Hari masih pagi. Matahari baru sepenggalah. Tapi seakan tak kenal waktu, kesibukan di London Heathrow International Airport tak surut sedikit pun. Orang-orang berlalu lalang mendorong troli, atau mengantri di Baggage Claim area, menunggu bagasi-bagasi yang muncul dari ban berjalan. Di Apron terminal 5, penumpang lain berduyun-duyun keluar dari garbarata pesawat Air France, Sean termasuk salah satunya.
Tergesa, ia menyelinap di antara ratusan penumpang lain. Ikut mengantre untuk mengambil bagasi yang hanya sebuah ransel hitam. Setelah tiba gilirannya, ia bergegas mengambil ransel, menyandang di punggung dan melangkah lebar ke pintu keluar.
Sean tak perlu melihat papan petunjuk arah yang ada di atas kepala, karena hafal seratus persen kemana tujuannya. Photographic memory yang ia miliki berguna di saat seperti ini. Hanya butuh satu kali melihat suatu tempat, Sean akan mengingat selamanya. Dan untungnya, sudah berkali-kali ia menginjakkan kaki di negeri yang terkenal akan double decker merahnya.
Wajah-wajah ingin tahu menoleh saat melihat sosok atletis bertubuh tegap
lewat di depan mereka. Penampilan Sean sempurna, dengan setelan jeans dan kemeja hitam plus sneakers putih. Sesekali ia menaikkan kacamata hitam yg bertengger di hidung mancungnya. Tak acuh dengan bisik-bisik kagum beberapa gadis yang berpapasan dengannya.
Lima belas menit kemudian, taksi yang ia tumpangi tiba di sebuah hotel bintang lima, dekat dengan tempat konsernya malam nanti.
Setelah menyelesaikan proses reservasi dan segala macamnya, Sean mendaratkan tubuh lelah di atas bed empuk. Telungkup memeluk guling, menikmati semilir angin dari balkon yang terbuka.
Matanya menatap lekat ponsel hitam yang tergeletak di depan wajah. Mengetuk-ngetuk layar sambil sesekali mengigit bibir, tak habis pikir, kenapa benda pipih itu tidak berdering, berkelip, bergetar dan tidak melakukan apa pun!
Sean menyurukkan wajah pada guling yang sejak tadi di peluknya. Berteriak sebal. Ingin memaki, tapi ia sendiri di sini.
Hingga sebuah ketukan pelan terdengar di pintu, seseorang menyerukan namanya. Memutus kesibukannya memelototi ponsel.
Enggan, ia beranjak, membuka pintu, mendapati Jhon berdiri santai di depan pintu. Managernya itu memang sudah sejak semalam berada di hotel ini. Mengurus segala hal yang berhubungan dengan acaranya. Termasuk memesan kamar. Jadi tak heran jika Jhon tahu di mana Sean berada.
"Kau sudah tiba sejak tadi?" Jhon memulai obrolan sambil memasuki kamar Sean.
"Setengah jam yang lalu," ujar Sean datar.
"Kenapa tidak mengabari?"
"Aku agak sibuk." Memandangi ponsel seperti orang bodoh.
"Apa ada masalah?" Selidik Jhon. Karena melihat Sean yang berkali-kali mengecek ponsel di genggamannya.
"Tidak. Semuanya baik-baik saja, hanya.... " kata-kata Sean terputus ketika ponsel hitamnya berdering. Sebuah panggilan whatssap, nomor tanpa nama terpampang di layar. Wajah suram saat menyambut Jhon tadi kini bersinar secerah lampu neon di malam hari. Sebelum menjawab telepon, ia berdehem sekali, menarik napas, lalu mengeser ikon hijau di layar. Nada dinginnya menyapa, "Allo."
"Sean... ini Kinan.... " Suara ragu di seberang sana berhasil menerbitkan senyum di bibir Sean. Nyaris saja ia nyengir lebar jika tak mengingat Jhon yang masih memandangnya dengan penasaran. Ia melangkah ke balkon. Menjauh dari Jhon. Mencari sedikit privasi.
"Ada apa?"
"Kenapa kau melakukan ini?"
"Melakukan apa?" Senyum ceria Sean beberapa saat lalu lenyap. Sebuah kerutan muncul di dahinya. Bingung dengan pertanyaan Kinan.
"Apa maksudmu memberikan ponsel ini?"
"Mengganti ponselmu yang hilang dulu."
"Karena merasa bersalah?"
"Mmm... " jawab Sean sambil mengangguk pelan. Tapi tentu saja, Kinan tak bisa melihatnya.
"Tidak. Aku tidak bisa menerimanya. Ponselku hilang kan bukan kesalahanmu." Nah, gadis itu benar-benar tak tertebak. Jika perempuan lain akan sangat senang menerima iphone pemberian Sean, maka Kinan sepertinya berbeda.
Hening beberapa detik. Sean memikirkan sesuatu kemudian berujar, "Kalau begitu kembalikan."
"Hah?"
"Kenapa, 'hah'?"
"Kau ini... bisa ya meminta kembali barang yang sudah kau berikan pada orang lain?" Tepat sekali. Itulah yang Sean inginkan. Membuat Kinan tanpa sadar menerima pemberiannya.
"Kalau begitu bilang saja, ya Sean... terima kasih... tanpa harus berdebat seperti ini."
"Aarrggghhh! Kau benar-benar menyebalkan. Menjebakku dengan kata-kata seperti itu. Kenapa juga tadi aku malah berkata begitu?" Rentetan kalimat Kinan lagi-lagi membuat Sean tersenyum. Ia dapat membayangkan gadis itu sedang bersungut-sungut dengan wajah ditekuk sambil menghentakkan kaki.
