Bel sekolah berbunyi menandakan jam pelajaran sudah selesai, Rian segera bergegas mengambil tasnya. Siang ini ia ada janji dengan Sandara, untuk menjenguk ibunya di salah satu RS Jiwa, di pinggiran Jakarta.
“San, udah keluar dari kelas? Aku tunggu di gerbang ya.” Rian mengirim chat ke Sandara.
“Oke!” balasnya.
Selama dalam perjalanan Sandara hanya melamun dan berdiam diri. Ada hal yang sedang mengusik pikiran gadis itu, sehingga membuatnya layu tak bersemangat.
“Kok melamun aja San, ada apa? Kamu ada masalah?” selidik Rian.
“Ah, enggak ada apa-apa. Aku cuma sedikit suntuk,” ujar Sandara sedikit malas.
“Tumben, kamu kecapekan ya? Udahlah San gak usah dipaksakan kerja kalau kamu lagi kurang sehat.” Rian menasehati.
“Liat nantilah!” tukasnya.
“Ya udah kamu istirahat aja dulu. Nanti kalau udah sampai aku bangunin kamu,” bujuk Rian sambil senyum.
Rian memang sangat perhatian, baginya Sandara sudah seperti adik, begitupun sebaliknya. Biasanya mereka selalu bernyanyi dan tertawa kemanapun kaki melangkah, namun kali ini suasana agak berbeda.
Sandara sedang tidak ingin diganggu, ia ingin sendiri, pikir Rian seraya melirik ke arah sahabatnya. Ia pun lebih memilih diam.
Rian Putra Dinata adalah seorang siswa SMU swasta di Jakarta. Ia berteman dengan Sandara sejak kecil karena rumah mereka dulu berdekatan. Mereka kini duduk di kelas 11, di SMU Tunas Muda. Walaupun sekarang mereka sudah tidak bertetangga, tapi hubungan pertemanan Rian dengan Sandara masih terjalin dengan baik. Mereka saling berjanji untuk tetap bersahabat hingga maut memisahkan.
Orangtua Rian adalah pengusaha sukses yang jarang berada di rumah. Tapi, tidak berarti Rian kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Mereka selalu memantau perkembangannya melalui komunikasi berupa telepon, video call atau laporan dari beberapa orang kepercayaan. Meskipun kedua orangtuanya sibuk di luar rumah, Rian tidak merasa kesepian. Karena ia selalu mengisi kekosongan dengan berbagai macam kegiatan positif. Rian selalu ingat pesan dari kedua orangtuanya, ‘jadilah seorang pria baik, bertanggung jawab, yang dikenang dengan kebaikan dan prestasi.’ Maka ia benar-benar melakukan semua pesan itu dengan sungguh-sungguh, termasuk menemani Sandara untuk mengunjungi ibunya.
Berbeda dengan Rian, Sandara adalah seorang gadis yang kurang beruntung. Sejak SMP kedua orangtuanya berpisah dengan cara yang menyakitkan dan menyebabkan ibunya menderita gangguan kejiwaan. Walaupun demikian, Sandara tetap menyayangi ibunya. Ia dulu seorang gadis yang riang dan enerjik. Namun, sejak peristiwa perceraian kedua orang tuanya, ia menjadi sedikit tertutup. Sifat riangnya dapat berubah sewaktu-waktu menjadi pendiam. Peristiwa itu membuatnya terluka sangat dalam.
Dalam keseharian, ia tidak sesibuk Rian ataupun kawan-kawannya di bidang akademis. Setiap pulang sekolah Sandara selalu menyempatkan waktu untuk menjenguk ibunya dan kemudian bekerja sebagai pelayan paruh waktu di sebuah diskotik. Rasa malu ia buang jauh-jauh demi biaya hidup dan sekolahnya. Ia bertekad ingin menjadi orang sukses dan ingin menyembuhkan ibunya.
Sesampainya di Rumah Sakit Jiwa, Sandara masih terlihat lesu walaupun Rian sudah berusaha membuatnya tertawa dengan bercerita tentang macam-macam yang menurutnya bisa menghibur.
“Kalian jahat! Kembalikan anakku, kalian gak berhak mengambil Sandara dariku!”
Suara teriakan penuh amarah terdengar dari kamar tempat ibu Sandara dirawat. Ia segera berlari, air mata mengalir dengan deras di pipinya yang halus. Betapa hancur hati Sandara setiap kali berkunjung kondisi ibunya tidak kunjung membaik dan semakin bertambah parah. Kali ini ibunya diikat, berdasarkan laporan dari perawat, pasien berusaha kabur dari Rumah Sakit dengan alasan ingin mengambil Sandara dari keluarga suaminya.
“Ibu ... ini Sandara!” Ia berteriak histeris dan berlari memeluk ibunya yang sedang terikat.
“Apa benar ini kamu, Nak? Kamu gak apa-apa, kan? Mereka udah jahat pisahin kita, Nak. Pulang yuk!” seru ibunya dengan suara sedikit melembut. Tangannya yang mulai mengeriput mengusap lembut wajah Sandara. Ada kepanikan dan kelegaan di mata senjanya tatkala melihat sang buah hati berada di sisi.
Air mata menggenang di mata Rian yang segera keluar ruangan karena tidak sanggup melihat kondisi ibu Sandara. Hatinya sakit, mengingat betapa baiknya beliau selama bertetangga dulu. Kini kondisinya semakin membuatnya tak kuat menatap ibu Sandara terlalu lama.
“Iya Bu, nanti kita pulang ya. Ibu udah makan?” tanya Sandara penuh perhatian, seraya mengusap tangan sang ibu.
“Ibu gak mau makan kalo gak ada kamu, Nak,” jawab ibunya dengan tatapan hampa.
“Sekarang kan, Dara udah di sini. Ibu aku suapin ya,” bujuk Sandara menahan air matanya yang hampir tumpah lagi.
Perlahan ibunya memakan habis semua makanan yang Sandara berikan. Ia pun membujuk ibunya untuk minum obat yang dokter berikan. Sambil mencoba menenangkan ibunya, ia bercerita tentang semua kegiatannya di sekolah. Ia pun menceritakan prestasinya demi menghibur ibu yang semakin lama kelelahan, kemudian tertidur pulas.
“Sandara janji, Bu. Semua rasa sakit yang ibu rasakan, harus mereka bayar!” Ia berjanji seraya memegang tangan ibunya dengan kuat. Menatap wajah senja ibunya sesaat sebelum ia pergi meninggalkan.
Langit di luar sangat terik, entah kenapa Sandara menjadi sangat bersemangat. Langkahnya menjadi ringan setelah membayangkan rencana yang telah ia susun.
“Rian, aku langsung ke tempat kerja, kamu pulang sendirian aja, ya?” Sandara memberitahu Rian yang sedang duduk di bangku pengunjung.
“Kamu yakin nih berangkat kerja sendiri?” tanya Rian, ragu.
“Yakin 100%!” seru Sandara dengan senyum lebar, Rian pun percaya dan segera pulang.
Selama perjalanan pulang Rian masih memikirkan sikap Sandara yang berubah dalam sekejap. Ada kekhawatiran menyusup dalam hatinya.
Ada apa dengan Sandara? pikirnya.
-bersambung-