Empat hari berlalu, tapi kejadian itu masih berulang dalam ingatan Eun-Hye. Rasa penasarannya tentang Hyun-Shik, serta hubungan lelaki itu dengan tragedi lima belas tahun yang lalu, tentang Ji-Hyun yang belum juga muncul, dan yang paling membuatnya hampir gila. Perjanjiannya dengan Hyun-Shik.
Eun-Hye menghela napas berat, lalu menyenderkan kepalanya di kaca mobil. Perjalanan dari kantor SH Grup ke rumah memang lumayan menguras tenaga dan waktu. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Ia melirik jam ponselnya. Pukul 17.42. Eun-Hye hendak memejamkan mata sejenak, namun dering ponsel kembali membuatnya tersentak. Dengan mata yang membulat, serta jantung yang berdetak cepat, Eun-Hye segera mengangkat panggilan dari lelaki bernama Hyun-Shik.
“Yeoboseyo. Eun-Hye?” Suara parau lelaki itu tetap khas walau didengar dari ponsel.
“Ya, ada apa Kim Hyun-Shik ssi?”
“Kau baik-baik saja?”
Perempuan itu tersenyum. “Ya. Aku baik-baik saja. Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Kim Hyun-Shik ssi.”
“Kim Hyun-Shik ssi? Kenapa memanggilku formal begitu? Bukankah kau yang bilang jangan bersifat terlalu formal?”
“A-ah, Hyun-Shik.”
“Aku ingin membicarakan sesuatu padamu tentang perjanjian kita. Bisakah kita bertemu sekarang?”
“Di mana?”
“Myeongdong.”
***
Eun-Hye, dengan berbalut gaun kotak-kotak dengan blazer hitam menelusuri jalanan Myeongdong yang padat. Ia mengedarkan pandangan pada toko-toko berjajar dengan berbagai macam benda atau makanan. Seakan tak henti mengagumi keindahan kota Seoul sore itu. Bibirnya sesekali mengembang, seakan melihat keajaiban yang dulu tak terbayang olehnya.
Perjanjian dengan Hyun-Shik membuat Eun-Hye kembali teringat dengan Ji-Hyun. Seakan berharap bahwa Hyun-Shik adalah Ji-Hyun. Mendorongnya untuk meminta Yoon-Jung menyelidiki tentang lelaki itu. Tapi mereka hanya menemukan data tentang pekerjaan Hyun-Shik sebagai pengawal pribadi Im Chae-Young. Tidak ada latar belakang atau apa pun yang berkaitan dengan kasus Eun-Hye. Lelaki itu seperti badai yang datang tak diundang, tapi memberikan dampak yang luar biasa baginya.
Bagi Eun-Hye, lelaki itu merupakan jembatan untuk mengungkap kejadian lima belas tahun yang lalu. Hanya alat untuk mencapai tujuan dan menemukan Ji-Hyun. Salah satu alasan yang membuatnya menyetujui permintaan lelaki itu untuk bertemu. Yah, walau dia memiliki niat lain yang muncul karena kebetulan lelaki itu mengajaknya ke Myeongdong, pusat perbelanjaan yang sejak dulu ingin ia kunjungi.
Eun-Hye mengedarkan pandangan berusaha mendapati sosok Hyun-Shik yang tinggi. Banyak pasangan yang bergandengan sembari menyusuri kios-kios di pinggiran jalan. Perempuan itu menghela napas dengan mata yang tetap melihat sekeliling. Sebuah pohon hias yang agak jauh dari tempatnya berhasil menyita perhatian Eun-Hye. Ia berjalan mendekat, lalu menyentuh ranting pohon yang tertutupi salju. Perlahan ingatannya tentang salju pertama dan pertemuannya dengan Ji-Hyun. Seakan merasakan Ji-Hyun sedang memeluknya.
