Read More >>"> REMEMBER ((Bab 04) Kita) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - REMEMBER
MENU
About Us  

REMEMBER
(
Bab 04) Kita

Ketika dengan semangatnya mengayuh sepeda kesayanganku, sejenak aku berpikir mengenai hubungan antara "peraturan" dengan "kebebasan".

Dalam artian sederhana, peraturan adalah sebuah aturan yang bersifat mengekang yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban. Kalau dihubungkan dengan "kebebasan" terdengar bertentangan, bukan?

Akan tetapi, hal semacam itu tidaklah sepenuhnya benar. Terkadang "peraturan"lah yang memberi kita kebebasan yang sesungguhnya. Namun, kebanyakan manusia tak menyadari dan mencari kebebasan semu dengan melanggar aturan tersebut.

Seperti yang aku lakukan sekarang. Sebenarnya bersepeda seperti ini tidak dianjurkan karena kakiku yang belum sembuh. Tapi, dengan masa bodoh kugunakan untuk menuju ke tempat basecamp.

Aku melesat sepanjang pinggiran sungai dan menjauh dari jalan raya. Perlahan-lahan jarak antara rumah-rumah tergantikan oleh persawahan yang sangat luas. Hawa hari ini begitu dingin dan menyejukkan, padahal jam sudah menunjuk angka dua siang dan langit begitu membiru tak bernoda.

Demi bersembunyi dari terik mentari, sejenak aku berhenti di pepohonan depan sebuah pabrik kecil untuk meneguk air. Setelah selesai aku melesat kembali.

Sepanjang jalan ini tidak ada apapun selain hamparan persawahan di kedua sisi jalan. Selagi memutar pedal, aku mulai bersenandung dengan riang. Senyumku tak memudar semenjak pagi tadi, karena kali ini aku merasa lumayan bersemangat. Hingga menemui jalur yang dinaungi banyak rumah di setiap sisi.

Akan tetapi, ditengah mempertahankan senyumku, aku malah disambut tampang yang tidak enak oleh beberapa orang ketika sudah masuk di halaman basecamp tersebut.

"Ah, ini dia orangnya!"

Segera sebelum membuka mulut untuk menyapa mereka, sebuah suara keras memotongku. Dia menggelengkan kepalanya dengan tidak senang.

Itu adalah Ihsan, yang sepertinya hendak menelponku. Begitu juga dengan Gita, Putri, serta dua anak perempuan dan satu laki-laki yang tak kukenal. Mereka tengah duduk-duduk pada bangku di bawah naungan pohon besar. Jujur, sampai sekarang aku tak tahu nama dari pohon berdaun lebat dan kecil ini. Yang kutahu setiap memimpikan Kak Sinta, aku selalu berada di bawah naungan pohon tersebut.

"Kau ini lelet sekali," keluh Ihsan.

"Ban sepedaku kempes. Aku sempat kesulitan mencari pompa di rumah."

"Lagian kenapa malah naik sepeda? Kau mau kakimu patah lagi?"

"Astaga, kau ini ibuku, ya? Omelanmu persis saat tadi aku ketahuan membawa sepeda kemari."

"Kalian berdua ini masih belum berubah, ya?" sela Putri dengan wajah yang keheranan akan kami berdua. "Bisakah kalian lebih tenang sedikit? Ada junior kita ’lho di sini."

"Junior?" Aku lalu melirik tiga orang yang tak kukenal tadi. "Ah, maaf, maaf," ujarku tersenyum getir.

"Jadi, apa alasannya kita dikumpulkan kemari?" tanya Gita.

"Tentang yang aku katakan kemarin, ’kan?"

Gita lalu terlihat seperti tidak mengerti. "Bukannya kau kemarin bilang kalau kita akan membahas mengenai anggota?"

Aku tersenyum, menegakkan tubuhku. "Benar. Kita akan mengadakan sebuah acara untuk organisasi kita."

"...."

Mereka semua terdiam, tanpa ekspresi.

Hey, apa-apaan dengan tampang kalian itu? Apakah ini kurang memberikan impact ?

"Ya ampun. Jadi kaubilang cepat-cepat kemari cuma hal semacam ini? Aku sampai bela-bela izin dari latihan," gerutu Putri.

