"Percayalah, bahwa kamu tidak akan sendiri.
Di balik luka-luka itu,
ada seseorang yang peduli
meski kamu sama sekali tidak pernah melihatnya."
♥
Kejadian yang dialami Bima semalam, benar-benar membuatnya kacau. Tidak hanya hati, namun juga fisik. Semalaman pemuda itu berkeliling tanpa tujuan. Bagaikan orang linglung, ia bahkan tidak tahu daerah mana saja yang sudah ia telusuri. Ia hanya berhenti di sebuah pom bensin untuk beristirahat, lantas kembali melajukan mobilnya kemanapun sesuai keinginan hati.
Dan pagi ini, pemuda itu sudah berada di taman kampus dengan keadaan yang sangat berantakan. Ia menelungkupkan wajah di atas tumpukan lengan, tidak peduli pada beberapa mahasiswa lain yang menatapnya dengan pandangan bingung dan penasaran. Ia tidak peduli.
Ia merasa amat sangat lelah hari ini. Namun tetap saja, ia tidak berani untuk pulang ke rumah. Tidak ke rumah mewah tersebut, ataupun ke rumah neneknya. Kedua tempat itu menyimpan sesuatu yang berusaha ia hindari sejak kemarin. Kedua tempat itu sama-sama menyimpan kenangan tentang mamanya, dan tentang kepergian orang-orang yang dicintainya. Dan Clarissa, gadis itu masih menjadi seseorang yang akan berusaha ia hindari hari ini.
Kekacauan Bima hari ini bukan tanpa alasan. Melihat Clarissa tertawa bahagia bersama Firza semalam, seolah melemparkannya pada sebuah jurang yang paling dalam. Ia kalut, ia ketakutan. Ia takut, jika pada akhirnya gadis itu juga akan meninggalkannya seperti semua orang selama ini. Ia takut, jika pada akhirnya Clarissa akan lebih memilih pergi bersama Firza dan melupakan kehadirannya. Ia takut jika pada akhirnya ia akan kembali sendirian, dan dihempas oleh badai kesepian betubi-tubi.
Getaran di ponsel Bima mengembalikan kesadaran pemuda itu. Tangannya bergerak mengambil benda pipih tersebut dari dalam saku kemeja, lantas mendesah pelan saat melihat nama si pemanggil di layar ponselnya. Meski perasaannya masih belum baik-baik saja, ia akhirnya menerima panggilan kesekian Clarissa setelah semalaman mengabaikannya.
"Mau sampai kapan lo di situ? Sampai kelinci bertelur?" suara ketus Clarissa terdengar dari seberang sana. Namun, Bima sama sekali tidak memberikan tanggapan. Ia hanya diam membisu, menanti apa yang akan dikatakan gadis itu lagi.
"Mau sampai kapan bersikap seolah lo bisa mengatasi semuanya?" Setelah mengatakan hal itu, Clarissa memutus sambungan teleponnya.
Ia berjalan mendekati Bima yang masih membeku di tempatnya. Tepat di belakang Bima, ia bisa mendengar helaan panjang pemuda itu. Clarissa memandang punggung sahabatnya nanar, lantas mendengus kasar.
Bima selalu seperti itu. Di depan Clarissa dan semua orang, pemuda itu selalu bersikap seolah ia baik-baik saja. Selama ini, Clarissa selalu menahan diri untuk bertanya apapun tentang masalah yang dihadapi pemuda itu. Karena ia selalu beranggapan, Bima akan bercerita padanya di waktu yang tepat. Bima akan membuang semua topeng yang dikenakannya.
Tapi ternyata anggapan Clarissa salah, Bima masih setia pada pendiriannya. Pada sikap tertutupnya yang tidak jarang justru membuatnya hancur sendirian. Bahkan batu karang yang begitu tegar pun, lama-lama terkikis habis oleh terjangan ombak lautan.
Clarissa berjalan mendekati Bima, lantas duduk di depan pemuda itu. Matanya tidak terlepas dari wajah kuyu Bima. Ia tahu, semalaman pemuda itu sama sekali tidak tidur.
Clarissa menghela napas panjang, miris melihat penampilan sahabatnya. "Gue nggak akan tanya apapun. Gue akan temani lo di sini, sampai lo mau cerita dengan sendirinya."
Bima masih menundukkan wajah. Ia tidak mampu melihat wajah gadis di hadapannya. Melihat pijar dari mata cokelat itu akan membuat nyeri hatinya semakin bertambah. Jika saja situasinya tidak seperti sekarang. Jika saja, gadis itu tidak menjadi bagian dari ketakutannya. Jika saja, gadis itu tidak menjadi bagian dari luka hatinya. Ia pasti tidak akan sehancur ini.
Bima memutuskan untuk bangkit tanpa memberikan tanggapan dari pernyataan Clarissa. Ia tidak ingin berlama-lama dengan gadis itu. Ia tidak ingin luka di hatinya semakin bertambah parah ketika melihat gadis itu berada di dekatnya saat ini. Setidaknya sampai beberapa hari ke depan, hingga luka di hatinya mulai sedikit mengering.
Belum sempat Bima melangkahkan kaki, Clarissa sudah mencekal pegelangan tangannya. Tidak ada respon yang diberikan pemuda itu. Bima hanya diam, tanpa menoleh ke arah Clarissa.
"Lo kenapa? Segitu nggak pentingnya kehadiran gue di sini?" desis Clarissa. Ia mulai kesal dengan sikap Bima yang mengacuhkannya sejak semalam.
Bima menguraikan satu per satu cekalan jemari Clarissa di lengan kirinya, lantas melangkah meninggalkan gadis itu. Baru tiga langkah yang ia ambil, teriakan Clarissa kembali terdengar dari belakang punggungnya.
"Selama ini lo anggap gue apa, Bim?!" Teriakan itu mampu menghentikan langkah Bima seketika.
"Empat belas tahun kita bareng, tapi lo masih menjadi seseorang yang sama sekali nggak gue kenal. Lo bilang kita sahabat, tapi lo sama sekali nggak pernah anggap gue seperti itu. Lo nggak pernah kasih gue kepercayaan untuk menyentuh hidup lo sedikit pun. Lo sama sekali nggak pernah kasih gue kesempatan untuk menjadi sahabat seperti seharusnya," Clarissa menghentikan ucapannya sejenak. Matanya tiba-tiba saja memanas, sekuat tenaga ia menahan air mata yang sudah hendak tumpah.
Dengan suara parau, Clarissa melanjutkan kembali kalimatnya. "Gue pingin bantu lo di saat kayak gini. Tapi apa yang bisa gue lakuin, kalau setiap ada masalah lo selalu menyimpannya sendirian. Kadang gue capek, Bim. Gue capek lihat lo selalu bersikap seolah lo baik-baik saja. Gue capek lihat pura-pura di depan semua orang."
Bima memejamkan matanya sejenak. Suara Clarissa seperti berlarian dalam benaknya. Menciptakan gema-gema yang membuat hatinya kembali teriris. Apa ini memang salahnya? Apa memang dia yang terlalu egois? Apa ketakutannya selama ini justru melukai Clarissa?
"Pergi!" Bima berucap dingin. Satu kata yang berhasil membuat Clarissa ternganga di tempatnya.
"Lo bisa pergi. Nggak perlu memaksa untuk selalu berada di samping gue," Bima menjelaskan kalimat pertama yang ia ucapkan beberapa detik lalu.
Tidak. Jangan pergi!
Clarissa hanya bisa terdiam. Otaknya berputar cepat mencerna kata demi kata yang disampaikan Bima.
Apa maksudnya pergi?