Seorang lelaki yang memakai hoodie berlari ke arahnya, menarik tas kecil Eun-Hye dan membuat perempuan itu terjatuh. Ketika lelaki itu hendak melarikan diri, Hyun-Shik muncul dan menerjangnya. Adegan yang dilakukan Hyun-Shik itu berhasil mencuri perhatian orang sekitar. Hyun-Shik menahan pencopet itu dan menyerahkannya pada polisi yang berjaga di sana.
Hyun-Shik mengambil tas Eun-Hye dan mengembalikannya. “Kau baik-baik saja?”
Eun-hye mengangguk seraya tersenyum. “Terima kasih.”
“Apa kau menunggu terlalu lama?”
“Tidak, aku baru datang. Boleh aku tahu apa yang ingin kau bicarakan?”
“Bisa kita cari tempat yang aman? Di sini terlalu terbuka.” Lelaki itu berkata seraya mengedarkan pandangan.
Eun-Hye membenarkan ucapan Hyun-Shik. Membicarakan rahasia besar di tempat umum memang terdengar konyol. Bagaimana jika seseorang mendengar percakapan mereka? Atau parahnya, bagaimana jika kaki tangan pelaku menemukan mereka di sini? Membuat Eun-Hye bergidik ngeri ketika memikirkan kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
“Bagaimana kalau temani aku membeli pakaian?” usul Eun-Hye. Ia memang berniat belanja hari ini dan kebetulan lelaki itu mengajaknya bertemu. Kebetulan yang lucu.
“Hn. Baiklah,” jawab Hyun-Shik polos tanpa tahu selama apa mereka berkeliling hari ini.
***
“Apa ini cocok denganku?” Eun-Hye berputar kecil di hadapan Hyun-Shik dengan gaun tanpa lengan berwarna pink muda. Hyun-Shik hanya mengangguk sambil tersenyum. Mungkin jika ada ajang pencarian jodoh, Hyun-Shik adalah tipe lelaki idaman karena lelaki itu masih tersenyum setelah dua jam melihat perempuan itu berputar-putar di toko pakaian, sesekali mencoba, lalu mencari pakaian yang lain. Eun-Hye jamin jika lelaki biasa akan kesal pada sikapnya hari ini.
Akhirnya kesenangan Eun-Hye di toko pakaian berakhir. Ia bergegas membayar pakaian yang mereka pilih. Selagi Eun-Hye berada di kasir, Hyun-Shik tertarik melihat frilly dress berwarna coklat muda yang terlihat manis. Jemari Hyun-Shik menyentuh bahan dress itu, lalu mengangguk-angguk.
“Kau ingin membelinya?” Eun-Hye menghampiri Hyun-Shik dengan dua kantung belanja. Ia berdiri di samping Hyun-Shik, ikut meneliti pakaian itu.
Hyun-Shik menggeleng, lalu berbalik. “Itu terlihat manis jika kau memakainya.”
“Benarkah? Ah–hei!!” Perempuan itu berseru kesal ketika sadar lelaki itu berjalan meninggalkannya. Ia bergegas menyusul lelaki itu, lalu menahan lengan Hyun-Shik.
“Mau es krim?” Hyun-Shik menunjuk toko es krim yang ada di seberang jalan. Perempuan yang tadinya ingin bertanya maksud ucapan Hyun-Shik kini beralih pada toko yang ditunjuk. Ia mengangguk bersemangat seraya mengikuti langkah Hyun-Shik yang sudah mendahuluinya. Mungkin terdengar aneh jika menikmati es krim di cuaca sedingin ini, tapi es krim adalah pengalih topik yang ampuh. Terutama untuk perempuan pecinta makanan manis seperti Eun-Hye.
Seorang pelayan perempua menuntun mereka menuju meja kosong di dekat jendela besar. Eun-Hye memandang sekelilingnya dengan kagum. Kedai itu tampak mewah dan sederhana dengan interior bergaya pedesaan Inggris yang nyaman dan hangat. Replika pohon bersalju diletakkan di tengah ruangan. Lagu klasik mengalun lembut menyapa telinga para pengunjung. Ia menyukai lantai berwarna coklat, taplak mejanya yang berwarna merah, dan setangkai mawar yang diletakkan di setiap meja.