"Bukankah kau masih belum pulih? Jangan jadi bocah bandel."

“Cerewet sekali. Kalau tidak begini kalian mana mau datang,” ujarku.

"Jadi, intinya kau mengumpulkan kami yang pernah jadi anggota dulu, untuk membahas hal itu?" tanya Putri.

"Ya ..., begitulah."

"Lalu, dengan cara apa?"

"Emm, pertama aku ingin mengumpulkan siapa yang ingin ikut dulu. Sebelumnya itu memang sulit, tapi setidaknya aku ingin kalian yang ada di sini ikut berjuang. Aku tahu ini agak mendadak dan sedikit memaksa. Tapi, apa kalian tidak apa-apa membiarkan tempat penuh kenangan kita dulu jadi seperti ini?"

"Kau memang ada benarnya, Dy," sahut Ihsan. "Tapi kau juga tahu, ’kan? Masyarakat sudah tidak berminat lagi seperti dulu. Ditambah lagi organisasi ini sudah mati semenjak dua tahun yang lalu."

"Ya, aku tahu. Makanya kita harus berjuang secara mandiri, baik itu tentang dana dan sebagainya."

Putri mendesah. "Jujur itu sangat sulit, Dy."

"Ya makanya, aku butuh kalian. Kita ’kan sudah bersama-sama sejak kecil. Apa kalian mau melupakan kenangan kita dulu?"

"...."

"Terlebih lagi, kalian apa tidak ingat dengan pesan Kak Sinta?"

Perlahan mata Ihsan dan Putri melebar, begitu juga tiga orang juniorku. Mereka yang sedari tadi terus memperhatikan, kini sesekali melirik ke arah Gita yang tengah memasang wajah suram.

"Aku sudah tahu," ujarku. "Mengenai Kak Sinta yang gagal dalam menyelenggarakan acara itu, aku sudah tahu."

Aku tidak tahu kenapa aku jadi mengatakan hal tersebut. Apa hanya karena terbawa suasana, atau karena hal yang tak kumengerti mengenai semua ini.

Kak Sinta, yang tak lain adalah kakak Gita mengalami masalah yang berat. Di saat awal kepemimpinan beliau, banyak yang kagum akan dirinya. Akan tetapi, lambat laun semua berubah dengan hal yang buruk. Dia yang masih SMA itu sudah dipilih menjadi ketua karena kehebatannya dalam memimpin. Kak Sinta selalu dijegal dengan sesama temannya yang iri akan kesuksesan beliau. Dia selalu mendapat perlakuan yang tidak enak saat di belakang juniornya.

Kami yang menyadari itu semua sangat kesal, namun dia justru melarang kami untuk membalas perlakuan mereka. Hingga saat-saat terakhir pun, yang dia berikan hanyalah "senyum penyemangat" untuk kami dan orang-orang yang membencinya.

"Gita ...."

Putri memanggilnya dengan suara nyaris tak terdengar, tapi Gita tidak berpaling sedikitpun. Meski begitu, kelihatannya suara Putri sampai pada dirinya. Sebab dia berbicara dengan suara kecil yang bergetar.

"Tenang saja. Aku tidak terlalu memikirkannya."

Napasku seolah berhenti melihat raut wajah Gita sekarang. Tadi itu seperti kalimat yang pernah kudengar saat menelpon Gita setelah kakaknya meninggal dulu.

Angin dingin melintas seakan sedang memisahkan kami. Gita dengan perlahan berpaling seakan angin itu membuatnya terganggu. Mata berairnya tidak memiliki kekuatan apapun selagi dia duduk dan meremas tali tasnya.

"Maaf, Kak ...."

Di tengah keheningan ini, angin tersebut juga membawa suara yang penuh keraguan. Salah satu perempuan dari juniorku tengah memasang wajah yang suram pula. Meski kutahu dia sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu.

"Mengenai Kak Sinta, kami juga merasa begitu. Entah kenapa kami merasa ada yang aneh dengan para senior seangkatan beliau. Kami hanya bisa diam karena merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Terlebih lagi, Kak Sinta sendiri juga berkata pada kami bahwa semua ini wajar saja dan mereka tidak bermaksud buruk. Tapi, ternyata semua tidak sebaik yang kami kira. Andai saja waktu itu kami langsung bertindak, kami pasti ...."

Suara gadis itu kian memudar, seolah secara mendadak merasakan sesak di dadanya ketika hendak menyelesaikan kalimat terakhir itu.

Desahan napas berat yang menarik perhatian mereka semua, tanpa sadar keluar begitu saja dari bibirku.

"’Andai saja’, ya?" Wajahku berpaling pada bangunan suram tersebut. "Saat menyesali sesuatu, kata-kata itu hanyalah alasan yang sering melintas dan mudah menghilang begitu saja. Bagiku itu hal yang wajar, karena penyesalan itu bagian dari rahmat-Nya, yang diberikan kepada setiap manusia agar tidak terlalu larut dalam kepedihan. Serta tidak terlalu terlena dengan kebahagiaan yang di berikan oleh-Nya."

Mereka semua mebisu memandangku. Kalimat itu adalah kalimat yang dulu pernah disampaikan Kak Sinta pada kami.

Sebuah kehidupan.

Banyak yang disyukuri, banyak pula yang disesali. Banyak yang disyukuri dan disesali secara bersamaan. Banyak yang diharapkan lebih baik, dan juga banyak yang diharapkan tidak pernah terjadi. Bermacam-macam keinginan setiap manusia untuk menjalani takdir hidupnya. Dalam menyiasati pun haruslah dengan hati yang jernih. Mengambil semua hikmah dan segera melupakan rasa derita.

Tetapi, manusia lebih banyak yang merasa pesimis pada dirinya. Sehingga hidupnya berisi coretan-coretan dari masalalu yang masih dibaca setiap hari sebagai doa.

"Ya sudah. Daripada terus menyesali hal itu, lebih baik kita melakukan sesuatu dulu untuk tempat ini," ujarku merubah suasana.

"Melakukan apa?" tanya Ihsan.

"Ya bersih-bersih, ’lah?"

"Heh?!"

Ya ampun, mereka kompak sekali kagetnya.

"Jangan bilang ’Heh’! Ayo kita bersihkan tempat ini," ujarku lalu menuju ke bangunan itu bersama Gita. Sedangkan sisanya mengikuti dari belakang.

“Caramu memaksa kami benar-benar curang, Dy. Kau memanfaatkan perasaan kami,” sindir Putri.

“Kau seperti baru tahu sifatku saja.”

"Aku masih capek setelah dari kebun," keluh Ihsan.

"Kau ini lelet sekali."

"Jangan samakan kau yang seorang atlet!"

"Itu tidak ada hubungannya."

Setelah mengatakan itu, perbincangan kami terhenti saat sudah berada di depan pintu. Kami sesaat menunggu Gita untuk membukanya.

"Oh ya, Dy. Apa kakimu tidak apa-apa digunakan untuk melakukan pekerjaan berat?" tanya Putri.

"Tenang saja, masih diperbolehkan, ’kok."

"Jangan terlalu dipaksakan, Dy."

"Iya, iya. Seharusnya kaubilang begitu pada Gita saja.”

Pintu terbuka, tentu saja semua melihat ke depan. Akan tetapi, Gita tengah menoleh ke belakang seolah menghadang kami dengan tatapan tidak senangnya padaku.

"Apa?" tuntutku.

Mata Gita beralih ke yang lain. "Kalau kalian kesal dengan anak ini, tendang saja kakinya."

"Woy! Jangan menyarankan hal yang aneh-aneh!"

Sial! Mereka semua menertawaiku.

Kami semua masuk, dan yang mereka lakukan adalah mengamati sejenak sebelum menaruh tas kami di gantungan.

"Kalian berdua kemarin membersihkan tempat ini?" tanya Ihsan.

"Iya. Sekarang kita tinggal mengurus sisanya," jawabku.

Kemudian Ihsan dan aku melingkis lengan kaos, lalu aku merasa Putri yang berada tepat di samping kiriku tengah memperhatikan dengan tampang murung.

"Ada apa, Put?"

Dia masih diam untuk beberapa detik. Tas punggungnya masih tertenteng di tangan kanannya.

"Tidak," dia berpaling dan menaruh tas ke gantungan, "tidak apa-apa. Aku cuma penasaran, kenapa tasmu terlihat penuh sekali."

"Oh, itu. Aku juga bawa minuman dan camilan untuk kita nanti."

Wajah Putri tersenyum getir. "Kau ini terlalu memaksakan diri." 

"Tenang saja. Aku sudah agak mendingan."

"Benar, Put," sambung Ihsan. "Kalau tidak percaya tendang saja kakinya."

"Woy! Bisa tidak, jangan bilang hal itu lagi?! Kau ingin merepotkan Timnas di seleksi piala dunia nanti, ya?" ujarku.

"Memangnya kau bakal ikut main? Kau sendiri bukannya enak-enak di luar negeri malah pulang kemari."

"Siapa juga yang ingin pulang! Aku cuma disuruh!"

"Kalian bertiga kalau sudah ’ngobrol tidak ada berhentinya, ya?"

Suara dingin itu menghentikan perdebatan kami. Gita yang tanpa kusadari sudah mulai bekerja dengan para junior.

"Kau sendiri kenapa tidak ikut nimbrung?" balasku.

"Iya. Diam terus dari tadi," ujar Ihsan.

"Kalau tidak ada yang diobrolkan jadi sepi, ’kan?"

"Kau ini dari dulu terus jadi pendiam, Git."

"Oh ya. Atau kita bahas soal Gita dulu yang masih kikuk, San?"

"Hmm? Memangnya dia yang sekarang tidak kikuk?"

"Masih, ’sih. Lihat, memasang taplak meja saja terbalik," ujarku menunjuk meja yang waktu itu aku dan Gita bersihkan.

Setelah itu kami berdua tergelak geli, semua yang mendengar kecuali Gita bahkan ikut tertawa. Itulah yang aku dan Ihsan katakan untuk menggoda Gita. Akan tetapi karena hal itulah, suatu hawa menyeramkan muncul dari dalam Gita.

’Crakk!’

Gagang sapu yang Gita pegang patah hanya karena genggaman erat tangan kanannya. Matanya yang amat sangat dingin seketika membekukan kami.

"Kalau kalian terus ’ngobrol dan tidak bekerja, akan kupatahkan kaki kalian!" Suara datar yang bagi kami amat menakutkan keluar dari bibirnya. Astaga! Red Mode Gita akhirnya muncul!

Dengan begitu kami hanya bisa menjawab ’Iya’ dengan lirih dan mulai bekerja. Kami tidak ingin berurusan dengan mantan juara karate se-provinsi ini.

※※※

Sepanjang hari kami hanya membersihkan tempat ini dari sudut ke sudut. Perbincangan hangat dan lucu juga sempat mewarnai pekerjaan kami. Cerita tentang keseruan masalalu, baik saat ada kegiatan maupun hal-hal lain, semua masih tertampung jelas di memori kami.

Oh ya, mengenai tiga junior kami ini, mereka baru bergabung ketika aku sudah pergi ke luar negeri.

Salah satunya Deni. Lelaki yang terlihat kalem ini lumayan enak untuk diajak bicara. Buktinya sedari tadi aku dan Ihsan lebih sering ’ngobrol dengannya.

Sedangkan dua sisanya bernama Septi dan Dewi. Dua bersepupu ini sepertinya begitu akrab dengan Gita dan Putri. Maklum, mereka bertetangga soalnya.

Tapi yang jelas, hari ini aku bisa senang melihat Gita tidak murung dan mulai dekat dengan mereka seperti dulu lagi.

Saat ini, setelah selesai membersihkan tempat ini, kami tengah duduk-duduk melingkar di atas tikar. Pada tengah-tengahnya terdapat makanan dan minuman yang kubawa tadi, kami dengan santai menikmatinya.

"Omong-omong, habis ini kita mau bagaimana?"

"Pulang, ’kan?"

"Bukan itu!"

Putri memulai perbincangan, yang dia maksud adalah tentang kegiatan kami. Namun, Ihsan menjawab dengan candaan.

"Kalau boleh tahu, kegiatan apa yang gagal waktu itu?" tanyaku.

Akan tetapi, wajah mereka kembali murung sejenak, dan Gita mulai menjawab dengan singkat.

"Festival Ramadhan."

"Penyebabnya?"

Kali ini giliran Ihsan yang menjawab. "Anggaran Desa yang diberikan pada kami tiba-tiba habis sebelum di pertengahan."

"Apa tidak direncanakan dulu?"

"Kalau itu jelas sudah. Tapi, entah kenapa sebagian besar senior seperti tidak menghiraukan. Justru Kak Sinta dan beberapa anggota lain yang terus memikirkan jalan keluarnya."

"Terus, kenapa cuma Kak Sinta yang dituduh bersalah?"

Ihsan berhenti sejenak untuk menarik napas. Lalu dengan perasaan berat dia bercerita. "Karena dana habis tidak sesuai dengan yang ditetapkan, dan alasannya yang tidak jelas, Desa mulai mencurigai kami. Seluruh panitia utama diperiksa, dan setelah itu ...."

Ihsan berhenti. Tepat saat itu aku mulai merasakan sesuatu yang buruk.

"Kak Sinta tiba-tiba dituduh telah menggelapkan uangnya. Dia dituntut untuk mengganti dana yang hilang tersebut kalau tidak ingin dilaporkan ke polisi."

"... Lalu..., bagaimana reaksi Kak Sinta saat itu?"

"Bisa kau tebak sendiri"

Apa-apaan ini? Apa maksud dengan semua ini? Kenapa dengan mudah hal seperti itu bisa terjadi? Kak Sinta pasti sudah tahu penyebabnya, tapi kenapa dia mau saja mengalah dan mengganti kerugian?

Kak Sinta dan Gita hanya tinggal dengan neneknya. Seingatku, setelah kedua orangtua mereka meninggal, mereka ditinggali beberapa lahan persawahan. Kemudian Kak Sinta mengurusnya demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Oh ya. Tadi aku kemari sempat melewati lahan tersebut. Kalau tidak salah, lahan itu sekarang sudah jadi ....

Perasaan curiga dan jengkel mulai memenuhi kepalaku.

"Sekarang, Kades dan perangkat Desa sudah ganti?" tanyaku.

"Sudah. Kebetulan pamanku yang menjabat," jawab Ihsan.

"Terus bagaimana dengan para senior seangkatan Kak Sinta yang sekarang?"

"Kalau dari pendapatku sendiri, sekarang sungguh aneh."

"Aneh?"

"Beberapa dari kami ada yang bergabung dengan Karang Taruna. Aku merasa para senior yang menjabat ketua sekarang ini, hanya menanggapi anggota-anggota yang dekat dengan mereka saja. Tidak ada kegiatan seperti dulu, seolah Karang Taruna hanya menjadi tempat ’nongkrong. Padahal mengenai kas, kami tidak ada kekurangan."

"Setelah itu kalian keluar," ujarku meneruskan.

"Iya."

"Lalu, sekarang, apa pemimpin Karang Taruna yang baru itu senior seangkatan dengan Kak Sinta?"

"... Bagaimana kau bisa tahu?" Putri terkejut.

"Aku cuma menebak."

Sudah kuduga ternyata seperti itu. Mereka memanfaatkan kepolosan dan kebaikan dari Kak Sinta. Aku yakin tidak hanya Kak Sinta yang dituduh. Aku bisa membayangkan bahwa Kak Sinta dulu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia lebih memilih mengalah demi melindungi tempat ini dan rekan-rekannya yang tulus berjuang bersama.

Selain itu, mereka yang menjebak juga memiliki tujuan lain. Dan tujuan itu sendiri yang paling membuatku amat sangat jengkel.

Seiring aku mengeratkan jemari tangan kiriku, Gita yang sadar kalau amarahku tengah bergejolak sedang melirik dengan perasaan khawatir.

"Sebentar lagi ramadhan, ’kan?" tanyaku mengubah topik.

"Iya."

"Bagaimana kalau kita mengadakan ’Festival Ramadhan’ lagi?"

"Heh?!"

"Sudah kubilng, jangan bilang ’Heh’!"

"Tapi, Kak. Saat ini kita ’kan-."

"Kekurangan segalanya, ’kan? Aku ada ide untuk itu," aku langsung memotong tanggapan Deni. "Soal anggota, kita bisa ajak teman-teman sekolah kita. Aku menugaskan kalian bertiga dan Putri yang mengurusnya. Untuk masalah tempat dan Humas, Ihsan dan Gita yang mengurus."

"Aku?!" Ihsan dan Gita berkata nyaris serempak.

"Iya. Pamanmu ’kan Kades saat ini, San. Kau bisa membujuknya. Lagian beliau dulu juga pernah mendukung organisasi kita."

"Iya juga ’sih. Tapi, kenapa dengan Gita?"

"Gita ’kan ketuanya. Jadi wajar, ’kan? Apalagi kalau kalian berdua yang bicara, aku yakin beliau akan mendukung."

"Jadi ... soal dananya?" gumam Gita sambil melirikku.

Di hadapan tatapan mereka yang terpampang wajah heran akan senyumku, aku mengangkat bahu dan berbicara.

"Untuk dana, biar aku saja yang mengurus."

※ ※ 

Sore hari selepas dari basecamp, aku melesat menuju jalanan pulang.

Sepeda yang tak kutunggangi beberapa tahun ini mulai berteriak. Bunyi decit kayuhan berbaur dengan suara tersebut. Terlintas di benak sebaiknya besok aku perbaiki saja sepeda ini dan kugunakan untuk pergi ke sekolah.

Di tengah pemikiran itu, aku menyadari sosok yang familiar tengah menyusuri pinggiran aspal. Pada tangan kanannya menggantung tas belanja yang terisi penuh, sedangkan yang kiri terpegangi oleh sosok mungil nan lucu.

Aku mempercepat kayuhan hingga sampai dan berhenti tepat di sampingnya.

"Sini, biar aku yang bawa, Bu."

Ibu dan Fairus menoleh, dan dengan senyum dia menyerahkan tasnya padaku. Tas itu aku gantung di stang, lalu dengan tenang menuntun sepeda.

"Ibu belanja banyak sekali," ujarku.

"Iya. Sebentar lagi mau ramadhan, ’kan. Jadi, Ibu belanja jauh-jauh hari sebelum harganya naik."

"Ooh."

"Sudah selesai bersih-bersihnya?"

"Sudah."

"Terus, bagaimana tadi?"

"Awalnya kupikir mereka bakal canggung. Tapi saat aku tiba di sana, ternyata mereka malah ’ngobrol-ngobrol di luar."

"Syukurlah kalau mereka masih akur." Ibu melirikku sejenak. "Kau sendiri juga terlihat mulai ceria."

"Hm?"

"Selama ini kau sering murung, ’kan?"

"Tidak. Aku cuma merasa lega."

Setelah kujawab begitu, keheningan sejenak terjadi. Ketika aku berusaha menghindari tatapannya, aku bisa merasakan kalau Ibu tengah memperhatikan dengan senyum.

"Oh ya, Bu. Aku mau minta izin sesuatu."

"Apa?"

"Begini, Bu. Mengenai tabunganku ..., aku-."

"Boleh, kalau memang acaranya butuh dana lebih."

"Heeh?! Aku belum selesai bicara!"

Ibu langsung saja menjawab, dan yang lebih mengejutkan lagi, dia bisa tahu alasanku. Apa dia bisa membaca pikiran?! Kau membuatku merinding, Bu!

"Itu ’kan uang hasil jerih payahmu. Asal digunakan untuk hal positif, Ibu pasti mendukung."

"Iya, tapi ...."

"Tidak apa-apa. Ibu masih ada tabungan sendiri. Lagian uang yang kauberi pada Ibu dulu masih utuh. Jadi, tenang saja."

Aku terdiam, sementara Ibu melihat dan menepuk pundakku.

"Jangan khawatir. Ibu sudah tahu alasanmu untuk pulang, jadi Ibu bisa mengerti."

"... Ibu sudah tahu tentang Kak Sinta juga?"

"Tentu saja. Sinta ’kan selalu curhat ke Ibu."

"Begitu, ya?" Wajahku agak tertunduk. "Kak Sinta selalu baik ke keluarga kita. Dulu ketika aku sangat terpukul ketika ayah meninggal, dia selalu menghiburku. Rasanya ... seperti kakakku sendiri."

"Apa kau melakukan itu semua karena kejadian yang menimpa Sinta?"

"... Iya."

"Ibu mengerti perasaanmu, tapi kau jangan terlalu larut dengan semua yang terjadi."

"... Aku hanya ingin segera menyelesaikan semua ini, lalu kembali dengan tenang tanpa ada penyesalan."

"Begitu? Jadi kau menyetujui tawaran mereka?"

"Iya. Mereka bilang aku sebaiknya segera tinggal dan melanjutkan di sana. Tapi aku menundanya sampai lulus nanti."

"Jadi ..., mengenai Gita nanti, kau juga-."

"Aaah, Ibu! Stop-stop-stop!"

Aku segera memotong pertanyaannya. Sial! Kenapa dia juga tahu soal itu?!

Ibu tergelak geli. "Ada apa? Ibu benar, ’kan?"

"Iya, tapi jangan dibahas juga kali!"

"Hahaha. Iya, Ibu mengerti, ’kok."  Beliau menaruh tangannya di atas kepalaku dan mengusap lembut. "Kau ini seperti ayahmu dulu. Lekaslah bilang. Katanya kau ingin kembali tanpa ada penyesalan."

"Iya, iya."

Aku hanya semakin tak mampu menatapnya selama melangkah. Aku tidak ingin Ibu membaca ekspresi wajahku yang semakin merona.

Meski kutahu, rahasia ini jadi agak sia-sia karena Ibu sudah bisa menyadarinya. Pada akhirnya, kuberitahu saja rencanaku yang baru pada Ibu.

“Bu. Sebenarnya aku punya benda itu.”

Ibu memerhatikan benda kecil yang kukeluarkan dari kantong tasku, dan wajahnya langsung menegang.

※ ※ (Bab 04) ※ ※ 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dua Warna
382      279     0     
Romance
Dewangga dan Jingga adalah lelaki kembar identik Namun keduanya hanya dianggap satu Jingga sebagai raga sementara Dewangga hanyalah jiwa yang tersembunyi dibalik raga Apapun yang Jingga lakukan dan katakan maka Dewangga tidak bisa menolak ia bertugas mengikuti adik kembarnya Hingga saat Jingga harus bertunangan Dewanggalah yang menggantikannya Lantas bagaimana nasib sang gadis yang tid...
Diskusi Rasa
1079      626     3     
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
Tenggelam dalam Aroma Senja
265      177     0     
Romance
Menerima, adalah satu kata yang membuat hati berat melangkah jika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menunggu, adalah satu kata yang membuat hati dihujani ribuan panah kerinduan. Apakah takdir membuat hati ikhlas dan bersabar? Apakah takdir langit menjatuhkan hukuman kebahagian? Entah, hanyak hati yang punya jawabannya.
When I Met You
591      329     14     
Romance
Katanya, seorang penulis kualat dengan tokohnya ketika ia mengalami apa yang dituliskannya di dunia nyata. Dan kini kami bertemu. Aku dan "tokohku".
Lempar Kentut Sembunyi Pantat
564      289     4     
Short Story
”Kentut itu lebih kejam daripada pembunuhan.” Bener. Ibarat makan lalapan, kentut adalah petai. Enak, tapi setelahnya jadi petaka bagi orang-orang di sekeliling.
Sang Musisi
336      210     1     
Short Story
Ini Sekilas Tentang kisah Sang Musisi yang nyaris membuat kehidupan ku berubah :')
Sibling [Not] Goals
976      537     1     
Romance
'Lo sama Kak Saga itu sibling goals banget, ya.' Itulah yang diutarakan oleh teman sekelas Salsa Melika Zoe---sering dipanggil Caca---tentang hubungannya dengan kakak lelakinya. Tidak tau saja jika hubungan mereka tidak se-goals yang dilihat orang lain. Papa mereka berdua adalah seorang pencinta musik dan telah meninggal dunia karena ingin menghadiri acara musik bersama sahabatnya. Hal itu ...
I'll Be There For You
1062      498     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Code: Scarlet
20863      3830     15     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Our Tears
2364      984     3     
Romance
Tidak semua yang kita harapkan akan berjalan seperti yang kita inginkan