(Dua tahun yang lalu)
Bergoyang-goyang.
Begitulah rasanya ketika menaiki mobil ini. Pergerakan tersebut membuat kesadaranku ditarik keluar dengan lembut akan damainya alam mimpi.
Itu adalah sebuah pertanda bahwa aku hampir sampai di desa tercinta. Maklum saja, untuk menuju kemari harus melewati bukit-bukit kecil dan jalanan yang berkelok-kelok.
Saat ini aku tengah duduk di depan sambil membuka jendela. Tubuhku yang letih bersandar dengan santai, menikmati pemandangan luar, dan merasakan embusan angin tatkala mobil sedan ini tengah melaju. Kenyamanan momen ini begitu membuatku terbuai untuk tidur kembali.
Meski begitu, buaian tersebut kali ini sudah tak mempan lagi, semenjak jajaran pegunungan mulai terlihat dengan jelas.
"Wuaah, pegunungannya!" -pikirku.
Bagi seseorang asli warga desa yang tinggal di dataran tinggi, pegunungan merupakan pemandangan yang sangat ampuh untuk mengikis kerinduan setelah lama pergi.
Pada hari yang cerah nan terik, bayang-bayang pesisir pantai mulai bisa terlihat. Namun aku tidak begitu sering bisa menatap lautannya dengan jelas akibat terhalangi pepohonan yang rimbun seperti ini. Alhasil, mataku hanya mampu tertuju pada pegunungan itu saja.
Dengan begitu, keheningan kembali menyelubungi mobil ini.
Anehnya, kian lama aku merasakan suatu nostalgia dengan pemandangan semacam ini.
"Ada apa, Dy? Kenapa wajahmu merengut begitu?" tanya pamanku, yang tengah mengendarai mobil.
"Aku jadi teringat pas pulang naik bus setelah studi wisata sewaktu masih SD."
"Kenapa memangnya?"
"Dulu aku duduk di belakang, tepatnya dekat dengan guru-guru pengawas. Sementara berusaha terus memejamkan mata demi menahan rasa mual sepanjang perjalanan, para guru pengawas itu begitu berisik merumpi di kursi belakang."
Paman lalu tergelak, "Kau ini ada-ada saja."
Benar-benar kenangan yang menjengkelkan.
Mobil ini terus melesat bagai tembakan panah, hingga menjumpai deretan kendaraan lain yang lumayan panjang di depan kami. Sekarang adalah hari Minggu biasa, namun jalanan sudah dipenuhi dengan berbagai kendaraan. Terkadang, kemacetan singkat sempat terjadi.
"Jalannya lumayan ramai," keluhku.
"Kau tahu, Dy? Daerah sini mulai banyak dikunjungi wisatawan, bahkan luar pulau."
"Hmm. Aku tidak tahu tempat ini mulai terkenal."
"Ya, begitulah. Apalagi ada orang terkenal yang datang kemari. Pasti tambah ramai."
Jawaban beliau membuatku tergelak.
"Ya," aku menatap ke luar kembali, "dan bakal dilupakan lagi," bisikku.
Sekarang setelah mulai melambat dan meninggalkan dataran tinggi, kami masuk lebih jauh ke dalam jalan pedesaan. Mobil ini kemudian menyusuri jalan yang agak menyempit dengan tanpa ada hambatan.
Omong-omong, bisa agak fokus ke depan, Paman? Sebelah mobil kita ini jurang, ’lho!
####--####
Sewaktu keluar dari mobil, aroma khas dari rumput yang lebat adalah hal pertama yang menyapa kami. Entah kenapa rasanya seolah-olah ada banyak ruang untuk bernapas.
Di suatu tempat pada halaman tersebut, aku diam sejenak memandangi rumah kecil yang tepat di hadapanku.
Itu adalah rumah tercintaku.
Ketika mengambil tas kami dari mobil seperti yang diperintahkan Paman, muncullah dua orang dari rumah tersebut. Ibu dan adikku tengah memasang wajah ceria.
"Kak Ferdy pulaaang!"
Evan memekik, berlari, dan langsung menerjang tubuhku. Aku lalu merangkul dan menggendong tubuhnya yang imut tersebut.
"Evaaan! Ya ampun, kau sudah semakin besar sekarang!"
"Kakak bawa oleh-oleh?"
Astaga, anak ini. Dia pasti sangat lama mengharapkan itu ketika mendengar aku akan pulang.
"Iya, ini di dalam tas ada mainan buatmu. Tapi Kakak mau istirahat dulu, ya. Badan Kakak masih sakit."
"Kalau masih sakit cepat masuk sana!" tandas Ibu. "Kau ini sudah kebiasaan sering memaksakan diri!"
"Maaf, Bu." Aku tersenyum masam. "Oh, ya. Ibu mau ke mana? Pagi-pagi sudah bawa tas belanja," tanyaku setelah menyadari ada sesuatu di tangan Ibu.
"Ya mau ke pasar, ’lah!" Sekali lagi Ibu memberengut. "Baru tinggal di luar negeri kau sudah lupa, ya?"
"Eh, i-iya."
"Lagian kenapa kasih kabar mendadak kalau mau pulang? Ibu jadi belum mempersiapkan apapun."
"Ah, tidak perlu repot-repot. Aku tidak berharap lebih, ’kok."
"Ya sudah, Ibu mau ke pasar dulu," ujar beliau, lalu meraih tangan Evan.
"Ah, iya. Hati-hati, Bu."
Dengan begitu beliau dan Evan melangkah pergi meninggalkan kami berdua.
Aku kemudian membawa barang-barangku sendiri ke kamar. Saat membuka pintunya, kudapati tempat yang sudah beberapa tahun tak dihuni ini sangat terlihat rapi.
"Ibu ternyata menjaga kamarku begitu baik. Terima kasih, Bu," -pikirku.
Paman membawa sisanya ke ruang keluarga, lalu setelah selesai beliau langsung pamit pulang.
Sekarang, tinggal aku sendiri yang berada di rumah ini.
Kakiku bergerak menuju ke jendela besar di sisi timur kamar. Jemari yang terasa hangat-hangat tipis ini berusaha membuka gorden berwarna biru muda, kemudian cahaya silau mentari khas pagi langsung mewarnai seluruh kamar dengan kuning pucat.
Dari jendela ini aku bisa melihat jelas lapangan yang membentang. Nampak begitu hijau, seolah akan terasa sangat nyaman jika mencoba untuk merebah di atas sana. Pada hamparan hijau tersebut, aku juga melihat sekelompok anak-anak tengah asyik bermain bola.
Kuambil jaketku kembali yang sebelumnya berada di atas kasur, kemudian bergegas keluar dari rumah dan menuju lapangan tersebut.
Kurang dari satu menit, itulah waktu untuk sampai ke tempat itu.
Aku berdiri di sisi lapangan, memandang jeli setiap pergerakan akan permainan mereka. Oper sana, oper sini, melewati hadangan pemain belakang, berhadapan satu lawan satu dan ....
"Goool!" pekik sebagian dari mereka seraya membuat selebrasi.
Sungguh itu adalah permainan yang amat bagus bagiku. Terutama kerja sama mereka yang menawan.
Oke, sekarang pertandingan kembali berlanjut. Pihak lawan memulai tendangan awal. Mereka mengoper ke belakang untuk memancing musuh keluar dari wilayah pertahanan mereka.
Nampaknya pihak lawan tidak mengendurkan semangat setelah kebobolan. Terbukti mereka begitu terampil membuat pola serangan melalui umpan terobosan yang sangat cepat.
Si penyerang mengelabuhi dua pemain belakang lawan, dan pertarungan satu lawan satu dengan penjaga gawang pun tak terelakkan! Dia lalu menendang dengan keras, mengecoh penjaga gawang dan ....
’Bang!’
Tanpa diduga tendangan penuh semangat itu akhirnya dihadang oleh kokohnya tiang gawang. Sayang sekali.
Saking kerasnya terpental, bola itu melambung jauh dan mengarah padaku. Semua mata memandangi pergerakan bola, tak terkecuali aku sendiri.
Secara tak sadar aku memusatkan mata pada benda bulat tersebut. Ketika bola itu sampai, aku menyambutnya dengan dada.
Saat itulah instingku muncul secara spontanitas. Bola itu memantul sesuai dengan yang kuinginkan. Mengarah ke atas dan berhenti tepat di kepala, lalu menahannya selama tiga detik penuh. Kupantulkan kembali dan mendarat tepat di tengkuk kaki. Melakukan gerakan jagling beberapa detik dan berakhir mengoper ke arah anak-anak tersebut.
"Tangkap ini! ... Eh?"
Aku dengan semangat mengoper bola itu ke depan, namun yang kudapat malah wajah diam mereka yang begitu tertegun.
"Itu Kak Ferdy!" pekik salah satu dari mereka.
Pekikan itu seolah sebuah tanda untuk mereka berlari menuju ke arahku.
"Heh?! Eh, tu-tunggu dulu." Ungkapan pasrah itu hanya bisa muncul tak beraturan, setelah melihat wajah mereka yang sangat bersemangat semakin mendekat dan berhenti tepat satu langkah di depanku.