"Jadi bagaimana? Diterima?" Nada dingin Sean melunak.
"Kalau aku bilang tidak, kau pasti punya jutaan cara untuk membuatku berkata ya."
"Kau pintar."
"Tapi aku menerima ponsel ini sebagai pinjaman. Nanti kalau aku sudah membeli ponsel baru, akan kukembalikan yg ini."
"Kau ini.... " Sean mencubit pangkal hidungnya. Pusing dengan jalan pikiran Kinan. Sementara gadis itu tertawa membayangkan Sean kehabisan kata untuk menyangkal.
"Oh ya, kenapa menyuruh orang lain mengantar ponselnya? Bukan kau sendiri?"
"Do you miss me?" Dengan nada yang masih datar, Sean melempar celetukan asal. Tanpa berpikir dua kali. Yang akhirnya malah merutuki diri sendiri. Mulutnya berkerja melebihi kecepatan otaknya berpikir.
Dan di seberang sana, Kinan sempat berhenti bernapas beberapa detik karena kata-kata Sean.
Sambil tersenyum lebar dan menormalkan detak jantung yang tiba-tiba bertalu, Kinan mencoba menyangkal.
"Oh My God... kenapa ada orang yang terlalu percaya diri seperti ini?"
"Aku sedang di London..." Mengabaikan ocehan Kinan, ia menjawab pertanyaan gadis itu, yang sebenarnya sudah berlalu sejak tadi.
"Oh... "
"Hanya 'oh'?
"Ya. Aku tidak akan bertanya kenapa kau ada di sana. Aku tahu itu karena pekerjaanmu. Kau kan pernah bilang kalau sudah mengadakan konser di seluruh dunia."
Sean hanya mengangguk mendengar Kinan mencacau panjang lebar. Rasanya menyenangkan bisa mengobrol seperti ini. Tanpa dibayangi rasa takut dan gelisah yang selalu mengikuti saat ia bertemu gadis itu. Tapi semakin lama ia mendengar nada ceria Kinan di sana, keinginan untuk melihat wajah cantiknya juga semakin besar.
"Kinan, kau memakai ponsel barumu sekarang?"
"Iya. Dan ini bukan ponselku. Ingat, pinjaman."
"Ya... terserah. Apa sudah kau coba semua fiturnya? Bekerja dengan baik?"
"Belum... hanya mencoba menelponmu. Kenapa?"
Tak langsung menjawab, Sean berpikir beberapa jenak. Dan keputusan kilat di ambil. Ia meyakinkan diri jika semuanya akan baik-baik saja.
"Coba fitur video call-nya. Aku tunggu."
Sean memutus sambungan telepon. Mendesah. Menyakinkan diri. Jika ia bisa mengobrol bersama Kinan secara normal, maka kemungkinan besar phobia nya juga akan segera hilang.
Sekali lagi ponselnya berdering. Dari Kinan. Sean menggeser ikon hijau. Wajah cantik Kinan memenuhi layar.
"Allo, Sean." Gadis itu melambaikan tangan. Tersenyum cerah. Membuat Sean sesak napas seketika. Ternyata masih tidak mudah. Susah payah hanya untuk berkata, "Hai.... "
"Terima kasih untuk pinjaman ponselnya."
Sean hanya mengangguk pelan sebagai balasan. Tangannya mencengkram pagar balkon sambil mengatur napas. Berusaha menjadi normal.
"Kau ada di caffe milik Anne?"
"Iya... bagaimana bisa tahu?"
"Piano di belakangmu."
"Oh.... " Gadis itu melihat ke belakang. Lalu kembali memandang layar dan melanjutkan, "Ngomong-ngomong tentang piano, aku jadi ingat konsermu. Jam berapa?"
"Nanti malam jam tujuh."
"Benar-benar di London?"
"Iya... di Royal Albert Hall. Dari sini juga kelihatan London Eyes." Sean kemudian mengarahkan kamera ponselnya ke icon kebanggan kota tersebut.
?
"Indah... aku jadi ingin ke sana.... "
"Kapan-kapan aku akan mengajakmu kemari." Oh... oh... Semudah itu Sean berkata. Dia sudah benar-benar menjadi Sean yang lain. Dan sukses menjadikan obrolan menjadi canggung.
Karena bingung harus berkata apa, akhirnya Kinan berinisiatif mengakhiri video call mereka.
"Sean... waktu makan siang hampir habis. Aku harus kembali bekerja."
"Baiklah.... " Enggan, Sean mengangguk.
"Oh ya, aku... aku suka wallpaper ponselnya." Gadis itu tersipu, dengan wajah yang memerah. Sebuah senyum manis terukir di bibir tipisnya sebelum layar ponsel menjadi gelap.
?
Sean tersenyum, kemudian tertawa sambil loncat-loncat masuk ke kamar. Terjun ke tempat tidur masih sambil nyengir. Kadar kewarasannya benar-benar sudah bergeser. Untung saja Jhon sudah pergi entah kemana. Tak tahan menunggu Sean yang berlama-lama mengobrol di Ponsel.
Dia senang, karena rencananya berhasil seratus persen. Sengaja memberikan ponsel pada Kinan setelah memasukkan nomor kontaknya di ponsel itu. Berharap Kinan akan menghubunginya. Dan harapannya terkabul.
Wallpaper itu juga bagian dari rencana untuk selangkah lebih dekat dengan Kinan. Ada rasa senang tak terhingga saat melihat pipi gadis itu memerah, tersipu seperti tadi.
Perkataan Flyn sepertinya bisa menjadi nyata.K