“Kau pernah datang ke sini sebelumnya?”
Hyun-Shik mengangguk. “Bersama dengan guruku.”
Pelayan yang tadi kembali membawakan menu. Setelah melihat sekilas daftar makanan dan harga yang tercantum di sana, Hyun-Shik menyebutkan pesanannya kepada si pelayan yang mencatat dengan patuh. Setelah si pelayan pergi dengan daftar pesanan mereka, Eun-Hye kembali mendesah dan memandang berkeliling, lalu kembali menatap Hyun-Shik.
“Apa kau memiliki kekasih?”
“Eh? Aku?” Hyun-Shik menunjuk dirinya sendiri.
Perempuan itu mengangguk. “Ya. Kau adalah pengawal pribadi, pasti sulit jika kau memiliki kekasih karena terlalu sibuk.”
Lelaki itu tertawa mendengarnya. “Kenapa kau berpikir begitu?”
“Kenapa tertawa? Apa ada yang lucu?” Eun-Hye balik bertanya.
Hyun-Shik mengangguk. “Kau memang lucu. Meski aku pengawal pribadi bukan berarti aku tidak punya menikmati masa percintaan seperti yang kau katakan.”
“Jadi, kau memiliki perempuan yang kau suka?”
“Ya.”
“Siapa?” Eun-Hye mendekatkan wajahnya pada Hyun-Shik dan menatapnya penasaran.
“Memangnya aku harus memberitahumu?” Lelaki itu malah balik bertanya membuat perempuan itu semakin kesal sekaligus penasaran. Jika saja lelaki itu tidak ahli bertarung, mungkin ia sudah melayangkan tinjunya sekarang. Masalahnya ia tidak ingin tangannya yang sakit karena meninju tubuh batu lelaki itu.
“Yah, baiklah. Kau memang tidak adil.” Eun-Hye kembali membenarkan posisi duduk, lalu melipat kedua tangan seraya mengerucutkan bibirnya kesal.
“Kenapa?”
“Kau tahu lelaki yang aku suka, tapi aku tidak tahu siapa perempuan yang kau suka? Apa sebaiknya kita batalkan perjanjian yang penuh rahasia ini?”
Alis Hyun-Shik bertaut, lalu memiringkan kepalanya. “Memang ada hubungan apa antara rahasia ini dan perjanjian itu?”
Eun-Hye merotasikan bola matanya bosan. “Dasar tidak peka.”
Alis Hyun-Shik bertaut, ia hendak menanyakan maksud Eun-Hye, tapi pelayan itu kembali untuk membawakan pesanan mereka. Akhirnya masalah rahasia dan perjanjian itu tidak dibahas ketika mereka menikmati es krim yang diramaikan buah hiasan. Sejenak Eun-Hye merasa dekat dengan lelaki itu dan percaya padanya. Cara menjawab, tertawa, dan tersenyum yang sangat membayanginya dengan sosok Ji-Hyun.
Setelah selesai dengan es krim, Hyun-Shik mengajaknya ke Deoksugung Doldam-Gil seraya berbincang. Eun-Hye menceritakan tentang ia dan Ji-Hyun yang melewati jalan ini ketika masih kecil, juga mitos pasangan yang melewati jalanan ini akan putus.
“Kau percaya?” Lelaki itu meliriknya dari sudut mata.
“Tidak, aku lebih percaya pada kekuatan cinta. Mana mungkin sepasang kekasih dengan cintanya yang kuat bisa putus hanya karena melewati jalan ini. Memangnya kau percaya?”
“Entahlah. Tapi ini tidak akan berpengaruh pada kita yang bukan pasangan.”
Perempuan itu terkekeh. “Aku setuju.”
Mereka berjalan sembari memotret satu per satu pemandangan yang indah di sana. Diam-diam Hyun-Shik memotret Eun-Hye yang sangat ceria menikmati pemandangan jalan yang romantis. Hingga mereka tersadar kalau arlojinya menunjuk pukul delapan malam. Tujuan awal pertemuan mereka terabaikan begitu saja karena keinginan masing-masing.
