Read More >>"> Lingkaran Ilusi (Rahasia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lingkaran Ilusi
MENU
About Us  

"All I can ever ask of you is to stay.

Just stay."

"Kemarin Bima ke sini nyari kamu." 

Mendengar nama Bima disebut oleh Diana, membuat kegiatan makan Clarissa berhenti sejenak. Gadis itu melemparkan tatapan seolah mengatakan "terus mama bilang apa?" pada Diana. 

Diana mengedikkan bahu, seolah memahami isyarat Clarissa. "Mama bilang aja kalau kamu masih belum pulang," Diana menghentikan ucapannya sejenak. "Memangnya kamu kemarin darimana? Tumben nggak bareng Bima?"

Clarissa tidak memberikan tanggapan apapun. Ia hanya melanjutkan makannya dengan pikiran tertuju pada Bima. Tentang sikap Bima kemarin, dan tentang tujuan pemuda itu mencarinya setelah mereka bertengkar di kampus. 

"Kemarin papa lihat, dia kayak nggak sehat. Kusut banget mukanya," tanya Gerald yang sejak tadi diam memerhatikan percakapan dua perempuan di depannya. "Kamu lagi ada masalah sama dia?"

Clarissa hanya menggaruk tengkuknya kikuk, tidak tahu harus menjelaskan darimana perihal pertengkarannya dengan Bima. Semalam ia baru saja memikirkan, bahwa penyebab pertengkaran itu bukan semata-mata salah Bima. Sikap egoisnya yang selalu berusaha mencari tahu tentang kehidupan pemuda itu, juga turut ikut serta memperburuk situasi. 

"Clarissa kemarin sempat berantem sama Bima waktu di kampus," ucap Clarissa pelan.

Gerald dan Diana terdiam dengan raut wajah penasaran. Mereka tengah menanti kelanjutan cerita yang akan disampaikan oleh Clarissa. Sementara Clarissa, ia tengah sibuk merangkai kalimat yang tepat dalam kepalanya untuk menjelaskan situasi rumit yang terjadi antara dirinya dan Bima. Dimulai dari sikap Bima yang terlihat aneh setiap kali ia menyebut nama Firza ataupun Brama -dalam ceritanya, Clarissa tidak menyebutkan nama dua pemuda tersebut- hingga berakhir dengan Bima yang menyuruhnya pergi.

"Ikuti kata hati kamu. Kalau kamu memang berniat membantu Bima, jangan memaksanya untuk bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bantu dia, tanpa membuat dia merasa terpojok," Gerald berhenti sejenak, lantas mengalihkan pandangan pada Diana. Keduanya tampak berbicara melalui isyarat mata yang dipahami oleh Clarissa. 

"Kamu harus ingat. Empat belas tahun lalu -selain mama dan papa- Bima juga ada untuk membantu kamu melewati masa-masa sulit," Gerald mengakhiri ucapannya yang dibalas anggukan pelan oleh Clarissa. 

Clarissa memang sudah menguatkan hati sejak awal. Seteguh apapun benteng yang didirikan oleh Bima, ia akan berusaha sedikit demi sedikit untuk meruntuhkannya. Ia tidak ingin melihat pemuda itu terus menyimpan masalahnya sendiri, lantas hancur tanpa seorangpun yang bisa membantunya bangkit. Hari ini, ia akan memperbaiki hubungannya dengan Bima. Tidak peduli, jika nantinya pemuda itu akan menolak atau justru menyuruhnya pergi.

Clarissa sengaja berdiri di ambang pintu, tepat ketika Bima hendak memasuki kelas. Gadis itu menatap intens wajah pemuda di hadapannya. Diam-diam, segaris senyum tipis tercetak di bibir Clarissa saat mengiringi kelegaan hatinya saat melihat penampilan Bima yang sudah lebih baik dibanding kemarin.

