"And In the end, all I learned was how to be strong alone,"
(d.j)
♥
Kejadian yang melibatkan Firza dan Clarissa beberapa jam lalu tentu saja langsung menjadi topik hangat di antara para mahasiswa. Seorang Firza Juniandar yang terkenal dingin pada hampir semua perempuan, tiba-tiba terlihat dekat dengan seorang mahasiswa baru.
“Jadi selebriti kampus gampang banget ya caranya. Tinggal dekat sama Firza, udah deh cewek itu bakal terkenal,” Bima menggerutu.
Clarissa terkekeh pelan. Matanya masih sibuk memerhatikan layar ponsel yang menampilkan fotonya bersama Firza. Foto itu adalah jepretan pertama Bima, ketika ia dan Firza belum siap dengan pose masing-masing. Namun, alih-alih terlihat jelek justru foto itu terlihat sangat menarik dengan ekspresi yang natural.
Dalam foto tersebut, Firza tengah melihat ke arah Clarissa dengan segaris senyum tipis di bibirnya. Mata gelap pemuda itu terlihat menatap dalam ke arah mata cokelat Clarissa. Sementara, gadis itu tampak tersenyum malu-malu. Mereka justru terlihat seperti pasangan yang sangat serasi.
“Menurut lo, gue cocok nggak sama kak Firza?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Clarissa, hingga membuat Bima melongo.
“Astaga, Clar! Kenapa lo jadi baperan gini sih? Ini cuma foto,” Bima menyentil pelan dahi Clarissa, yang ditanggapi Clarissa dengan gerutuan tidak jelas.
Tiba-tiba saja seorang gadis berkacamata dengan rambut dikuncir menggunakan pita berwarna merah berdiri di samping mereka. Gadis itu melemparkan pandangan ragu-ragu, sebelum akhirnya mengeluarkan kalimat dari bibir mungilnya.
“Gue boleh gabung di sini?” tanya gadis itu.
"Boleh. Bebas kok,” Clarissa melemparkan segaris senyum lebar, kemudian mengulurkan tangannya, “Gue Clarissa, dari kelas A-3.”
“Gue Vella, dari kelas B-2.”
Selama OSPEK, para mahasiswa baru memang dibagi menjadi beberapa kelas. Masing-masing kelas terdiri dari sepuluh peserta, dan ditandai dengan pemberian warna berbeda. Kebetulan kali ini Clarissa berada satu kelas dengan Bima, sehingga ia tidak perlu telalu bersusah payah untuk beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman barunya.
“Gue Bima, dari kelas A-3.”
Perkenalan mereka berlangsung singkat. Selebihnya, mereka seperti teman lama yang baru saja bertemu kembali. Vella dengan mudahnya berbaur dengan mereka dan seolah telah lama menjadi bagian dari Clarissa dan Bima.
Sayangnya, hal itu justru membuat Bima ingin menghilang saat itu juga. Pertemuan itu menjadi salah satu kesialan baginya hari ini. Ia terjebak dalam lingkaran dua orang yang secara terang-terangan mengikrarkan diri mulai hari ini akan menjadi pengagum rahasia seorang Firza Juniandar.
Bima hanya bisa melemparkan pandangan ngeri pada dua orang di depannya. Bagaimana bisa dua orang tersebut begitu heboh membahas seseorang yang bahkan tidak mengenal mereka? Tentu saja, kecuali Clarissa. Gadis itu hanya mendapatkan keberuntungan karena bisa berkenalan dengan Firza melalui sebuah hukuman.
Namun, ia hanya memilih diam. Sekali ia menyatakan ketidaksetujuannya, maka ia harus bersiap-siap jika Clarissa menjauhinya setelah ini. Rasanya, ia benar-benar terjebak di antara dua fangirl yang sedang memperebutkan idola mereka.
♥
Firza melangkah memasuki rumahnya yang selalu sepi. Rumah itu selalu tampak seolah tidak berpenghuni. Gelap, dingin, dan sangat terasa menyesakkan. Ia bahkan sama sekali tidak betah berlama-lama berada di rumah itu. Alasan itu yang membuatnya akhirnya memberanikan diri untuk menjadi bagian dari HMJ Ilmu Hukum. Kegiatan-kegiatan yang ia lakukan di luar rumah, sedikit banyak membuatnya lupa akan sesuatu yang selama ini membuatnya merasa begitu tersiksa.
Firza menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Matanya menatap kosong langit-langit kamarnya yang dicat dengan warna biru gelap dan dipenuhi stiker kecil berbentuk bintang. Segaris senyum tipis terukir di bibirnya, bersamaan dengan munculnya selaput transparan di mata gelapnya yang masih memandang langit-langit kamar. Lama pemuda itu terdiam, hingga akhirnya ia jatuh tertidur.
♥
Aroma tembakau terbakar memenuhi ruangan kamar Firza. Seorang pemuda tengah duduk di sofa kamar tersebut dengan tumit kaki kanan diletakkan di atas paha kaki kiri dan sebuah majalah di hadapannya. Sebatang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah, menjadi temannya untuk menghabiskan malam.
Pemuda itu beranjak dari tempatnya, berjalan menyusuri setiap sudut kamar besar tersebut. Mengamati satu per satu foto berbingkai yang dipasang di dinding. Satu sudut bibirnya tertarik ke atas, menghadirkan segaris senyum mengejek. Dibandingkan kamar, baginya ruangan ini lebih pantas disebut penjara.
Gerakan mata pemuda itu berhenti pada foto seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun yang tersenyum lebar. Tanpa sadar, tangan pemuda itu mengarah pada dada kirinya. Ada nyeri yang tidak bisa dirabanya di dalam sana. Ada gemuruh yang berdentum-dentum, mencabik-cabik hatinya. Mata jelaga itu berkaca-kaca.
“Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu setelah kejadian hari itu?” pemuda itu berhenti sejenak. Tidak ada air mata, namun nampak jelas sebentuk luka yang membayang di kedua bola mata pekatnya.
Ia memutar tubuh dan menghadap ke arah Firza yang masih tertidur. Pemuda itu tersenyum miring, mata jelaganya berkilat-kilat nyalang. Brama menghampiri Firza. Lantas menepuk pipi pemuda itu beberapa kali.
“Brama,” Firza terkesiap, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Apa kabar, pangeran baik hati? Lo nggak kangen sama gue?” pertanyaan retoris.
Ia sudah sangat tahu jawaban pertanyaan itu. Tidak ada yang merindukannya. Sama sekali tidak ada. Bahkan, semua orang yang ia kenal selama ini selalu menginginkan kematiannya. Ia sama sekali tidak pernah diharapkan, apalagi dirindukan.
“Kenapa lo di sini?” Firza berusaha tenang, meskipun ketakutannya sudah berada di ambang batas.
Brama mengembuskan asap rokok dari bibirnya, lantas tersenyum culas. Satu alisnya terangkat. Mata gelapnya menatap penuh keangkuhan.
“Untuk membalaskan rasa sakit hati gue. Dan...” Brama menggantungkan kalimatnya, ada api kemarahan yang bergejolak di mata gelapnya. “Untuk menemui seseorang!”
Pemuda itu melumat puntung rokoknya di atas asbak, lantas meninggalkan benda itu begitu saja. Brama melangkah meninggalkan rumah mewah tersebut, tanpa menghiraukan Firza yang terus berusaha menahan langkahnya.
Tidak ada yang bisa menahannya. Bahkan jika semesta menginginkan kematiannya, maka ia tidak akan mati sendirian. Ia akan lebih dulu melihat menemui kehancuran. Seseorang yang paling bertanggung jawab atas rasa sakit di hatinya.