Akhirnya Eun-Hye mengajak Hyun-Shik ke tempat rahasia ia dan Ji-Hyun, sebuah bukit. Perempuan itu berjalan mendahului Hyun-Shik ketika melihat tempat favorit ia dan Ji-Hyun sewaktu kecil. Bahkan ia melepas syal, mengabaikan dingin yang menusuk kulit, lalu berputar-putar di bawah pohon yang dipenuhi salju. Ia menarik napas, berusaha menikmati udara yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Ahhhh! Enaknya!”
“Apa enaknya?” tanya Hyun-Shik sambil mengambil syal Eun-Hye.
“Udaranya. Kau tidak ingin merasakannya? Enak, lho.”
“Tidak, ah. Aku ingin duduk saja,” ujar Hyun-Shik sambil duduk di akar-akar pohon yang timbul diikuti Eun-Hye. Lelaki itu memakaikan syal Eun-Hye dengan paksa, membuat perempuan itu menatap tajam ke arahnya.
“Biar tidak dingin.” Hyun-Shik membalas tatapan tajam Eun-Hye dengan berkata lembut.
“Aku tahu, tapi aku suka. Seperti Ji-Hyun sedang memelukku.”
Lelaki itu tertawa. “Terserahlah. Tapi kupikir ini tempat yang bagus.”
“Ya. Sedikit orang yang tahu tentang tempat ini. Ngomong-ngomong, tentang perjanjian itu … kau menyebutku sebagai bagian terpenting dalam kasus. Apa kau sudah tahu yang sebenarnya?”
“Maksudmu?”
“Kasus lima belas tahun itu bukan kebakaran biasa. Kau sudah tahu?”
Lelaki itu mengangguk. “Ya. Aku tahu itu bukan disebabkan aliran listrik.”
“Kau tahu pembunuhan itu?” Eun-Hye memastikan sekali lagi.
“Ya.”
“Tapi kenapa kau menyelidiki kasus yang ditutup lima belas tahun lalu? Apa kau polisi?” tanya Eun-Hye penasaran.
Hyun-Shik terdiam dan membuat Eun-Hye semakin penasaran. Perempuan itu mendekatkan wajah pada Hyun-Shik, membuat lelaki itu sedikit mundur ke bekalang. Jarak mereka yang terlalu dekat membuat lelaki itu bisa merasakan napas hangat dan detak jantung Eun-Hye.
“Kau berasal dari mana? Seoul?”
“Yangju. Aku lahir dan besar di sana, tapi ketika usia lima tahun aku pergi ke Seoul karena ayahku meninggal.“ Hyun-Shik mengalihkan pandangan ke arah lain membuat perempuan itu tersadar dan menjauh dari Hyun-Shik.
“Ah, maaf. Sekarang kau tinggal sendirian?”
“Aku tinggal bersama Jung-Im. Kau ingat, ‘kan?”
“Ah–Aku ingat.”
“Sejak ibuku meninggal aku hidup bersamanya dan dilatih oleh guruku, tapi ketika usiaku delapan belas, guruku dibunuh dan itulah yang menjadi alasanku untuk bertarung seperti ini. Mungkin bisa dibilang inilah caraku bertahan hidup.” Lelaki itu tersenyum ketika menceritakan masa lalunya tanpa malu sedikit pun.
Perempuan itu tertegun. Ah, kehidupan yang berat ketika seorang anak harus berjuang hidup di dunia yang kejam. Lagi-lagi ia terpikir tentang Ji-Hyun. Apa lelaki itu baik-baik saja? Apa lelaki itu hidup dengan sehat?
“Nah, aku sudah membuka rahasia terbesarku padamu. Sekarang kau percaya?”
Eun-Hye menggeleng. “Kau bisa saja mengarang cerita sedih. Aku harus tetap waspada padamu.”