Bima hanya terdiam, wajahnya masih tetap datar seolah dia bukan berhadapan dengan Clarissa yang selama ini sudah membuat hari-harinya lebih berwarna. Mata abu-abunya membalas tatapan mata cokelat dari gadis di hadapannya. Clarissa tidak tahu, bahwa saat ini Bima sedang berperang dengan batinnya sendiri. Perasaan kecewa karena tidak bisa menemui Clarissa kemarin dan perasaan bahagia karena hari ini ia bisa melihat gadis itu lagi, seolah saling tumpang tindih dalam hatinya. Berseteru, saling menyingkirkan, dan menentukan perasaan mana yang akan menang kali ini. 

"Minggir!" hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari bibir Bima, setelah melalui perang batin selama beberapa detik. 

Clarisa terperangah. Selama empat belas tahun menghabiskan waktu bersama Bima, ini adalah pertama kalinya pemuda itu berkata sedingin itu padanya. Refleks, Clarissa membawa tubuhnya mundur selangkah dan memberikan akses pada Bima untuk masuk. Gadis itu hanya bisa memandang nanar pada punggung pemuda yang melangkah semakin jauh darinya. 

Clarissa menggertakkan gigi-giginya. Rasa kesal pada pemuda itu seketika saja menyelimuti hatinya. Clarissa melangkah pelan menghampiri Bima yang tengah duduk di kursinya dengan kepala di sembunyikan di atas tumpukan kedua lengan. 

"Eh tukang tidur!" Clarissa menoyor kepala Bima, sehingga membuat pemuda itu mendesah pelan. 

Tanpa memberikan tanggapan, Bima hanya memandang gadis yang menunjukkan ekspresi sebal di depannya dengan raut wajah datar. Jika tidak dalam situasi seperti ini, Clarissa pasti akan mengakui bahwa wajah Bima sedikit lebih tampan dengan ekspresi datar seperti saat ini. 

"Mau sampai kapan lo nyuekin gue? Nggak capek apa perang dingin?" tanya Clarissa tidak kalah dingin. 

Bima berdecak seraya mengalihkan pandangannya dari Clarissa. "Mending lo pergi deh. Gue lagi males!"

Clarissa menghela napas panjang, mencoba memupuk kembali kesabarannya yang sudah hampir habis menghadapi tingkah laku Bima. 

"Lo tahu nggak, Bim? Kemarin kucing tetangga gue mati. Kasihan banget matinya," Clarissa menghentikan ucapannya, seraya melirik Bima yang masih tidak menunjukkan ekspresi apapun. "Katanya sih dia mati bunuh diri, karena nggak kuat lihat istrinya selingkuh sama anjing dari rumah sebelah."

Diam-diam Bima mengulum senyum mendengar cerita garing sekaligus ngaco yang disampaikan Clarissa. Pertama, sejak kapan kucing punya gelar suami-istri. Kedua, sejak kapan kucing sama anjing bisa akur, apalagi sampai menjadi selingkuhan. 

"Lo tahu gimana matinya si kucing?" Clarissa berdecak beberapa kali, seraya menggelengkan kepala. Memberikan efek dramatis dalam cerita anehnya. "Dia minum racun tikus. Tragis banget kan? Kayaknya itu kucing emang bener-bener desperate."

Tepat setelah Clarissa menyelesaikan cerita ajaibnya, Bima meledakkan tawanya. Melihat Bima yang tertawa lebar, Clarissa menunjukkan cengiran kecil di wajahnya. Rasanya benar-benar lega bisa melihat pemuda itu kembali tertawa, sisa-sisa kekusutan yang masih nampak di wajahnya beberapa saat lalu seolah hilang seketika.

"Kapan sih lo wawancara itu kucing? Dia emang beneran mati gara-gara minum racun tikus apa kebanyakan makan ikan asin?" ucap Bima, setelah berhasil menyelesaikan tawanya. Sebenarnya bukan cerita itu yang membuat Bima tertawa, melainkan ekspresi wajah Clarissa yang menunjukkan seolah cerita itu benar-benar terjadi.

