Rasa rindu itu menyeruak dari relung hatinya, hingga membuatnya sesak. Reina yang baru saja terbangun dari tidurnya langsung bangkit ketika suara ketukan pintu terdengar cukup keras. Meski masih mengantuk Reina tetap membukakan pintu kamarnya untuk orang yang sedari tadi mengetuknya.
Terlihat bi Sumi yang panik. “Non, non Sheila, non Sheila sakit.” ujar bi Sumi panik.
Reina langsung kaget mendengar hal itu. Buru-buru dia keluar dari kamarnya. Berjalan dengan tergesa sambil mengikat rambutnya. “Sakit apa, bi?”
“Kayaknya sih, sakit perut karena datang bulan. Biasanyakan nonya yang ngurusin, jadi bibi gak tahu apa-apa.”
Reina semakin mempercepat langkahnya menuju rumah utama. Dia langsung menuju dapur, mengambil botol dan mengisinya dengan air hangat. Setelah itu Reina membuat teh chamomile. Begitu siap Reina langsung membawanya ke kamar Sheila, namun baru juga selangkah menaiki anak tangga dia sudah berhenti.
Reina menoleh ke belakang menatap pada bi Sumi. “Bibi aja yang ngasih ini buat Sheila, kalau aku yang ngasih dia pasti gak mau.”
“Iya non, kalau gitu biar bibi saja.” bi Sumi mengambil alih nampan itu dari tangan Reina.
“Bi, obat nyeri perutnya ada di laci kamar Sheila. Paling atas, dekat sama rak buku.”
“Iya, bibi ke atas ya.”
Bi Sumi mendahului Reina ke kamar Sheila. Reina mengikuti bi Sumi, namun tak masuk ke kamar Sheila. Cewek itu mengintip menyembunyikan tubuhnya dibalik dinding, kepalanya melongok melihat Sheila yang meringkuk di atas tempat tidur sambil memegangi perutnya.
Reina cukup tahu kebiasaan Sheila setiap kali datang bulan. Hari pertama sampai kedua biasanya cewek itu akan kesakitan. Miranda selalu menyiapkan air hangat dalam botol dan membuat teh chamomille untuk Sheila, tapi hari ini tidak. Miranda sedang sibuk dengan pekerjaan kantornya menggantikan posisi suaminya.
“Mama mana bi?” tanya Sheila di sela-sela kesakitannya.
“Masih di kantor,” bi Sumi membantu Sheila meminum teh hangatnya. Reina masih berdiri di luar kamar menyaksikan apa yang terjadi di dalam sana. Ingin Rasanya dia membantu Sheila, tapi terakhir kali dia melakukan itu Sheila semakin marah padanya.
Bi Sumi keluar dari kamar begitu kondisi Sheila membaik. Cewek itu bahkan sudah terpejam. Menutup pintu kamar Sheila, bi Sumi mendapati Reina yang belum bernajak. “Non Sheila udah baik-baik saja, nong Reina yang sabar ya.”
Reina masih diam di tempatnya bahkan setelah bi Sumi tak lagi bersamanya. Cukup lama dia berdiri bersandar di luar kamar Sheila. Perlahan Reina membuka pintu kamar Sheila, dia melihat Sheila yang sudah terlelap. Senyuman manis mengembang di wajahnya.
Reina mengambil buku tulis Sheila, mengambil bagian tengahnya dan menuliskan sesuatu di atas kertas putih itu. Reina duduk di meja belajar Sheila.
Dear Sheila...
Maaf jika aku menyakitimu. Bisakah kau memaafkan ku?
Tak apa jika bukan hari ini, besok juga tak masalah.
Asal kau memaafkanku.
Aku rindu bermain denganmu, melihatmu di istana kecil kita.
Ayah membuat rumah kecil itu untuk kita, bukan? Lalu kenapa sekarang hanya aku yang menempati.
Kamu tahu rasanya seperti apa? Sepi, sendiri dan takut.
Sheila, kamu tidak takut di kamar sendirian setiap kali bunda pergi?
Kalau kamu takut, boleh aku menemanimu?
Atau.. kau juga boleh datang ke kamarku. Berbagi ketakutanmu denganku.
Sheila... aku takut.
Sangat takut. Bisa kah kita bersama lagi seperti dulu?
Aku sayang kamu, Sheila.
Cepat sembuh.
Reina si gajah abu-abu.
Setetes airmata jatuh di pipinya. Reina melipat kertas itu dan meletakannya di atas nakas, di samping tempat tidur Sheila. Sebelum Sheila bangun, Reina buru-buru keluar dari kamar gadis itu dan menutup pintunya perlaha.
Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, barulah setelahnya Reina pergi. Cewek itu menuruni anak tangga, lalu menghampiri bi Sumi di dapur. “Lagi buat apa, bi?”
“Bubur. Tadi nyonya telpon, katanya kalau non Sheila bangun langsung dikasih bubur.”
Reina melongok ke panci yang berada di atas kompor. Baru ada ayam yang di rebus sebagai kaldu. “Jangan pakai penyedap bi, Sheila gak suka micin. Dia bukan anak micin soalnya.”
“Untung saja belum bibi kasih.”
Dengan ceketan Reina memasukan kembali beberapa potong ayam yang sudah dibersihkan sebelumnya. “Sheila itu suka banget sama kaldu ayam. Bunda kalau masakin bubur buat Sheila pasti kaldunya kental, terus pakai bawang putih.”
Bi Sumi mengambil beberapa siung bawang putih. “Ini bawang putihnya, non.”
“Di tumbuk bi sampai halus.”
Mengikuti arahan Reina, bi Sumi membantunya membuatka bubur untuk Sheila. Reina lebih pandai memasak dibandingkan Sheila. Itu adalah kelebihan Reina yang selalu dia banggakan, karena Sheila hanya bisa memasak air, mie instan dan telur rebus. Kalau telur dadar atau ceplok, pasti gosong.
***
Sudah merasa bosan dengan kegiatannya di rumah. Sheila juga masih belum bangun. Akhirnya Reina memutuskan untuk ke rumah Riga. Hari libur seperti ini biasanya cowok satu itu akan berdiam diri di rumah. Meskipun status mereka sebagai sepasang kekasih, nyatanya yang nampak tak seperti itu.
Mereka tidak bertukar pesan seperti kebanyakan pasangan pada umumnya. Jika tidak ada hal yang mendesak ponsel mereka hanya berfungsi sebagai pajangan. Reina sekalipun mempunyai media sosial, namun dia tak seaktif Mia. Dia hanya akan mengunggah apa yang menurutnya penting saja. Apalagi Riga, cowok satu itu tidak mempunyai satupun akun media sosial.
Reina melangkah kan kakinya lebar-lebar sambil berjingkrak riang. Mulutnya bersenandung menyanyikan lagu anak-anak. Begitu sampai di depan rumah Riga, seorang satpam membuka kannya pintu.
“Selamat pagi menjelang siang, pak!” sapa Reina riang.
“Selamat pagi menjelang siang, non Reina.”
“Riga ada?”
“Ada, lagi sama temannya.”
“Temen?”
“Iya, masuk aja langsung biar tahu.”
Mengikuti apa yang satpam it katakan Reina langsung masuk ke rumah. Mengetuk pintu beberapa kali sampai akhirnya bi Ina yang membukakan pintu untuknya. “Ayo masuk, non.”
“Terimakasih, bi.” balas Reina ramah.
“Den, Riganya lagi di taman belakang.”
Reina mengangguk lalu menuju halaman belakang. Dia berhenti di ambang pintu yang menghubungkan ruang keluarga dengan halaman belakang. Dahinya berkerut melihat apa yang ada di depan matanya.
Seorang gadis yang berdiri membelakanginya sedang menarik-narik lengan Riga. Merajuk manja pada cowok itu. Reina mendekatinya berdiri tak jauh dari keduanya. “Ngapain lo ke sini?” tanya Reina saat tahu siapa yang bersama Riga.
“Kenapa?! Gak suka!” bentak Tiara tak terima.
“Gue sih boleh-boleh aja, tapi lo gak lihat mukanya Riga yang gak suka sama kehadiran lo.”
“Jangan sok tahu! Riga fine fine aja ada gue di sini?”
Reina melirik Riga. “Bener Ga?”
“Mau muntah.” jawab Riga sambil berlalu. Sontak saja jawaban itu membuat Reina tergelak mengejek Tiara yang kini bersedekap sambil cemberut.
“See? Riga gak suka sama kehadiran lo, jadi mendingan sekarang lo balik.”
“Iiih... rese lo Rein, nyebelin.” Tiara menghentak-hentakan kakinya dengan manja. Kesal bukan main dengan apa yang Reina ucapkan. Dirinya kalah lagi dari Reina. Dengan segela kekesalan yang menumpuk di hatinya, Tiara pergi dari rumah Riga.
