiri Chae-Yeong, lalu mengucap salam dan memberi hormat pada lelaki itu.
“Ah, kau sudah datang? Baguslah, aku ingin memperkenalkanmu pada mitra baru kita, Ahn Woo-Hyun.” Chae-Yeong memperkenalkan Hyun-Shik pada Woo-Hyun yang tersenyum padanya.
“Kim Hyun-Shik,” ujarnya memperkenalkan diri seraya menjabat tangan Woo-Hyun.
“Ahn Woo-Hyun. Sepertinya kau pengawal yang luar biasa,” komentarnya.
“Ah! Kau benar! Dia memang bisa dipercaya,” puji Chae-Yeong diiringi tawa ringan.
“Baiklah, kurasa kita bisa membicarakan proyek ini di pertemuan selanjutnya. Senang bisa bekerja sama dengan anda.” Woo-Hyun menjabat tangan Chae-Yeong, menariknya dan menepuk bahu lelaki itu layaknya mitra bisnis.
“Ya, senang bekerja sama dengan anda.”
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Hyun-Shik ketika Woo-Hyun berlalu bersama dengan sekretarisnya. Ia mengalihkan pandangan pada Chae-Yeong, menatap lelaki itu serius.
“Kita bicarakan ini di ruanganku.”
Hyun-Shik mengangguk, lalu mengikuti langkah Chae-Yeong memasuki kantor. Sebenarnya, Hyun-Shik merasa sedikit risih ketika berjalan di koridor kantor dan memilih masuk lewat jendela. Melihat para karyawan perempuan melihat ke arah mereka sambil tersenyum dan berbisik. Ada yang menggoda, menggosip, dan menjelekkan mereka.
Lift berhenti di lantai dua dari atas. Lantai yang hanya dimasuki oleh petinggi atau pengurus perusahaan. Mereka melangkah menuju ruangan rahasia perusahaan. Ruangan itu sangat luas dengan nuansa putih hitam. Bahkan mengalahkan luasnya lantai satu yang terdiri dari lobi dan segala macam ruangan pelayanan. Hyun-Shik mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati beberapa lukisan dan foto seorang lelaki yang ia ketahui namanya adalah Im Jae-Ra. Chae-Yeong mempersilakan Hyun-Shik untuk duduk, lalu menunjukkan buku pada Hyun-Shik.
“Bukalah.”
Hyun-Shik menurut. Ia membuka buku itu perlahan, lalu mengernyitkan dahinya. Ia kembali memandang Chae-Yeong yang melepaskan dasi serta jasnya. Rupanya lelaki itu menelusuri segala sesuatu tentang ayahnya sendiri sejak lama.
“Ruangan ini hanya dimasuki oleh petinggi dan pengurus perusahaan. Ayahku sering membawaku ke tempat ini, tapi aku pertama kalinya menemukan buku seperti itu. Aku sendiri heran kenapa buku kosong itu diletakkan di rak buku.”
Hyun-Shik tidak menjawab. Matanya fokus memerhatikan setiap detail buku itu, lalu menyadari sesuatu. Ia tersenyum, lalu mengeluarkan cairan yang digunakan untuk membaca pesan rahasia dari saku jasnya. Meneteskannya di atas kertas, lalu perlahan ada deretan angka yang terlihat.
Penasaran, Chae-Yeong mendekati Hyun-Shik dan ikut membaca angka-angka yang tertera di sana. “Kode rahasia?”
Hyun-Shik mengangguk. “Buku ini bukan milik Im Jae-Ra, tapi milik seseorang yang memiliki kemapuan intelijen sepertiku. Mungkin agen rahasia atau sejenisnya.” Hyun-Shik mengeluarkan pena dan kertas dari sakunya. Ia mulai mengurutkan angka-angka itu dan mengartikannya ke kalimat yang bisa dipahami orang biasa.
“Panah dimensi akan terus bergerak sampai kematian manusia.” Hyun-Shik membacakan kalimat itu dan membuat Chae-Yeong mengernyitkan dahinya. Ia tidak mengerti meski kalimat itu telah diterjemahkan ke bahasa biasa.
“Maksudnya?”
Lelaki itu tidak menjawab, tapi matanya meneliti setiap senti ruangan yang luas itu, lalu matanya terhenti pada satu titik. Titik yang mungkin tidak akan pernah di sadari siapa pun, selain orang yang mengerti kode ini.
Hanya Im Jae-Ra, ia, dan pemilik buku sekaligus penulis catatan itu.
