Terbentang luas lautan hijau mengelilingi kami. Bersama kuda besi ini, aku dengan tegap membelah lautan itu di atas jalan hitam. Desir angin membawa kicauan burung, seolah memompa kami untuk terus melaju lebih cepat.
Setiap kali kuda besi ini meliuk-liuk, jemari kedua tangan orang di belakangku ini dengan erat mencengkeram pinggangku. Kami berdua begitu mesra di antara eloknya pemandangan khas desa.
Namun sayangnya, yang kubonceng ini adalah Ihsan.
"Woy, jangan pegang-pegang pinggangku! Geli tahu!" protesku.
"Kalau jalannya tidak seperti ’Goyang Karawang’, aku tidak bakal pegangan, bego!"
Seperti itulah kami di atas motor sepulang sekolah. Tadi kami baru saja menghampiri basecamp anak-anak IPNU untuk meminta bantuan mereka. Setelah itu mengajak beberapa teman kami yang dulu pernah ikut di organisasi kami. Namun sayangnya, itu tidak menjamin bakal memperoleh banyak partisipan.
Meski begitu, ada dari mereka yang nanti mau datang ke basecamp kami nanti. Kalau dilihat dari lamanya kami kesana-kemari, mungkin ada beberapa yang sudah sampai. Jadi kami harus bergegas kembali.
Sebelum itu kami menepi dulu ke sebuah toko kecil dan membeli minum, untuk motornya maksudku.
Omong-omong, aku sangat familiar dengan toko ini. Jadi aku langsung saja memanggil pemiliknya.
"Assalamu’alaikum! Bu Rahayu! Bensin!"
"Iya, wa’alaikumsalam! Sebentar!" jawab beliau.
Dari suaranya itu, sepertinya beliau berada di Ruang Tamu. Posisi tokonya memang berdempetan dengan teras rumahnya. Jadi kalau aku melirik pada kaca jendela depan, aku bisa melihat bayang-bayang beliau yang bergerak di atas sofa.
Eh, sepertinya bukan beliau saja yang ada di dalam. Ada sekitar tujuh ibu-ibu yang duduk menempati sofa lainnya, mungkin sedang ada tamu.
Oleh sebab itu, dia kemudian meminta tolong seseorang. "Maudy! Ada pembeli di depan, Nduk!"
"Iya, Umi!" jawab seseorang dari dalam.
Tepat setelah suara itu terlontar, aku bisa mendengar suara langkah kaki yang berlari-lari kecil dan semakin mengeras. Pintu dari bagian dalam toko ini terbuka, lalu muncul sosok gadis berkerudung. Sosoknya yang agak gupuh itu seolah memberikan kesan manis. Kemudian matanya, langsung melebar setelah melihatku.
"Ah, Kak Ferdy?"
"I-iya," balasku agak gugup.
Dia langsung mendekati, lalu meraih tanganku dan menempelkan dahinya di punggung tanganku.
Jangan salah paham! Dia ini sepupuku! Hubungan kami dari dulu memang dibilang sangat dekat. Dia seolah kuanggap seperti adik kandungku sendiri. Meski Maudy sudah tahu aku pulang dan bersekolah di sini, ini kali pertama kami bertemu. Waktu itu cuma ibunya yang datang menjengukku, sementara dia masih sibuk dengan sesuatu di sekolahnya, jadi aku bisa memaklumi.
"Lagi masak?" tanyaku.
"Tidak, ’kok Kak. Tadi di belakang habis buat minuman untuk ibu-ibu arisan." Dia melirik ke belakangku. "Kak Ihsan?"
Ihsan menjawab dengan tangan kanannya yang terangkat.
"Kakak darimana?"
"Dari IPNU," jawabku.
"IPNU? Ada apa memangngnya?"
"Ah, begini. Sebenarnya Kakak dan teman-teman mau mengadakan Festival Ramadhan. Berhubung lagi kekurangan panitia, kami cari-cari anggota dulu."
"Oh, begitu."
"Kau masih ikut IPNU, Dy?" tanyaku.
"Sekarang sudah tidak, Kak. Aku musti bantu-bantu Umi jualan di kantin TPQ."
"Ooh."