"Dia kemarin pamitan sama gue sebelum mati," jawab Clarissa asal. 

"Kalau gue jadi lo, gue bakal jadi pemandu sorak biar itu kucing lebih semangat buat habisin racun tikusnya," Bima menyahut, tidak kalah asal. 

Clarissa tergelak. Ada sesuatu yang menghangat di sudut hatinya mendengar nada suara Bima yang sudah kembali lagi seperti biasanya. Tidak ada nada dingin, dan ketus seperti yang ia dengar beberapa menit lalu. Bima yang berada di depannya, seolah bukan Bima yang menyuruhnya pergi kemarin.

"Jadi, kita baikan nih?" tanya Clarissa, mata cokelatnya memandang penuh pengharapan pada pemuda di depannya. 

Bima terdiam sejenak, memandang lurus pada manik mata gadis di hadapannya. Ia tidak pernah bisa terlalu lama marah pada Clarissa, meski semalam ia telah dibuat kecewa karena gadis itu memilih pergi, ketika ia berniat menceritakan tentang kegelisahan hatinya. Beberapa detik kemudian ia mengangguk pelan, dan langsung ditanggapi Clarissa dengan pekikan kegirangan. 

Bima tersenyum simpul. Nyatanya, ia tetap tidak bisa menjauh dari gadis itu. Berulang kali ia jatuh dalam kecewa kana gadis itu -meski Clarissa tidak pernah menyadari- nyatanya, gadis itu tetaplah menjadi satu-satunya orang yang ia cari. Meski kemarin ia sudah menyuruh gadis itu untuk pergi, nyatanya ia tetap bisa menjauh dari Clarisa. 

"Nanti sore, lo mau temenin gue climbing nggak?" tanya Bima

"Kemanapun paduka pergi, hamba akan dengan senang hati mengikuti," Clarissa mendukkan tubuhnya, bersikap seolah mereka adalah pangeran dan dayang istana. 

Bima mengangguk-angguk jumawa, seraya menepuk-nepuk pelan kepala Clarissa. "Bagus. Jangan membangkang pada pangeran, kalau kamu nggak mau jadi gelandangan di luar."

Clarissa menegapkan kembali posisinya, lantas menjitak kepala Bima yang tertawa penuh kemenangan. Beruntung kondisi kelas masih sepi, sehingga tidak ada yang terganggu dengan gelak tawa mereka. Tanpa mereka sadari, seorang gadis tengah memerhatikan kejadian itu sejak pertama kali Clarissa duduk di depan Bima.

Gadis itu menghela napas panjang melihat keakraban dua orang yang berjarak beberapa meter di depannya. Ada perasaan tidak rela, sekaligus iri yang memenuhi hatinya. 

Mungkin Clarissa tidak menyadari bahwa Bima selalu memandang gadis itu dengan pijar mata berbeda, dengan sorot mata yang menunjukkan bahwa pemuda itu menganggap Clarissa lebih dari sekedar sahabat.

Dan ia pun tidak mengerti, jika hal itu nyatanya mampu membuat jantungnya seperti diremas dengan kuat.

Clarissa duduk bersila di atas karpet seraya memerhatikan Bima yang asyik memanjat tebing tinggi. Terkadang ia heran, sejak kapan sahabatnya itu memiliki hobi merayap seperti seekor cicak. Secara, sejak SMP hingga lulus SMA Bima jauh lebih tertarik pada fotografi dibandingkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan alam. 

Clarissa memandang tubuh Bima yang memanjat semakin tinggi. Hari ini ia menyadari satu hal, Bima bukan lagi sahabatnya yang dulu pernah merengek karena jatuh dari sepeda. Pemuda itu bukan lagi anak laki-laki dengan tubuh gemetar ketika berada di atas pohon, yang bahkan tingginya tidak sampai satu setengah meter. Pemuda itu sudah menjadi jauh lebih dewasa, meski terkadang sikap kekanak-kanakannya masih sesekali terbawa. 

"Clarissa Violetta, ayo susulin gue ke sini!" teriak Bima seraya melambaikan kedua tangannya begitu ia telah sampai di puncak bukit.

"Ntar gue susulin, kalau gue udah punya helikopter pribadi!" teriak Clarissa tidak kalah kencang, yang ditanggapi Bima dengan tawa lebar. 

Cahaya matahari senja menyirami tubuh Bima tanpa terhalang oleh apapun. Pemuda itu menghela napas pelan, seraya memerhatikan rona mega di ufuk barat. Cahaya itu terasa begitu dekat, namun sejatinya begitu jauh untuk bisa ia rengkuh. Cahaya itu mempesona, namun di waktu bersamaan juga begitu menyilaukan. Cahaya itu selalu berjanji untuk kembali, tetapi sebanyak itu pula dia akan meredup dan meninggalkan apa saja yang telah dilalui.

Mata abu-abu Bima beralih pada Clarissa yang berada sekian meter darinya. Sama seperti matahari senja, gadis itu sangat dekat namun begitu jauh untuk bisa ia gapai. Gadis itu selalu ada untuknya, tetapi -mungkin saja nanti- gadis itu akan pergi dan meninggalkannya seorang diri. 

Bukankah tidak ada yang abadi? Entah nanti Clarissa akan pergi karena waktu, atau karena gadis itu telah menemukan seseorang sebagai tambatan hati.

Sepuluh menit berlalu -setelah puas menikmati pemandangan sore, dan memerhatikan Clarissa secara diam-diam- Bima akhirnya memutuskan untuk turun dan menemui gadis itu. Segala kegelisahan dan rasa ketakutan akan kehilangan, sekali lagi ia tinggalkan di atas tebing. 

"Lama banget di atas, abis ketemu cewek-cewek cantik ya?" Clarissa melemparkan pandangan menyelidik yang justru membuat Bima terkekeh pelan. 

"Iya, para penunggu tebing ngajak gue kenalan dulu," jawab Bima asal seraya mengacak-acak rambut Clarissa. 

"Huss! Jangan ngomong aneh-aneh! Kalau beneran gimana?" Clarissa memelototkan matanya. 

"Mana berani mereka deketin gue, kalau yang jadi pengawal gue aja galaknya kebangetan," Bima tertawa puas, hingga membuat Clarissa tidak tahan untuk tidak menoyor kepala pemuda itu. 

Matahari semakin turun ke batas cakrawala. Rona jingga yang semula menerangi perbukitan tersebut, perlahan-lahan meredup dan meninggalkan siluet kehitam-hitaman. Langit ungu mulai menanjak dari kaki langit timur, diikuti gemerlap taburan bintang yang siap menanti sang dewi malam menamppak sinarnya.

Bima dan Clarissa masih berada di tempatnya. Mereka saling diam seraya memerhatikan pada peserta climbing yang sudah bersiap-siap untuk pulang. Meski hawa dingin semakin terasa menusuk kulit, namun mereka masih enggan beranjak. Tempat ini terasa begitu menenangkan. Suara serangga malam, dan hamparan Bima Sakti di atas mereka membuat suasana semakin bertambah syahdu. 

"Salah nggak, kalau suatu saat gue bersikap egois dan meminta lo supaya nggak ninggalin gue?" suara pelan Bima memecahkan keheningan yang sempat tercipta di antara mereka. 

Clarissa menggeleng cepat, lantas tersenyum simpul. "Nggak ada yang bersedia untuk ditinggalin. Walaupun kita adalah orang jahat, kriminal, psikopat, pembunuh, atau orang paling buruk sekalipun."

