"Seringkali aku bertanya, apa aku memang berhak mendapatkan bahagia?
Atau selamanya, aku akan hidup dalam kekalahan."
♥
Embusan angin malam membuat rambut panjang Clarissa yang dibiarkan tergerai sedikit berantakan. Beberapa anak rambut jatuh menutupi wajah cantiknya. Mata cokelat almond-nya memandang lurus pada hamparan langit malam yang cerah, dengan taburan bintang serta cahaya pucat dari sang rembulan.
Gadis itu berdiri seraya bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Dinginnya udara malam tidak membuatnya segera beranjak. Ia justru terpaku pada bulan pucat di atas sana. Memandang penuh arti, seolah ia sedang berbicara pada sesuatu berbentuk lingkaran tersebut.
Setelah permasalahan dengan Bima berhasil ia selesaikan tanpa halangan berarti, kini giliran pertanyaan dari Firza yang memenuhi pikirannya. Setelah kejadian dua hari yang lalu, ia sama sekali belum bertemu dengan pemuda itu. Ia bahkan belum terpikirkan jawaban apa yang akan ia berikan.
Di bagian otaknya yang lain, bayang-bayang Brama tiba-tiba menyusup tanpa permisi. Rangkaian kejadian yang ia lewati bersama pemuda itu seperti menjadi suatu penghalang untuk menjawab pertanyaan dari Firza. Satu sisi hatinya mengatakan jika lebih baik ia menerima pernyataan Firza. Bukankah sejak awal ia memang sudah jatuh cinta pada pemuda itu? Namun di sisi berbeda, kalimat 'jangan pergi' yang disampaikan Brama membuat perasaannya gelisah. Membuat keputusannya untuk memilih menjadi goyah.
Clarissa mendesah, seraya mengacak-acak rambutnya. Kenapa justru Brama yang muncul di saat seperti ini? Hubungannya dengan pemuda itu memang bisa dikatakan sedikit lebih baik dibanding pertemuan pertama mereka. Meski Brama pernah menolongnya ketika tenggelam di kolam taman kota, tetap saja pemuda itu masih menempati posisi pertama sebagai orang paling menyebalkan dalam hidupnya.
Jangan bandingkan antara Firza dengan Brama. Meski mereka memiliki wajah yang seratus persen mirip, sikap keduanya berada di sisi berlawanan. Firza jauh lebih baik hampir dalam segala hal dibanding Brama. Walaupun tidak bisa dipungkiri, gaya bad boy Brama sedikit lebih menarik dibanding style Firza yang cenderung rapi.
"Ngapain juga gue mikirin cowok ngeselin macam dia?!" gerutu Clarissa pada diri sendiri.
Gadis itu beranjak dari tempatnya, lantas menutup pintu kaca yang membatasi kamarnya dengan balkon. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, seraya mengerjapkan matanya beberapa kali dengan pandangan tertuju pada langit-langit kamar. Tepat sebelum ia jatuh tertidur, dering ponsel di atas nakas kembali membuatnya terjaga.
Tubuhnya yang semula bergerak malas, tiba-tiba saja berjingkat ketika melihat nama si penelepon. Mata cokelatnya sudah melebar sepenuhnya, begitu membaca nama Firza Juniandar di layar ponselnya.
"Halo, Za," sapa Clarissa seraya menggigit bibir bawahnya, menahan pekikan kegirangan yang bisa terlepas kapan saja.
"Udah mau tidur?" suara lembut Firza terdengar dari seberang sana.
Tanpa sadar, tangannya bergerak menyentuh dadanya yang sudah berdebar tidak karuan begitu mendengar suara pemuda itu. Firza bahkan tidak berada di depan matanya, tapi kenapa jantungnya sudah seperti hendak melompak keluar?
"Nggak kok, masih belum. Ada apa?" Clarissa masih mencoba menjaga nada suaranya setenang mungkin.
"Nggak ada apa-apa. Cuma lagi kangen dengar suara lo."
Gombalan receh!
Tapi kenapa bibirnya justru tersenyum lebar mendengarnya? Sesuatu dalam dadanya bahkan sudah mulai menciptakan ledakan-ledakan kecil yang hampir membesar.
"Clar, are you sleeping?" tanya Firza, ketika Clarissa tidak kunjung menanggapinya.
"Ah... nggak kok."
Firza tidak tahu, sejak tadi Clarissa sibuk mengatur napasnya yang terputus-putus akibat terlalu bahagia. Ia sendiri heran, bagaimana bisa ia masih bersikap seperti remaja tanggung yang baru jatuh cinta.
"Tentang pertanyaan gue kemarin, lo udah siap mau jawab?"
Pertanyaan Firza membuat senyuman lebar di bibir Clarissa menghilang seketika, dan tergantikan oleh ekspresi bingung. Seolah dalam kepala gadis itu sedang terjadi perang vote antara 'Ya' dan 'Tidak'. Baru saja Clarissa hendak menjawab pertanyaan Firza, pemuda itu justru membuatnya menelan kembali jawabannya.
"Jangan dijawab sekarang. Gue tunggu besok di kampus," hening sejenak. "Sebenarnya gue besok nggak ada kuliah. Jadi, gue tunggu di depan ruang HMJ ya."
