Sisa perjalanan sepuluh menit itu ditempuh dalam diam. Kinan masih tak berani bersuara, dan lebih memilih menggigiti kuku sambil melihat jalanan. Sementara Sean berusaha fokus mengemudi. Meski sesekali ia mencuri pandang ke arah Kinan. Merasa bersalah.
"Nah, itu, kedainya bercat oranye."
Pikiran Sean buyar saat mendengar suara pelan Kinan. Ia segera menepikan mobil.
"Tunggu." Cegah Sean saat melihat Kinan akan membuka pintu. Ia bergegas keluar. Membukakan pintu samping. Setelahnya, Sean hanya berdiri di sebelah pintu. Menunggu Kinan keluar. Tanpa berniat mengulurkan tangan. Ia masih belum bisa melakukannya.
Perlakuan manis itu berhasil menerbitkan kembali senyum Kinan yang hilang beberapa saat lalu.
"Merci... "
"Je t’en prie... " Sahut Sean lembut. Kemarahan tidak jelas saat di mobil tadi lenyap tak berbekas.
Mereka berpandangan beberapa detik. Sorot hangat dari sepasang mata biru Sean berhasil membuat Kinan tersipu. Semburat merah mewarnai pipinya.
Mereka berjalan besisihan. Saling diam. Sibuk menenangkan hati masing-masing.
Hingga dalam beberapa langkah, mereka tiba di kedai. Suasananya tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung dengan wajah khas asia yang terlihat menempati meja.
Setelah memilih meja di dekat jendela, Kinan memanggil salah satu waiters dan menyebutkan pesanan mereka.
"Sean.... " Sapaan pelan dari Kinan membuatnya mengalihkan pandangan dari mengamati kedai.
Ada rasa senang yang tidak wajar saat mendengar Kinan memanggil namanya.
"Ingat ya, aku tidak membawa uang sepeser pun. Jadi kau yang membayar semuanya." Kinan mendelik, mengancam, tapi ekspresinya justru terlihat lucu. Dan Sean malah tersenyum sekilas sambil mengangguk.
Jika sudah bersama gadis itu, sepertinya engsel senyum di bibirnya jadi sedikit longgar.
"Kau itu, berkepribadian ganda ya? Sedetik marah-marah, kemudian baik, semenit kemudian marah lagi, lalu senyum-senyum."
Pertanyaan Kinan tak terjawab, karena pesanan datang. Dua piring gado-gado dan es jeruk. Hal itu dimanfaatkan Sean untuk mengubah topik.
"Ini benar-benar bisa dimakan?" Sean mengaduk-aduk gado-gado di piringnya. Sementara Kinan sudah melahap beberapa sendok.
"Coba saja dulu."
Mengikuti saran Kinan, Sean mecoba sesendok, merasakan sebentar lalu mengangguk. Tidak terlalu buruk. Tapi tidak sesuai dengan lidah Eropa-nya.
Mereka makan dalam diam. Sesekali, Sean mencuri pandang ke arah Kinan yang menunduk, menikmati makanannya. Jujur, dalam hati ia merasa senang bisa melihat gadis itu lagi. Meski ia juga harus rela tersiksa seperti sekarang. Merasakan detak jantungnya yang menggila dengan rasa dingin yang merambat perlahan.
Beberapa kali, ia tertangkap basah, pendangan mereka bertemu. Tapi Sean berlagak cuek dengan membuang muka. Tak mampu melihat wajah gadis di depannya. Jika sedang tersipu, maka wajahnya akan memerah dengan pipi yang bersemu. Pemandangan yang membuat jantung Sean berdisko.
Karena tidak tahan berlama-lama diam, Kinan membuka obrolan,
"Mm, Sean.... apa ada alasan khusus kau mengajakku makan siang?"
"Aku... hanya ingin mendengar jawabanmu."
Sean mengakhiri kegiatan makannya yang baru beberapa sendok.
"Apa?"
"Pendapatmu tentang konser amal beberapa minggu lalu." Setelah berkata, Sean berdehem. Menggaruk rambut yang tidak gatal. Ia mengambil segelas es jeruk dan mengaduk-aduk dengan sedotan. Melihat es batu yang mengapung di permukaan gelas. Mencari kesibukan. Mengalihakan kegugupan.
