Sinb masih bersama tetua Hwang untuk membuka semua ingatannya. Entah untuk apa tujuannya?
Satu minggu lamanya, Jendral Jeon dan nona Hwang Eunbi mengarungi lebatnya hutang hingga mereka sampai disebuah hanok sederhana. Jendral Jeon memberhentikan kudanya dan turun kemudian mengulurkan tangannya untuk nona Hwang Eunbi.
"Kita sudah sampai, kita akan tinggal disini untuk sementara waktu." Terang jendral Jeon yang seketika membuat nona Hwang menangguk patuh.
"Tenang saja, disini jauh dari ibu kota dan dekat dengan pasar kecil jadi tidak akan membuat kita kesusahan untuk membeli beberapa keperluan sehari-hari." Ungkap Jendral Jeon yang melihat jelas kegelisahan dari raut wajah wanita rupawan ini. Lagi-lagi nona Hwang mengangguk mengerti.
"Kalau begitu mari kita masuk!" Ajak Jendral Jeon yang mendahului nona Hwang berjalan.
Didalam hanok sederhana ini, ada dua kamar dengan ditengah-tengah ruangan kosong yang bisa dipakai untuk menyambut tamu, disebelah kanan adalah dapur kecil nan sederhana dan disamping kirinya sebuah bangunan kecil untuk kandang ayam.
Nona Hwang memperhatikan sekitar bangunan dengan ekspresi yang sulit untuk Jendral Jeon mengerti. Beberapa hari bersamanya membuat Jendral Jeon sedikit mengerti perilaku wanita ini. Ia tak percaya wanita sesopan dan begitu anggun ini dilahirkan menjadi seorang Chenayang yang bertugas untuk menjaga keluarga kerajaan.
Nona Hwang bergerak pelan, tidak terlihat merasa jijik saat melihat begitu banyak debu disekelilingnya, ia membuka sebuah lemari kayu dan mendapati beberapa pakaian lama.
"Nari, ini milik siapa?" Tanya Nona Hwang yang membuat Jendral Jeon yang semenjak tadi memperhatikannya berusaha mengalihkan pandangannya.
"Itu..." Jendral Jeon mematung melihat beberapa potong pakaian yang merubah ekspresinya seketika karena rasa sakit itu tiba-tiba hadir mencabik-cabik hatinya.
"Apa ini milik kekasih anda?" Tebak nona Hwang dan Jendral Jeon masih tetap dalam kebungkamannya.
"Kalau begitu saya akan menyimpannya lagi." Pada akhirnya nona Hwang menyimpulkannya sendiri.
"Tidak, kau bisa memakainya dan semua barang yang ada disini, bisa kau pergunakan." Nona Hwang diam, memperhatikan Jendral Jeon sesaat sampai ia tak merasakan perubahan pada wajah Jendral Jeon.
"Komapseumnida..." Ucap nona Hwang.
Meskipun beberapa hari telah mereka lewati bersama namun hubungan mereka tak memiliki banyak kemajuan. Mereka masih terperangkap dan memenjarakan dirinya dalam dimensi yang mereka sebut dengan masa lalu. Terlalu dalam kenangan itu masuk kedalam kepingan ingatan yang bertaburan dalam fikiran, maka semakin sulit untuk melenyapkannya begitu saja.
Hari demi hari mereka lalui, dari pada terpuruk menyadari dirinya sedang menjadi tawanan seorang asing seperti Jendral Jeon, nona Hwang memilih menyibukkan dirinya dengan membantu beberapa warga disekitar yang sakit, baik sakit fisik atau pun di guna-guna. Setidaknya setiap hari paling sedikita da dua orang miskin yang mengunjunginya untuk meminta pertolongan agar di obati.
"Apa yang kau rasakan nek?" Sapa nona Hwang pada seorang wanita tua yang tengah di popoh oleh seorang pria tua.
"Dadaku sakit nak..." Keluhnya dan nona Hwang menyuruh sang kakek untuk membantu membaringkan istrinya. Nona Hwang menekan dada nenek beberapa kali.
"Nenek, lebih baik banyak istirahat di usia nenek yang seperti ini." Bahkan nona Hwang memijat-mijat tangan dan telapak kaki nenek membuatnya meringis kesakitan.
"Lebih banyak makan sayuran, berhenti minum arak dan aku akan memberimu beberapa ramuan untuk bisa menghilangkan rasa sakitnya." Kata nona Hwang dengan ramah.
Jendral Jeon semenjak tadi hanya memperhatikan gerak-gerik nona Hwang yang semakin hari semakin membuatnya memikirkannya. Ia tersenyum melihat nona Hwang begitu lembut dan perhatian kepada nenek itu yang seketika membuatnya teringat pada sosok nona Myoui Mina. Mereka sangat mirip menurutnya.
Saat nona Hwang kebingungan mencari sesuatu, Jendral Jeon akan dengan cepat membantunya.
"Apa kau mencari ini?" Nona Hwang tersenyum ketika menyadari pria dihadapannya ini juga mampu mengingat bermacam ramuan yang ia racik.
"Komapseumnida Nari..." Seketika Jendral Jeon merasakan sesuatu yang berdesir saat mendengarkan ucapan lembut dan senyum tulus nona Hwang yang seolah seperti bunga cerry blossom.
Sesungguhnya bukan hari ini saja nona Hwang mengatakan hal semacam ini, setiap hari disetiap kesempatan saat Jendral Jeon selalu membantunya. Wanita ini memang tidak pernah lelah untuk menunjukkan keramah tamahannya kepada siapapun bahkan sepertinya ia tidak pernah mengeluh sedikit pun. Karena itu terkadang Jendral Jeon mengkhawatirkannya.
Keinginannya menjadikan nona Hwang sebagai sandra adalah hanya untuk membuat sang putra mahkota menjadi tersiksa dan itu berhasil saat Jendral Jeon mendengarkan dari beberapa orang bahwa putra mahkota tidak segigih dulu. Tentu saja itu karena ia terluka, merindukan dan mengharapkan kehadiran nona Hwang sama seperti ketika Jendral Jeon kehilangan nona Myoui Mina. Namun, semakin lama saat diam-diam Jendral Jeon memperhatikan nona Hwang, ia merasa kasihan.
Bahkan sudah lewat dari dua bulan saat mereka meninggalkan istana. Pagi ini saat terbangun Jendral Jeon mendapati nona Hwang tertidur dengan bersandar pada tembok kayu, wajahnya terlihat kelelahan dan tangan Jendral Jeon berusaha meraih sebuah kain di atas kepalanya. Ia mengalami demam parah dan nona Hwang menjaganya sepanjang malam.
Jendral Jeon segera mengangkat tubuh nona Hwang dan membawanya masuk kekamar wanita itu. Membaringkannya berlahan, merapikan gaunnya dan menyelimutinya.
"Mianhamnida..." lirih Jendral Jeon yang tanpa sadar kini mengecup lembut kening nona Hwang membuatnya terbangun dan menatap Jendral Jeon dengan bingung.
Tertangkap basah mencium keningnya Jendral Jeon hendak menghindar tapi nona Hwang malah menanyai keadaannya.
"Anda baik-baik saja nari?" Bahkan tanpa ragu nona Hwang menempelkan kedua tangan lembut nan terampilnya pada kedua pipi Jendral Jeon.
Hangat, tangannya begitu hangat sampai membuat Jendral Jeon memejamkan matanya meskipun fikirannya terus berontak dan mengatakan bahwa ia tak seharusnya semudah ini luluh. Kekasih wanita dihadapannya ini adalah penyebab dari meninggalnya wanitanya, seharusnya ini tak cukup untuk membuat pria itu menderita bukan? Karena itu ia harus memikirkan cara lain untuk bisa menyiksa putra mahkota. Iblis itu merasuki fikiran Jendral Jeon lagi yang kini membuka matanya, menatap dingin nona Hwang. Bahkan pria ini berani menarik nona Hwang dalam pelukannya.
"Nari..." Cegah nona Hwang dengan lembut tapi hal itu malah membuat Jendral Jeon menatapnya lekat. Mata coklat itu menyimpan sesuatu yang kelam dan nona Hwang tak sanggup untuk menatapnya.
"Kau hanya perlu mengikutinya." Kata Jendral Jeon dengan jemari yang kini menjelajah menyentuh pipi putih susu milik nona Hwang membuat wanita itu memejamkan matanya dengan takut. Melihat ketakutan nona Hwang membuat Jendral Jeon malahan merasa senang dan segera menempelkan bibirnya pada bibir berwarna merah cerry milik nona Hwang.
Awalnya itu hanya sebuah tempelan tapi semakin lama berganti dengan lumatan kecil.
"Nari..." Meskipun sangat sulit, nona Hwang masih berusaha menyadarkan pria dihadapannya ini namun Jendral Jeon sudah terlarut dalam perguatan itu membuatnya lepas kendali dan nona Hwang tak berdaya untuk melawannya.
Jika beberapa hari yang lalu, mereka nampak masih berusaha saling bersopan santun tapi kemarin sampai hari ini? Jendral Jeon disetiap kesempatan, memanfaatkannya untuk hanya memberikan pelukan, kecupan dan ciuman yang setiap saat memunculkan pemandangan baru pada rona pipi nona Hwang.
Bahkan ketika malam tiba, mereka tak perlu repot-repot untuk tidur di kamar masing-masing karena akhir-akhir ini sering kali mereka tidur bersama. Keduanya nampak terlihat seperti pasangan pengantin baru, Jendral Jeon dengan keinginannya yang tak pernah padam dan sikap malu-malu nona Hwang terlihat seperti sebuah cerita yang berbeda. Sederhana tapi cukup menyenangkan, mungkin hanya nona Hwang berfikir seperti itu. Ia tidak pernah menuntut Jendral Jeon untuk mencintainya, bersamanya saja sudah membuatnya lega. Ia menyadari perasaan ini saat beberapa waktu lalu Jendrel hampir saja mati karena seseorang berusaha menyerangnya, yang nona Hwang duga adalah suruhan putra mahkota.
Seperti kehilangan seluruh dunia, itulah yang nona Hwang rasakan saat melihat tubuh pucat Jendral Jeon berbaring dihadapannya dengan tangis yang tiada henti, nona Hwang merawat Jendral Jeon, mulutnya tidak pernah berhenti merampalkan doa, memohon pada Tuhan agar pria ini, yang baru saja ia sadari sangat berharga, tolong jangan pernah mengambilnya, ijinkan ia bersamanya, merawatnya sampai rambut mereka memutih tapi jika itu sulit, ia ingin pergi bersamanya saja karena dengan ini ia tidak akan pernah merasakan kesepian.
Saat ini Jendral Jeon adalah pusat hidupnya, aroma yang selalu ingin ia hirup melebihi helaan nafas udara segar disekitar pohon oak. Nona Hwang tidak peduli jika itu hanya perasaan sepihak darinya, yang pasti ia hanya ingin mengatakan seperti inilah perasaannya dan ia memohon ampun sebesar-besarnya pada langit karena telah mengabaikan tugasnya menjaga keluarga kerajaan dan memilih pergi untuk hidup bersama seorang Jendral Jeon.
"Apa yang kau fikirkan?" Sosok Jendral Jeon memeluk tubuh ramping nona Hwang membuat wanita itu nampak terkejut.
"Nari..." Tidak berniat melepaskan pelukan Jendral Jeon tapi nona Hwang memilih untuk menikmati moment hangat ini.
"Aku membawakan ini untuk mu." Jendral Jeon menyodorkan semangkuk ceker ayam kesukaan nona Hwang. Dulu saat ia menjadi seorang Chenayang, ia tidak diperbolehkan memakan sesuatu yang bernyawa, ia hanya boleh memakan sayuran tapi setelah ia benar-benar pergi, semua larangan itu sirnah.
"Uuuuuwwweeeekkk..." nona Hwang seketika merasa mual hanya mencium bau ceker ayam tersebut membuat Jendral Jeon menatapnya bingung.
"Ada apa? Apa kamu sakit?" Dengan sigap, Jendral Jeon mengangkat tubuh nona Hwang dan merebahkannya.
"Apa perlu ku panggilkan tabib?" Tawar Jendral Jeon dan nona Hwang menggeleng pelan.
"Tidak Nari, saya akan baik-baik saja. Ini sudah sering terjadi selama beberapa minggu ini, saat Nari sedang pergi ke ibu kota." Akhir-akhir ini memang Jendral Jeon sering kali pergi ke ibu kota entah untuk urusan apa? Nona Hwang tidak berani untuk menanyakannya.
Jendral Jeon memandang sedih wajah pucat nona Hwang kemudian mengecup dahi putih itu.
"Mianhamnida..." Kali ini Jendral Jeon ikut berbaring disamping nona Hwang dan memeluknya erat.
"Beristirahat, aku akan menemanimu dan aku berjanji tidak akan meninggalkan mu lagi." Janji Jendral Jeon membuat nona Hwang mengulum senyum tipis di bibir mungilnya.
"Khamshamida Nari..."
Lewat tengah malam, bulan muncul dengan wujud utuhnya yang membuat nona Hwang terbangun saat tak menemukan sosok Jendral Jeon yang tidur disebelahnya. Wanita itu berjalan berlahan sambil memanggil-manggil namanya.
"Nari..."
"Nari..."
Nona Hwang terus berjalan menyisir setiap sudut hanok sampai ia menemukan Jendral Jeon masih memakai busana dalam putih, ia berdiri dengan dikelilingi beberapa prajurit kerajaan. Nona Hwang merasa panik seketika dan berlarian menghampirinya.
"Nari..." Nona Hwang sudah berada dibelakang Jedral Jeon membuatnya menoleh.
"Apa yang kau lakukan disini? Cepat masuk!" Bentak Jendral Jeon yang membuat nona Hwang seketika menggeleng.
"Nona Hwang..." Panggil seseorang yang kini menampakkan dirinya membuat baik Jendral Jeon atau pun menoleh dan betapa terkejutnya mereka melihat sosok orang itu dihadapannya.
"Seja Jeoha!" Ucap Jendral Jeon dan nona Hwang bersamaan.
"Akhirnya aku menemukanmu nona Hwang." Putra Mahkota hendak mendekat tapi Jendral Jeon menarik nona Hwang dan mendekapnya mengalungkan tangannya di leher wanita itu, kemudian menyilangkan sebuah pedang pada leher wanita itu.
Semua orang membelalak tak mengerti dengan apa yang Jendral Jeon lakukan.
"Nari..." Lirih Nona Hwang berusaha untuk menyadarkan Jendral Jeon yang terlihat tak mampu mengontrol emosinya saat melihat Putra Mahkota baik-baik saja, tidak seperti dirinya yang kacau sampai detik ini.
"Keparat kau Jendral Jeon!" Geram Putra Mahkota yang hendak mendekatinya.
"Apa kau merindukannya? Wanita yang selama ini bersama ku?" Tanya Jendral Jeon dengan sinis yang seketika membuat Putra Mahkota semakin marah.
"DIAM KAU! Jangan menyentuhnya!'"Pintanya dengan pedang yang siap untuk menyerang Jendral Jeon jika sampai ia melukai nona Hwang yang seketika membuat Jendral Jeon terbahak.
"Hahaha menyentuhnya? Haruskah ku katakan? Bahwa kami selalu melakukannya? Bersentuhan! Seperti layaknya pasangan!" Ungkap Jendral Jeon yang membuat Putra Mahkota semakin geram, akhirnya ia melangkah maju.
"Ayo bertarung dan lepaskan dia!" Tawar Putra Mahkota dan Jendral Jeon nampak berfikir.
"Baiklah" Katanya setelah memikirkannya.
Akhirnya Jendral Jeon melepaskan nona Hwang dan melangkah maju untuk menghadapi Putra Mahkota tetapi beberapa panah tiba-tiba melukai tubuhnya.
Blashh
"Nari..." Jerit nona Hwang saat tubuh Jendral Jeon limbung dan jatuh ke tanah.
Brug
Beberapa anak panah telah menancap dibagian tubuhnya dan Putra Mahkota menyeringai penuh kemenangan.
"Nari..." Nona Hwang berjalan menghampiri Jendral Jeon dan memeluknya.
"Kau selalu lupa siapa yang kau hadapi sekarang? Kau ingin menghancurkan keluarga kerajaan? Jangan bermimpi!" Putra Mahkota berjalan menghampiri mereka dan berjongkok dihadapan mereka. Meraih tangan nona Hwang.
"Nari..." Nona Hwang menangis membuat Putra Mahkota semakin geram.
"Kenapa kau harus menangisih bedebah sepertinya! Kau ini adalah wanitaku! Kajja, kita pergi dari sini!" Putra Mahkota menarik tangan nona Hwang untuk segera pergi meninggalkan Jendral Jeon yang terlihat kesakitan dengan beberapa anak panah yang menacap. Saat nona Hwang tarik-menarik dengan Putra Mahkota
JLEBB
Suara tusukan pedang membuat nona Hwang terjatuh, tergeletak.
"NONA HWANG!" Jerit Putra Mahkota yang berlarian mendekati tubuh berlumuran darah itu. Siapa kah yang melakukan semua ini? Ia adalah Jendral Jeon yang masih sanggup untuk berdiri yang kini memandang datar nona Hwang yang memegangi perutnya kesakitan, bersamaan dengan itu pula darah mengalir melewati pahanya.
"PANGGIL TABIB!" Teriak Putra Mahkota. "Nona Hwang..." Lirih Putra Mahkota mulai menangis, nona Hwang terus memandang Jndral Jeon dengan tangisan diamnya.
"Bagaimana rasanya, melihat kekasihmu sekarat didepanmu? Kau merasa hancur kan Seja Jeoha! Seperti itulah aku saat melihatnya tersiksa, aku tidak menyiksanya seperti yang mereka lakukan, itu akan memudahkannya untuk mati!" Sinis Jendral Jeon yang masih memandang nona Hwang dengan datar. Dendam dan amarah yang memuncak membuatnya melupakan segala bentuk kasih sayang yang ia miliki.
"BAJINGAN KAU! BAWA DIA DAN MASUKKAN KEPENJARA BAWAH TANAH! AKU AKAN MENYIKSANYA SAMPAI DIA MENANGIS DARAH!" Murka Putra Mahkota memerintahkan pasukannya untuk segera menyeret Jendral Jeon menjauh.
"Nona Hwang..." Putra Mahkota tak berhenti menangis.
"Seja Jeoha...Mianhamnida" Ucap nona Hwang sampai ketika wanita itu pingsan.
"Nona Hwang...TABIB MANA? BAWA KEMARI!" Teriak Putra Mahkota.
Selama beberapa menit di dalam hanok sederhana itu, tabib berusaha menyelamatkan nona Hwang yang kritis dan Seja Jeoha terus mondar-mandir cemas menunggunya diluar sampai tabib wanita itu keluar.
"Bagaimana?" Sambut Putra Mahkota dan tabib itu langsung bersujud meminta ampun.
"Ampuni hamba Seja Jeoha, nona kehilangan banyak darah dan diperparah dengan kegugurannya. Ia hanya bertahan sampai beberapa jam saja." Ucapnya sambil menunduk.
"Keguguran?" Mata Putra Mahkota membelalak menunjukkan keterkejutannya, kemudian ia menggeram marah.
"SIALAN! AKU AKAN MEMBUNUH BAJINGAN ITU!" Teriaknya dengan segenap amarah yang keluar dalam dirinya, ia menghela nafas dan mulai mengatur ritme detak jantungnya yang meningkat sebelum masuk kedalam hanok sederhana itu.
Kini Putra Mahkota berada di dalam memandang sedih nona Hwang yang terbaring lemah.
"Maafkan aku..." Lirih Putra Mahkota menangis tersedu-sedu. Nona Hwang meraih wajah Putra Mahkota membuat pria itu harus mendekat.
"Jadilah pemimpin yang bijaksana..." Pesan nona Hwang dan tangannya jatuh saat matanya mulai memejam.
"Tidak! Kau tidak boleh meninggalkan ku nona Hwang!" Jerit Putra Mahkota memeluk tubuh tak beraga itu, tak merelakan sang pemilik-Nya untuk mengambil kembali ciptaan-Nya.
Kematian adalah takdir dan selalu menjadi ending dari sebuah kisah manusia di dunia. Saat kematian itu menjemput, semua kisah akan berhenti dan menyisahkan sebuah penyesalan. Seperti Putra Mahkota yang saat ini sedang menangisi kepergian nona Hwang.
"Aku berjanji, dikehidupan yang akan datang...Aku akan melindungimu dan mencintaimu.'" Lirih Putra Mahkota yang kini membaringkan tubuh nona Hwang dan memandanginya sekilas sebelum menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih.
Sinb langsung terduduk dengan tangis terisak, tetua Hwang berjongkok dan seketika meraih tubuh putrinya.
"Maafkan Aboji, semua ini karena Aboji melanggar tita langit untuk tak menyukai manusia. Kau dilahirkan dengan kutukan ini, bahwa kau harus melindungi keluarga kerajaan sampai akhir hidup mu dan kau harus menerima hukuman dikehidupan mu lagi untuk menembus kesalahan mu karena melanggar janjimu yaitu menjadi malaikat maut tapi bahkan disaat itu kau tak memiliki ketenangan. Selama kau menjalani kehidupan baik kau, Putra Mahkota dan Jendral Jeon akan selalu berkaitan." Terang tetua Hwang membuat Sinb melepas pelukannya dan menatap Abojinya ini dengan sendu.
"Ottokae? Apa yang harus ku lakukan?" Lirih Sinb dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya. Tetua Hwang mengusapnya dengan lembut.
"Jalani hukuman mu, saat itulah kau akan mendapatkan ketenangan." Saran tetua Hwang, Sinb diam mencoba untuk memikirkannya.
"Beri aku waktu." Mohonnya dan tetua Hwang mengangguk.
"Gomawo Aboji." Sinb memeluk tetua Hwang.
"Ka, sekarang pergilah bersama RM. Ku pikir sekarang dia begitu mencemaskan mu." Sinb mengangguk mengerti, kemudian tersenyum.
"Ingatlah, berhenti bersedih. Jika kau terus seperti itu, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri. Itu kenapa aku membiarkanmu selama ini melakukan apapun yang kau mau, karena aku tak sanggup melihatmu terus menderita." Terang tetua Hwang membuat Sinb mengangguk.
Bukan tidak mudah untuk menangkap Sinb dan memberikan hukuman gadis itu karena telah melakukan banyak pelanggaran dan dosa tapi tetua Hwang sengaja membiarkannya karena rasa bersalahnya, kesalahannya dimasa lalu membuat putrinya yang memiliki darah separuh malaikat dan manusia harus menanggung semua kutukan itu.
