CHP 2.
AWAL MULA KERESAHAN
Giovani Arnold POV
"Gevancia Rosiebell? Geva? What's wrong with her?"
Aku tersenyum tipis mendengar seruan itu seraya mengambil minuman kaleng dan duduk di depan Nino setelah menjatuhkan tasku sembarangan di lantai ruangan sekretariat eskul Taekwondo di salah satu sudut lain sekolah. Membiarkan saja Nino menunggu setelah dia meletakkan formulir yang aku tahu pasti milik Geva di atas meja.
"Gue yang akan ngelatih Rosie dan elo jauh-jauh dari dia!!!" telunjukku mengarah ke Nino dengan nada sarat ancaman lalu menegak minuman kalengku. Masih jengkel dengan tatapan binar yang ditunjukkan oleh gadis itu saat menyebut nama Nino sebagai alasan keduanya mengikuti eskul ini. Entah kenapa aku sama sekali tidak suka melihatnya.
"Slow down broh. Ada apa ini sebenarnya? Dua minggu yang lalu gue masih ingat dengan semua omelan elo karena gue dengan asal mengajukan nama elo buat bantuin gue ngelatih anggota baru. Kenapa sekarang begini?"
Entahlah, aku juga tidak mengerti.
Aku berdecak, "Sialan tuh cewek, membuat gue penasaran pada pertemuan pertama."
"Elo penasaran karena alasan pertamanya ini atau kesal karena alasannya yang kedua?" Kekeh Nino saat matanya menyusuri dua alasan yang di tulis Geva pada lembaran bawah formulirnya yang sudah gue coret-coret kasar tapi masih bisa Nino lihat jelas. Karena dirinya.
"Kenapa? Senang lo? Hampir seluruh anggota baru yang cewek rata-rata ikut karena ada elonya."
"Mau gimana lagi. Pesona gue masih bersinar sampai sekarang."
"Najis!!!! Tapi gue minta untuk Rosie lo jauh-jauh dari dia selama latihan. Tuh cewek kayaknya demen sama elo."
Nino menaikkan alisnya menatapku dengan sorot jahil. Dibalik sikap dinginnya terhadap perempuan sebenarnya dia sosok teman yang menyenangkan. Entah apa alasannya dia membuat image seperti itu. Aku sih tidak peduli.
"Wah boleh gue dekatin kalau begitu," ucapnya jail.
Aku reflek menggebrak meja, "Nggak usah belagak lo. Awas aja ya kalau elo sampai dekatin dia!!!"
Nino mengangkat kedua tangannya berusaha menahan tawanya, "Nggak deh dari pada elo ngamuk di sini. Hmm, tapi gue jadi penasaran pengan lihat wujudnya neh cewek."
"Nggak usah bacot. Nantikan di eskul elo lihat. Nggak usah elo cari-cari dia di kelas. Nanti dia bisa jantungan tiba-tiba elo datangin."
Nino berdecak melihatku dengan jemari berada di dagunya nampak berpikir. Mungkin heran dengan sikapku.
"Jadi Rosie -"
"Geva," selaku seraya menaikkan satu kakiku ke atas kursi menikmati sisa minumanku..
"Tadi elo manggil dia Rosie," Nino protes.
"Itu panggilan gue khusus buat dia. Elo nggak usah ikut-ikutan. Panggil dia Geva aja seperti yang lain."
Nino ternganga mendengarnya, "Panggilan khusus. Sejak kapan?"
"Apanya?"
"Sejak kapan seorang Gio manggil juniornya dengan panggilan kesayangan?"
"Sejak tadi siang. Gue harus tahu siapa cewek itu. Gue penasaran setengah mati saat melihat tatapan kuat tapi nggak berdayanya saat menyebutkan alasan pertamanya. Gue sampai nggak bisa berkata-kata. Dari semua anggota baru yang mendaftar, hanya dia dan tatapannya yang membuat gue mikir sampai pusing apa maksudnya dan gue tahu dia nggak main-main."
"Dari mana elo tahu?" Nino bertopang dagu nampak penasaran.
Aku tersenyum tipis, "Matanya. Dia berusaha kuat tapi justru yang gue lihat kerapuhannnya di sana. Banyak yang dia sembunyikan. DAMN IT !!!! Gue jadi kepikiran!!" Ucapku kesal.
Nino menggeleng, "Ini nggak kayak elo yang biasanya deh."
"Gue tahu. Gue cabut!!"
Nino menghela napas dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi melihatku yang berdiri meneguk minumanku sampai habis lalu melemparnya ke sudut ruangan di mana tempat sampah berada yang langsung masuk sasaran kemudian merunduk mengambil tas dan menyampirkannya di bahu. Sebelum keluar, aku berbalik lagi ke arahnya dan memberinya peringatan, "Ingat itu No. Rosie punya gue."