***
Ahn Woo-Hyun menelusuri koridor gedung SH grup dengan sekretaris di belakangnya. Senyum wibawa tak lepas dari wajah tampan yang membuat para karyawan terpesona. Mereka memasuki lift menuju ruangan pimpinan grup ini, Kim Eun-Hye. Sejak membaca biografi perempuan itu, ia merasa tertarik untuk mendekati dan menjadikannya sebagai rekan bisnis.
Ketika sampai, mereka langsung disambut karyawan perempuan yang mengarahkan mereka ke ruangan. Pintu ruangan diketuk beberapa kali, lalu terdengar sahutan dari dalam. Ketika pintu itu dibuka, matanya menangkap sosok dewasa dari perempuan berambut hitam sebahu yang diikat satu dengan kacamata yang bertengger di hidupnya. Ditambah dengan poni tipis yang membingkai wajahnya.
“Selamat siang, apakah Anda adalah Kim Eun-Hye?”
Perempuan itu mendongak, mata mereka bertemu, lalu sedetik kemudian perempuan itu tersenyum. Imej tenang dan berwibawa terpancar dari lelaki di hadapannya membuat Eun-Hye berhenti menandatangani dokumen, lalu duduk tegak dan mempersilakan Woo-Hyun duduk berhadapan dengannya.
“Ya. Selamat datang, Ahn Woo-Hyun ssi,” balasnya.
“Rasanya beruntung sekali bisa mendapat mitra bisnis seperti Anda. Pastinya proyek ini akan berhasil mengingat kepopuleran Anda meningkat setelah berita yang tersebar beberapa minggu lalu. Tapi sebenarnya, saya datang bukan hanya membicarakan tentang bisnis saja.”
Dahi Eun-Hye mengernyit. “Maksud Anda?”
“Kim Eun-Hye, anak dari Jung Soon-Hee dan Kim Seo-Jung yang dikabarkan meninggal karena terjatuh dari lantai tiga rumahnya. Saksi satu-satunya kejadian peledakkan gedung lima belas tahun yang ternyata masih hidup. Saya tahu kalau kasus itu bukan akibat aliran listrik, tapi peledakkan itu digunakan untuk menutupi kejahatan yang dilakukan Im Jae-Ra, kandidat wali kota yang paling kuat saat ini,” ujar Woo-Hyun sambil tersenyum ketika ekspresi tenang Eun-Hye berubah.
Senyum perempuan itu perlahan memudar seiring rasa kecurigaan yang meningkat. “Apa yang Anda inginkan sebenarnya?”
Woo-Hyun membenarkan posisi duduknya, mendekatkan wajahnya pada Eun-Hye. “Anda ingin membuktikan kebenaran, ‘kan? Saya juga begitu.”
“Kenapa Anda ingin melakukannya?”
“Anda akan tahu nanti. Saya tidak berniat jahat atau menjatuhkan. Percayalah kalau saya hanya ingin membantu Anda.”
“Bagaimana agar saya bisa percaya padamu?”
Woo-Hyun mengangkat kedua bahunya. “Yahh, terserah Anda saja. Saya tidak bisa membuktikannya sekarang, tapi Anda akan tahu nanti. Oh ya, saya akan menjadikan Jaksa Ahn Ji-Ye sebagai kuasa hukum Anda. Dia akan membantum mengungkap kebenaran di balik kasus lima belas tahun,” ujar Woo-Hyun sambil memberikan kartu nama Ahn Ji-Ye, juga kartu namanya.
Lelaki itu bangkit. “Oh ya, kasus ini berkaitan dengan perusahaan J&R. Saya yakin kau tahu tentang hal ini setelah mendengar ucapanku, juga ada kaitannya dengan lelaki yang bernama Kim Hyun-Shik. Sampai jumpa lagi.” Lelaki itu bangkit dan melangkah keluar dari ruangan.
Eun-Hye menatap kartu nama itu lekat, lalu tangannya meraih kartu nama itu dengan ragu, membacanya berulang-ulang kali. Entah kenapa, akal sehatnya berkata ragu, tapi hatinya yakin untuk percaya pada lelaki itu.
Sepertinya ia butuh udara segar sekarang.
Ia memutuskan untuk menyelesaikan aktivitasnya dan turun ke lantai dasar dengan senyum manis yang merekah. Membuat para karyawannya juga tersenyum manis padanya. Ia tahu semua itu hanyalah senyum palsu. Mereka saling berbisik di belakang Eun-Hye dan kadang membuat gosip yang tidak benar. Yah, anggap saja ini tantangan baru hidupnya.
“Ah, akhirnya kau keluar. Aku sudah menunggumu sejak tadi, lho.”