Setelah memastikan Tiara keluar dari rumahnya, baru Riga kembali menghampiri Reina. Cewek itu berdiri di tepi kolam renang. “Dia kok bisa nyampe sini?” tanya Reina.
“Gak tahu? Gue aja bingung.” Riga duduk di gazebo yang membentuk setengah lingkaran. Ada sofa-sofa empuk sebagai tempat duduknya. Cowok itu menepuk-nepuk satu sisi kosong di sebelahnya agar Reina duduk di sana.
Tanpa banyak bicara Reina mendaratkan bokongnya di sebelah Riga. “Tiaranya dari kapan ngejar-ngejar lo?”
“Dari awal masuk kelas dua belas, kayaknya.” Riga memainkan anak rambut Reina yang terasa lembut di tangannya. Reina membiarkan hal itu tanpa merasa terusik.
“Tapi, Tiara cantik sih, apalagi matanya yang bulat.”
“Lebih cantik mata punya lo.”
“Ngerayu mulu, bos. Gak mempan!”
“Gue gak ngerayu, tapi lagi usaha biar lo bisa cepet jatuh cinta sama gue.”
“Sebahagia lo aja, deh.”
“Kalau gue bahagia, lo bahagia?”
“Bahagia dong, kalau gue bilang enggak nanti gue gak dapet tumpangan ke sekolah.”
Dengan gemas Riga mencubit hidung mancung Reina. “Dasar.”
Tak ingin kalah dengan apa yang Riga perbuat padanya, Reina membalas apa yang Riga lakukan. Sayangnya belum juga tangannya mendarat di hidung mancung Riga, cowok itu sudah lebih dahulu menahan tangannya di udara.
“Riga lepasin, gue mau balas dendam.”
“Gak baik.”
Reina kembali berusaha dengan tangan kirinya, tapi lagi-lagi dia kalah cepat. Kini kedua tangannya ditahan oleh tangan Riga. Cowok itu tersenyum senang melihat Reina yang kalah telak tak bisa berkutik. Riga diam memandangi wajah Reina, menyelam lebih dalam pada bola mata kecokelatan itu.
“Ga?” lirih Reina agar cowok itu berhenti memandanginya.
“Hmmm?”
“Gue harus pulang, Sheila masih sakit,”
Riga melepaskan kedua tangan Reina mempersilahkan cewek itu beranjak. Sialnya kalimat yang baru saja Reina ucapkan itu adalah cara agar dia bisa menarik hidung Riga. Dalam hitungan detik tanpa bisa Riga menghindar Reina berhasil menahan laju nafas Riga dengan memencet hidung cowok itu kuat-kuat.
“Mati lo, mati!”
Riga sempat kaget sebelum akhirnya dia menarik tangan Reina dari hidungnya. Menyentak tangan itu dengan kasar sampai Reina terjengkang ke belakang, cewek itu jatuh dari atas sofa. Bokong berisinya itu mendarat sempurna pada lantai marmer yang keras.
“Maaf Rein, gue sengaja.” ucap Riga tertawa melihat penderitaan Reina.
“Riga!”
“Ayo bangun,” Riga mengulurkan tangannya membantu Reina. Dengan lembut dan perlahan Riga membawa Reina kembali duduk di sampingnya. “Sorry.”
“Anterin gue pulang dulu, baru gue maafin.”
“Itu aja?”
“Beli es krim juga di mini market depan komplek.”
“Ayo.”
***
Kedua remaja itu berjalan beriringan. Reina menikmati es krim yang baru saja di belinya. Sedangkan Riga lebih memilih mengunyah premen karet dibandingkan menikmati es krim. Jalanan perumahan yang tenang di naungi oleh pohon-pohon Angsana yang besar berjajar di sepanjang jalan. Selain pohon Angsana, ada juga pohon mangga yang memang ditanam oleh pihak pengembang. Siapa saja boleh mengambil mangga-mangga itu secara gratis.
“Lo suka latihan tinju?”
“Hmmm,”
“Sama Abdi?”
“Hmmm,”
“Kalau ketemu Abdi suka ngomongin apa aja?”
“Jarang ngobrol, selain tentang tinju.”
“Pantesan kalian berdua kelihatan gak deket. Lo tahu, Abdi itu sepupu terbaik yang gue punya. Dia juga suka nolongin gue, tapi nih, ya kasihan dia.”
“Kasihan kenapa?”
“Diputusin sama ceweknya pas lagi cinta-cintanya. Ceweknya sekarang tinggal di Belanda, padahal mereka serasi banget,” Reina menghentikan langkahnya membuang bungkus es krim ke tempat sampah. “Habis diputusin Abdi betah ngejomblo. Sekalipun di sekolah banyak yang naksir, tapi semua dicuekin.”
