Mari merenung sejenak.
Apakah sebaiknya yang menjadi fokus seorang remaja?
Saat kita sudah menginjak masa SMA, pertanyaan seperti itu pasti sempat melintas di kehidupan kita. Terutama ketika pelajar sudah dihadapkan dengan jenjang yang akan ditempuh kelak. Dan jawaban terbesar dari mereka, sudah pasti akan mengarah ke keberhasilan dalam studinya.
Tak ada yang salah dengan pendapat itu. Lagipula tujuan itu juga termasuk bagian dari masa indah remaja yang sering orang-orang katakan.
Namun, benar-benar mengharapkan masa indah tersebut, membuat seseorang menjadi terlena dalam menjalani kehidupan. Mungkin karena hanya terfokus dengan "masa remaja itu masa paling indah", lalu menemukan kenyataan hidup yang sebenarnya. Membuat kekecewaan muncul setelah semua terjadi tanpa sesuai dengan ekspetasi kita.
Sakitnya seorang remaja adalah banyaknya memilih apa yang baru dihadapkan dalam hidup, itu karena anak muda sendiri diberkati oleh ketidak-stabilan dalam jiwanya. Mereka seolah sudah merasa tahu mengenai permasalahannya, padahal belum paham betul. Sedangkan masalah utamanya adalah; belum jelasnya masa depan, sumber pendapatan, pasangan hidup, serta kesetiaan antar satu sama lain.
Tak ada yang mereka kejar dari itu semua selain kebahagiaan yang indah dalam masa remaja mereka.
Sejatinya, sesuatu yang indah dalam hidup adalah menaunginya dengan hal-hal yang baik, terutama untuk orang lain. Karena sebaik-baik manusia itu yang hidupnya bisa memberi manfaat kepada sesama.
Juga ... eh? Kenapa pagi-pagi aku malah membahas hal seperti ini?
Sekarang aku sedang mengikuti Bu Sri dari belakang. Beliau adalah Wali Kelasku yang baru. Ah, tidak. Justru aku lah "yang baru" itu.
Sesuai yang kukatakan waktu itu, aku akan melanjutkan sekolah sebagai murid SMA kelas 2 di tempat ini, SMA 1 Trenggalek. Sebuah kota kecil di pesisir selatan provinsi Jawa Timur yang dikelilingi oleh pegunungan. Hampir 60% wilayahnya dipenuhi dengan pegunungan dan hutan, sisanya dataran rendah dan diakhiri dengan pantai. Karena itu, kota ini memiliki tempat wisata yang lumayan banyak. Terutama pantai-pantainya, seolah menyaingi keindahan pegunungan di sekitar yang begitu memanjakan mata.
Kami menyusuri sepanjang lantai tanpa berucap sepatah kata pun, dan aku mulai penasaran kelasku nanti seperti apa. Lagian sudah cukup lama aku tidak merasakan bersekolah di sini.
"Kita sudah sampai."
Ruangan di mana Bu Sri menghentikan langkahnya ini dari luar sudah terlihat cukup sederhana. Hanya angka romawi "II" saja yang tertera pada plat pintunya. Selagi kutatap plat tersebut dengan jeli, tiba-tiba Bu Sri membuka pintunya.
Pada saat itu, aku merasa sangat gugup kala pintunya terbuka. Kemudian, semua mata sekaligus melihatku. Tidak ada seorangpun yang berbicara, keheningan sudah menyelimuti seluruh kelas.
Yah, apa yang kubenci adalah suasana seperti ini.
Selama mendapat pandangan tidak enak dari semua orang, aku menjawab dengan keheningan selagi memasuki kelas dengan langkah berat. Sesaat terdengar bisik-bisik dari beberapa orang yang bertanya ’dia murid pindahan itu, ya?’.
"Selamat pagi anak-anak!" sapa Bu Sri.
"Selamat pagi, Bu!" jawab mereka serempak. Yah, meski sebagian besar dengan nada yang tak bersemangat.
