"Sepertinya ada yang sedang bahagia." Suara ceria Anne menyurutkan senyum yang sejak tadi tersungging di bibir Kinan. Menoleh, melihat pemilik caffe berwajah bulat dengan pipi chubby itu sudah duduk di sebelahnya sambil tertawa menggoda.
"Tidak, Ann... biasa saja.... "
"Aku bisa melihatnya, Kinan... kau senyum-senyum saat memandang ponsel." Masih sambil nyengir, Ann mengorek informasi. Mereka sudah bersahabat sejak lama, jadi saling bertukar cerita atau menggoda seperti sekarang menjadi hal yang wajar. Kinan ikut tertawa melihat ekspresi Anne.
"Dan ngomong-ngomong, kau baru membeli ponsel ya?" Anne menyelidik saat melihat iphone pink yang diletakkan Kinan di atas meja.
?
"Bukan, ini pinjaman. Tidak mungkin aku membeli benda semahal ini setelah dirampok."
"Di mana ada tempat persewaan iphone?"
"Tentu saja tidak ada di mana pun."
Kinan menjawab gemas atas pertanyaan konyol sahabatnya itu. Kemudian melanjutkan, "Ini milik Sean. Tadi pagi ada seseorang yang mengirimnya ke perpustakaan."
Tapi jawaban Kinan justru membuat Anne melotot dan berseru, "Sean? Si pianis itu? Serius?"
Kinan mengangguk semangat sebagai jawaban. Matanya berbinar. Tapi Anne malah mengernyit dan sekali lagi bertanya, "Kau yakin Sean yang memberikan ponsel itu? Bukan kiriman salah alamat?"
"Hm. Aku sudah meneleponnya tadi. Meminta penjelasan. Memang benar dia yang memberikan, karena merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan tasku saat kejadian itu. Dan aku tidak bisa menerima ponsel mahal ini."
"Dasar bodoh." Anne mendengus sebal. Jika dia jadi Kinan, maka seratus persen akan menerima pemberian Sean. Belum puas berkata, ia melanjutkan, "Lalu, kau akan mengembalikan ponsel ini? Dan kembali memakai ponsel bututmu yang kemarin?"
"Aku pikir lebih baik begitu. Tapi sayangnya, Sean punya banyak cara agar aku mau menerima ponsel ini. Dan kuputuskan menerimanya sebagai pinjaman."
"Rasanya ada yang aneh... bagaimana mungkin, Sean yang selalu bersikap dingin tiba-tiba jadi baik hati begini?"
"Entahlah...."
Kinan lantas terdiam. Tak salah jika Anne berkata seperti itu. Ia mengingat artikel- artikel yang pernah dibacanya saat mencari tahu tentang Sean di internet. Hampir semua mengatakan hal yang sama seperti Anne. Sosok pria yang dingin dan angkuh, tak terjamah, nyaman dengan kesendirian dan semua kesempurnaannya.
"Tapi aku rasa, dia bukan orang yang seperti itu, Ann... kau ingat, saat dia bermain piano bersama Ed di sini?"
"Iya... dia tertawa, aku sampai melongo melihatnya." Anne terkikik geli saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
"Kadangkala dia juga bisa menjadi orang yang sangat menyebalkan. Memaksa orang lain menuruti kemauannya."
"Dan dia bersikap seperti itu hanya saat bersamamu, Kinan."
"Tidak... tidak... mana mungkin begitu?"
"Come on... buka matamu. Apa kau pikir berita-berita tentang Sean yang pelit senyum itu semuanya bohong? Itu nyata, tak ada yang pernah melihatnya tersenyum. Bahkan tertawa seperti itu. Oh ya, jangan tanya bagaimana aku bisa tahu." Delikan tajam dari Anne membuat Kinan tergelak.
Tentu saja Anne tahu banyak hal tentang Sean. Gadis itu sangat mengidolakannya. Selalu update berita apapun tentang pianis tampan satu itu. Dan itu juga menjelaskan jika ia histeris saat Sean datang ke caffe-nya beberapa waktu lalu.
"Oh ya, tolong sampaikan ucapan terima kasihku ya. Edward sangat menyukai cokelat pemberiannya."
"Dia masih di London.... "
"Aku tahu, tapi kau kan bisa mengirim pesan padanya. Anggap saja aku memberimu kesempatan," ujarnya sambil mengerling.
"Kesempatan apa?"
"Astaga... kau ini benar-benar harus meng-upgrade otakmu, agar bekerja secepat ponsel barumu. Cara berpikirmu lambat seperti kakek-kakek." Anne mendesah berlebihan sambil menyibak poni di dahinya.
"Jangan bawa-bawa kakek.... "
"Ah ya, aku jadi ingat kakek... bagaimana kabarnya? Sudah lama aku tidak berjumpa beliau."
"Kakek baik, masih suka mendengarkan musik-musik klasik seperti biasa. Setiap sore sambil duduk di kursi goyang." Pandangan Kinan menembus jendela kaca besar di sampingnya. Melihat orang berlalu lalang di jalanan conblock depan caffe milik Anne dengan pikiran berkelana ke masa lalu.
"Ada apa, Kinan?" Anne memecah lamunan gadis itu.
"Saat melihat kakek seperti itu, aku selalu teringat papa... sepertinya kebiasaan kakek menurun pada papa. Suka musik klasik apalagi denting piano. Seandainya papa masih hidup, pasti akan sangat senang bisa berkenalan dengan Sean." Kinan mendesah, mendongak menatap langit-langit, menyembunyikan mata yang mengkristal dari Anne.
"Maafkan aku, ma cheri, jadi membuatmu bersedih seperti ini."