Jawabannya memang terdengar normal, tapi aku merasa ada yang aneh dengan matanya. Dia seolah enggan mau menjawab apa.
"Ah, aku lupa! Kakak mau beli apa?"
"Emm, pertalite-nya seliter," jawabku sambil menyodorkan uang.
"Oh, sebentar, Kak."
Maudy lalu bergerak mengambil botol besar berisi pertalite dari rak kecil yang berada di luar toko. Kemudian menuju ke arah motornya Ihsan yang sudah terbuka joknya.
Sambil melihat dia menuangkan cairan dari botol itu, aku kembali bertanya, "Bagaimana sekolahmu, Dy?"
"Alhamdulillah lancar, Kak."
Aku kembali terdiam sampai dia selesai menuangkan tersebut, lalu bertanya lagi. "Dengar-dengar, kau mengajar di TPQ, ya?"
"Iya, Kak." Dia mengembalikan botol tersebut, lalu menghadapi ke kami dan tersenyum. "Meski tidak terlalu sering, ’sih."
"... Lalu, setelah lulus MTS nanti, kau masih ingin daftar ke Pondok Gontor?"
Matanya berpaling. "Iya, Kak," jawabnya lirih.
Sejenak dia menarik napas dalam-dalam, kemudian melanjutkan dengan wajah agak sayu. "Sebenarnya ... aku agak takut."
"Takut? Takut tidak lolos?"
Maudy mengangguk lemah.
Yah, aku bisa mengerti apa yang dia rasakan. Maudy sudah lama ingin melanjutkan pendidikannya kesana. Dia yang sejak kecil bercita-cita ingin menjadi Menteri Agama membuatku kagum melihat semangatnya sampai sekarang. Namun, dengan keadaan ekonomi mereka yang begini, dia bakal kesulitan untuk meraih cita-citanya itu. Aku bisa mengerti bahwa dia ikut mengajar di TPQ sebagai tambahan untuk biaya pendaftarannya nanti, tapi itu masih belum cukup.
Satu-satunya cara agar dia bisa meraih mimpinya adalah meningkatkan prestasi akademiknya. Dengan begitu dia bisa mendapat beasiswa atau semacamnya dari sana agar bisa lolos. Hal tersebut sudah dia lakukan, dan banyak sekali prestasi-prestasi yang dia peroleh berhubungan dengan Islamiah. Salah satunya, dia bahkan pernah menjuarai Tartil Qur’an sekarisidenan Kediri ketika masih menginjak kelas satu MTS.
Melihat "track record " Maudy yang bagus tersebut, aku tersenyum dan berniat menghiburnya. Tapi ....
"Jadi Maudy mau Ibu pondokkan?"
Itu bukan suaraku, melainkan suara salah satu Ibu-Ibu di dalam yang sempat terdengar keluar. Suara tersebut langsung memancing kami bertiga menoleh ke sana.
"Iya, Bu. Maudy sudah lama ingin mondok di Gontor." Suara Bu Rahayu terdengar agak gusar, dan itu mulai membuatku tidak nyaman. Aku merasakan firasat yang tidak enak dari obrolan mereka.
Hingga akhirnya dan sesuai yang kuduga, obrolan ibu-ibu sering berujung dengan suatu perbincangan yang buruk.
"Daripada sekolah jauh-jauh, buang-buang duit, mending suruh bantuin Ibu jualan di rumah saja.”
“Lagian buat apa mesti nerusin di Pondok? Nanti bakal susah 'nyari kerjaan. Mau makan apa nanti? Makan kitab?"
Kalimat barusan membuat kami semakin membisu. Terdengar Bu Rahayu hanya tertawa getir menanggapi saran tersebut. Sementara ketika aku menoleh pada Maudy, dia semakin tertunduk pilu.
Jujur, aku benar-benar tidak tega melihat gadis menangis, apalagi aku tahu kalau selama ini Maudy sangat berusaha keras memperjuangkan impiannya.
Aku jadi kesal sekarang. Mereka pikir, seorang petani hanya bisa memakan beras? Nelayan hanya bisa makan ikan?
Zaman sekarang ini kebutuhan manusia semakin meningkat. Harga bahan makanan melonjak, sementara pendapatan semakin menurun. Semua itu akan menciptakan hukum rimba baru, yaitu; "Siapa yang berharta, merekalah yang berkuasa". Mereka yang buruk hatinya akan terus menginjak-injak yang lemah.