Apa ini? Apa mereka ini anak burung yang melihat induknya sedang membawa makanan?
"Wah! ’Beneran Kak Ferdy yang asli!"
Bocah ini! Memangnya aku ada versi yang KW-nya?
"Kakak pulang sejak kapan?!"
"Bagaimana Kak rasanya bermain di eropa?!"
"Kakak sudah sembuh, ’kan?"
"Kak, ayo lakukan seperti tadi!"
Hujaman kalimat tersebut tak henti-hentinya mereka lontarkan. Aku hanya bisa memasang senyum getir dan berkeringat dingin karena bingung harus bicara dari mana dulu.
"Kakak akan main lagi ke Timnas, ’kan?"
Nah, yang satu ini aku bisa menjawab. "Yah, sepertinya."
"Lalu kapan Kakak main lagi? Rasanya kalau tidak ada Kakak, Timnas tidak begitu kuat."
"Jangan bilang begitu," bantahku lembut. "Mereka semua sama seperti Kakak. Mereka juga hebat, tanpa kerjasama tim, kita tidak mungkin bisa jadi juara."
"Ya, benar!"
Tiba-tiba aku menangkap suara lain yang familier tepat di belakang.
Aku menoleh, melihat siapa si pemilik suara tersebut. Sementara orang itu berjalan dengan santai menuju ke arah kami sambil berbicara.
"Seorang anak berbakat, bergabung dengan Timnas U-15 saat usianya masih 13 tahun. Membawa Indonesia lolos ke putaran final dan menjuarai piala asia. Beberapa tahun pada kompetisi berikutnya, dia juga berhasil mengantarkan negara menjadi juara dunia U-19 dengan gol semata-wayangnya di menit-menit akhir. Namun sayang, kemenangan itu harus dibayar dengan cideranya pemain andalan Timnas tersebut."
Tepat setelah selesai bernarasi, dia berhenti di hadapanku selagi tersenyum.
"Ihsan?" tanyaku sembari mengingat-ingat kembali wajah sahabatku dari kecil tersebut.
"Lama tidak bertemu, Dy."
####--####
Kami berdua dengan damai duduk di bawah naungan pohon besar nan rindang. Memandang ke depan, terutama pada anak-anak barusan yang melanjutkan pertandingan mereka.
Ihsan sesekali meneguk air mineral dari botol yang dia bawa. Nampaknya dia sangat lelah sekali, terbukti suara tegukannya begitu keras. Peluhnya tak henti mengalir, bahkan keringatnya mulai membuat nyaris seluruh bagian punggung kaos hijaunya menjadi gelap.
"Kau habis dari mana, San?"
"Baru dari kebun."
Oh, benar juga. Keluarga Ihsan punya banyak perkebunan yang lumayan luas. Pasti saat ini dia sangat kerepotan mengurus perkebunan tersebut. Ditambah lagi dia adalah anak tertua dari lima saudaranya.
"Baru datang kapan?" tanya Ihsan.
"Sekitar jam 8 tadi."
Dia melirik ke arah kakiku. "Bagaimana cideramu?"
"Ah, sudah mendingan. Meski tadi sempat nyeri pas menendang bola."
"Ya iya, ’lah. Patah tulang itu jangan diremehkan! Ini malah dibuat menendang. Jangan memaksakan diri!"
"Kau ini ibuku, ya? Tiba-tiba langsung mengomeliku."
Ihsan tergelak, dan masih tertawa dia bertanya, "Terus, bagaimana rasanya pas waktu itu?"
Seketika wajahku mengernyit, membayangkan kenangan kelam yang masih teringat dengan jelas.
"Rasanya ... benar-benar mengerikan. Bahkan aku masih ingat patahan tulang keringku sampai menembus kaos kaki. Aku benar-benar tidak bisa merasakan kaki kiriku selain rasa sakit yang tak karuan. Bahkan setelah operasi pun kakiku masih mati rasa."
"Begitu, ya? Tapi kenapa kau malah pulang ke Indonesia? Bukannya kau masih dalam tahap penyembuhan, ’kan?"
"Bukan aku yang minta pulang, tapi pelatihku."
"Pelatihmu?"
"Katanya aku harus banyak-banyak istirahat dan tidak boleh banyak bergerak untuk waktu yang sangat lama. Karena itulah aku disarankan untuk pulang, sekalian menenangkan pikiran. Bahkan sampai dibawakan beberapa orang medis dari klub mereka untuk merawatku."
"Begitu, ya? Mungkin mereka merasa kau bakal tertekan setelah mengalami hal tersebut. Secara kau itu pemain muda."
"Bisa jadi. Padahal aku sendiri sama sekali tidak merasa begitu. Di sana aku seolah-olah diperlakukan berlebihan."
