Sheila terbangun dari tidurnya lewat tengah malam. Rasa haus yang menyerang kerongkongannya memaksa dirinya untuk segera turun dari lantai dua mengambil segelas air. Dengan kantuk yang masih tersisa, Sheila perlahan turun menuju dapur. Dia mengambil gelas lalu mengisinya dengan air mineral.
Rasa dingin seketika langsung dirasakannya, kerongkongannya sudah tidak lagi kering. Sheila mendengar pintu rumahnya dibuka. Dia berpikir sesaat, rasanya tidak mungkin jika orang rumahnya yang dengan sengaja membuka pintu padahal waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari.
Dengan berjalan sedikit mengendap-endap, Sheila bersembunyi memperhatikan seseorang yang baru saja masuk kerumahnya. Hanya bayang yang terlihat, Sheila meraba-raba skalar pada dinding dan seketika ruangan menjadi terang benderang.
“Bunda,” lirih Sheila begitu mendapati ibunya dengan jaket merah. “Bunda dari mana? Kok bunda pakai jaketnya kak Aresh?”
Sesaat Miranda nampak gugup, tapi kemudian tersenyum. “Bunda lagi kangen aja sama Aresh, gak salahkan kalau bunda pakai jaketnya Aresh?”
“Iya juga sih, tapi bunda dari mana tengah malem gini?”
“Kamu ingat dulu Aresh suka keluar tengah malam, pakai jaket ini. Bunda sering lihat dia, jadi bunda ingin tahu apa yang Aresh lakukan dan rasakan saat keluar tengah malam.”
Sheila terlihat tak percaya dengan alasan yang Miranda lontarkan, namun dia memilih untuk tersenyum seolah-olah percaya. “Ya udah kalau gitu bunda istirahat ya, bunda gak boleh kecapean.”
“Iya, bunda ke kamar ya.”
Sheila diam memandangi Miranda yang menjauh dari pandangannya. Terasa aneh, namun ditepisnya sesuatu yang kini mengganjal pikirannya. Kini Sheila tak bisa tidur, dia memilih untuk menikmati angin malam di belakang rumahnya. Duduk seorang diri di atas rumput sambil menyilangkan kaki menatap pada tenangnya air kolam renang.
Dari tempatnya duduk juga Sheila bisa melihat tiny house milik Reina. Dia tersenyum samar, senyuman yang menyimpan kepedihan. Ada rindu dibalik sorot matanya yang terluka. Ada sesal yang kian menyesakan dadanya, namun egonya terlalu tinggi menutupi semua itu dari pandangan. Gadis itu membuka kembali setiap lembar kenangan masa lalunya. Menikmati rindu seorang diri, dia menangis di keheningan malam. Dadanya terasa sesak meski angin berhembus sejuk, seolah tak cukup menjadi pasokan udara bagi paru-parunya.
Dihapusnya airmatanya dengan kasar. Sheila tidak ingin larut dalam kesedihannya. Pandangan matanya menyipit saat melihat pantulan bayangan seseorang lewat jernihnya air kolam renang. Sheila semakin menjamkan penglihatannya, dari bayangan itu Sheila dapat melihat orang di belakangnya mengayunkan sebuah tongkat untuk memukulnya. Belum sempat Sheila menghindar, sepuah pukulan telak mengenai pelipisnya.
Dalam rabun penglihatannya seseorang itu menjulang tinggi, tersenyum miring padanya. Tak jelas siapa yang dilihatnya selain jaket merah yang dikenakan orang tersebut. Perlahan pandangan Sheila kian menggelap lalu tubuhnya tumbang dan terjatuh pada dinginnya air kolam.
“Sheila!!” teriak Reina yang baru saja datang. Dia melihat seseorang berjaket merah itu berlari saat melihat kehadirannya. Tak ada waktu bagi Reina untuk sekedar mengejar orang itu, Sheila lebih penting.