Dalam situasi tersebut, itu menumbuhkan stigma fatal bagi kalangan masyarakat dengan kesadaran rendah. Dewasa ini sering kita jumpai bahwa sejak kecil, anak lebih diutamakan untuk bekerja daripada menuntut ilmu dahulu, dan itu sering terjadi di kalangan masyarakat bawah. Tapi anehnya, kenapa mereka yang di kalangan menengah malah banyak yang ikut-ikutan mengamalkan stigma tersebut?
Bagi mereka, jika sejak kecil anaknya sudah lebih dulu dididik bekerja daripada diberi ilmu, kedepannya mereka bakal tidak kesulitan mencari pekerjaan. Intinya, mereka berpikir; "Pintar bekerja, pasti pintar mencari uang. Pintar cari uang, sudah pasti jadi sukses".
Apa-apaan dengan stigma itu?! Asal kalian tahu, jika sejak kecil anak tidak lebih dahulu diberi ilmu yang cukup, dan malah buru-buru dijejali dengan tuntutan bekerja, ke depannya bakal; "Sukses belum tentu, bodoh sudah pasti. Sekalipun bisa sukses, mereka bakal sangat mudah dimanfaatkan orang lain untuk diperas". Aku bisa melihat fakta itu dari masyarakat di sini.
Dengan membawa perasaan kesal, aku berbicara dengan suara yang agak meninggi. "Oh ya, Maudy. Omong-omong, kerjaanku cuma main bola, makanku juga masih nasi. Malahan sekarang lebih sering makan roti sandwich, bukan 'ngunyahin bola."
Seketika suasananya jadi hening. Aku bisa merasakan kalau Ibu-Ibu itu terdiam dan menoleh ke arah luar setelah mendengar suaraku tadi.
Maudy terlihat kaget. Seakan mengerti maksudku, Ihsan tersenyum dan menambahkan.
"Aku juga setiap hari mengurusi sawah. Tapi aku tidak makan pupuk atau minum pestisida, ’kok Dy. Jadi santai saja. Asal kamu serius cari ilmu, kamu bisa sukses nanti."
Begitulah assist dari Ihsan terlontar. Sementara suasana di dalam ruang tamu itu seperti di kuburan saja. Kulihat samar-samar dari sini, Bu Rahayu sempat memberikan senyum hangat ke arah kami. Kemudian dia mengalihkan topik pembicaraan demi mengembalikan suasana mati tadi.
Aah, aku jadi agak merasa bersalah sekarang. Tapi beliau sepertinya tidak keberatan dengan tindakan usil dari kami. Sekali lagi, aku minta maaf, Bu.
"Ya sudah, kami balik dulu, Dy. Kami sudah ditunggu anak-anak lain di basecame."
"Iya, Kak."
"Assalamu’alaikum."
"Wa’alaikumsalam."
❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇
Pada halaman depan basecamp, kami berdua bisa melihat ada sekitar 5 orang asing setelah datang. Dari yang kuketahui mereka sepertinya bukan dari anak-anak IPNU. Apa mereka dari Karang Taruna?
"Assalamu’alaikum!"
"Wa’alaikumsalam. Aah, Kak Didy!"
"He?!"
Yang menjawab barusan adalah seorang gadis dan langsung membuatku menegang melihatnya. Bahkan wajahku berubah pucat.
Gadis dengan rambut coklat panjang bergelombang ini adalah adik kelasku semasa SMP. Kudengar dia satu sekolah dengan Maudy. Kau tahu, aku benar-benar risih dengan gadis ini. Dia sejak dulu selalu histeris kalau bersamaku semenjak aku digosipkan berpacaran dengan Putri dulu. Untung saja Putri tidak datang. Tapi apa-apaan ini?! Kenapa justru anak ini yang datang kemari?!
Dia langsung berlari padaku. "Kak Didyyy~!"
"Chika! Tu-tunggu! Jangan peluk-peluk! Ah, kakiku!"
"Aku kangeeen sekali~!"
Gadis ini! Apa dia tidak melihat situasinya?! Maksudku, dari tadi Gita terus menatapku dingin!
