"Al, bilang pada bibi Mer, aku makan siang di luar."
Sean mengakhiri panggilan telepon setelah mendapat jawaban dari Aland. Ia kembali fokus ke jalanan. Mengemudi pelan, mengikuti arus lalu lintas yang semakin padat di avenue des Champs-Élysées.
Sambil mengemudi, sesekali ia mengarahkan pandangan ke jajaran toko dan restoran mewah di kiri kanan jalan yang mulai dipadati pengunjung.
"Terlalu ramai.... " Gumam Sean sambil menghela napas berat. Memikirkan apa yang akan dilakukannya beberapa saat lagi.
Sepuluh menit kemudian, ia memarkir mobil di depan gedung besar bercat putih.
Suasana di perpustakaan lengang, karena ia datang mendekati jam makan siang. Orang-orang kebanyakan lebih memilih mengisi perut mereka dari pada mengisi otak dalam keadaan perut kosong.
Ia menarik napas panjang lagi dan menghembuskan perlahan. Menenangkan diri dari kegelisahan yang lagi-lagi menyerang.
Tak ada pilihan. Semakin lama ia mengulur waktu, maka akan semakin lama ia menderita. Oh tidak, lebih tepatnya tersiksa. Ia tidak ingin merasa ketakutan seumur hidup. Karena itu, Sean memilih opsi ketiga dari tiga pilihan yang diberikan Flyn. Mencoba berteman dengan Kinan.
Lama ia berpikir, jika mengambil pilihan pertama, maka sesudah sembuh dari phobia anehnya, lalu apa yang akan ia lakukan pada gadis itu? Meninggalkannya?
Tidak... tidak... hatinya tidak terbuat dari batu. Dan penyebab phobianya juga bukan benda seperti tempat tinggi atau hewan semacam laba-laba. Yang bisa ditinggalkan di jalanan sesuka hati. Ia tidak akan memilih opsi pertama atau kedua. Itu terlalu ekstrem. Mengorbankan orang lain demi dirinya. Sean tidak sampai hati menyakiti perasaan gadis itu.
Maka pilihan paling aman adalah berteman. Seperti kata Flyn, biarkan semua berjalan seperti seharusnya. Seandainya suatu saat Kinan tahu tentang phobianya, Sean akan membiarkan apapun yang akan terjadi nanti.
Satu hal lagi, ada alasan penting yang membuatnya datang ke tempat ini. Sebuah pertanyaan yang belum terjawab.
Dengan gamang, Sean melangkah ke meja resepsionis. Dan untungnya, orang yang dia cari ada disana. Berdiri memunggunginya. Sedang bertelepon dengan entah siapa.
Ia menajamkan telinga, tidak bermaksud menguping, hanya saja, bahasa yang digunakan gadis itu berbeda. Dan ia berbicara dengan sangat lancar.
Sean mengerutkan dahi, berpikir. Ia akan tahu jika itu bahasa Prancis yang biasa digunakan sehari-hari, atau bahasa Inggris yang biasa ia pakai saat menghadiri acara-acara di berbagai belahan dunia, atau bahkan bahasa Spanyol warisan dari ibunya. Ia fasih memakai tiga bahasa itu. Tapi yang satu ini, bahkan tidak familier di otaknya.
"Oke, Ma.... sebentar lagi aku makan. Mama tenang saja.... aku baik-baik saja disini... Iya... aku juga merindukanmu.... " Embusan napas pelan meluncur dari bibir gadis itu. Ia mengakhiri percakapan dan mengantongi ponsel di saku celana, kemudian berbalik. Tapi apa yang ada di hadapannya seketika membuat napasnya tersendat.
Gadis itu menepuk-nepuk pipi pelan. Sambil mengerjapkan mata. Mengira dirinya sedang berhalusinasi.
"Itu bahasa apa?" Tanpa di duga, Sean lebih dulu bertanya. Nada bicaranya masih sama. Dingin dan tanpa basa-basi. Tapi nada dingin itu justru membuat Kinan tersadar. Lelaki ini nyata, ada di depannya. Sambil merapikan rambut dan sekali berdehem, ia menjawab, "Itu... Bahasa Indonesia"
"Kau berasal dari sana?"
"Aku tumbuh besar di Indonesia."
Kinan menjelaskan masih sambil tersenyum. Sementara Sean hanya mengangkat sebelah alis. Seakan penjelasan gadis itu bukan hal yang penting.
"Oh ya, kenapa kau kesini?"
Pria itu membuka mulut, hendak menjawab. Tapi sebelum ia bersuara,
"Oh tunggu, jangan bilang kau berhak berada di mana saja. Aku tahu ini tempat umum."
Sean mendengkus pelan. Itu kan kata-katanya, dulu. Ternyata gadis ini masih mengingatnya.
"Aku mencarimu."
"Aku? Kau tidak salah orang kan?" Kinan melihat kanan kiri. Tak ada siapapun di situ selain mereka berdua. Pengunjung lain berada dalam jarak yang cukup jauh. Sean mengangguk samar dan berdeham, meyakinkan diri sendiri, kemudian berkata pelan, "Aku belum makan siang dan kelaparan."
"Kau? Kelaparan? Dari sekian banyak ART di rumahmu, tidak ada satupun yang mau memasak?" Kinan tergelak, menyadari betapa anehnya pria ini.
Tiba-tiba muncul, mencarinya dan kelaparan. Hal yang tidak berhubungan sama sekali.
Melihat gadis itu tertawa, Sean mengeratkan genggaman tangannya yang berada di dalam saku celana jeans. Sambil berusaha mengatur napas.
"Ayo! Ikut aku!" Setelah memerintah, ia berbalik, melangkah ke pintu keluar. Sneakers putihnya berderap pelan di lantai.