Sontak perempuan itu berhenti ketika suara Hyun-Shik terdengar. Ia mendongak, matanya menangkap Hyun-Shik dalam setelan santai dipadukan dengan coat hitam tebal sedang bersandar di gerbang kantor dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana. Penampilan yang rapih membuat lelaki itu tampak seperti idola Korea.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Memangnya tidak boleh? Aku ingin mengajakmu makan siang.”
“Ah, baiklah. Ada bagusnya kau bersamaku.”
Lelaki itu memerhatikan langkah-langkah Eun-Hye dengan teliti. Senyum manis mengembang di wajahnya yang tampan seiring hatinya menghangat. Bahkan dengan rambut sebahu yang diikat satu, Eun-Hye masih terlihat imut, bahkan cantik dan anggun secara bersamaan. Ia baru menyadari kalau Eun-Hye memiliki bahu kecil yang terlihat rapuh. Rasanya ingin sekali ia berlari dan memeluk perempuan itu dari belakang, tapi niatnya diurungkan. Ia tidak ingin membuat perasaannya semakin tumbuh dan menyakiti perempuan itu.
Karena akan ada saatnya ia harus menghilang seutuhnya dari kehidupan Eun-Hye.
“Apa yang kau lakukan di sana?” Perempuan itu berbalik dan mendapati Hyun-Shik yang tertinggal cukup jauh darinya. Ia tersentak dan merasa tertarik dari dunianya ketika jemari lentik itu menyentuh jemarinya, menariknya dengan perlahan. Perempuan itu memiringkan kepala tepat di hadapan Hyun-Shik. “Kau sedang memikirkan apa?”
Hyun-Shik menggeleng. “Bukan apa-apa. Ayo makan, kau pasti lapar. Aku akan mentraktirmu kali ini,” jawabnya. Kini gilirannya menggenggam jemari Eun-Hye dan menariknya ke dalam mobil.
“Aku rasa aku akan dimarahi Ji-Hyun ketika melihat kita,” ujar Hyun-Shik berniat mengusili perempuan itu.
Eun-Hye tersenyum simpul. “Ah, aku yakin dia akan marah jika melihatmu di sini, jadi siapkan saja wajahmu untuk dihajarnya, ya.”
Lelaki itu terkekeh. Sesekali ia mencuri pandang sembari mengendarai mobil. Matanya menangkap kalung yang melingkar indah di leher jenjang Eun-Hye. Han Ji-Hyun. Itulah nama yang terukir dengan indah di kalung itu. Lelaki itu pasti benar-benar berharga bagi Eun-Hye.
“Kau mau makan bulgogi?”
“Hn. Itu menu yang biasa aku makan bersama Ji-Hyun ketika musim dingin tiba.”
Perempuan itu sibuk berkutat dengan ponselnya. Hyun-Shik kembali melirik sekilas sebelum kembali fokus pada kemudi. Tampak beberapa forum berita yang menampilkan berita seputar pencalonan wali kota. Menunjukkan bahwa perempuan itu masih penasaran dengan berita tentang pencalonan wali kota Seoul yang dibanding-bandingkan dengan berita kemunculannya.
“Hyun-Shik,” panggilnya tanpa menoleh.
“Ya?”
“Menurutmu, apa Ji-Hyun melihatku?”
Hyun-Shik bisa merasakan nada keraguan dalam ucapan perempuan itu barusan. Eun-Hye terdengar mulai putus asa mengingat ini memasuki bulan kedua sejak berita itu dipopulerkan, bahkan menjadi trending topic selama sebulan ini dan akan berlanjut entah sampai kapan.
Perempuan itu membenamkan punggungnya ke kursi mobil, lalu memejamkan mata. “Bagaimana jika Ji-Hyun sudah meninggal?”
“Menurutmu sendiri?” Hyun-Shik balik bertanya.
“Menurutku? Aku berharap Ji-Hyun akan segera menemuiku lagi.”
“Bagaimana jika dia tidak kembali padamu?”
Eun-Hye terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan yang langsung menusuk ke hatinya. Pertanyaan yang selama ini menghantuinya. Pertanyaan yang ia tanyakan pada diri sendiri selama beberapa tahun.
“Kalau dia tidak kembali lagi, maukah kau terus bersamaku?” Perempuan itu berkata sambil memandang Hyun-Shik. Nada yang terdengar ragu menunjukkan kalimat itu hanya bualan semata yang menjadikan Hyun-Shik seolah-olah pelampiasan rindunya pada Ji-Hyun.
