“I am lonely in places. I didn't even know existed inside me,"
(Nikita Gill)
♥
Clarissa duduk di teras rumah sembari mengotak-atik ponselnya. Beberapa kali gadis itu melirik jam di pojok kanan atas layar, lantas mendesah pelan.
Satu jam.
Bima sudah terlambat menjemputnya satu jam, dihitung dari waktu janjian mereka. Sementara, Vella sejak tadi sudah mengirimkan tiga pesan singkat berisi petanyaan yang sama. Tentu saja pertanyaan yang diajukan tidak jauh dari kalimat, “Bima udah datang?”
Deru mesin mobil membuyarkan perhatian Clarissa dari layar ponselnya. Gadis itu mendongakkan kepala, dan melihat tubuh tegap Bima berdiri di samping mobil Rush putihnya. Pemuda itu melemparkan cengiran kecil sebagai tanda permintaan maaf.
“Lama banget sih,” Clarissa menggerutu sembari berjalan ke arah pintu penumpang dengan bersungut-sungut.
“Jalanan macet banget,” ucap Bima, ketika ia sudah kembali berada di dalam mobil.
“Ya udah, kita jemput Vella dulu. Dari tadi, dia udah nanyain terus.”
Mobil Rush putih tersebut melaju membelah jalanan kota yang padat. Meski bukan malam minggu, jalanan kota memang selalu ramai. Apalagi di jam pulang kerja seperti ini.
Tiga puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Bima sudah berhenti di depan sebuah rumah mewah berlantai dua dengan gaya minimalis. Vella segera melambaikan tangan dari arah teras rumah begitu melihat wajah Bima yang melongok dari kaca mobil.
“Untung gue nggak ketiduran,” gerutu Vella, begitu ia sudah berada di dalam mobil bergabung bersama Clarissa dan Bima.
“Salahin Bima, Vel,” sahut Clarissa.
“Cowok emang selalu salah ya,” Bima berucap pelan, sembari mencebikkan bibirnya. Sementara, Clarissa dan Vella tertawa geli.
Bima kembali melajukan mobilnya. Suasana di dalam mobil tersebut jauh dari kata tenang. Percakapan-percakapan yang terjadi didominasi oleh Bima dan Clarissa yang berdebat pendapat. Ada saja hal yang mereka perdebatkan, salah satunya adalah tentang, “mengapa katak jalannya melompat?”
“Kalau merangkak, ntar mereka susah keluar dari masa lalu,” sahut Bima.
“Nggak ada hubungannya, Bim,” Clarissa membantah.
“Lo juga sih, nggak ada pertanyaan lain yang lebih keren? Misalnya, Bim lo mau nggak jadi pacar gue?” celetuk Bima, segaris senyum jenaka tercetak di bibirnya.
Clarissa mengerucutkan bibirnya. Ia mendaratkan pukulan cukup keras di lengan kiri Bima, hingga cowok itu meringis di tengah gelak tawanya.
“Modus banget sih lo, Bim,” celetuk Vella dari bangku belakang.
“Namanya juga usaha, Vel,” sahut Bima, meski ia tahu Clarissa tidak akan pernah menganggap serius ucapannya.
♥
Brama tidak pernah takut pada kematian. Selama ini ia selalu yakin, bahwa tidak ada yang benar-benar abadi di dunia termasuk dirinya. Ada saatnya, ia akan menghilang seperti butiran debu yang diterbangkan embus angin. Hilang, dan lenyap begitu saja.
Hanya saja, ia masih sulit menerima bahwa kehadirannya selama ini adalah sebuah kesalahan. Kehadirannya justru suatu bentuk dari kehancuran kecil yang akan membesar ibarat bom waktu di masa depan. Barangkali selamanya ia tidak akan mampu menerima, bahwa yang diinginkan setiap orang disekelilingnya adalah kematiannya. Bahkan, seorang Firza Juniandar yang selama ini ia lindungi juga menginginkan hal yang sama. Kematian seorang Brama Juniandar.
Brama menginjak pedal gas dengan kuat. Pajero hitam yang dikendarainya melesat kencang di jalanan. Berzig-zag menyalip kendaraan lain. Melakukan manuver-manuver tajam yang membuat pengendara lain mengeluarkan makian.
Brama tidak peduli. Pemuda itu justru menginjak pedal gas semakin dalam. Ia tertawa keras. Menertawakan dirinya, serta luka yang selama ditanggungnya sendiri.
“Firza Juniandar, memangnya lo siapa?” Brama menggertakkan gigi-giginya. “Lo itu cuma cowok cupu! Lo bahkan sama sekali nggak berani menghadapi masalah lo sendiri!”