Reina terjun ke kolam menyusul tubuh Sheila yang sudah lebih dulu tenggelam. Dengan susah payah tubuh mungilnya meraih Sheila. Mengangkat ke permukaan. Nafas Reina terengah. Dia berteriak di dalam kolam sambil terus berusaha membantu Sheila keluar dari air.
“Bunda!! Bi! Tolong!” teriaknya diringi tangisan. “Bunda! Bunda! Tolong!”
Lampu-lampu di dalam rumah tiba-tiba saja menyala. Miranda dan pembantunya berlari tergesa, tak lama satpam rumah juga datang. Mereka semua berlari ke arah kolam membantu Reina dan Sheila.
“Sheila, sayang bangun!” seru Miranda menepuk-nepuk sisi wajah putrinya.
Sedangkan Reina menggigil ketakutan. Takut terjadi sesuatu pada Sheila, takut jika semua ini terjadi karenanya. Tiba-tiba saja sebuah dorongan kuat membuatnya terhuyung kebelangkan tanpa bisa dicegah tubuh Reina jatuh ke atas rumput.
“Bunda,” lirih Reina takut-takut menatap Miranda yang penuh marah.
“Kamu apakan putri saya?! Belum cukup kamu membuat mencelakai suami saya dan Aresh?! Hah! Jawab Reina!” bentak Miranda membuat Reina semakin ketakutan.
“Bukan...bukan Reina, bukan bunda.”
“Bohong! Pergi kamu dari rumah saya! Pergi!”
Miranda dengan segala emosinya yang sudah tidak terbendung lagi mengusir Reina. Kembali menggoreskan luka mendalam pada gadis itu. Tak ingin melihat amarah ibu angkatnya lagi, Reina berlari menuju rumah mungilnya. Dia terisak dengan airmata yang mengalir tiada henti.
Riga celaka karena, sekarang Sheila juga.
Pikiran-pikiran buruk terus merasuki dirinya. Gadis itu mengemasi semua barang-barangnya setelah mengganti pakaiannya yang basah. Dia memang seharusnya sudah sejak lama pergi jauh dari rumah ini. Sudah seharusnya, sebab tempatnya bukan di sini. Dia hanya akan membawa sial bagi siapapun yang berada di dekatnya.
“Ayah...maaf, Rein udah gak kuat tinggal di sini.” Ucapnya memandangi foto sang ayah angkatnya yang dibingkai pigura putih. Dipeluknya erat foto itu beberapa saat sebelum memasukkannya ke dalam tas yang akan dia bawa pergi.
***
Abdi segera kembali ke Jakarta begitu mendapatkan kabar dari Shaka mengenai Sheila dan Riga. Tanpa sempat dia bertemu dengan ayah kandung Reina, tapi setidaknya dia sudah tahu rumahnya. Langkah kakinya panjang-panjang, mendorong pintu putih itu dengan kuat. Semua orang di dalam ruangan itu langsung menatapnya.
Ada Shaka, Arman, dan Miranda.
“Keadaan Sheila gimana?” tanya Abdi cemas.
“Gue gak apa-apa Di.” lirih Sheila.
Abdi mendekat memastikan bahwa keadaan sepupunya memang baik-baik saja. Dia tersenyum lega, setidaknya untuk saat ini. Abdi melirik Shaka, lewat isyarat mata meminta sahabatnya itu untuk keluar bicara dengannya. Shaka mengangguk faham, dia mengikuti langkah Abdi menjauh dari kamar rawat Shiela dan berhenti di taman rumah sakit.
Mencari tempat yang sepi untuk mereka berbincang. Keduanya duduk di bangku taman, di bawah sinar matahari yang tidak terlalu terik.
“Gimana ceritanya?” tanya Abdi langsung.
“Sheila cuma ingat kalau semalam dia lagi sendiri di tepi kolam, terus tiba-tiba aja ada orang yang nyerang dia. Sheila gak begitu jelas lihat siapa orangnya, yang pasti orang itu pakai jaket merah.” Terang Shaka.
“Motifnya apa coba? Terus Riga gimana?”