Bahkan perempuan aneh itu kini duduk tegak dan memandang Hyun-Shik dengan tatapan yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata seindah apa pun. Tampaknya perempuan itu berusaha tersenyum, tapi gagal karena air mata sudah menguasai. Eun-Hye menangis, lalu menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan. Mengalihkan wajah ke arah lain agar lelaki itu tidak bisa melihatnya. Lelaki itu memutuskan untuk menepikan mobilnya, lalu menarik perempuan itu ke dalam pelukan. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang karena ia pernah mengalaminya.
Terasa sakit dan menyedihkan.
Ia tidak mampu berkata apa-apa dan terus mengusap punggung Eun-Hye yang gemetar. Perempuan yang sama rapuhnya dengan dia. Hanya saja perempuan ini selalu gagal ketika berusaha tegar, sedangkan Hyun-Shik bisa dengan sempurna menutupinya.
“Aku takut kehilangan Ji-Hyun. Aku takut tidak bisa mengucapkan terima kasih padanya dan takut ketika suatu saat nanti kenangan itu akan memudar dari ingatanku.”
“Itu tidak akan terjadi.” Hyun-Shik berkata dengan lembut. Ia memeluk perempuan itu semakin erat sambil mengecup pucuk kepalanya berkali-kali.
“Bagaimana kau bisa mengatakannya sedangkan kau tidak mengenal Ji-Hyun?”
“Karena kau begitu memercayainya. Jika memang kau mencintainya, kau harus percaya padanya. Aku yakin kalau dia tidak akan mengingkari janjinya padamu,” ujar Hyun-Shik.
Eun-Hye melepaskan dirinya dari pelukan Hyun-Shik dan mengusap air matanya. Ia mendongak dengan mata yang sembab, lalu tersenyum. Matanya bertemu dengan mata Hyun-Shik yang menatapnya hangat. “Ah, kau benar. Aku harusnya tetap percaya pada Ji-Hyun. Terima kasih telah mengingatkanku.”
“Kau merasa baikan? Apa kita bisa jalan sekarang? Kurasa barusan aku mendengar suara perutmu,” canda lelaki itu sambil tersenyum kecil.
Perempuan itu terkekeh sambil mengangguk mantap, tapi dering ponsel membuatnya tersentak. Ia segera mengangkat panggilan dari Yoon-Jung, mendengarkan kalimat yang diucapkan, lalu menjatuhkan ponselnya ke pangkuan.
“Ada apa?” Hyun-Shik khawatir ketika raut wajah Eun-Hye tampak panik.
“Aku harus kembali. Aku khawatir pada ibuku.”
Hyun-Shik menurut dan memutar arah laju mobil menuju rumah Eun-Hye. Ia mempercepat laju mobilnya hingga sepuluh menit kemudian mereka sampai di sana. Perempuan itu segera melesat memasuki rumah, sedangkan lelaki itu mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah Eun-Hye. Matanya menangkap sebuah mobil hitam yang terparkir agak jauh dari rumah Eun-Hye. Entah kenapa ia merasa familiar dengan mobil itu, tapi bukan milik Im Jae-Ra atau Lee Kyung-Ju.
Siapa?
Hyun-Shik akan memikirkan itu nanti dan mengikuti Eun-Hye yang memasuki rumahnya. Ia harus mengecek sedetail mungkin rumah yang tampak kacau dengan beberapa barang-barang berjatuhan, serta kertas yang berserakan. Terutama kamar Eun-Hye dan ruang kerja ibunya.
“Apa masuk akal seorang mencuri di siang hari?” Hyun-Shik bergumam sembari mengedarkan pandangan. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu memotret beberapa sudut yang terlihat mencurigakan. “Apa ada benda berharga yang hilang?” tanyanya pada Yoon-Jung.
Yoon-Jung menggeleng. “Tidak ada, tapi beberapa lemari di kamar nona Eun-Hye dibuka dan berantakan.”
Mereka berjalan menuju kamar Eun-Hye. Perempuan itu terkejut ketika pakaian-pakaian yang awalnya tersimpan rapih, kini berhamburan. Hyun-Shik berjalan menuju balkon kamar Eun-Hye dan menengok keluar. Matanya menangkap mobil yang tadinya terparkir agak jauh dari rumah ini mulai bergerak.
“Apa mungkin mereka mencari ini?” Eun-Hye menunjukkan liontin yang ia temukan lima belas tahun yang lalu.
“Mungkin saja ketika mengingat tidak ada barang berharga yang hilang,” jawab Hyun-Shik.
Perempuan itu terdiam, menatap liontin itu dengan sendu. Ia tidak menyangka semua ini sudah dimulai. Masa-masa di mana nyawanya kembali terancam seperti dulu karena ia adalah saksi sekaligus pemilik bukti yang bisa menghancurkan pelaku kapan saja.
Sebelah tangannya yang bebas menarik lengan Hyun-Shik, memposisikan telapak tangan lelaki itu terbuka, lalu meletakkan liontin itu di sana. Ia mendongak dan tersenyum. “Kau membutuhkannya, ‘kan? Aku akan memberikan ini padamu bukan karena aku takut menjadi incaran mereka, tapi kurasa liontin ini akan lebih berguna jika berada padamu.”
Hyun-Shik terdiam, menyadari ada rasa takut dalam kalimat Eun-Hye barusan. Ia sadar kalau posisi perempuan ini memang dalam bahaya mengingat orang-orang itu akan selalu mengincarnya. Semuanya sudah tampak bahkan sebelum perempuan itu muncul ke hadapan publik. Hal yang menjadi salah satu alasannya untuk menjaga perempuan itu secara diam-diam.
Sudah dua kali perempuan itu berada dalam bahaya, dan ini yang ketiga.
“Hyun-Shik,” panggil perempuan itu. “Berjanjilah padaku kalau kau akan menyelesaikan kasus ini. Kau harus memberikan keadilan pada mereka yang meninggal karena kasus ini. Mungkin saja aku tidak akan selamat suatu saat nanti, tapi ini semua adalah pilihanku. Tidak ada alasanku untuk mundur. Setidaknya, jika suatu saat aku dibunuh oleh mereka, kau harus menepati janjimu, ya?”
Perempuan itu menangis, juga tersenyum. Pemandangan yang membuat seperti disayat-sayat. Ia menarik perempuan itu dalam pelukan, menyesapi aroma vanilla yang merupakan khas perempuan itu. Rahangnya mengeras dan darahnya seakan mendidih. Ia sudah berjanji pada Seo-Jung dan Ji-Hyun untuk melindungi perempuan ini dengan taruhan apa pun.
“Aku tidak akan membiarkan mereka membunuhmu. Aku pasti akan melindungimu, jadi percayalah padaku, Kim Eun-Hye,” bisiknya dengan lembut bagaikan obat penenang perempuan itu. Perlahan Eun-Hye mulai tenang. Perempuan itu berhenti menangis dan sudah saatnya Hyun-Shik melepaskan pelukan. Ia menyentuh wajah perempuan itu dengan lembut, membiarkan mata mereka bertemu. Jemarinya menghapus air mata Eun-Hye yang tersisa di ujung mata seraya tersenyum. Ia tidak bisa menghiraukan perasaannya pada Eun-Hye. Perasaan yang perlahan berkembang dan menguasai akal sehatnya.
“Aku mencintaimu,” ujarnya dalam hati.
***
Hyun-Shik dengan pakaian hitam lengkap, topi, dan penutup wajah memasuki gedung perusahaan J&R yang kosong. Semua karyawan sudah pulang sejak dua jam yang lalu. Hanya tersisa kamera pengawas yang dinyalakan di bagian depan gedung, serta di beberapa sudut ruangan yang ia hapal betul letaknya.
Hyun-Shik memasuki ruang kerja tempat ia dan Chae-Yeong berbincang tadi siang, lalu menggeser lemari kecil yang menyembunyikan tombol kecil. Ia mengaktifkan tombolnya, lalu sebuah dinding bergeser membuka sebuah ruangan. Setelah memastikan semuanya aman, ia masuk ke ruangan itu dan berjalan di titik buta CCTV. Ia yakin kalau Im Jae-Ra pasti mengaktifkan CCTV itu diam-diam. Bisa dibilang, ruangan itu adalah tempat harta karun. Ada banyak sekali informasi penting di sana yang tidak bisa diakses siapa pun, termasuk Chae-Yeong sendiri.
Hyun-Shik menurunkan lukisan Dewi Artemis yang tergantung. Ia mengeluarkan pisau lipat dari sakunya dan merobek pinggiran lukisan itu hingga terlepas dari bingkainya. Ia mengambil gambar yang ada di balik lukisan, lalu mengembalikan lukisan itu pada posisi awal.
“Mianhae.”
***
[Bahasa Korea] Aigoo = Astaga
[Bahasa Korea] Bulgogi = Olahan daging sapi khas Korea
[Bahasa Korea] Mianhae = Maaf
Keren banget ceritanya.
Comment on chapter Prolog