Lelaki itu malah tertawa dan membuat Eun-Hye semakin kesal. “Baiklah. Mungkin kau ingin tahu apa alasanku ingin mengungkap kebenaran tentang kasus itu.”
“Kenapa? Ceritakan padaku.”
“Aku kehilangan orang yang kusayangi dalam kasus itu.”
“….”
“Aku terpisah dengan saudara kembarku karena kasus itu juga. Aku hidup sebatang kara dan berusaha mencari saudaraku yang entah ke mana. Terdengar menyedihkan, ya? Pasti kau tidak percaya, tapi akan aku tunjukkan fotonya padamu.” Lelaki itu serius. Ia mengeluarkan selembar foto dari dompet dan menunjukkannya pada Eun-Hye.
“Ini ibuku, ini ayahku, dan ini saudara kembarku,” ujarnya sambil menunjuk satu per satu orang yang ada di foto itu,
“Kembar identik?” tebak Eun-Hye ketika menyadari wajah Hyun-Shik dan saudaranya yang sangat mirip. “Kau tidak ingat namanya?”
“Ji-Yoon. Tapi kurasa akan sulit menemukan Ji-Yoon sekarang.”
Perempuan itu memerhatikan foto itu dengan seksama dan menemukan sebuah petunjuk yang bisa membantu mereka menemukan saudara kembar Hyun-Shik. Di lengan kanan saudara Hyun-Shik terdapat tahi lalat yang cukup besar, juga telinga Hyun-Shik sedikit lebih lebar dari saudaranya. Perempuan itu tersenyum riang seperti habis menemukan harta karun yang sangat berharga.
“Kita pasti akan menemukan saudaramu secepatnya.”
Hyun-Shik tertegun, perlahan hatinya menghangat ketika ucapan Eun-Hye terdengar tulus. Di sisi lain, ia berharap kedekatannya dengan Eun-Hye tidak akan berakhir meski kasus ini akan selesai. Melihat perempuan itu antusias membantu membuat ia bahagia. Itu artinya perempuan itu peduli dan kesempatannya untuk mencuri hati perempuan itu semakin besar.
***
Tepat jam sepuluh malam setelah kencan, Hyun-Shik sudah berada di tempat pertemuan, tapi Chae-Yeong belum muncul. Ia tidak bisa bertanya pada karyawan tentang Chae-Young karena memasuki tempat ini lewat jendela. Percaya atau tidak, hampir seluruh karyawan di sini memihak Im Jae-Ra dan tidak suka akan kehadiran Hyun-Shik yang berpihak pada Chae-Young.
Sebenarnya, bisa saja Hyun-Shik mendapatkan informasi dengan menggeledah tempat ini, tapi ia memilih cara yang sopan mengingat kebaikan Chae-Yeong yang mau mempekerjaan orang dengan latar belakang misterius sepertinya. Walau sebenarnya Hyun-Shik menaruh curiga pada lelaki itu. Satu pertanyaan yang tidak akan terjawab meski ia menggeledah tempat ini.
Kenapa Chae-Yeong ingin membantun Hyun-Shik mendapatkan informasi yang bisa menjatuhkan ayah kandungnya? Ah, ia lupa. Ia tidak menunjukkan buku catatan itu padanya. Tapi bagaimana reaksi Chae-Yeong ketika tahu Hyun-Shik mengincar ayahnya? Hyun-Shik menghela napas berat. Sepertinya kasus ini memang kasus yang sulit jika harus memikirkan perasaan orang di sekitar pelaku.
Hampir dua puluh menit ketika pintu ruangan terbuka dan seseorang yang ia kenal memasuki ruangan. “Lewat jendela?” tebaknya ketika melihat Hyun-Shik yang duduk di sofa melingkari meja coklat dengan pakaian serba hitam dan penutup wajah.
Hyun-Shik melepas penutup wajah, lalu tersenyum. “Aku tidak ingin membuat karyawanmu terpesona dengan ketampananku.”