"Masih mesra seperti dulu, ya Kak Didy," ujar Gita.
"Kenapa kau malah marah? Setidaknya bantu aku melepaskan anak ini!"
Meski kubilang begitu, Chika akhirnya melepas dekapannya. "Tadi aku diberitahu oleh Kak Tio, katanya aku disuruh ikut acara ini. Jadi aku bawa teman-temanku."
"Itu yang ingin kutanyakan, tapi entah kenapa kau seperti sudah menduga pertanyaanku."
"Kita ’kan sudah kemistri."
"Kemistri jidatmu! Astaga, kenapa Tio malah mengirim anak-anak SMP, ’sih?"
"Sudah-sudah." Chika menepuk-nepuk pundakku. "Aku bisa jamin kami ini ahli dalam soal beginian. Kami juga pernah mengadakan acara serupa di sekolah. Yah, meskipun skalanya tak sebesar FR, tapi jangan khawatir."
"Sayangnya aku terlanjur khawatir."
"Kalau Kakak ragu, tanya saja pada Kak Gita."
Aku menoleh pada Gita, tapi dia justru membuang muka.
"Eh ... Mbak Gita? Kenapa kau berpaling?"
"Tidak."
"Bilang ’tidak’ dengan wajah begitu berarti memang ada apanya. Aku tanya apa yang dibilang anak ini memang benar?"
Gita semakin merapatkan bibirnya seakan menahan sesuatu. Kemudian menoleh pada kami berdua, lalu mendesah sebelum menjawab ’Ya’.
Aku kembali menatap Chika. "Apa yang kau rencanakan? Kau sedang sibuk persiapan ujian kelas 3, 'kan? Kenapa repot-repot ikut acara kami? Oh Nenek~, mengapa gigimu besar-besar dan runcing sekali~?"
"Aku bukan serigala! Aku beneran serius mau membantu, Kak!"
Ekspresinya terlihat bersungguh-sungguh saat menjawabku. Kalau ini tidak aku hentikan, perdebatan kami tak akan ada akhirnya.
"Ya sudah. Setidaknya ada yang bisa mengisi bagian Humas," ujarku.
"He? Jadi kau berniat memasukkan mereka ke Humas?" tanya Ihsan.
"Maksudku khusus untuk Chika."
"Lalu KaK Didy sendiri bagian apa?" tanya Chika.
"Aku Seksi Peralatan dan Konsumsi."
"Heee~?" Wajahnya kecewa. "Kalau begitu aku ikut dengan Kakak saja."
"Pembagiannya sudah ditetapkan, Nduk! Jangan membantah!"
"Uh~, Kak Didy jahat!"
"Jangan merengek! Aah, lebih baik ayo segera mulai rapatnya!"
❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇❇
Sekitar 10 menit setelah keributan tadi, pihak dari IPNU sudah datang. Mereka total ada 5 orang. Sementara pihak kami hanya Putri yang tidak hadir karena latihannya bentrok dengan jadwal rapat. Meski begitu, panitia inti yang sudah berkumpul sekarang kurasa sudah cukup untuk memulai rapat.
Di atas hamparan tikar, kami duduk membentuk sebuah lingkaran besar. Di tengah-tengahnya terdapat beberapa camilan dan lembaran-lembaran agenda. Topik yang kita rapatkan kali ini mengenai kegiatan dan penjadwalannya.
Lembaran-lembaran agenda sudah di edarkan ke semua peserta rapat. Isinya mengenai nama-nama kegiatannya, dan pertama-tama yang kami bahas adalah masalah lombanya dulu. Di sini tercantum ide-ide lomba seperti; Tartil Qur’an, Sholawat Marawis, Kaligrafi, Kerajinan Tangan, Tajil Ramadhan, Foto Festival Ramadhan.
Omong-omong, aku agak terganggu dengan bagian dua terakhir itu, jadi aku langsung mengangkat tangan.
"Untuk soal Tajil ini, bukannya bakal bentrok dengan orang yang berjualan di stan bazar nanti? Mereka pasti banyak yang menjual tajil juga, ’kan? Juga, apa-apaan dengan Lomba Foto ini?"
"Sebenarnya aku juga berpikir begitu, tapi pihak Karang Taruna yang bersikeras memberikan ide itu," jawab Gita.