Lagi. Brama kembali tertawa kencang. Tawa itu terdengar memilukan. Seolah menyiratkan semua rasa sakit yang selama ini menghancurkan hidupnya. Mata elang pemuda itu telah diselimuti lapisan transparan yang menujukkan betapa ia tidak baik-baik saja.
Brama menepikan mobilnya di sebuah taman kota. Taman tersebut memang tidak seramai ketika malam minggu atau ketika hari libur. Beberapa pengunjung tampak duduk lesehan di trotoar sembari menikmati secangkir kopi dan jagung bakar, atau sekadar berkumpul dengan teman-temannya.
Pemuda itu berjalan di tengah kerumunan pengunjung tersebut. Ia tidak tahu alasannya berada di tempat ini. Ia hanya ingin berjalan-jalan sejenak, hingga akhirnya langkah kakinya membawa dirinya ke sebuah taman kota.
Brama menyusuri taman kota, sambil sesekali bersiul. Pemuda itu berjalan angkuh, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Beberapa pengunjung perempuan yang berpapasan dengannya, seolah tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memerhatikan wajah tampan pemuda itu. Mereka bahkan rela menoleh dua kali ke arah Brama.
Brama tersenyum tipis. Matanya menyipit, menatap dingin area sekelilingnya. Tangannya begerak merapikan rambutnya. Bukankah sejak dulu, ia memang jauh lebih menarik dibandingkan Firza Juniandar?
“Clarissa awas!” teriakan seorang perempuan menghentikan langkah Brama seketika.
Beberapa pengunjung yang berada di tempat tersebut, segera mengalihkan perhatian ke arah sumber suara. Beberapa dari mereka, berlari dan berkumpul di dekat kolam yang berada di tengah taman kota.
Brama mengedikkan bahu, tampak tidak peduli. Namun baru saja ia hendak melanjutkan kembali langkahnya, seketika otaknya bereaksi menghentikan gerakan kakinya. Suara perempuan yang menyebutkan nama Clarissa berputar-putar dalam kepalanya.
“Clarissa,” Brama berbisik pada dirinya sendiri.
Pemuda itu mematung sejenak. Kemudian tanpa aba-aba, ia berlari menyeruak kerumunan pengunjung yang berdiri mengelilingi kolam. Tanpa memedulikan keadaan sekitar, Brama menceburkan diri ke dalam kolam tersebut. Ia bergerak cepat, meraih tubuh seorang gadis yang tengah berjuang untuk tetap berada di permukaan meski sesekali kepala gadis itu menghilang di dalam air.
Brama membawa tubuh Clarissa yang sudah mulai lemas ke tepi kolam. Ia menepuk pipi Clarissa beberapa kali, mencoba menyadarkan gadis yang sedang berada di ambang kesadarannya tersebut. Brama mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Mata gelapnya memancarkan rasa kekhawatiran yang tidak dapat disembunyikan.
“Lo harus baik-baik saja,” ucapnya pelan, sembari menyingkirkan anak-anak rambut yang jatuh menutupi wajah Clarissa.
“Clarissa!” Vella berteriak. Gadis itu berlari menghampiri Clarissa dengan wajah panik. Di belakangnya, Bima juga menunjukkan ekspresi yang sama.
“Bawa ke rumah sakit,” tanpa mengucapkan terima kasih pada Brama, Bima mengangkat tubuh Clarissa untuk dibawa ke arah mobilnya yang berada tidak jauh dari lokasi kejadian.
Sebelum membawa Clarissa menjauh dari kerumunan, mata abu-abu Bima tidak sengaja beradu dengan mata gelap milik Brama. Pemuda itu sempat melemparkan tatapan tajam ke arah Brama sejenak.
Sementara tubuh Clarissa dibawa menjauh, Brama masih berada di tempatnya semula. Para pengunjung yang semula berkerumun di sekitar kolam, satu demi satu akhirnya membubarkan diri untuk kembali ke aktivitas masing-masing.
Brama masih mematung di tempatnya. Mata elangnya menatap nanar punggung Bima yang membawa Clarissa menjauh dari pandangannya. Tepat sebelum tiga orang tersebut menghilang di balik Rush putih milik Bima, bibir pemuda itu bergerak pelan mengucapkan kalimat ‘jangan pergi’ dan ‘lo harus baik-baik saja’ tanpa suara. Ada luka yang tersirat di balik mata gelapnya. Ada kerinduan sangat dalam yang berusaha disampaikan pemilik mata jelaga itu.