Kedai Aksara Kopi
Keesokan harinya, Piya melakukan diskusi bersama dengan anggota KOPEKAT mengenai kegiatan FGD yang akan segera dilakukan setelah ditunda sabtu kemarin dan akan dilaksanakan sabtu depan. Piya dan anggotanya berkumpul di gazebo kampus seperti biasa. Kali ini wajah Piya kembali seperti semula yaitu wajah penuh dengan kesal, kosong, dan tak bersemangat. Sedari tadi Riana sudah penasaran kenapa wajah Piya kembali seperti semula. Alhasil, ia menarik tangan Piya untuk mengajaknya ngobrol berdua sebentar dan menghindar dari anggota KOPEKAT.
“Piy, Kau kenapa wajah kamu seperti semula kosong dan tak bersemangat lagi?”
“Aku gak papa kok Na.” Jawabnya sambil tak bersemangat.
“Bohong, aku siapa sih Piy. Kamu kok gak pernah cerita? Jangan tertutup dong sama sahabat sendiri.”Ucap Riana sambil memegang pundak Piya.
“Iya deh Na. Aku mau cerita. Begini Na, aku kesal banget sama Zim, dia sudah memberi harapan palsu ke aku dan menipu. Tapi nyatanya dia sudah punya pacar.”
“Oalah, gara-gara itu. Kata siapa kau kalau Zim punya pacar? Zim itu gak punya pacar Piy.”
“Loh, tapi kemarin di kerumunan cewek-cewek di depan panggung ada satu cewek yang bilang kalau dia itu pacarnya. Dia juga cantik.”
“Haha, pasti Astra tuh. Dia itu cuma ngaku-ngaku, orang Zim aja loh gak pernah suka sama dia. Aku tahu semua tentang Zim Piy, dia kan sahabatnya Raka. Waduh-waduh sepertinya ada yang lagi jatuh cinta nih?” Ucap Riana sambil tertawa dan mengejek Piya.
“Apasih Riana, Gak aku cuma gak mau dibohongin aja sama dia. Ternyata dia bukan penipu.”
“Ah, bilang aja kalau suka.”
“Apasih Na, gak kok.” Ucapnya sambil tersenyum dan wajahnya memerah.
“Halah, gak suka tapi muka kok merah.” Ejek Riana sambil menggelitiki perut Piya.”
Piya dan Riana pun tertawa bersama sampai lupa kalau mereka harus mendiskusikan tentang FGD di desa Sukosari. Hingga Raka memanggil keduanya berkali-kali. Sampai akhirnya Ia menghampiri mereka berdua dan menjewer telinga keduanya. Riana dan Piya pun kesakitan, tapi kali ini senyum yang mengembang di wajah Piya tak seperti biasa. Yang biasanya ia hanya senyum tipis, namun kali ini ia bisa tersenyum lepas tanpa ada paksaan. Riana memandangi Piya dengan tersenyum. Tampaknya ia sangat senang bisa melihat sahabatnya itu kembali bisa tersenyum dengan lepas. Dan dalam batinnya ia harus bisa menyatukan Zim dan Piya, karena hanya Zim yang bisa membuat Piya bahagia.
Selang beberapa waktu diskusi mengenai FGD sudah dilakukan. Hasil diskusi tersebut membahas siapa saja para warga yang akan diundang datang di FGD kali ini mewakili warga desa Sukosari. Selain itu, juga mengenai tempat yang digunakan untuk melakukan FGD. Jam menunjukkan pukul 15.00 Piya keluar dari kampus dan kali ini ia ingin jalan-jalan ke sekitar kampus. Tiba-tiba matanya tertuju pada papan nama di sebuah kedai kopi jaraknya tak jauh dari kampus. Papan nama itu bertuliskan “Kedai Aksara Kopi” ia penasaran dengan nama itu kenapa harus ada kata aksara di depan kata kopi, dan kenapa tidak memakai nama lain. Sehingga ia masuk kedalam kedai kopi ini. Kedai aksara kopi ini juga unik karena desainnya yang klasik juga terdapat beberapa buku yang ada disana sesuai dengan nama kedainya Aksara. Selain itu, kedai ini di dindingnya terdapat balok kayu yang bertuliskan quote-quote. Dindingnya bukan seperti dingding di kedai kopi biasanya kedai kopi ini dingdingnya terbuat dari batu bata. Selain ada beberapa balok kayu yang berisikan quote-quote di dingding batu bata itu, ada juga beberapa tulisan-tulisan puisi di kertas yang juga ditempelkan di dingding kedai. Sehingga menambah kesan literasinya di kedai kopi ini. Tak hanya itu di kedai Aksara kopi ini juga diiringi alunan musik klasik sehingga semakin menambahkan kesan klasik pada ruangan kedai ini.
Piya yang sedari tadi melihat-lihat ruangan kedai kopi dikagetkan oleh seorang laki-laki dengan memakai seragam barista kedai aksara kopi ini, laki-laki itu adalah Zim.
“Mbak, mbak mau pesan apa?” tanya Zim kepada Piya yang masih asyik melihat ruangan kedai aksara kopi ini.
Piya pun melihat ke arah Zim dan ia pun kaget.
“Hah, kamu lagi? Dunia tak selebar daun kelor ternyata.”
“Memang, dan itulah takdir dimanapun kita berada jika itu sudah takdirnya untuk kita ketemu ya kita akan ketemu.”
“Selalu deh, kamu bicara seperti itu.” Jawab Piya dengan cuek.
“Jadi gimana mau pesan apa?”
“Males banget deh harus pesan disini kalau baristanya cowok yang ngeselin.”
“masak udah masuk gak mau pesan, gak malu mbak sama orang-orang?”
“Ish-ish ngeselin banget sih. Iya-iya aku pesan.” Sambil duduk dan melihat buku menu yang ada di mejanya.”
“Untuk kamu yang gak suka kopi, mending kamu pesan latte atau cappucino.” Ucap Zim sambil duduk di bangku kosong depan Piya.”
“Eh, kamu tuh jadi orang memang ditakdirkan ya untuk menjadi orang yang sok tau?”
“Aku gak sok tau, tapi kenyataannya seperti itu. Mungkin kamu memang enggak berniat untuk ngopi, karena kamu tertarik dengan beberapa buku yang ada disini dan tertarik dengan nama kedai kopi ini. Iya kan?”
“Hah, sumpah ya kamu tuh ngeselin banget sih.”
“Mana mungkin sih pencandu buku dan cewek cuek ini tau tentang kopi?
Piya hanya diam dan memasang muka kesal.
“Bentar, ku buatkan minuman kopi cappucino special for you.” Ucap Zim dan pergi meninggalkan Piya.
“Oi ya sembari kamu menunggu cappucino buatanku, kamu boleh baca-baca buku disini atau menuliskan puisi, kertasnya sudah ada di rak tinggal ngambil. Setelah itu kamu boleh menempelkan karya kamu di dingding batu bata itu yang terdapat beberapa kumpulan karya dari pelanggan.” Ucap Zim sambil menoleh ke arah Piya dan menunjuk ke arah dinding batu bata.
“Ok.”
Sembari menunggu cappucino buatan Zim ia melihat hasil puisi dari para pelanggan yang ditempelkan di dingding batu bata kedai kopi ini dan melihat buku-buku yang berada di rak buku. Ia pun sangat antusias kala ia menemukan buku karya Fiersa Besari yang berjudul “Catatan Juang”.
“Kenapa? Kamu suka ya sama buku karya Fiersa Besari?” Tanya Zim sambil meletakkan kopi cappucino buatannya di meja Piya.
“Sok tau.” Jawab Piya sambil menoleh ke arah Zim dan meletakkan buku karya Fiersa Besari ke rak kembali.
“Udah, minum gih. Oi ya kamu pasti penasaran siapa pemilik kedai kopi ini yang membuat kamu seorang pecandu buku mampir kesini.”
“Ini gak diracun kan? Memang siapa pemiliknya?” Jawab Piya. (sambil meminum cappucino buatan Zim)
“Haha mana tega aku ngracun cewek jutek. Jadi pemilik kedai kopi ini adalah Andika, dan untuk desain kedai kopi ini sendiri aku yang memiliki ide itu.”
“Ish, promosi diri sendiri.” Jawab Piya.
“Aku gak promosi, tapi kenyataannya seperti itu.”
“Tunggu, maksud kamu yang memiliki kedai kopi ini si Andika anggota DIKATZI band?” tanya Piya.
“Iya. Oi ya bukannya kamu mau baca buku Fiersa Besari?”
“Gak usah deh. Terima kasih. Tunggu, kenapa kamu mempunyai ide desain kedai kopi ini seperti rumah baca?”
“Ya, pertama karena aku suka dengan buku dan dunia literasi, dan yang kedua aku ingin orang-orang yang mengunjungi kedai kopi ini gak hanya sekedar nongkrong tapi juga mendapatkan ilmu dengan membaca dan diskusi, dan pastinya aku ingin membantu meningkatkan minat baca dan tulis masyarakat Indonesia itu sendiri.”
“Wah, lumayan bagus visi misinya.” Jawab Piya.
“Tunggu, ternyata dari tadi kita ngobrol?”
“Ya kamu kira apa?”
“Wah gak nyangka, si cewek jutek akhirnya bisa diajak bicara.”
“Apasih gak jelas banget. Yaudah aku mau pulang.”
“Ih, juteknya kembali. Oi ya kamu ingat gak pas kita ketemu di halte, yang kamu bertanya siapa aku? Dan aku bilang biarlah ruang dan waktu yang akan menjawab pertanyaan kamu.”
“Udah lupa.” Jawab Piya dengan cuek sambil membayar cappucino yang dipesannya tadi ke kasir.
“Aku akan ngasih tau kamu, siapa aku?”
“Udah tau. Zim bukan?” Jawab Piya sambil membuka pintu kedai kopi.”
“Tunggu. Karena kita sudah bertemu beberapa kali, aku ingin kamu tau aku dan aku tau kamu.” Jawab Zim sambil mengikuti Piya ke luar dari kedai kopi
“Untuk apa?”
“Ya, untuk saling kenal dan pastinya membuktikan takdir.”
“Haha, ngomong apasih?” Jawab Piya sambil memberhentikan lin.
“Tunggu, Aku besok ke rumahmu dan menjemputmu.”
“Ngapain dan njemput aku mau pergi kemana?” Tanya Piya sambil memasuki lin.
“Untuk membuat kamu mengenalku.”
“Gak mau.” Jawab Piya.
Piya pun pergi meninggalkan Zim yang masih tersenyum karena ia tidak menyangka ia bisa berbincang-bincang dengan Piya, gadis yang ia yakini memang ditakdirkan untuknya.
“Kali ini kita dipertemukan di kedai aksara kopi, di waktu kurang lebih menunjukkan jam 3 sore. Lalu apakah esok kita kan kembali bersua?” Ucap Zim sambi tersenyum.