Bima menoleh pada Clarissa sejenak, lantas mengambil jaket dari dalam tas. Ia menyampirkan jaketnya di bahu Clarissa untuk menahan udara malam mengenai tubuh gadis itu yang hanya mengenakan kemeja lengan pendek. 

"Dulu, gue punya keluarga yang sangat sempurna. Mama, papa, dan saudara laki-laki gue. Kami nggak pernah kehabisan bahan untuk bercerita. Papa dengan sikapnya yang tegas tetapi lembut, mama yang penyayang dan selalu berhasil menghidupkan suasana, dan saudara gue yang jahil tapi selalu berhasil buat gue ketawa. Semuanya begitu sempurna. Nggak ada pertengkaran di antara kami, walaupun sesekali kami juga sering berselisih pendapat. Tapi sayangnya itu nggak berlangsung lama," Bima menghentikan ceritanya, lantas menarik napas panjang dan mengembuskannya denga berat. 

Clarissa mengusap punggung tangan Bima, bermaksud menenangkan pemuda itu. Melalui sorot mata ia seolah mengatakan, "jangan dipaksa kalau itu terlalu menyakitkan."

Bima tersenyum simpul, mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja. "Saat gue berumur lima tahun, tiba-tiba saja papa berubah menjadi seseorang yang nggak gue kenal. Saat itu gue masih terlalu kecil. Gue sama sekali nggak ngerti ketika tanpa sengaja dengar papa bilang ke mama bahwa mereka akan bercerai. Gue nggak tahu apa-apa, sampai akhirnya mama memaksa gue untuk pindah ke rumah nenek."

Bima mengalihkan pandangan ke arah Clarissa. Ada lapisan transparan yang menutupi mata abu-abu pemuda itu. 

"Berulang kali gue tanya mama tentang keberadaan papa, dan alasan kenapa kita nggak tinggal lagi dalam satu rumah. Tapi berulang kali pula, yang gue dapatkan hanyalah bentakan dan kemarahan mama. Mama berubah seratus delapan puluh derajat sejak hari itu. Pada akhirnya, gue nggak kuat lagi. Gue memutuskan untuk pergi sejenak dari rumah dan bermaksud mencari keberadaan papa. Tapi ternyata takdir nggak mempertemukan gue sama papa, dia justru mempertemukan gue sama lo."

Bima mengulum senyumnya. Bayangan tentang pertemuannya dengan Clarissa itu menari-nari dalam kepalanya. Hari itu, ia seolah menemukan sebuah kenyamanan setiap kali memandang manik mata gadis itu. Hari itu, seolah ia kembali menemukan rumah setelah berkelana tanpa tujuan selama berbulan-bulan. 

"Gadis kecil dengan kursi roda itu justru ngasih gue permen ketika gue berada di ambang putus asa. Setelah perceraian itu -ketika mama dan papa membuang gue layaknya sampah- gadis itu justru hadir dan menawarkan gue sebuah harapan. Sejak hari itu gue bertekad, bahwa apapun yang terjadi gue akan selalu ada untuk gadis itu.

Setelah empat belas tahun terlewati, tanpa sadar gue terlalu bergantung pada gadis itu. Gue terlalu takut, jika pada akhirnya gadis itu juga akan pergi ninggalin gue seperti mama dan papa. Gue takut, jika pada akhirnya gue akan kembali sendirian."

Mendadak suara berisik dari serangga malam, dan gesekan dahan pepohonan pinus menghilang. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, terlempar pada bayang-bayang masa lalu yang pernah membuat mereka terpuruk. Clarissa dengan masa-masa sulitnya, dan Bima dengan ketakutan dan pengalaman pahitnya di masa lalu. 

Beberapa tahun lalu, mereka adalah dua anak kecil yang sama-sama terbuang. Terbuang dari lingkungan sosial dan pertemanan. Hanya bedanya, Clarissa masih memiliki mama dan papanya yang terus membantunya untuk bangkit. Sedangkan Bima, meski ia masih memiliki mama, namun anak itu seolah tidak dianggap keberadaannya. Bima hanya memiliki Clarissa sebagai tempat pulang.