Tubuh Clarissa mendadak bergetar, saat melihat Bima yang sama sekali tidak membalikkan badan untuk melihat ke arahnya. Di tatapnya sekali lagi punggung pemuda itu dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa ia definisikan. Rasa marah, kecewa, sedih, dan terluka berbaur menjadi satu dalam detak jantungnya.
"Kalau itu yang lo mau, gue akan pergi!"
Jangan, gue mohon. Jangan pergi!
Clarissa beranjak dari tempatnya dengan kedua tangan terkepal menahan emosi. Entah apa yang ia tangisi, tiba-tiba saja sebutir air mata meluncur dari sudut matanya dan diikuti butir-butir yang lain. Meski kalimat itu telah melukainya, namun ada satu janji yang ia ucapkan dalam hati.
Seiring langkah kaki yang ia ayunkan, ia berjanji untuk tetap berada di sisi Bima. Sejauh apapun pemuda itu mendorongnya menjauh, sekeras apapun pemuda itu mengabaikan kehadirannya, ia akan tetap berusaha ada untuk Bima. Selain karena tidak ingin melihat pemuda itu rapuh, ada satu alasan lagi yang mendasari kuatnya tekad Clarissa.
Empat belas tahun lalu, ketika ia mengalami kehancuran yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi padanya. Empat belas tahun lalu, ketika semua orang pergi meninggalkannya karena sebuah tragedi yang merenggut kebahagiaan masa kecilnya. Empat belas tahun lalu, ketika ia hampir menyerah menghadapi musibah yang membuatnya terjatuh hingga di titik terendah. Bima ada untuknya. Bima ada untuk membantunya bangkit, membantunya melawan semua rasa sakit. Bima tetap berada di sisinya, meski berulang kali ia berusaha menyingkirkan keberadaan anak itu.
Dan kini, ia ingin melakukan hal yang sama untuk Bima. Ia ingin berada di sisi pemuda itu, tidak peduli pada situasi apapun. Ia ingin berada di sisi Bima, bahkan ketika pemuda itu berada di titik paling rendah di hidupnya. Ia ingin berada di sisi Bima, sekadar untuk meyakinkan bahwa pemuda itu tidak sendirian. Tidak akan pernah sendirian.
Di tempat berbeda, Bima masih belum beranjak dari tempatnya. Tanpa sadar, tangan kanannya terangkat dan memukuli dadanya beberapa kali. Rasa sesak dan nyeri bercampur menjadi satu di sana, seolah sedang menunggu kejatuhannya. Setetes air mata mengalir di pipi porselennya, meski sudah sekuat tenaga ia coba untuk menahannya.
Seiring langkah kaki yang diambil Clarissa. Semakin lebar jarak yang dibentangkan gadis itu darinya, semakin ia menyadari satu hal. Bahwa mungkin selamanya, ia akan tetap sendirian. Hatinya tidak akan terluka sedalam ini, jika selama hidupnya ia tidak pernah bergantung pada siapapun. Mama, papa, nenek, dan Clarissa, mereka akhirnya pergi ketika hidupnya sudah bergantung pada mereka. Mereka akhirnya pergi, menghadirkan kembali rasa sepi yang menghunusnya bekali-kali.
♥
Firza yang berjalan di koridor, tidak sengaja melihat kemurungan di wajah Clarissa ketika mereka berpapasan. Wajah kusut, dan jejak air mata di wajah gadis itu seketika membuat langkahnya terhenti. Rasa khawatir tiba-tiba saja membuat perasaannya tidak tenang. Firza memutar tubuh, dan memanggil Clarissa yang sudah baru saja berjalan melewatinya.
Clarissa berhenti. Ia sedikit kaget ketika melihat seseorang yang memanggilnya. Segaris senyum terpaksa tercetak di bibirnya, seraya berharap Firza tidak melihatnya yang tengah berantakan hari ini.
"Lo kenapa?" tanya Firza, yang seketika membuat Clarissa tergegap.
"Gue... gue nggak papa kok," jawab Clarissa, seraya melemparkan senyum lebar yang justru terlihat seperti seringaian.
"Lo sakit?" Firza maju beberapa langkah, lantas menyentuh kening Clarissa. "Atau lagi ada masalah?"
Jarak begitu dekat yang terbentang di antara mereka, membuat jantung Clarissa berdetak tidak karuan. Ditambah lagi sentuhan punggung tangan Firza di dahinya, yang membuat wajahnya memanas tiba-tiba.
"Eng... enggak kak, eh Za. Gue nggak papa. Serius," Clarissa mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
Firza menyipitkan mata. Mata jelaga itu menatap gadis di depannya dengan intens. Firza sama sekali tidak menyadari, perilakunya tersebut sudah membuat jantung gadis di depannya hampir melompat keluar. Clarissa hanya bisa terdiam, terpaku pada seorang pangeran di depannya.
"Nanti sore, lo mau temani gue?" tanya Firza.
"Kemana?"
"Gue mau cari hadiah buat ulang tahun bokap. Ya mungkin aja, lo bisa bantu gue milih," Firza tersenyum simpul.
Lo bisa berhenti senyum nggak sih, Za? Jantung gue benar-benar udah mau copot nih.
"Boleh," tanpa sadar, Clarissa mengangguk telalu bersemangat.
Firza tertawa pelan melihat ekspresi wajah Clarissa. Tangannya terulur dan mendarat pada puncak kepala Clarissa, kemudian mengacak rambut gadis itu dengan gemas.
"Kabarin gue kalau kelas lo udah selesai," ucap Firza sebelum pergi meninggalkan Clarissa.
Tangan Clarissa bergerak menyentuh dada kirinya. Debaran di dadanya masih belum kembali normal, bahkan setelah Firza menghilang di balik dinding ruangan HMJ. Pemuda itu benar-benar seperti morfin yang menghilangkan rasa sakitnya seketika. Clarissa bahkan hampir lupa, jika ia dan Bima baru saja terlibat suatu masalah.
♥
Firza sudah menunggu di depan pintu kelas Clarissa sejak lima menit yang lalu. Sebenarnya, jam kuliahnya sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Namun, ia masih harus menyelesaikan beberapa urusan bersama para anggota HMJ.
Pemuda itu tersenyum lebar begitu melihat Clarissa berdiri di depannya dengan wajah semringah. Ia selalu suka melihat wajah cerah gadis itu. Mata cokelat gadis itu tampak berbinar setiap kali sedang bahagia. Dan, itulah yang membuat Firza jatuh hati pada Clarissa.
"Berangkat sekarang?" tanya Clarissa, dan dibalas anggukan kepala oleh Firza.
Mereka berjalan beriringan menuju area parkir fakultas, sembari sesekali tertawa karena lelucon yang disampaikan oleh Clarissa. Mereka tidak menyadari bahwa sejak tadi dua orang tengah memerhatikan punggung mereka.
Bima dan Vella sedang berada di sana, di samping pintu kelas mereka. Bima menatap punggung dua orang tersebut dengan pandangan sendu. Ada kobaran amarah, dan sakit hati yang tepancar dari bola mata abu-abunya. Sementara Vella, memandang mereka dan Bima secara bergantian. Matanya menyiratkan tatapan antara miris dan kasihan, yang lebih ditujukan pada Bima.
"Lo nggak akan bisa melihat keberadaan orang lain, kalau pandangan lo terus tertuju pada Clarissa. Lo nggak akan pernah tahu bahwa ada orang lain yang peduli, kalau sekalipun lo nggak pernah memandang ke arah mereka," Vella menepuk-nepuk bahu Bima, ada ketulusan dalam nada suaranya. Ia hanya ingin Bima tahu, bahwa ia peduli.