Clarissa menghela napas lega. Setidaknya, hari ini ia masih memiliki waktu untuk memikirkan jawaban. Ah, ini gila! Bagaimana bisa menjawab pertanyaan semudah itu saja, sudah membuatnya seperti memutuskan hendak ikut perang? Dan yang lebih gila lagi, bagaimana bisa mendengar suara Firza sudah hampir membuatnya melompat-lompat kegirangan?
"Oke," jawab Clarissa pada akhirnya.
"Sampai besok, Clar. Good night."
"Night, Za."
♥
Clarissa meremas pelan buku-buku jarinya selama berjalan menuju ruang HMJ. Di belakangnya, Vella dan Bima tampak sedang berkasak-kusuk, sesekali meledeknya yang tampak tegang. Bima bahkan beberapa kali mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan. Firza bukanlah bos perusahaan besar yang akan mewawancarainya hari ini.
Sayangnya Clarissa tidak mengetahui -di balik sikap Bima yang seolah mendukungnya- pemuda itu sedang menyembunyikan gejolak hatinya sendiri. Tanpa sepengetahuan Vella dan Clarissa, pemuda itu beberapa kali memejamkan mata untuk menahan perih di hatinya yang terasa bagai diiris-iris sembilu.
"Ah, seandainya lo nggak sepengecut itu. Seandainya lo menyadari perasaan ini sejak awal. Seandainya, Clarissa tidak pernah menyukai Firza."
Rangkaian kata seandainya itu bergaung dalam dada dan kepala Bima. Membuatnya merutuki kebodohannya sendiri yang tidak pernah menyadari perasaannya pada Clarissa, bahkan selama hampir empat belas tahun bersama.
Clarissa berhenti beberapa meter sebelum ruang HMJ. Tepat di samping bingkai pintu ruangan tersebut, Firza tengah berdiri dengan punggung bersandar pada dinding. Pemuda itu masih sama seperti pertama kali Clarissa melihatnya di atas podium ketika upacara pembukaan. Tampan, berwibawa, dan berhasil membuat hampir seluruh pasang mata menatap ke arahnya.
"Udah sana. Ngapain masih di sini?" Vella mendorong punggung Clarissa untuk maju.
"Gila! Kenapa gue jadi gugup banget gini sih?" sungut Clarissa.
Sementara Bima hanya melemparkan senyuman simpul penuh arti padanya.
Sebelum Clarissa sempat meredakan gejolak hatinya, Vella tanpa ragu-ragu memanggil nama Firza dengan suara cemprengnya. Clarissa memelototkan mata, sedangkan Vella hanya tertawa semringah tanpa rasa bersalah. Jika tidak di depan Firza, ia pasti sudah menjitak temannya yang entah kenapa hari ini jadi super ngeselin.
Awas aja lo, Vel. Awas!
Clarissa memutar tubuh dan tersenyum ke arah Firza, yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangnya. Ia mencoba bersikap biasa, seraya berusaha menutupi kegugupannya.
"Kita duluan ya, Clar!" tanpa menunggu jawaban Clarissa, Vella sudah lebih dulu berlalu sambil menarik paksa lengan Bima, meninggalkannya berdua bersama Firza.
"Nggg..." Clarissa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tidak tahu darimana ia harus memulai.
"Lo lucu ya kalau lagi gugup," Firza terkekeh.
Deg!
Wajah Clarissa memanas seketika, setelah mendengar kalimat itu.
"Soal pertanyaan beberapa hari lalu, gue jawab sekarang ya," ucap Clarissa, yang ditanggapi dengan anggukan pelan oleh Firza.
Namun, tepat ketika Clarissa hendak membuka kembali mulutnya, Firza merasakan sesuatu memukul-mukul kepalanya dari dalam. Tubuhnya limbung, telinganya mulai berdenging. Di tengah sakit yang luar biasa ini, ia masih bisa melihat Clarissa yang membantunya dengan wajah panik.
Dari matanya yang berkabut, ia bisa melihat Clarissa terus memanggil-manggil namanya. Beberapa mahasiswa yang melihat kejadian itu, segera bergerombol mendekatinya dan mencoba membantu. Namun sayangnya, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengurangi rasa sakitnya.
Tolong, berpihaklah untuk sekali saja.
Pemuda itu memohon di tengah kesakitannya. Tangannya yang gemetar mencoba menyentuh raut wajah panik Clarissa. Tetapi sebelum ia bisa menggapai Clarissa, tangannya sudah melemas dan jatuh terkulai di sisi tubuhnya.
"Lo udah melewati batas!"
"Seharusnya, gue nggak pernah biarin lo untuk dekatin dia!"
"Seharusnya, dari dulu gue udah biarin lo mati!"
Suara itu bersahut-sahutan dalam kepala pemuda itu. Ia benci. Benci pada waktu yang tidak pernah memberinya kesempatan, meski hanya sekali. Ia benci pada waktu yang harus merenggutnya di saat-saat seperti ini. Ia ingin berteriak, memaki dirinya serta masa yang tidak pernah bersahabat dengannya.
"Firza Juniandar! Lo bisa dengar gue?!" teriak Clarissa dengan panik, seraya mengguncang lengan Firza.
Seharusnya teriakan itu bisa meredakan sakitnya. Seharusnya memang begitu. Tepat sesaat sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya, ia merasa seseorang menarik tubuhnya. Dengan sekuat tenaga -di tengah rasa sakit yang begitu menyiksa- ia mencoba tersenyum pada gadis itu. Pada gadis yang kini semakin jauh dari pandangan matanya.