"Walaupun kadang lo ngeselin, bego, sering bikin gue geregetan, tapi apapun yang terjadi gue nggak akan biarin lo sendirian. Nggak akan pernah! Gue akan tetap jadi sahabat lo," ucap Clarissa yang membuat perasaan Bima sedikit lebih tenang. 

"Gue nggak mau nasib lo berakhir kayak kucing yang tadi pagi gue ceritain," cetus Clarissa lagi, dan ditanggapi Bima dengan kekehan pelan.

Ya, untuk kali ini ia hanya harus memercayai. Clarissa tidak akan pergi seperti yang pernah dilakukan oleh keluarganya dulu.

Dan hari ini pula ia telah memutuskan, bahwa perasaan yang tumbuh untuk gadis itu akan tetap ia simpan dalam hati. Cukuplah ia mengetahui, jika gadis itu akan tetap bersamanya.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Bifurkasi Rasa
64      54     0     
Romance
Bifurkasi Rasa Tentang rasa yang terbagi dua Tentang luka yang pilu Tentang senyum penyembuh Dan Tentang rasa sesal yang tak akan pernah bisa mengembalikan waktu seperti sedia kala Aku tahu, menyesal tak akan pernah mengubah waktu. Namun biarlah rasa sesal ini tetap ada, agar aku bisa merasakan kehadiranmu yang telah pergi. --Nara "Kalau suatu saat ada yang bisa mencintai kamu sedal...
AraBella [COMPLETED]
30750      2919     12     
Mystery
Mengapa hidupku seperti ini, dibenci oleh orang terdekatku sendiri? Ara, seorang gadis berusia 14 tahun yang mengalami kelas akselerasi sebanyak dua kali oleh kedua orangtuanya dan adik kembarnya sendiri, Bella. Entah apa sebabnya, dia tidak tahu. Rasa penasaran selalu mnghampirinya. Suatu hari, saat dia sedang dihukum membersihkan gudang, dia menemukan sebuah hal mengejutkan. Dia dan sahabat...
Premium
Secret Love Story (Complete)
11069      1542     2     
Romance
Setiap gadis berharap kisah cinta yang romantis Dimana seorang pangeran tampan datang dalam hidupnya Dan membuatnya jatuh cinta seketika Berharap bahwa dirinya akan menjadi seperti cinderella Yang akan hidup bahagia bersama dengan pangerannya Itu kisah cinta yang terlalu sempurna Pernah aku menginginkannya Namun sesuatu yang seperti itu jauh dari jangkauanku Bukan karena t...
Pacarku Arwah Gentayangan
3461      1187     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Alya Kirana
1536      725     1     
Romance
"Soal masalah kita? Oke, aku bahas." Aldi terlihat mengambil napas sebentar, sebelum akhirnya melanjutkan berbicara, "Sebelumnya, aku udah kasih tau kan, kalau aku dibuat kecewa, semua perasaan aku akan hilang? Aku disini jaga perasaan kamu, gak deket sama cewek, gak ada hubungan sama cewek, tapi, kamu? Walaupun cuma diem aja, tapi teleponan, kan? Dan, aku tau? Enggak, kan? Kamu ba...
Renata Keyla
5440      1200     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
The Best I Could Think of
475      335     3     
Short Story
why does everything have to be perfect?
Promise
583      323     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
The Spark Between Us
4784      2220     2     
Romance
Tika terlanjur patah hati untuk kembali merasakan percikan jatuh cinta Tapi ultimatum Ibunda untuk segera menikah membuatnya tidak bisa berlamalama menata hatinya yang sedang patah Akankah Tika kembali merasakan percikan cinta pada lelaki yang disodorkan oleh Sang Ibunda atau pada seorang duda yang sepaket dengan dua boneka orientalnya
HIRI
99      74     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?