Mereka kembali berjalan dengan tenang tak peduli matahari yang mulai meninggi. Seakan tak pernah bosan Riga terus saja mencuri padang pada Reina. Kekasihnya itu sangat menggemaskan dan selalu terlihat manis di matanya.
“Udah nyampe, balik sana ke rumah lo.” usir Reina bercanda.
Tiba-tiba saja Sheila keluar, mendorongnya dengan kasar sampai Reina terjatuh. Reina meringis akibat perlakuan Sheila padanya. Riga menatap kaget dengan apa yang baru saja terjadi, cepat-cepat dia menolong Reina.
“Lo gak usah sok baik sama gue!” bentak Sheila murka.
“Sheila udah sembuh? Perutnya udah gak sakit?” tanya Reina khawatir. “Sheila istirahat aja ya, mukanya Sheila masih pucat.”
“Jangan pegang gue!” Sheila menjauhkan tangan Reina yang berusaha menggapainya. “Lo kan yang buat teh sama bubur itu?”
“Iya, maaf.”
“Lo mikir gak sih, kalau semua hal tentang lo itu selalu bawa sial! Gimana kalau keracunan karena makan bubur buatan lo itu?! Hah!? Lo mau bunuh gue kayak lo bunuh mama Hilda sama ayah?”
Mendengar tudingan Sheila yang begitu kejam membuat Reina menunduk dan menangis. Dia tak mampu lagi membendung air matanya. “Aku..hick.. aku bukan pembunuh Shei, aku gak bunuh ayah sama mama Hilda.”
Sheila benar-benar tak bisa menerima perhatian yang Reina tujukan untuknya. “Dan lo, cowoknya Reina, kan? Hati-hati! Cewek lo itu cuma bikin sial, mending jauh-jauh sebelum kena sial.”
Sheila masuk kembali ke rumah, mengunci rapat pintu gerbang itu agar Reina tak dapat masuk. Sheila murka ketika menyadari kalau bukan bi Sumi yang membuatkannya teh dan bubur. Sheila tidak akan pernah mau makan makanan yang dibuat Reina. Apapun tentang Reina adalah sebuah kesialan baginya.
“Shei, Sheila buka!” seru Reina menggedor pintu gerbang itu. “Sheila! Aku mohon, jangan marah sama aku. Sheila... hick..hick, Sheila.”
Reina menutup wajahnya dengan kedua tangannya menahan laju tangisnya. Riga membawa Reina ke dalam pelukannya, membiarkan Reina menangis dan menyandarkan segala kesedihan padanya.
“Gue bukan pembunuh, Ga. Bukan, lo harus percaya.”
“Iya, gue percaya sama lo. Sekarang lo tenang ya, jangan nangis lagi.”
“Tapi, gue gak bisa masuk ke rumah.”
“Selalu ada rumah gue yang terbuka buat lo, kapan pun lo mau.”
Riga mengurai pelukannya, memandang wajah Reina yang banjir airmata. Perlahan jari-jemarinya mengusap lembut pipi Reina, menghilangkan jejak airmatanya. “Makan siang di rumah gue ya, mama kayaknya masak enak hari ini.”
Reina mengangguk pelan. “Jangan bilang-bilang tante cantik ya kalau gue nangis.”
“Iya, enggak.”
“Tapi, kalau misalkan tante cantik tahu gue habis nangis, nanti gue bilangnya kalau lo yang udah bikin gue jatoh sampai nangis, boleh ya?”
“Boleh.” Riga mengusap lembut puncak kepala Reina, lalu mencium sesaat sebelum membimbing Reina berjalan menuju rumahnya. Tangan Riga merangkul erat pundak Reina seakan tahu betapa rapuhnya Reina.
Meski Reina begitu terluka, namun satu hal yang Riga syukuri bahwasanya Reina bisa dengan cepat kembali tersenyum seakan-akan tak terjadi apapun dalam hidupnya. Riga tahu bahwa Reina adalah gadis yang kuat. Itulah mengapa Riga tak bisa melepaskan Reina begitu saja.
Biar kata sepi, yang penting tetep nulis.
semangat aja dulu, soal lain-lainnya bonus.
Terimaksih buat yang sudah baca cerita ini.
jangan lupa kasih like dan review-nya.
kasih juga masukan positif lewat kolom komentar ya.
Regrads dari aku si amatiran yang lagi pusing.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa