Kisah Laki-laki Tegar
Pagi hari sekitar pukul 06.00 pagi, Piya masih terbaring tidur di kamarnya tiba-tiba suara klakson sepeda di depan rumah Piya membangunkannya. Ia pun segera bangun dari tempat tidur dan merapikan tempat tidurnya. Kemudian membuka gorden dan jendelanya. Ia terkejut dengan sepeda motor yang ada di depan rumahnya karena ia tidak melihat sepeda motor itu sebelumnya. Ia pikir yang datang ke rumahnya itu adalah Riana, dan sepeda Riana sepeda matic bewarna putih, dan yang ada di depan rumahnya sepeda motor matic bewarna hitam. Ia pun keluar dari kamar dan menuju kamar mandi, tapi langkahnya terhenti kala ibunya memangil.
“Piya”teriak Ibu Piya.
“Iya Bu, ada apa?” Jawabnya dengan lesu.
“Ini loh ada tamunya.”
“Hah, siapa sih bu pagi-pagi kok sudah ada tamu?” tanya Piya sambil celingak celinguk ke ruang tamu.
“Hai.” Sapa Zim sambil tersenyum.
“Oh kamu?” Teriak Piya sambil menutup wajahnya dengan handuknya.
“Ngapain kamu kesini, Pagi-pagi pula. Pergi sana!
“Piya, tamu kok disuruh Pulang?”
“Lagian bu, jadi tamu itu harus ngerti waktu ini masih pagi buta.”
“Piya, sana mandi-mandi rambut berantakan, masih pakai baju tidur dan muka masih gak karuan udah nemuin tamu.” Pinta Ibu sambil mendorong-dorong Piya menuju kamar mandi”
“Piya gak salah bu, tamunya tuh gak tau waktu.”Teriak Piya di dalam kamar mandi.
“Maafkan anak saya ya nak, biasa bangunnya telat.”
“Gak papa kok bu. Saya yang harus minta maaf sudah menganggu.”
“Walah ndak kok nak, memangnya ada apa ya nak kok pagi-pagi bukannya sekarang hari minggu ya?” Ucap Ibu Piya dengan kalem dan masih dengan aksen bahasa Jawanya yang masih ketara.
“Iya bu. Tapi saya mau ajak Piya jalan bu, boleh kan ya bu?”
“Iya boleh nak.
Selama Piya mandi, Ibu Piya dan Zim berbincang-bincang baik itu tentang Piya yang masih sedih karena kehilangan ayahnya, maupun tentang pekerjaan Ibu Piya dan juga sebaliknya tentang Zim. Ditengah keasyikan ngobrol antara Zim dan Ibunya Piya keluar dari kamar mandi, dan pergi ke kamarnya untuk memakai baju ganti. Selang beberapa waktu Piya keluar dari kamar dengan memakai kaos bewarna putih dipadukan dengan celana jeans nya dan membawa tas totebag bewarna putih itu menemui Zim.
“Aku udah siap, bu aku langsung berangkat ya, maaf kali ini Piya gak masakin Ibu.”Ucap Piya sambil mencium tangan Ibunya.
“Iya ndak papa Piya, hati-hati ya.”Jawab Ibu Piya
Piya dan Zim langsung berangkat dengan mengenderai sepeda matic warna hitam milik Zim. Ditengah perjalanan Piya masih heran dengan tindakan Zim yang berani ke rumahnya untuk mengajaknya jalan, ia pun menanyakan hal tersebut kepada Zim.
“Eh Zim, kamu nekat ya jadi orang aku kan udah bilang kemarin kalau aku gak mau jalan sama kamu.”Ucap Piya
“Halah bilangnya gak mau, tapi ujung-ujungnya mau nih.”Jawab Zim.
“Itu terpaksa. Oi ya ngomong-ngomong kamu tau rumah aku dari mana?
“Ya pastinya Aku tau dari Raka lah.”
“Oi ya deng. Lagi pula kamu mau ngajak aku kemana sih?
“Nanti kamu pasti akan tau.
15 menit kemudian ia sampai di depan rumah sederhana yang bewarna cat hijau serta di depannya terdapat beberapa bunga. Tampaknya, bunga-bunga tersebut itu milik Almarhum Ibunya Zim yang ia sirami setiap harinya. Karena dulu sebelum Ibunya Zim pergi meninggalkannya ia berpesan kepada Zim untuk merawat bunga-bunga itu setiap harinya, kala ketika ia sudah tiada ayahnya bisa mengingatnya saat melihat bunga tersebut. Zim mempersilahkan Piya untuk masuk ke rumahnya. Ia memperkenalkan Piya kepada ayahnya yang masih terbaring lemah diatas ranjang dan memperkenalkan kepada adiknya Arkana yang masih duduk di bangku SD kelas 5. Ia menceritakan kepada Piya tentang Ibunya yang meninggal serta ayahnya yang divonis mengidap penyakit jantung koroner kala Ibunya tidak lagi ada disisi mereka. Dan tak lupa ia juga bercerita tentang Arkana. Ia menceritakan semua cerita sedih dan pedihnya karena kehilangan tersebut kepada Piya, tujuannya yang pertama karena ia ingin Piya mengenalnya dan yang kedua karena ia ingin Piya sadar bahwa ada yang lebih susah dari pada dia dan supaya dia kembali bersemangat. Setelah itu, ia mengajak Piya pergi ke makam Ibunya. Ia menumpahkan segala kesedihan akan kehilangan sosok Ibu kepada Piya. Piya pun diam seribu bahasa ia merasa tersentuh oleh cerita zim dan dibalik itu ia heran mengapa Zim menceritakan semuanya kepada dirinya.
“Piya, kamu pasti penasaran kenapa aku menceritakan hal yang menyedihkan ini kepada kamu? Aku menceritakan semuanya karena seperti yang aku bilang kemarin kalau aku ingin kamu mengetahui dan mengenal diriku lebih dekat. Dan selain itu aku ingin kamu tau, kalau bukan hanya kamu yang mengalami kesedihan akan kehilangan Piy.”
“Iya Zim.” Piya hanya menjawab dengan singkat.
Selain rumah dan makam Ibunya ia mengajak Piya ke panti asuhan. Zim tak hanya ganteng, dan tegar ia juga memiliki jiwa sosial yang tinggi. Salah satunya ia sering menghabiskan waktunya ke panti untuk mengajarkan mereka tentang pengetahuan, memberi berbagai buku untuk anak panti, dan menyisihkan uangnya untuk ia donasikan kepada panti ini. Piya yang sedari tadi hanya terdiam, diam-diam mulai menyimpan rasa kagum dalam batinnya pada sosok Zim yang ia kenal sebagai sosok yang menyebalkan.
“Piya dalam sebuah kehidupan pasti ada luka dan kesedihan yang mewarnainya, salah satunya yaitu kehilangan orang yang dicintai. Kehilangan memang menimbulkan luka yang cukup susah untuk dilenyapkan.Tapi percayalah Tuhan menguji kamu mengenai hal itu karena Tuhan percaya kamu itu kuat menjalaninya. Untuk itu jangan sesali yang sudah terjadi. khlaskan agar hatimu sedikit lebih terobati, lihat sekelilingmu masih ada orang yang tak seberuntung dirimu. Percayalah Tuhan pasti mempunyai rencana yang indah untukmu di kemudian hari. Tetap tersenyum.” Ucap Zim sambil memegang pundak Piya dengan kedua tangannya dan memandang wajah Piya.
Sontak Piya kaget kala kata-kata tersebut muncul dari mulut Zim, ia gak menyangka kalau quote ke-2 yang ia terima di taman Sukosari itu sangat mirip dengan apa yang diucapkan oleh Zim. Ia mulai curiga bahwa payung merah dan quote-quote yang ia terima itu adaah pemberian dari Zim. Dan sebenarnya ia ingin menanyakan kenapa Zim mengungkapkan kata-kata yang mirip dengan quote yang ia terima. Tapi ia tahan dulu, karena ia tak ingin salah sangka.
“Iya Zim, aku akan mengikhlaskan dan mencoba untuk bangkit dari kesedihan akan kehilangan. Terima kasih Zim.” Jawabnya dengan tersenyum dan memandang Zim.
Tunggu kelanjutannya yah.. Terima kasih sudah membaca, Salam Aksara