Nino hanya tersenyum tipis mendengar seruanku. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung keluar dan menghilang pergi mengarah ke parkiran. Entah kenapa, tatapan mata Rosie tadi seperti membayang di kepalaku. SHIT!!!
====
Aku duduk di atas motor besarku di area parkiran sekolah yang sepi memikirkan sesuatu. Bertanya-tanya sendiri, ada apa sebenarnya denganku hari ini. Di mulai dari istirahat siang di kantin saat aku mendengar seruan menggelegar Chelsea untuk murid junior. Saat mata kami bertatapan, mata hazelnya sudah menggangguku.
Lalu saat tadi kami saling berhadapan. Mata hazel itu seperti membawa sesuatu yang lain. Selama beberapa tahun ini, aku hanya memiliki Mama yang begitu aku cintai dan aku jaga karena Papa tidak pernah pulang lagi ke rumah sejak kejadiaan naas itu.
Tatapan mata cewek itu seperti membawaku pada kenangan masa lalu, saat keluargaku mulai berantakan yang aku temukan pada tatapan mata Mamaku hingga saat ini. Kuat tapi rapuh. Terlihat baik-baik saja di luar tapi di dalam tersimpan selubung luka yang tidak akan semudah itu terlihat di permukaan kalau tidak di sibak sampai dalam. Jenis luka yang tidak akan mudah untuk disembuhkan jika hanya mengandalkan diri sendiri.
Semua hal itu membuatku begitu penasaran akan masalah apa yang sebenarnya di tanggung cewek yang aku akui cantik itu. Bukan jenis cantik seperti milik Chelsea tapi cantik menenangkan dan tidak akan bosan di pandang.
Gadis itu memaksakan dirinya terlihat sama dengan anak lainnya. Padahal alasan keikutsertaannya dalam eskul Taekwondo menampilkan perbedaannya.
Aku berdecak memakai helmku dan melihat sepintas ke arah spion dan tertegun sejenak saat melihat sesuatu di kejauhan. Aku turun dari motor memandangi satu sosok yang duduk di halte bus seberang sekolah terlihat menyandarkan bahunya ke tiang penyangga halte memeluk sebuah buku. Rambut hitam panjangnya berkibar di belai angin. Kedua telinganya sedang memakai earphone yang tersambung ke dalam tasnya. Rosie nampak tenang memejamkan mata di antara deru suara bising dan debu pinggir jalan. Sekolah memang sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi hampir satu jam yang lalu.
Dia di sana sendirian merasa seperti berada di rumah sendiri.
Aku hanya bisa berdecak seraya meletakkan kembali helm yang ada di tanganku ke tempat semula dan memastikan motorku terkunci aman sebelum melangkah ringan ke arah halte dan berdiri agak sedikit menjauh dari gadis itu.
Aku bersandar pada tiang listrik di bawah pohon rindang menatap punggung Rosie yang tidak bergeming sedikitpun dari belakang. Ikut hanyut dalam keterdiaman dengan satu titik sebagai pusatnya. Rasa penasaran mengalahkan akal sehatku kali ini.
Sampai panggilan masuk di ponselku membuatku mengalihkan focus.
“Iya Mam?” jawabku masih sambal menatap Rosie mendengarkan suara Mamaku di seberang sana.
“Ambil titipan. Kalau begitu kirimkan aja alamatnya nanti Gio yang ambil.”
“Oke.”
Sambungan terputus. Kumasukkan ponsel ke dalam saku saat melihat seoran lelaki mendekat ke halte. Awalnya aku tidak memperdulikannya tapi semakin lama gelagatnya semakin mencurigakan. Dia duduk di ujung satunya lalu perlahan menggeser duduknya mendekati Rosie. Dengan pelan tangannya mulai membuka kancing tas ransel Rosie yang berada di belakang punggungnya.
Aku berdecak dan mengumpat pelan seraya mendekat. Saat laki-laki itu berhasil menarik dompet Rosie keluar, pekikan tertahannya terdengar. Laki-laki itu kaget mendapati tangannya sudah aku cekal dengan erat. Aku menggertakkan gigi berusaha untuk tidak menghajar laki-laki itu. Cekalanku semakin mengerat membuat laki-laki itu pucat pasi.
Akhirnya dia menyerah. Dilepasnya dompet milik Rosie jatuh kembali masuk ke dalam tas dan menarik paksa tangannya. Laki-laki itu berdiri dan menatapku tajam sesaat sebelum berbalik dan berlari pergi dari sana. Aku memandangi punggung laki-laki itu yang semakin menjauh dan menghilang dan menghela napas lalu duduk di samping Rosie memastikan dompet tersimpan aman di sana dan menguncinya saat cewek itu menggeliat dan membuka mata.