“Dia dirawat di sini juga, udah siuman. Dia nanyain Reina, tapi dari semalam gue gak lihat Reina. Kata pembantunya, Reina di usir sama tante Miranda karena tante Miranda mengira kalau Reina yang mencelakakan Sheila. Soalnya saat kejadian semalam Reina ada di sana.”
Abdi menyugar rambutnya frustasi. Dia mendial nomor Reina, namun sayangnya nomor telpon gadis itu tidak aktif. “Kemana dia?”
“Abdi?”
“Ya?”
Shaka sedikit mendekat, memelankan suaranya. “Sheila bilang semalam sebelum dia dipukul si jaket merah itu, dia mergokin tante Miranda keluar rumah pakai jaket merah punya kak Aresh. Menurut lo mungkin gak kalau tante Miranda pelakunya?”
“Gak mungkin. Tante Miranda emang gak suka sama Reina, tapi gak mungkin dia ngebunuh suami, anak dan adik iparnya sendiri. Terlalu gak masuk akal.”
“Orang bisa aja gilakan karena harta.” Lirih Shaka.
“Maksud lo?” Abdi menatap serius sahabatnya.
“Sheila bilang seluruh harta warisan om Farish itu atas nama kak Aresh, Sheila dan Reina, gak ada nama tante Miranda dalam daftar warisan itu. Sheila lihat sendiri diberkas kuasa hukum om Farish.”
“Kita perlu bukti kuat. Sekarang gue mau cari Reina dulu, gue takut dia kenapa-kenapa. Lo di sini jagain Sheila, kabarin gue kalau ada hal-hal yang mencurigakan.”
Sebelum pergi mencari Reina, Abdi terlebih dahulu menjenguk Riga yang kamar rawatnya berada di lantai dua. Cowok itu begitu tenangnya tak menunjukan sedikitpun kekhawatiran, dia takut saja kalau nanti Riga curiga. Begitu masuk Abdi langsung di sambut senyuman hangat Alexa.
Dia menyelami Alexa dengan ramah. “Gimana tante keadaan Riga?”
“Masih lemes, kata dokter perlu beberapa hari lagi. Tante bersykur karena Riga masih bisa selamat, tapi dari sejak siuman dia nanyain Reina terus. Kamu sepupunya Reina kan? Kamu tahu dia dimana?”
Abdi tersenyum kemudian menggeleng lemah. Pandangannya kini tertuju pada Riga yang sedang tidur. “Aku udah coba hubungi, tapi nomornya gak aktif.”
“Semalam begitu tahu Riga kecelakaan Reina ke sini, tapi dia gak nemuin Riga. Dia lari gitu aja, tante takut dia kenapa-kenapa. Tante gak pernah lihat Reina sesedih itu sebelumnya. Kamu tahu sebenarnya Reina punya masalah apa?”
Melihat sorot mata Alexa yang memohon, Abdi akhirnya luluh. Dia duduk di samping Alexa. Mulai menceritakan bagaimana kehidupan sepupunya itu. Menurutnya Alexa berhak tahu masalah apa yang sedang Reina hadapi. Mungkin dengan begitu Alexa bisa membantu memecahkan masalahnya. Orang tua biasanya lebih bijak menghadapi semua masalah.
Abdi sadar bahwa dia tidak bisa mencari tahu siapa si jaket merah itu hanya dengan Shaka. dia perlu bantuan orang dewasa, tapi tetap hati-hati dengan menjaga rahasianya. Alexa tercengan dengan penuturan Abdi. Wanita paruh baya itu menjadi sangat khawatir dengan keadaan Reina. Tak bisa dirinya bayangkan hidup menjadi Reina.
“Tante akan bantu.”
“Iya, terimakasih tante, tapi untuk sekarang Riga jangan sampai tahu soal kepergian Reina.”
Double Up! kurang baik apa saya coba? wkwkw
Jangan lupa ya kasih review cantiknya, like dan komentarnya.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa