Halte dan Pemakai Kemeja Kotak-kotak
Jam menunjukkan pukul 11.00 Piya pulang dari kampus dan menuju ke Toko Buku untuk mencari buku kuliahnya yang berjudul community development karya Jim Ife. Kali ini ia bukan pergi ke toko bukas tapi ia beli ke toko buku yang jaraknya tak jauh dari alun-alun kota. Ia tak sadar menaiki lin E bukan lin H, seharusnya ia menaiki lin H untuk sampai ke toko buku. Karena keasyikan melamun, jadi ia salah menaiki angkutan umum tersebut.
“Neng, mau kemana?” Tanya Pak sopir lin.
“Ke toko buku pak.” Jawab Piya dengan santai.
“Seharusnya, bukan naik lin ini neng.”
“Loh kok bisa pak, bapak gak ke arah toko buku ya?”
“Neng, neng mangkanya jangan melamun terus. Ini lin E neng bukan lin H.” Jawab Pak sopir sambil tertawa.
“Hehe maaf pak. Yaudah deh pak, saya berhenti di halte alun-alun kota pak.”
Hujan turun lagi, Akhir-akhir ini Jember sedang bersahabat dengan hujan. Biasanya kota ini selalu bersahabat dengan matahari. Namun, kali ini Jember mulai berpaling dari sinar matahari. Piya turun dari lin dengan memakai payung merah kemarin pemberian dari seorang misterius. Semenjak menemukan payung merah itu ia selalu membawanya kemana-kemana. Ia menuju halte alun-alun kota, halte ini sudah di rombak awalnya sama seperti halte-halte lain hanya terdapat tempat duduk. Namun kini halte alun-alun ini terdapat riasan yang menandakan ciri khas kota Jember, yaitu JFC (Jember Fashion Carnival) dan papan reklame. Piya duduk di tempat duduk halte tersebut sembari menunggu hujan reda. Lagi-lagi ia melamun sehingga ia tak sadar bahwa disampingnya ada seorang pemakai baju kotak-kotak yang merebut buku yang ia cari di toko bukas waktu itu.
“Mbak, sepertinya takdir berpihak kepada kita.” Ucap pemakai baju kotak-kotak itu.
“Maksudnya?” Ucap Piya sambil menoleh ke arah laki-laki bertubuh tinggi sektar 170 cm itu.
Piya keheranan sambil melihat wajah laki-laki itu.
“hah, kamu lagi?” ucap Piya sambil mengalihkan pandangnya ke arah jalanan.
“Menurut mbak, kalau kita bertemu dengan orang yang tak dikenal itu sebanyak 2 kali itu tandanya takdir atau hanya sekedar kebetulan?”
Piya hanya terdiam.
“Cuek banget sih mbak. Aku yakin kita memang ditakdirkan bukan hanya sekedar kebetulan. Percaya deh kita akan ketemu lagi di ruang dan waktu lain kali.”
“Kamu itu siapa sih, orang gak ku kenal tiba-tiba sok akrab.”
“Kalau aku kasih tau mbak siapa aku, nanti gak jadi penasaran.”
“Siapa yang penasaran, Gak sama sekali.” Jawab Piya dengan ketus.
“Aku yakin mbak penasaran. Penasaran kenapa selalu ketemu aku dan pada akhirnya rasa penasaran itu akan selaras dengan rindu. Maka dari itu aku gak ingin mbak tahu siapa aku biarlah ruang dan waktu yang akan menjawab pertanyaan mbak tadi.”
“Aku penasaran? Rindu? Ngomong apasih.”
“Aku yakin kamu akan penasaran dan kemudian rindu. Percaya deh suatu saat kamu akan rindu ketika aku mulai menghilang dari pandanganmu.” Jawab laki-laki pemakai kemeja kotak-kotak dengan lengan pendek itu sambil menaiki lin.
Piya terdiam dan memikirkan kata-kata dari laki-laki tadi. Hingga hujan pun reda ia masih tetap diam di tempat duduk halte tersebut. Lamunannya buyar, ketika suara klakson lin E itu berbunyi terus.
“Mbak naik?” Tanya sopir lin.
“Tidak pak, terima kasih.” Jawabnya sambil jalan menuju toko buku.
Selesai membeli buku ia langsung pulang dengan pikiran yang masih terbayang-bayang dengan perkataan laki-laki pemakai kemeja kotak-kotak itu. Sesampai di rumah ia langsung mengambil buku kecil bewarna hijau dan menuliskan sesuatu.
Payung merah dan quote kemarin telah membuat semangatku mulai kembali.
Sekarang, laki-laki pemakai kemeja kotak itu kini membuatku penasaran.
Kebetulan ataukah takdir?
Tapi dunia tak selebar daun kelor.
Kalau katanya ketika seseorang yang tak dikenal bertemu dua kali atau lebih itu tandanya takdir, bukan hanya sekedar kebetulan.
Aku heran mengapa ia bisa seyakin itu?
Ia juga menyatakan bahwa ruang dan waktu lain kali aku dan dia akan bertemu.
Aku bingung, siapakah dia?
Ah, aku gak mau menjadi penasaran.
Penasaran akan selaras dengan rasa rindu. Aku yakin kamu akan rindu ketika aku mulai menghilang dari pandanganmu, ucapnya.
“Ah, kenapa aku mulai menulis tentang laki-laki itu?” Gumamnya sambil menutup bukunya.
Ketika ia meletakkan jaketnya di gantungan pintu kamar, matanya tertuju oleh quote lalu ia memikirkan quote itu.
“Tetap semangat, esok hari kau kan bertemu dengan penyemangat. Hah, masak dia penyemangat? Ah, quote itu sepertinya tidak mungkin deh.” Gumamnya sambil mondar mandir.
“Siapa sih pemberi payung dan quote itu?”
“Kenapa aku harus percaya ke quote itu, jelas-jelas mana mungkin aku ketemu dengan sosok penyemangat, akhir-akhir ini saja aku bertemu dengan sosok menyebalkan.”
“Lalu apakah benar kalau ada kebahagiaan lain yang menungguku?”
“Dan siapa laki-laki pemakai kemeja kotak-kotak itu?” Gumamnya.