"Mereka mungkin merasa bersalah padamu. Final kemarin Timnas melawan negara mereka, ’kan?"
"Iya. Tapi, aku juga tidak ingin diperlakukan seperti itu. Mendapat cidera fatal di olahraga ’kan wajar."
Mendengar jawaban tersebut, Ihsan mengernyit heran. "Kau ini antara tahan banting dengan masokis tidak beda jauh, ya."
"Teman sedang kena musibah bukannya dihibur malah diledek!"
"Hahaha. Maaf, maaf." Ihsan sejenak meneguk airnya. "Oh ya, bagaimana rasanya bisa bergabung dengan klub besar di Spanyol?"
Ekspresi agak depresi mulai menaungi wajahku. "Aku tidak mengerti mereka bicara apa."
"Makanya, tingkatkan dulu bahasa inggrismu."
"Mereka pakai bahasa spanyol! Kalau pakai bahasa inggris terus aku juga bisa. Dan juga, pas awal-awal aku tidak terbiasa dengan makanannya. Jadi aku terpaksa memasak sendiri di asrama."
Ihsan tergelak kembali. "Ya ampun, kau norak sekali."
"Mau bagaimana lagi."
Aku terus diam setelah menggumamkan kalimat tersebut. Sementara Ihsan sendiri masih saja menertawaiku.
Tawanya seiring berjalannya detik demi detik kian memudar, hening, dan kembali mengarah ke depan melihati anak-anak tersebut. Dari sini mereka sudah di ambang keletihan, dan kemudian pertandingan itu berakhir dengan sendirinya.
"Terus, kau di sini sampai kapan?"
"Kira-kira satu tahun. Dan juga ... aku melanjutkan sekolah di sini."
"...."
Hal pertama yang dia lakukan adalah berhenti mematung dan menatapku tanpa suara selama 3 detik penuh. Kemudian, tanpa mengatakan sepatah kata dia membuka mata lebar-lebar.
"Hah?! Kau sekolah di sini?!"
"Iya."
"Di mana?"
"SMA sini, ’lah. Prosesnya juga sudah lama selesai."
"Ah, begitu, ya?"
"Kenapa?"
"Ah, tidak. Aku hanya kaget saja."
"Hmm. Oh ya, San. Bagaimana dengan tempat kita dulu? Masih baik-baik saja, ’kan?"
"Heh?! Ah, i-iya," jawabnya gusar.
Ada apa dengan reaksinya itu? Kenapa dia seolah-olah sedang menyembunyikan sesuatu?
Tepat saat menerka-nerka hal tersebut, ponsel di saku celana Ihsan berdering. Dia sejenak mengambil dan memeriksanya, lalu mulai beranjak.
"Aku balik dulu, Dy. Mau ambil obat anti hama di tokonya Pak Sugeng. Nanti aku mampir ke rumahmu."
"Ya, aku tunggu."
Ihsan berbalik dan berjalan menuju sepeda motornya yang berjarak dua meter dari punggungku. Ketika tengah memandangi kepergiannya, pergerakan Ihsan terhenti saat dia sudah menyalakan motornya.
"Oh ya, aku lupa memberitahumu sesuatu."
"... Apa?"
"Kalau kau penasaran, datang saja ke sana, Dy."
"Ya. Nanti aku mampir ke tempat itu."
"Dan satu lagi," dia tersenyum, "Gita masih sekolah di sini."
"... ...!"
"Sampai jumpa, Dy."
Dengan begitu Ihsan memutar gas dan melesat semakin jauh. Sementara aku hanya bisa diam tanpa membalasnya.
Berkat apa yang disampaikan Ihsan barusan, aku mengingat kembali suatu kenangan yang sudah tertimbun di memori.
Terutama ... di saat raut wajah gadis itu yang tersenyum dan menangis.
"Jadi ... dia tidak jadi melanjutkan sekolah di Surabaya?" gumamku.
Aku beralih ke depan, dan menghirup udara dalam-dalam seraya menikmati suasana hangat ini. Wajahku menengadah ke langit melihat awan yang berjalan lembut. Terkadang, cahaya matahari muncul dan bersembunyi di antara celah-celah gumpalan putih tersebut.
Awalnya aku merasa begitu nikmat akan suasana ini. Namun semakin lama, saat cahaya mentari mulai meredup karena tertimbun awan, ada suatu perasaan sesak menjalar secara perlahan di hati. Perasaan itu muncul kembali, yang sering menghantui hidukpu dan begitu mengganggu.
Tanpa sadar bibirku bergumam kembali dengan sendirinya.
"Apa dia ... masih marah padaku?"
### (Bab 01) ###