"Pagi ini ada kabar dari Kepala Sekolah bahwa kelas kita kedatangan murid baru. Namanya Muhammad Ferdy Susanto, mungkin di antara kalian sudah tahu. Beliau ingin kalian menyambut teman baru kalian, serta membantunya menyesuaikan diri," ujar Bu Sri.
"Baik, Bu!" Lagi-lagi jawaban yang datar.
Ya ampun, kalian ini. Dan juga jangan terus memasang "wajah penasaran" kalian itu padaku!
Beliau beralih padaku, lalu berkata dengan kalem, "Silakan duduk di bangku itu. Ibu kembali dulu," ujar beliau.
"Baik, Bu."
Aku melangkah, lebih tepatnya mengarah pada deretan paling kiri bangku nomor empat. Tempat duduk ini memang sudah diatur sesuai dengan nomor absen dan terpisah-pisah. Jadi, kalau dilihat dari situ, berarti absenku nomor empat. Jujur aku tidak suka dengan nomor awal-awal, lagian itu angka sial!
Aku duduk, lalu kembali mengamati sekitar yang dari mereka semua masih melirikku sesekali. Alhasil, aku hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu.
Sungguh, aku merasa sangat tidak nyaman! Jadi tolong kalian berhentilah memandangiku seperti itu!
Akan tetapi, dari semua pandangan itu, hanya satu orang saja yang tak melihati kedatanganku. Dari bangku pojok kanan depan, diduduki seorang gadis berambut lurus panjang yang tengah menyangga pipinya. Dia dengan hening menatap ke depan seolah sedang merasa bosan.
Saat itulah, perasaan aneh muncul. Aku merasa sebuah déja vu ketika mengamati gadis tersebut.
Tepat beberapa detik setelah itu, suatu suara mungil terlontar padaku.
"Ferdy!"
Aku menoleh ke samping kanan demi melihat siapa yang memberi panggilan ambigu tersebut. Lalu mendapati seorang gadis berambut ponytail tengah tersenyum.
Dia ... eh? Bukannya dia ini ....
"Putri?"
"Ah, kau masih ingat?"
Dia adalah salah satu teman akrabku selain Ihsan sejak kami SD. Dia ini gadis yang sangat ceria, dan sekarang sepertinya masih belum berubah. Dulu Putri juga selalu bersama dengan Gita kemanapun dia pergi.
Oh iya. Kalau Putri di sini, berarti dia juga ....
"Lama tidak bertemu, kau terlihat banyak berubah. Bagaimana kabarmu, Dy?"
"Alhamdulillah baik. Kau sendiri?"
"Alhamdulillah aku juga sehat. Aku tidak menyangka kalau murid pindahannya itu kamu."
Aku tersenyum getir. "Ah, iya."
"Kabarnya kau masih dalam tahap penyembuhan, ya?"
"Iya. Aku disuruh pulang oleh pelatihku. Jadi, aku akan sekolah di sini sementara waktu. Oh ya, dengar-dengar kau mau ikut turnamen bulutangkis tingkat nasional, ya?"
"Ah, iya. Akhir bulan ini pertandingannya dimulai."
"Berarti sebelum ramadhan?"
"Iya, Dy. Doakan nanti bisa menang, ya. Biar terpilih dan bisa mewakili negara. ’Masa cuma kamu saja yang sudah merasakan main di luar negeri."
"Hahaha, iya. Aku doakan supaya menang."
"Hey, kalian berdua nanti saja reuniannya!"
Kalimat barusan tiba-tiba memotong perbincangan kami. Aku dan Putri menoleh ke arah bangku depanku, sementara lelaki tersebut hanya menolehkan separuh wajahnya ke belakang.
"Ihsan? Kau ternyata di sini juga?" tanyaku.
"Kau baru sadar kalau aku duduk di sini?" Ihsan memberengut.
"Ah, ma-maaf."
"Ya ampun, ternyata kau masih belum berubah, Dy." Putri tergelak.
"Sudah, sudah! Lihat! Guru sudah datang. Pelejaran mau dimulai."
Sesuai dengan apa yang disampaikan Ihsan, beberapa detik kemudian seorang guru wanita masuk ke kelas. Tentu saja semua murid langsung membenahi sikapnya masing-masing.