Langsung saja aku menoleh ke Chika, dan dia berpaling.
"Chika? Bisa jelaskan maksudnya apa ini?"
"E-eh, itu, umm ... Akhir-akhir ini banyak resep-resep makanan yang diupload di medsos. Juga, foto-foto tentang makanan atau sejenisnya. Jadi aku ...."
Suaranya semakin mengecil, tapi aku masih bisa menangkap maksudnya. "Tapi untuk yang tajil ini prosedurnya bagaimana? Masa’ dibuat seperti lomba memasak? Ingat peralatannya juga!"
"Ma-maaf, Kak." Wajahnya tertunduk.
Dengan begitu satu perlombaan konyol akhirnya dicoret. Sreeet!
"Sekarang tinggal Lomba Fotonya. Maksudnya apa ini? Mau nambah pamer-pamer di Instagram?"
"Kakak ’ih, jahat sekali! Kenapa malah Kakak yang mengatur-atur kegiatannya?"
"Kupikir Gita bakal sepemikiran denganku, ya 'kan?" Mataku melirik ke Gita.
"Kalau Ferdy yang bilang, anak-anak Karang Taruna tidak akan banyak membantah," kata Gita.
Benar sekali. Pihak mereka pasti tahu soal surat perjanjian itu. Dengan begitu, orang tertinggi dalam kegiatan ini adalah aku, Tio, dan Pak Budi.
Namun sepertinya Chika tak mempedulikan hal itu. "Tapi bukannya Kak Gita sendiri juga setuju dengan Lomba Foto-nya?"
"...."
Hening. Aku langsung menoleh ke Gita, dan dia malah berpaling.
"Um ..., Mbak Sagita? Jadi kau setuju, ya?"
"Jangan panggil aku Sagita!" komplainnya, tapi dia masih tak mau menatapku. "Kupikir lomba itu cukup berguna untuk dokumentasi kita ke depan. Setidaknya beban mendokumentasi saat hari-H jadi berkurang dengan itu."
"Boleh juga, 'sih," ujar Ihsan. "Kalau objeknya kegiatan FR nanti. Ditambah lagi hasil fotonya pasti bagus-bagus."
Mendengar mereka berdua aku jadi mulai setuju dengan rencana itu. "Baiklah. Tapi aku tidak jago menilai hal-hal berbau fotograpi."
"Tenang saja, Kak! Biar aku yang urus!" Chika tersenyum menepuk-nepuk pundakku. Um, bisa hentikan itu? Sakit tahu!
"Kau bakalan sibuk kalau nambah tugas lagi."
"Aah~, Kakak perhatian sekali~!"
"Kagak!" ujarku sambil memukul kepalanya dengan gulungan lembaran-lembaranku. "Aku khawatir dengan panitia dari kelas 3 SMP." Mataku berpaling ke arah anak-anak di depanku. "Benar kalian tidak apa-apa?"
"Tenang saja, Kak," jawab salah satu dari mereka. "Kami sudah memikirkan hal ini matang-matang. Apalagi kami juga melakukan semua ini demi Kak Sinta."
"...."
Oke, aku tidak mau bertanya lagi kalau begitu. Ini soal hati, dan mereka terlihat tulus ingin membantu. AKu bisa memahami semangat FR dua tahun lalu yang gagal itu dari mereka.
Mereka ingin membangun bersama, bersenang-senang bersama, saling kerepotan bersama, dan saling merasakan kepuasan bersama. Itulah hubungan tulus dari suatu kelompok demi mewujudkan sesuatu yang besar. Mereka akan terus mengenang meski hasilnya itu buruk atau tidak, mereka tidak peduli. Yang mereka ingin adalah kebahagiaan yang asli tanpa ada sesuatu yang terbebani
Tapi, meski begitu, entah mengapa masih ada yang memanfaatkan kenginginan polos mereka demi kepentingan pribadi?
Pandanganku kini beralih ke depan pada camilan-camilan yang menjadi titik tengah di lingkaran kami. Lalu menyadari sesuatu.
"Oh, ya. Aku juga ingin membahas soal ini. Sebentar lagi ada UTS, 'kan? Apa ujiannya serempak?"
#### Nyicil Chapter####