♥
Jika biasanya Clarissa akan mengomel kelelahan ketika mengelilingi pusat perbelanjaan, maka kali ini berbeda. Ia justru bersyukur karena bisa berkeliling bersama Firza yang sejak tadi tidak henti-hentinya menjadi pusat perhatian dari para pengunjung wanita lainnya. Dalam hati ia berharap waktu akan berhenti detik ini juga, sehingga ia bisa lebih lama bersama pemuda itu.
Mereka berbelok menuju tempat penjual aksesoris. Firza berjalan lebih dulu menuju rak yang berisi susunan jam tangan dengan berbagai model. Mata gelapnya memandang satu per satu jam-jam mahal tersebut, seraya mengetuk dagunya beberapa kali.
"Menurut lo, mana yang bagus?" tanya Firza tanpa mengalihkan pandangan dari jam-jam tersebut.
Clarissa memandang berbagai macam jam yang terhampar di depannya, sebelum akhirnya menunjuk sebuah jam tangan berwarna silver yang tampak sangat elegan dibanding jam lainnya. Pada bagian dalam -tepat di tengah tempat jarum jam itu berputar- ada tiga buah permata kecil yang membuat jam itu tampak sangat mewah, namun tidak mencolok.
Setelah mengamati jam yang ditunjuk Clarissa beberapa saat, Firza akhirnya menyerahkan jam tangan tersebut pada seorang pelayan wanita yang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Nanti bayar di kasir ya, mas," ucap pelayan wanita tersebut dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
Firza hanya menganggukkan kepala.
"Lo nggak beli apa-apa?" tanya Firza yang dibalas gelengan oleh Clarissa.
Setelah mendapatkan kado untuk ayahnya, Firza tidak langsung membawa Clarissa pulang. Pemuda itu justu membelokkan mobilnya pada sebuah tempat wisata yang terletak di tengah kota. Tempat wisata itu terlihat lebih indah pada saat malam hari, karena banyaknya hiasan lampu dan lampion berwarna-warni yang dipasang di sana.
"Nggak papa kan, kalau kita ke sini dulu?" tanya Firza.
"Nggak papa. Santai aja, Za."
Tentu saja tidak apa-apa, Clarissa justru senang bisa menghabiskan banyak waktu bersama pemuda itu.
Firza mengajaknya untuk naik sebuah wahana perahu. Seharusnya perahu itu bisa diisi empat orang dan seorang penjaga. Namun entahlah apa yang sudah dilakukan Firza, sehingga penjaga itu menurut begitu saja ketika ia meminta bahwa ia yang akan mendayung perahu tersebut, dan tidak boleh ada orang lain yang naik perahu tersebut bersama mereka.
"Kok dia bisa langsung setuju?" tanya Clarissa heran.
Firza hanya mengedikkan bahu, lantas terkekeh pelan.
Tanpa menghiraukan rasa penasarannya, Clarissa mengalihkan perhatiannya pada pemandangan yang tersaji di depan matanya. Beberapa kali gadis itu berseru kagum saat mereka berpindah dari satu tema ke tema lain. Sepanjang sungai yang mereka susuri, pengelola sengaja menampilkan tema berbeda, sehingga pengunjung tidak merasa bosan. Alunan lagu Westlife berjudul My Love yang diputar juga ikut membangun suasana.
Tepat ketika sang vokalis Westlife menyanyikan Reff lagu tersebut. Dan, tepat ketika mereka tiba di sebuah tempat dengan susunan tema romantis yang dipenuhi warna pink serta beberapa simbol love di kanan dan kiri. Firza menatapnya dalam-dalam. Mata jelaga itu memandangnya intens, seolah menariknya pada sesuatu yang belum pernah ia rasakan hingga kini.
Clarissa terpaku. Ia terbius pada manik mata hitam pekat di depan matanya. Tepat saat itu pula, Firza menyatakan sesuatu yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh Clarissa.
"Clarissa Violetta, will you be my girlfriend?"