"Tidak perlu meminta maaf, Ann... aku baik-baik saja." Senyum ceria kembali hadir di wajah Kinan. Seakan tersadar, ia melihat kanan kiri, mengernyit saat mengetahui suasana caffe yang mulai sepi.
"Kenapa tempat ini jadi sepi begini?"
"Jam makan siang sudah berakhir, Kinan."
"Astaga! Benarkah? Kenapa tidak bilang dari tadi. Aku harus cepat-cepat kembali bekerja." Tergesa, Kinan meneguk matcha latte yang tingga sedikit di gelasnya, menyambar ponsel di meja, lalu menyandang ransel kecil di punggung.
"Aku pergi dulu, Ann. Au revoir.... " Setengah berlari, Kinan keluar dari caffe. Meninggalkan Anne yang masih menatap kepergiannya dengan wajah muram.
Dia benar-benar gadis yang kuat... Setelah apa yang terjadi pada hidupnya, dia masih bisa bersikap ceria seperti itu...
???
Aland mengucek mata sambil menguap lebar. Melihat jam besar di terminal 2E bandar udara Paris - Charles de Gaulle. Pukul 02.15 dini hari.
Suasana bandara cukup ranap. Bangku-bangku di ruang tunggu penjemputan kosong dengan cahaya lampu bersinar terang. Satu dua orang berjalan melewati tempat dia duduk menunggu. Jika bukan karena pesan mendadak dari Sean, ia tak akan mau keluar tengah malam, menunggu seperti orang bodoh dan menghibahkan jam tidurnya yang cukup berharga.
Bosan duduk, Aland berdiri, meregangkan kedua tangan. Melemaskan otot. Kepalanya menoleh saat melihat sosok Sean berjalan keluar dari garbarata. Dan sepertinya pria itu sadar jika sedang ditunggu. Karena ia mempercepat langkahnya ke arah Aland.
"Bonsoir ( read : bongswar; selamat malam) , Boss..." sambut Aland sambil menerima box pipih besar yang diulurkan Sean.
"Comment vas-tu? (read : kommong va tu; apa kabar)"
"Je vais bien (read : zyeu ve biang; baik-baik saja). Hanya sedikit mengantuk dan agak lelah," jawab Aland sambil menguap lagi. Mereka berjalan bersisihan ke tempat parkir dalam diam. Sesekali, Sean mengarahkan pandangan ke arah Aland yang kini merapatkan jaket. Menghalau dingin angin malam yang berkesiur.
Setelah merogoh kunci dari saku jaket, Aland membuka bagasi. Memasukkan ransel hitam Sean, kemudian menutupnya.
"Berikan kuncinya," ujar Sean saat melihat Aland bergerak ke balik kemudi.
"Eh? Kunci mobil?"
"Biar aku yang menyetir. Kau tidur saja."
"Tidak apa, Bos. Aku saja yang menyetir. Kau kan baru saja melakukan perjalanan jauh."
"Kunci, Al." Tatapan tajam dan nada tegas yang tak dapat dibantah membuat Aland mengangguk dan menyerahkan kunci ke tangan Sean yang terulur. Ia memutar haluan. Duduk di samping Sean yang kemudian mulai melajukan mobil perlahan.
"Bos kenapa tidak pulang besok pagi saja? Beristirahat dulu di sana."
"Tidak apa. Hanya ingin kembali secepat mungkin."
"Dan ini, apa isinya? Sepertinya penting sekali." Sambil membolak-balik box di tangannya, Aland bertanya.
"Piringan hitam."
"Untuk apa?"
"Memutar musik."
"Tentu saja aku tahu fungsinya..." Aland mendesah berlebihan, lalu melanjutkan, "Maksudku, untuk apa bos membeli benda seperti ini? Bukankah lebih praktis mendengarkan mp3 atau sekalian saja langsung saat bos main piano. Suaranya indah. Memenuhi seluruh bagian rumah."
"Aku ingin memberikannya pada seseorang."
"Seriously? Kau tidak sedang mabuk kan, Bos? Atau mungkin jetlag setelah perjalanan tengah malam di atas pesawat?" Mata Aland membulat, tak percaya. Ia menatap lekat wajah Sean yang tak menunjukkan ekspresi apapun. Sementara yang ditanya hanya menghela napas. Fokus mengemudi.
Merasa tak diacuhkan, Aland kembali mengoceh, "Boleh aku tahu untuk siapa?"
Masih tak ada jawaban. Dan Aland cukup tahu diri untuk menyudahi obrolan. Ia bersandar di jendela, lalu memejamkan mata sambil bergumam, "Baiklah kalau tak ingin memberi tahu."
Hening menyelimuti, sambil mengemudi, Sean menikmati jalanan kota Paris yang lengang. Keindahan Eifel dengan kerlip lampunya nampak di kejauhan.
Ia kembali melirik Aland yang sepertinya sudah tertidur. Tapi ternyata salah. Karena pria di sampingnya, dengan mata yang terpejam, kembali mencacau panjang, "Kadang aku tidak suka saat membaca dan melihat ulasan tentang dirimu. Mereka bilang kau sosok yang angkuh, sombong dan tidak peduli. Seandainya saja mereka bisa melihat dirimu yang sebenarnya. Dan Semua kebaikanmu. Oh ya, mana ada, bos yang menyetir sendiri dan menyuruh anak buahnya tidur begini."
"Tutup mulutmu dan tidur saja."
"Hmmm.... "
"Dan lebih baik jika mereka tetap berpikir seperti itu. Jika kau ingin melakukan kebaikan, maka tak perlu orang lain mengetahuinya."
"Hmmm.... "
Hanya gumam pelan sebagai jawaban dari Aland. Entah dia memahami atau tidak perkataan Sean, yang menyelinap di antara rasa kantuk yang mulai menyerang.L