Chae-Yeong tertawa, lalu berjalan menghampiri Hyun-Shik. “Tapi mereka sudah sering melihatmu bersamaku, jadi itu bukan alasan yang tepat.”
Hyun-Shik mengangkat bahunya yang lebar. “Bagaimana kalau kita mulai saja?”
“Apa yang ingin kau tanyakan padaku?” Chae-Young membenamkan tubuhnya di salah satu sisi sofa yang berhadapan dengan Hyun-Shik. “Aku yakin tidak akan bisa berbohong padamu mengingat kemampuanmu yang luar biasa itu, jadi aku akan menjawab seadanya.”
Hyun-Shik tersenyum simpul mendengarnya. Ia tahu kalau Chae-Yeong mengamati serta melabelinya ‘pengawal andal’. Hyun-Shik menyandarkan punggungnya, lalu mengeluarkan catatan kejahatan itu. “Apa kau yakin akan menjawab pertanyaanku begitu tahu nama yang tertera di sini?”
Chae-Yeong mengambil buku yang disodorkan Hyun-Shik dan membukanya. Membaca catatan itu dengan seksama, lalu tertawa dan memberikan kembali pada Hyun-Shik. Lelaki itu hanya tersenyum simpul melihat reaksi Chae-Yeong yang ‘sesuai perkiraannya’.
“Maksudmu nama ayahku ada di sana? Ah, baiklah. Mungkin ini yang dinamakan konflik batin. Aku harus memberikan informasi tentang ayahku yang merupakan pelaku kejahatan pada seseorang yang tidak aku ketahui asal-usulnya?”
Hyun-Shik mengangguk. “Itu benar.”
Chae-Yeong mengangguk-angguk, lalu melipat kedua tangannya. “Baiklah. Aku akan menjawabnya. Apa yang ingin kau tanyakan padaku?”
“Apa yang bisa kau simpulkan dari catatan itu?”
Chae-Yeong mengamatinya dengan saksama. “Dia orang kaya,” komentar Chae-Yeong sambil menyentuh permukaan kertasnya. “Kertasnya bukan buatan Korea, kemungkinan berasal dari Spanyol atau negara Eropa.”
“Dan ditulis oleh orang buta,” tambah Hyun-Shik.
“Apa? Bagaimana bisa orang buta menulis surat selancar ini?”
“Jika kau mengamati, ada pola huruf braille di kertasnya. Itu artinya penulis ini buta atau pernah buta sebelumnya.”
Chae-Yeong hanya terdiam ketika mendengar analisis Hyun-Shik yang luar biasa teliti seakan menariknya ke dalam pemikiran Hyun-Shik. Awalnya Chae-Yeong sendiri heran kenapa lelaki jenius sepertinya memilih menjadi pengawal pribadi, tapi hari ini ia mendapat semua jawabannya. Lelaki ini hendak mendekatinya dan mendapat informasi tentang ayahnya, pelaku kejahatan yang tak tampak. Sebuah cara yang cerdas.
“Apa ayahmu pernah buta?” tanya Hyun-Shik membangunkan Chae-Yeong dari alam pikirnya.
Chae-Yeong menggeleng, lalu berdiri dan mendekati sebuah rak putih. Ia mengambil sebuah dokumen rahasia dan memberikannya pada Hyun-Shik. “Catatan kesehatan ayahku yang asli,” katanya. “Semua ada di sana dan kau boleh membawanya jika perlu.”
Hyun-Shik memerhatikan seluruh isi sekalgus bentuk catatan itu, baik tulisan, tinta, dan kertas. “Tidak. Aku tidak perlu membawanya karena aku sudah tahu jawabannya. Terima kasih,” ujar Hyun-Shik sembari mengembalikannya.
“Kau menemukan sesuatu?”
Hyun-Shik mengangguk seraya menyeringai. “Ya. Sesuatu yang menarik.
***
[Bahasa Korea] Yeoboseyo = Halo untuk telepon
Duh gila. Keren banget ini mahhh
Comment on chapter Prolog