BLEEEDAAARRR
Sebuah kilat menyambar dan saat itu juga tetua Hwang menghilang. Kini tinggal Sinb yang termenung dengan sisa air mata.
"Kau tidak apa-apa?" Saat Sinb akan roboh lagi tapi dengan sigap RM menangkap tubuhnya.
"Mianhae..." Lirih Sinb yang sama sekali RM tak mengerti.
"Untuk?" Tanya RM
"Semuanya..." Ungkap Sinb yang kini memeluk RM.
"Apa kau sakit? Kau ingin aku mengantarmu?" Tanya RM dan Sinb menggeleng, kemudian melepaskan pelukannya memandang RM lekat sebelum akhirnya mengatakan sesuatu.
"Ani, aku akan menyelesaikan beberapa hal sebelum aku menerima hukuman ku." Mata RM melebar, tak menyangka bahwa ini keputusan Sinb setelah ribuan tahun mengelana.
"Kau serius?" Tanya RM masih tak mempercayai keputusan Sinb, gadis ini mengangguk.
"Ne, aku akan melakukannya." Jawab Sinb dengan yakin.
"Baiklah, aku akan membantumu." Tekat RM sembari mengacak rambut Sinb berusaha untuk mencairkan suasana suram pada wajah gadis itu.
"Gomawo, aku akan pergi." Pamit Sinb dan gadis itu pun melambaikan tangannya dan menghilang begitu saja.
"Ne, jaga dirimu baik-baik." Sesungguhnya RM masih merindukan gadis ini, hanya saja ia tidak bisa memaksanya untuk tetap bersamanya. Melihatnya baik-baik saja sudah cukup melegakan hatinya. Setidaknya gadis itu masih mengingatnya, itu juga sudah lebih dari cukup bagi RM.
---***---
Sinb tiba di apartemennya dan duduk disofa saat Seulgi sedang membuat beberapa masakan di pantry dan Mina hanya memperhatikannya, duduk dihadapan gadis itu seolah seperti pelanggan yang sedang menunggu pesanan makanannya. Sinb tak lantas menghampiri mereka, hanya memperhatikannya dengan ketermenungannya. Bukan ia tidak tau siapa roh itu? Ia tahu dan sudah menduganya bahwa Jungkook membawanya kemari dan akan meminta bantuannya untuk memberikan roh itu sebuah jasad.
"Kau sudah kembali?" Suara familiar itu membuat Sinb mengalihkan pandangannya, menatap lekat Jungkook dengan pandangan berbeda.
"Wae? Apa sesuatu terjadi?" Tanyanya sembari berjongkok dihadapan Sinb membuat Sinb segera memegangi dadanya yang sakit, perasaan menyakitkan itu kembali bersamaan dengan memori menyedihkan itu. Sinb berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis dan Jungkook melihatnya dengan khawatir. Saat Sinb hanya diam dengan perasaan kalutnya, Seulgi datang mendekat.
"Kau sudah datang?" Sambut Seulgi dengan bahagia, Sinb harus berterima kasih karena sahabatnya itu telah menyelamatkannya dari suasana yang membuatnya tak bisa menyembunyikan perasaannya saat ini.
Sinb mengangguk dan berusaha untuk tersenyum. Posisi Jungkook masih tetap jongkok dihadapan Sinb membuat Mina yang juga datang mendekat memandangnya dengan bingung.
"Jangan salah paham, aku melihatnya kurang sehat dan aku berusaha untuk memeriksa keadaannya." Akui Jungkook saat melihat raut wajah Mina dan gadis roh itu seketika tersenyum lega. Sementara Sinb, gadis itu hanya memperhatikan interaksi keduanya, tatapan penuh binar diantara keduanya seolah menggambarkan seberapa dalam perasaan mereka.
"Ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui, di sekolah atau pun dikalangan teman malaikat ku. Sinb dan aku merupakan seorang kekasih tanpa mereka tahu apa yang sebenarnya." Lanjut Jungkook, Sinb masih tetap diam mengamati.
"Iya itu benar!" Kata Seulgi yang kemudian gadis itu memandang Sinb dengan teliti. "Apakah benar kau sakit?" Tanyanya pada Sinb yang segera dibalas gelengan olehnya.
"Ani, aku baik-baik saja." Jawab Sinb tapi Seulgi yang melihat perubahan raut wajah Sinb semenjak kemarin menduga bahwa gadis itu tidak baik-baik saja, ada sesuatu yang pasti ia coba sembunyikan tapi ia juga tidak bisa mendesaknya untuk mengatakan apa yang membuatnya terlihat diam seperti itu.
"Sinb-ah, bisakah kau membantuku?" Mohon Jungkook dan Sinb mengangguk membuat baik Jungkook atau Mina senang.
"Bisakah kau carikan raga yang cocok untuknya." Jungkook menunjuk sosok roh Mina dan seketika Sinb memandang gadis roh itu.
"Tentu saja, itu pekerjaan muda." Kata Sinb tanpa banyak tolakan, mungkin Jungkook dan Mina tidak merasa ucapan Sinb ini aneh tapi bagi Seulgi? Itu sangat aneh, ini kedua kalinya Sinb terus menuruti permintaan Jungkook dengan mudahnya.
"Aku akan melakukannya besok, di gua lilin jiwa." Lanjut Sinb, masih dengan ekspresi datarnya. Jungkook segera meraih tangan Sinb dengan binar dan senyum yang mengembang di bibirnya. Sinb merasa ada yang berdesir dan jantungnya seketika berdetak tak karuan, namun rasa sakit itu masih saja sama rasanya membuat Sinb tidak bisa tersenyum, barang sedikit saja.
"Gomawo Sinb-ah..." Sinb mengangguk. Mina dan Seulgi masih memperhatikan mereka dengan senang.
"Kalau begitu, bolehkah aku beristirahat?" Mohon Sinb yang ketika membuat senyum ketiganya menghilang dan mulai mengkhawatirkan gadis ini.
"Kau benar sakit?" Kini Jungkook menempelkan tangannya pada dahi Sinb.
"Panas, sebenarnya kau dari mana saja? Ingat! Kau menggunakan tubuh manusia, bukan lagi sebagai malaikat seperti dulu. Setidaknya kau harus menjaga dirimu Hwang!" Omel Jungkook yang ketika membuat Sinb berdiri. Sikap dingin Sinb itu tak luput dari pengamatan Seulgi, sementara Mina yang tak mengerti sifat asli Sinb hanya memandangnya dengan bingung.
"Ada apa denganmu?" Tanya Jungkook yang tak mengerti. Seulgi segera menghampiri Sinb dan membawanya pergi.
"Mungkin moodnya sedang buruk, lagi pula untuk persiapan besok ia membutuhkan banyak energi jadi dia harus segera istirahat. Kajja, kau harus istirahat." Kata Seulgi berusaha menengahi dan Jungkook tak berhenti memandanginya kemudian menghela nafas.
"Lihatlah, dia memang seperti itu. Tidak bisakah dia tidak membuat semua orang khawatir, kenapa dia selalu berakhir membuatku jengkel!" Omel Jungkook berusaha bercerita pada Mina, tanpa Jungkook sadari raut wajah Mina berubah.
"Sudahlah, lupakan! Sebaiknya kau menyimpan energimu untuk ritual besok. Aku akan pergi sekarang." Kata Jungkook sambil mengecup dahi Mina dan membuat gadis itu memejamkan matanya seketika.
"Aku mencintaimu..." Bisik Jungkook yang kini sudah tidak ada dihadapan Mina, kemudian pandangan gadis itu beralih pada pintu kamar Sinb yang tertutup. Mina nampak termenung sesaat sebelum akhirnya menghilang.