Beliau memberi salam dan sambutan sebagai tahun ajaran baru untuk kami yang sudah menginjak kelas dua. Sementara mendengar beliau bernarasi, mataku kembali sesekali tertarik pada bangku pojok kanan depan tadi.
Dia masih saja bersikap seperti itu. Terlebih lagi, kenapa aku seolah merasa kenal dengannya?
※※※
Kuambil tasku yang tidak ada hal penting di dalamnya dan berdiri. Setelah pelajaran hari ini selesai, orang-orang dengan cepat berangsur keluar dari kelas menuju tempat ekskul masing-masing atau berjalan pulang ke rumah.
Ketika sudah melewati pintu kelas dan berjalan keluar, sesosok anak lelaki tiba-tiba langsung menghampiri dan berjalan di sampingku.
"Dy, kau langsung pulang?" tanya Ihsan.
"Iya, lagian tidak ada yang bisa kulakukan di sini. Aku juga tidak mau menjadi pusat perhatian terus."
"Hmm. Oh ya, hari ini kau mau mampir ke sana?"
"Ya. Tadi aku juga mau ajak Putri, tapi katanya dia mau latihan dulu. Kau mau ikut?"
"Ah, kapan-kapan saja, ’deh. Aku juga ada kegiatan ekskul hari ini."
Kami tiba di persimpangan jalan.
"Ya sudah, aku langsung ke sana dulu," ujarku seraya berbelok menuju jalur keluar.
"Oh ya, Dy!"
Langkahku terhenti. "Ya?"
"Gita mungkin sudah di sana."
"Ah, iya. Aku tahu. Gita memang orangnya seperti itu," ujarku tersenyum getir.
"Tapi omong-omong ...."
"...?"
"Ah, tidak jadi. Ya sudah, aku ke sana dulu, ya. Sampai nanti!"
Dia langsung lari berlawanan arah dengan buru-buru.
Ada apa dengan reaksinya? Sejak kemarin sikapnya agak aneh.
Kulanjutkan melangkah kembali untuk bergerak pulang.
Lorong kelas tenggelam dalam suasana yang damai. Murid-murid berjalan bolak-balik menuju arah yang berbeda. Mereka tidak menunjukkan tanda-tanda berhenti meskipun berjalan begitu santai.
Aku memilih untuk berjalan di sisi yang tidak terkena oleh sinar matahari agar tidak merasakan panas. Kemudian menuruni tangga dan memperhatikan kepadatan siswa yang tidak setinggi seperti tadi. Mungkin sebagian besar dari mereka tak memutuskan untuk langsung pulang. Meski menjadi pusat perhatian, tidak ada seorang pun yang memanggil atau bertanya padaku selagi terus berjalan ke gerbang depan.
Mulai dari sini, aku menunggu dan menaiki bus yang menuju ke arah rumah. Meski begitu, aku lebih memilih bus dengan rute yang berbeda dari yang biasa kunaiki.
Butuh sekiranya lima belas menit untuk sampai di tempat tujuan dan turun di halte dekat jembatan besar.
Selagi berjalan tenang melintasi pinggiran sungai, aku melihat ke atas dan menjumpai gumpalan-gumpalan awan raksasa yang melayang lembut di langit cerah. Berlanjut melewati sebuah pasar kecil di depan persawahan. Sesekali merasakan sebuah nostalgia ketika berjalan melewati toko mainan, toko roti, taman kecil, atau di depan SD.
Suhu di daerah sini tengah turun meski cuaca sedang cerah, bahkan rasa dinginnya masih menembus jaketku. Juga hawa tersebut membuat kaki kiriku jadi agak ngilu. Sesekali aku berhenti untuk sekedar memijat-mijatnya agar lebih rileks sebelum melangkah kembali.
Setelah belok kanan, terdapat barisan kecil pohon cemara yang sudah gundul. Pada sisi kanan dalam pandangan, aku bisa melihat bangunan usang dengan atap yang menghitam akibat lumut. Bangunan yang mirip dengan rumah ini terlihat jelas lebih kecil jika dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitarnya. Namun, tempat ini memiliki halaman yang luas. Terdapat meja dan kursi kayu berwarna cokelat di teras, juga sebuah petak bunga yang dikelilingi dengan batu bata merah pada tamannya.