"Oh, itu... aku sudah melihatnya di youtube. Menurutku lumayan..." Kinan menjawab santai, sambil memakan sesendok terakhir gado-gado di piringnya. Lalu menyudahinya.
"What? Lumayan kau bilang?" Ekspresi tidak percaya yang tergambar jelas di wajah Sean membuat Kinan lagi-lagi tergelak.
"Aku hanya bercanda...."
"Tidak bisakah kau sedikit serius?"
"Oke... tunggu, aku akan mengingat-ingat sebentar." Kinan memejamkan mata sambil mengernyit. Membuat kedua alisnya saling mendekat. Tulunjuknya mengetuk pelipis.
Sean mendesah. Geleng-geleng kepala. Gemas dengan tingkah konyol gadis itu. Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.
Saat tiga detik yang terasa begitu lama, akhirnya Kinan membuka mata dan berkata, "Itu konser yang indah... aku bahkan belum pernah menghadiri konser semacam itu... "
Sean menarik napas, menunggu kelanjutannya. Tak ingin terlihat terlalu tegang, ia kembali menunduk, mengaduk-aduk es jeruk di gelasnya.
"Begitu mewah... elegan... tata cahayanya begitu memukau... " Gadis itu kembali memejamkan mata. Kilasan senyum dan sorot hangat dari ekspresi Sean di atas stage, di iringi alunan melodi yang ia mainkan memenuhi otak Kinan.
"Dan permainan pianomu... menakjubkan... aku bisa merasakannya... begitu menyentuh... Meski aku tak tahu lagu apa yang kau mainkan.... "
Mendengar nada Kinan yang mengawang, Sean memberanikan diri mendongak. Dan ketenangan yang terpancar dari wajah gadis itu, dengan mata yang masih terpejam, membuatnya kehilangan kendali.
Sontak ia memejamkan mata, ketika rasa sesak menghujam dadanya. Bahkan, untuk bernapas pun terasa sangat sulit. Keringat dingin membanjiri tubuh. Tangan terkepal erat di atas meja. Dengan wajah sepucat kapas.
Bernapas Sean.... tarik... buang... tarik... buang... kau bisa mengatasi ini...
"Sean... kau baik-baik saja?" Ia bahkan tak sadar, jika Kinan sudah beberapa kali memanggil namanya.
Hingga tiba-tiba, sebuah sentuhan ringan terasa di punggung tangannya.
Yang membuat rasa sakit dan sesaknya langsung menghilang. Sentuhan itu berasal dari jemari Kinan. Terkesiap, Sean membuka mata, memandang gadis itu. Ada kilas kekhawatiran yang terwujud di wajah cantiknya.
"Kau... baik-baik saja, Sean?"
"Ya... " serak, Sean menjawab.
Berdehem beberapa kali dan mengatur napas.
Merasa Sean sudah baik-baik saja, Kinan menjauhkan tangannya. Bernapas lega.
Saat menyadari jika sentuhan itu sudah hilang, termasuk raut khawatir Kinan, akhirnya Sean melanjutkan,
"Remember."
"Remember what?"
"Judul lagu itu Kinan, Remember." Ketenangannya sudah kembali. Ia tidak ingin menyerah dan kalah oleh ketakutan aneh yang menguasainya.Ia harus melawan.
Sean memandang gadis itu. Berusaha tak mengalihkan pandangan saat Kinan bertanya, "Dan kau mengingat sesuatu yang indah saat memainkannya?"
"Ya... "
Pandangan mereka bertemu. Sean menarik napas panjang, meyakinkan diri.
"Bukan sesuatu, tapi seseorang, yang mengenggam tanganku saat hujan." Kata-kata Sean mengalun lembut, dengan sorot mata yang menghangat. Seulas senyum tulus terukir di bibirnya.
Kinan memalingkan wajah. Tak tahan ditatap seperti itu. Pipinya bersemu semerah kelopak mawar dengan jantung yang berjumpalitan. Ia bahkan takut, seandainya Sean bisa mendengar debar jantungnya yang tak beraturan.
Kelebat ingatan kembali mampir di memori Kinan. Hujan, mereka, dan tangan yang saling bertautan. Diam-diam, ia tersenyum. Berharap, jika seseorang yang dimaksud Sean adalah dirinya.