Rosie terbelalak saat melihatku yang juga kaget karena dia bangun tiba-tiba saat aku sedang memegang pengait tasnya nampak seperti pencuri yang aksinya ketahuan. Sedetik cewek itu mengerjapkan matanya, sedetik kemudian dia menjerit.
"AAAAKKKHHHHHMmmmppp !!!"
Aku dengan sigap menutup mulutnya dengan tangan berusaha keras membela diri dari serangan brutalnya.
"Elo diam dulu bisa nggak ? Gue bisa jelasin?"desisku.
Rosie mendelik tapi akhirnya dia menganguk. Aku menarik tanganku dari mulutnya dan langsung mendapat semburan umpatan dari mulut cewek itu.
"Kak Gio mau nyopet dompet Geva ya? Ganteng-ganteng kok nyopet sih?" tuduhnya.
Aku mencibir, "Memang duit elo sebanyak apa di sana sampai gue mau repot-repot nyopet punya elo?" tanyaku sambil melipat kedua lengan di dada.
"Cuma ada seratus ribuan sih, tapi uang segitu kan lumayan. Apalagi kalau di pakai buat mainan game online bisa dapat berapa jam tuh."
"Cuma segitu kurang buat main game. Ngak ada lebihan?"
Rosie menggelang dengan begonya membuat aku harus berusaha keras menahan tawa geli. Aku menjitak kepalanya hingga cewek itu mengaduh, "Elo bego. Pas banget di jadikan sasaran empuk orang-orang jahat."
"Kok ngomongnya gitu ?" Rosie tidak terima sambil mengelus kepalanya.
"Sekarang gue tanya sama elo. Ngapain elo bukannya pulang malah tidur nyenyak di sini. Elo hampir aja kecopetan tadi kalau nggak ada gue."
Rosie mendelik lalu menarik tas ranselnya ke depan dan memeriksa isinya. Nyatanya dompetnya masih aman di sana lalu diambilnya dan dibukanya. Dengan cengengesan dia mengangkat kepalanya, "Masih ada."
Aku mendengus. Rosie memasukkan lagi dompet, buku diary yang sejak tadi di peluknya dan earphone yang sudah lepas itu ke dalam tasnya dan memeluknya. Aku memilih diam memandangi lalu lintas ramai yang ada di depanku. Tidak ada yang berbicara di antara kami.
"Dari tadi pulang sekolah busnya semua ramai. Kebanyakan dari sekolah sebelah sana. Mau nggak mau gue nunggu dulu sampai ada yang kosongan sedikit tapi malah ketiduran."
"Bisanya elo tidur di sembarang tempat kayak gini?"
"Kenapa kak Gio juga belum pulang?"
"Suka-suka gue lah."
"Ya terserah sih, cuma nanya doang."
Kami kembali diam tidak ada yang berniat berbicara. Aku melihat di kejauhan ada bus yang datang dan Rosie yang tiba-tiba berdiri lalu menoleh ke arahku.
"Busnya datang."
Aku mengangguk. Rosie mengalihkan tatapannya ke arah bus yang semakin mendekat. Sebelum bus benar-benar berhenti, dia berbalik dan tersenyum, "Makasih banyak ya kak Gio."
Aku sempat termangu sesaat sebelum berdiri dan tersenyum tipis, "Nggak masalah. Asal lain kali elo lebih hati-hati. Elo belum belajar jurus pertahanan diri sama sekali."
Rosie mengacungkan jempolnya, "Sebentar lagi jurus itu akan gue kuasain biar nggak selalu nyusahin orang."
Aku hanya diam sampai bus sempurna berhenti di halte. Rosie berbalik dan melangkah masuk.
“Rosie—” Aku tiba-tiba berseru di luar kesadaranku membuatnya berhenti melangkah dan balik menoleh di ambang pintu bus.
"Ya?”
"Hati-hati di jalan."
Rosie nampak terkejut sejenak dan mengerjapkan matanya. Lalu senyuman cantiknya perlahan muncul di wajahnya, "Terimakasih kak. Kakak juga hati-hati."
Tanpa menunggu jawabanku, dia berbalik dan masuk ke dalam mencari kursi kosong yang dia dapat di pojok dekat jendela. Aku memperhatikannya lekat saat cewek itu sudah duduk di sana. Bus perlahan bergerak maju dengan aku yang masih berdiri diam di tempatku semula sampai bus menghilang di tikungan jalan.
Aku tersenyum, mengacak rambutku serampangan dan berjalan ke arah parkiran sekolah. Entah kenapa aku merasa senang. Aneh.
====