Walaupun begitu, sekarang warna pelitur dari kursi dan meja kayu itu telah memudar karena terkikis waktu, dan yang masih tertinggal dari petak bunga tersebut hanyalah tanah pucat yang kering.
Dia terlihat kelam tatkala ternaungi sinar terik cahaya matahari, dan itu membuatku hanya bisa menatap sendu.
"Kenapa ... jadi begini?"
Aku jadi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menelan ludahku. Tempat yang dulu sangat berkesan saat aku masih kecil, kini telah menjadi bangunan terbengkalai.
Oh ya, kalau tidak salah Ihsan tadi juga ingin mengatakan sesuatu saat aku hendak kemari. Atau jangan-jangan memang hal ini yang ingin dia sampaikan.
Ketika teringat hal tersebut, suatu suara memanggil dari belakang.
"Ferdy?"
Aku berbalik menengok.
"... Eh?"
Hatiku yang terasa sesak entah kenapa berganti dengan perasaan lega. Tubuhku membeku, saat melihat sosok itu yang berdiri sekitar tiga langkah di belakang. Cahaya menjelang sore yang redup entah kenapa kembali menunjukkan sinarnya dan menjatuhkan kilau emas pada sosok tersebut.
Gadis berambut hitam panjang yang nampak indah oleh pancaran mentari. Tubuhnya yang ramping itu terbalut dengan sweater rajut putih nan cerah. Di lehernya terlingkari sebuah liontin berbentuk mawar putih yang berkilau. Serta wajah polos yang manis dengan mata indah tengah menunjukkan raut terkejutnya.
Dia ... siapa?
Kulihat di balik sweater-nya, dia memakai baju seragam yang tak asing. Setelah memperhatikan kembali, aku menyadari bahwa itu adalah seragam siswi di sekolahku.
Tunggu dulu. Kalau tidak salah, dia ini gadis yang duduk di bangku pojok kanan depan tadi, ya? Itu mungkin alasan dia tahu namaku karena kami satu kelas.
Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa dia datang kemari?
"Lama tidak bertemu, Dy. Kau masih ingat tempat ini ternyata."
"Ah, iya." Aku tersenyum getir. "Omong-omong, kamu dulu pernah ikut di sini, ya?"
"...."
"...."
Begitulah yang kupikir, tapi malah keheningan berlarut-larut yang menyapaku sebagai balasan. Hanya deru laju sepeda motor tua yang menerjang keheningan.
Selagi kehilangan kata-kata, dia menatap lurus padaku dan ... memberengut?
Kenapa? Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?
"Sudah kuduga. Kau lupa denganku," ujarnya.
"Heh? Eh ..., aku ...."
Tanpa mendengar penjelasan apapun, dia melangkah melewatiku menuju pada bangunan tersebut. Setelah dia melintas, saat itulah aku jadi ingat raut wajahnya yang sedih pada tiga tahun yang lalu.
"Gita!" Spontan aku memanggil sembari mengikuti dari belakang. "Ma-maaf, Git. Bukan maksudku begitu."
"Sama Ihsan dan Putri saja masih ingat," sindirnya.
"Iya. Tapi aku ...."
Dia mengabaikanku selagi mengeluarkan kunci dari dalam tasnya.
"Git," panggilku lagi.
"...."
"Mau bagaimana lagi? Kau sudah berubah sekali. Waktu itu rambutmu masih pendek, dulu kau juga memakai kacamata. Makanya aku tidak langsung mengenalimu."
"Alasan."
"Ya ampun, aku tidak bohong! Dan juga kau sebenarnya tidak ingat denganku, ’kan? Di sekolah kau sama sekali tidak menyapaku."
Setelah pintunya terbuka, Gita entah kenapa langsung berhenti dan menoleh, lalu masuk ke dalam.
Apa boleh buat, kuikuti saja apa maunya.
Aku melangkah ke dalam, dan mendapati ruangan mirip sebuah kelas yang amat kusam.
Ada kursi di dekat jendela. Dari tengah terdapat beberapa meja panjang. Kursi yang lain ditumpuk di atas satu sama lain bersama-sama dengan meja yang tidak terpakai. Tak ada lemari, bahkan perabotan yang dulu seingatku masih ada di sini juga menghilang.
Di atas meja itu terdapat lapisan debu tipis dan tumpukan kecil dokumen-dokumen yang sudah memberitahu perputaran waktu di dalam ruangan ini.
Ini adalah pemandangan yang amat berbeda dari dugaan. Perasaan tak nyaman mulai bergejolak. Tak ada apapun yang bisa dikatakan sebagai perubahan yang baik dari tempat ini.
Aku memandang dengan perasaan sedih, seakan mengusik dari kerinduan masa lalu.
"Sejak kapan jadi begini?" tanyaku.
Sekali lagi Gita mengabaikanku dan lebih memilih menaruh tasnya pada sebuah gantungan dekat pintu, begitu juga dengan sweater yang baru dia lepas. Di dekat dia berdiri terdapat sebuah sapu yang masih tersegel plastik. Kalau dilihat dari situasinya mungkin dia yang membeli untuk hal ini.
Gita terpusat dengan pekerjaannya, bahkan tanpa suara membersihkan ruangan ini.
Aku tanpa berpikir panjang langsung ikut menaruh tas di gantungan, lalu dengan egois meraih alat bersih lain untuk membantu. Ketika baru meraih kursi dan mulai menatanya, tanganku dihentikan oleh sebuah suara.
"Tidak usah!" Gita tidak menghentikan tangannya yang bekerja dan meneruskan kata-katanya tanpa melihat ke arahku. "Aku bisa melakukannya sendiri."
“Tapi-,”
"Aku bisa sendiri."
Begitulah kalimat kekeh itu terlontar, tapi melihat ruangan yang sekotor ini pasti sangatlah sulit.
Ternyata Gita masih keras kepala seperti dulu, dan mungkin tidak ingin merepotkan orang lain. Buktinya dia mau saja membersihkan tempat ini sendirian.
Meski begitu, bagaimana dia mencoba sebisanya sendirian itu sangatlah menakjubkan. Itulah kenapa aku cukup tertarik dengannya.
"Jadi ... selama ini kau menangani tempat ini sendirian, ya?"
Dengan bising kudorong kursinya ke tembok, dan itu membuat Gita mengintip ke arahku. Ekspresinya entah kenapa terlihat kesepian, lalu perlahan menjatuhkan matanya.
Dengan bangga kutunjukkan kembali senyumku. "Tapi, aku bukan orang yang hanya bisa diam melihat keadaan seperti ini."
"...."
Gita melihatku dengan kosong, lalu berjalan ke arahku dan berhenti tepat satu langkah di depan. Dia melirik ke bawah dan-
’Dug!’
-dengan ringan membenturkan ujung sepatunya pada kaki kiriku.
"...!"
Seketika suatu rasa sakit yang tajam menusuk dan menerjang tulang keringku. Rasa sakitnya bahkan membuat sekujur tubuh langsung bergetar hebat.
"Aaaargh!"
Aku langsung dibuatnya meringkuk sambil memegangi bagian yang luar biasa sakitnya tersebut. Sementara Gita tertawa puas setelah mengerjaiku.
"Sudah kubilang, ’kan? Biar aku yang melakukannya sendiri."
“Iya, tapi jangan menendang kakiku juga kali!”
"Tadi itu cuma pelan."
"Pelan jidatmu! Aku masih belum sembuh total!"
"Makanya, biar aku saja yang membersihkan tempat ini. ’Sok keren, ’sih."
Sial! Gadis ini langsung membuang jauh-jauh harga diriku. Aku benar-benar sakit baik fisik maupun mental!
"Ya sudah. Kalau begitu kau yang menyapu. Untuk bagian angkat-angkat biar aku saja. Terus ... bffhahaha!"
"Jangan tertawa!"
"Ya ampun, perutku sampai sakit!"
"Woy!"
"Ah, maaf-maaf. Ini sapunya."
Dengan hening tanganku hanya bisa menerima sapu itu darinya. Cih! Sialan gadis ini!
Setelah mengatakan itu terbalut tawa kecil yang masih tersisa, Gita berhenti mencoba untuk mencegahku bekerja. Dengan begitu bersih-bersihnya dimulai tanpa ada cekcok lagi.
Meski sepanjang waktu, aku terus meringis kesakitan sambil mendengar Gita menahan tawa.
※※※
Tiga jam berlalu, dan kami akhirnya sudah membersihkan tempat ini. Yah, meskipun tidak seluruhnya, lagian hari sudah mulai sore, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan besok saja.
Berhubung rumah kami searah, kami berjalan bersama untuk pulang. Rumah kami memang tidak jauh, mungkin butuh waktu sekitar lima belas menit jika melewati jalan pintas.
Mentari bergerak lembut semakin condong ke barat. Di hamparan jalanan yang masih tak beraspal ini terpancar cahaya jingga khas petang. Suara langkah kaki kami yang tak teratur tersaingi oleh lalu-lalang kendaraan dan kicauan burung. Sesekali mataku melirik gadis di sampingku, dia terlihat seolah bermain dengan bayangannya. Berbeda dengan wajah lesuku, orang ini begitu ceria dari terakhir kulihat beberapa tahun yang lalu.
Jadi emosinya sudah stabil, ya? Entah kenapa dia bisa melupakan kemarahan soal aku yang sempat lupa tadi.
"Jadi ..., sampai kapan kau di sini?" tanya Gita tiba-tiba.
Mataku bergeser ke arahnya beberapa detik, dan kembali ke depan. "Kalau tidak ada apa-apa mungkin sampai naik kelas tiga."
"Jadi sekitar satu tahun, ya?" gumamnya. Dia lalu melirik kakiku. "Kau ... terlalu memaksakan dirimu, Dy."
"Ya ampun, kenapa semua orang bilang begitu padaku?"
"Ya jelas, ’lah! Kenapa kau malah terus menerobos? Bukannya mereka jelas-jelas ingin mencideraimu."
Jadi waktu itu Gita melihat pertandingannya? Yah, wajar saja. Soalnya pertandingan final, ’sih.
Saat itu tim kami sudah di ambang keletihan. Satu per satu dari kami mengalami kram, dua di antaranya sudah tak mampu lagi berlari. Sementara jatah untuk pergantian pemain sudah habis.
Ajaibnya, kami bisa menahan gempuran serangan mereka dan memaksa untuk pertandingan waktu tambahan. Kami berniat untuk menghalau sampai adu penalti. Namun, melihat keadaan tersebut tak sesuai dengan harapan, kami hanya bisa pasrah sampai waktu habis.
Akan tetapi, suatu keberuntungan tiba-tiba muncul di detik-detik akhir. Di saat serangan lawan terus menghujam, kami berhasil membuat serangan balik dengan cepat. Aku yang hanya satu-satunya di depan mendapat umpan terobosan yang ditunggu-tunggu. Tentu saja aku tidak ingin menyiakan kesempatan ini. Karena bagiku, adu penalti lebih menguras mental dan semangat kami.
Aku terus berlari menggiring bola, hingga sampai satu lawan satu dengan penjaga gawang. Saat itu otakku benar-benar tak karuan karena letih yang amat sangat. Yang aku pikirkan hanya ’Cepat masukkan bola itu sebelum waktu berakhir!’. Karena itulah aku memutuskan untuk menendangnya keras-keras. Akan tetapi, penjaga gawang itu tak hanya menghadang bola saja, tapi juga berniat menjegal. Hingga benturan yang fatal mengenenai kakiku dengan telak akibat tackle-nya.
Aku terjatuh, dan tak bisa merasakan apa-apa pada kakiku. Hatiku merasa sangat kecewa karena telah menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku telah gagal menyelamatkan teman-temanku dari siksaan mental adu penalti.
Di tengah rasa putus asa tersebut, peluit mulai menggema dan semua hiruk-pikuk manusia telah berhenti seakan lenyap ditelan waktu. Aku sudah tidak bisa membedakan apakah itu peluit tanda pertandingan berakhir atau bukan. Mungkin saja itu peluit karena pelanggaran, hanya itu yang pasti.
Akan tetapi, suara riuh penonton langsung menggema di dalam stadion. Itu adalah suara teriakan kebahagiaan, dan memaksa rasa penasaranku untuk menatap ke depan. Hingga aku menyadari sebuah bola yang nampak samar tengah terdiam sendirian di dalam sangkar musuh.
Setelah itu aku benar-benar tak ingat apa-apa lagi, kecuali wajah teman-temanku yang amat sangat khawatir sebelum dibawa oleh ambulans.
"Yah, memang benar. Tapi semua sesuai dengan perjuangan kami untuk negara," ujarku yang terkenang akan momen mengharukan tersebut.
Gita membuang wajah sedihnya ke depan dan bergumam, "Sudah kuduga, kau memang tidak berubah."
"... Oh ya. Omong-omong, kenapa tempat kita sekarang jadi begini?"
Gita masih diam sambil mempertahankan kemurungannya. Lalu dengan suara pasrah dia mulai bercerita.
"Semenjak kepergian Kakak, tempat itu makin lama makin tak terurus. Semua anggota tidak punya semangat lagi seperti dulu."
"Apa tidak ada yang jadi penerusnya?"
"Ada. Tapi ya ...," Gita terhenti sejenak mengingat sesuatu, "semua tidak seperti sebelumnya. Sebagian besar dari kami lebih memilih untuk fokus bekerja, bahkan tak sedikit yang memilih untuk menjadi TKI."
Jadi begitu? Aku bisa memakluminya. Meski sumber daya lumayan banyak, tapi SDM masyarakat setempat masih belum meningkat dan membuat perekonomian di sini benar-benar tidak menjanjikan. Mereka masih minim kesadaran akan pentingnya kegiatan yang mengasah potensi generasi muda, seperti Karang Taruna dan sebagainya.
Akan tetapi, di sisi lain aku tidak bisa menyalahkan mereka. Karena untuk menghidupkan sesuatu yang sulit dihidupkan, harus membutuhkan tekad yang kuat.
Di dalam sebuah organisasi, kelompok, atau perkumpulan, kita pasti pernah menjumpai hal semacam ini. Ada beberapa orang yang mampu membuat organisasi tersebut menjadi hidup, bahkan mampu menjadi daya tarik banyak orang. Namun, ketika mereka tergantikan, organisasi itu perlahan meredup dan bahkan mati. Padahal tidak ada yang salah dengan metode yang diterapkan oleh si penerus.
Mengapa demikian?
"Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya." Aku menggumamkan jawaban yang mungkin sesuai dengan keadaan ini.
"Dan aku akan mengembalikan masa-masa itu," lanjut Gita.
Aku bisa merasakan semangat Gita melalui ungkapan tersebut. Jadi karena itu dia memutuskan untuk mempertahankan tempat ini sendirian.
"Kenapa kau masih bertahan?" tanyaku.
Langkah Gita kian lama mulai melemah. Wajahnya agak tertunduk, serta matanya seolah melihat masa lalu.
"Aku ... hanya ingin memberikan perubahan yang lebih baik untuk Desa, terutama generasi muda. Aku seolah merasa kesal, kenapa mereka yang memiliki bakat justru malah memilih untuk mengikuti alur yang mengekang ini? Kenapa hanya sebagian kecil dari kita yang bisa membanggakan Desa?!"
Sepanjang dia berbicara, matanya mulai berkaca-kaca. Kemudian, nada kesal dan bergetar mulai menyelip dari lanjutannya.
"Kenapa kita malah menerima kenyataan yang jelas-jelas bisa kita rubah?! Dan juga kenapa masyarakat masih saja tidak mendukung Kakak yang mati-matian berjuang untuk mereka?! Kenapa mereka-."
"Gita!"
"...!"
Segera saja aku memotong, sebelum air mata Gita yang sudah di ambang itu bakal terjatuh.
Gita berpaling, mencoba menyeka dan menyembunyikan tangisnya dari pandanganku. "Maaf, aku malah bicara yang tidak-tidak."
"... Kau melakukan ini ... apa karena kakakmu?"
Gita tak menjawab, suara sendatannya mulai terdengar selagi masih menyeka air mata. Itu mengingatkanku akan Almarhumah yang selalu menyemangati kami untuk terus berjuang.
"Aku hanya tidak terima Kakak diperlakukan seperti itu. Aku benar-benar tidak terima!" gumamnya terbalut tangis.
"Tapi kenyataannya memang seperti itu," -pikirku.
Di dunia yang mulai aneh ini, usahamu tak akan dinilai sebelum mendapatkan hasil. Inilah pemicu terjadinya "menghalalkan segala cara". Orang lain tak akan peduli seberapa keras perjuanganmu demi meraih hasil yang dicapai tersebut. Mereka hanya bisa meremehkanmu saat memulai, mencibir saat kau melangkah, dan tertawa saat kau gagal. Tawa mereka akan semakin keras jikalau kau sudah terpengaruh oleh mereka dan memutuskan untuk menyerah.
Itulah tujuan iblis yang sebenarnya, agar manusia gagal meraih keberhasilan yang hakiki.
Amarah mulai bergejolak di dalam diriku. "Apa kau merasa kalau waktu itu ... Kak Sinta dijebak?”
Gita mengangguk, berusaha untuk menahan isakan yang serak. Bahkan sekarang air matanya kembali menetes. Ini pasti menyakitkan baginya.
"Aku akan membantumu," kataku tersenyum.
Tekadku sudah bulat. Aku tidak ingin lagi ada air mata kesedihan yang tumpah akan keputusasaan ini setelah kepergianku nanti.
Namun tanpa diduga justru tawa mungil yang dia beri atas keputusanku barusan. "Kau memang tidak berubah," ujarnya sambil menyeka air mata.
Selagi Gita berkata begitu, kami melanjutkan laju kami.
"Apa yang hendak kau rencanakan?" Suara Gita lebih pelan dari biasanya.
"Mungkin ... dimulai dengan mencari anggota dulu. Bagaimana?"
Meskipun Gita entah kenapa tidak terlihat yakin, dia masih mengangguk tanpa bersuara. Kami tidak mengatakan apapun selagi kembali melangkah. Matahari terbenam perlahan ke dalam ujung barat bumi dengan dikelilingi oleh angin sore.
Senja hari ini sedikit terasa hangat.
"Oh ya. Aku belum bertemu dengan Dimas semenjak pulang kemari," ujarku.
"Dia sudah pindah sejak lulus SMP."
Aku diam sejenak untuk melirik Gita, lalu dengan enggan bertanya, "Kau ... masih dekat dengan Dimas?"
"Iya. Kami masih saling kontak." Dia juga melirikku sembari tersenyum. "Kau sendiri juga masih akrab dengan Putri."
"Mentang-mentang kami dulu pernah digosipkan, kau malah masih saja berpikir begitu."
"Habisnya kalian langsung bisa saling ingat pas bertemu."
"Jangan mulai, ’deh!"
"Hahaha. Iya, iya."
Aku meliriknya dalam hening kembali. Sementara Gita masih menyisakan senyumnya.
"Omong-omong, kenapa kau memanjangkan rambutmu?" tanyaku.
"Emm ...," Gita meraih sebagian rambutnya sambil melihatnya, "aku cuma ikut saran dari seseorang. Katanya sekali-sekali aku harus mencoba memanjangkan rambutku."
"Hmm. Siapa? Dimas?"
"...."
Kemudian langkahnya terhenti selagi menatapku dengan hening. Wajahnya memberengut kembali, persis saat tadi di depan pintu.
"Eh? Ada apa, Git?"
Tanpa basa-basi Gita menendang kakiku kembali seraya berteriak.
"Bukannya kau sendiri yang menyarankanku?!"
※ ※ ※ (Bab 02) ※ ※ ※