Kinan melongo beberapa detik, sebelum menjajari langkah lebar Sean.
"Tidak. Aku tidak mau ikut." Perkataan Kinan membuat ayunan langkahnya terhenti.
"Kalau kau tidak mau ikut, aku akan membuat keributan disini."
"No... No... kau tidak mungkin melakukannya. Jelas-jelas ada tulisan 'harap tenang' di atas kepalamu! Dan ingat, ini bukan lapangan, tempat dimana kau bisa teriak-teriak sesuka hati."
Mereka mendongak bersamaan. Melihat sebuah tulisan besar yang dimaksud Kinan.
"Aku bisa melakukannya, kalau aku mau.... " Sean membuka mulut lebar-lebar, siap berteriak.
Melihat jika Sean benar-benar serius, akhirnya Kinan mengalah.
"Oke. Aku ikut."
"Gadis pintar." Tanpa menunggu lebih lama, Sean meneruskan langkah ke pintu keluar.
"Tunggu... tunggu... tasku masih di loker. Semuanya ada di situ."
"Kau tidak memerlukan semuanya. Hanya bawa tubuhmu dan ikuti aku." Nada tajam dan memerintah dari Sean membuat Kinan akhirnya pasrah dan menurut. Mereka berjalan ke parkiran mobil dalam diam.
Berkali-kali Kinan melihat ke arah pria yang berjalan di sampingnya. T-shirt dan jeans hitam melekat sempurna di tubuh atletis Sean. Sangat cocok dengan ekspresinya yang dingin dan terkesan tak peduli.
Seandainya saja gadis itu tahu, bukannya tak peduli, sebenarnya saat ini Sean sedang berusaha mengumpulkan keberanian. Menekan semua rasa takut dan gelisah yang mulai menyusup dalam hati. Tangannya tergenggam sangat erat. Dingin dan kaku. Berjalan bersisihan sedekat ini dengan Kinan menjadi semacam uji nyali baginya.
"Memangnya kita mau ke mana?"
"Sudah kubilang, aku kelaparan. Kita akan makan siang." Sean membuka pintu mobil untuk Kinan, membiarkan gadis itu masuk, dan menutupnya. Kemudian ia bergerak ke balik kemudi.
"Kau itu benar-benar aneh dan menyebalkan. Seenaknya menculikku dari tempat kerja." Kinan menumpahkan kekesalan begitu Sean duduk di sampingnya. Tapi pria itu lebih memilih mengabaikan.
Ia menarik napas pelan, menghembuskan dan sejenak memejamkan mata, melemaskan jemari yang dingin dan kaku, lalu melajukan mobil perlahan.
Sebelah tangan Sean menyentuh tombol di dekat roda kemudi. Convertible mobil otomatis terbuka.
"Mau makan dimana?"
"Eh?"
"Kau yang tentukan tempatnya."
Suara lembut itu mengejutkan Kinan. Nada dingin dan tegas berapa saat lalu menghilang terbang bersama angin.
Gadis itu menatap Sean lagi. Mencari perubahan ekspresi yang mungkin terlintas di wajahnya. Tapi semuanya tetap sama. Ekspresi Sean sedatar papan. Dengan pandangan fokus ke jalan raya.
"Jam makan siang tidak lama. Segera tentukan," ujar Sean yang melihat Kinan masih diam dengan dahi berkerut, memikirkan perubahan drastis dan tiba-tiba dari pria di sampingnya.
"Oh, aku ingat, di ujung jalan sana ada kedai kecil yang menjual makanan Indonesia. Aku rindu makan gado-gado.... "
"Gado... apa?" Sean mengernyit mendengar nama aneh itu.
"Gado-gado... sejenis sayuran yang dicampur bumbu kacang.... Kau tidak keberatan kalau kita makan di sana?"
"Tidak masalah. Asalkan makanan itu aman untuk dimakan." Jawaban tak acuh Sean membuat Kinan tergelak. Gadis itu tertawa sambil menutup mulut. Rambut hitamnya berderai tersapu angin.
Napas Sean tercekat. Dadanya sesak. Ia ingin segera menepikan mobil, meloncat, kabur. Pasti akan sangat mudah, karena convertible-nya terbuka. Tapi di sisi lain, ia ingin terus memandang gadis itu. Menikmati senyumnya. Meski rasa dingin dan getaran ketakutan kembali menyiksa.
"Kau kenapa?" Tawa Kinan surut saat melihat Sean tetap diam. Dengan wajah yang sedikit pucat dan tangan mencengkram kemudi sangat erat.
"Tidak apa."
"Atau.... jangan-jangan kau grogi berdekatan dengan gadis cantik seperti aku?" Kinan tersenyum sangat manis pada Sean, dengan mata berbinar dan raut wajah polos kekanakan.
"Tidak. "
"Tidak salah? Lalu kenapa wajahmu tegang begitu? " Kinan menggeser duduknya lebih dekat dengan Sean. Masih memasang wajah innocent dan senyuman lebar.
Dia benar-benar ingin membunuhku...
"Jangan mendekat! Atau kau mau, kita berdua mati di sini?" Nada bicara Sean naik beberapa oktaf.
Apa yang dikatakan Sean memang benar. Pada kasus ekstrim, ia bisa saja pingsan seperti kata Flyn. Dan mereka sedang berada di jalan raya.
Bentakan Sean membuat Kinan kembali ke tempatnya sambil mengerucutkan bibir, ekspresi jahilnya lenyap. Kerutan samar tercetak di dahinya.
Ia masih tak bisa memahami, bagaimana mungkin seseorang berubah sikap hanya dalam hitungan detik. Seperti makhluk di sampingnya. Yang sekarang menghela napas lelah.