Aroma tanah basah yang terkena hujan menyerbu indra penciuman.
Gemericik air yang jatuh di atas kolam yang terletak di bawah gazebo dan keheningan yang mendadak hadir, membuat Sean memejamkan mata. Menikmati suasana siang yang nyaman.
Setelah menyerap apa-apa yang ia rasakan dari alam, perlahan, matanya terbuka. Tubuhnya yang semula berdiri di pinggir gazebo mulai beranjak. Ia duduk di karpet tebal, nampak sebuah meja kecil dari kayu terletak di sudut.
Segelas cokelat panas dan sepotong blackforest yang tadi dibawakan salah satu ART terabaikan di atas meja. Dan ketika melihatnya, mendadak ingatan Sean kembali ke saat itu.
Hujan, segelas cokelat panas dan seorang gadis. Yang ternyata menjadi penyebab phobianya.
Diwaktu yang sama, seakan takdir sudah menggariskan, di cafee Anne, Kinan masih tak bosan menatap ke luar jendela. Melihat jutaan air yang berjatuhan dari langit. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja. Pelan.
Sembari menunggu hujan reda, ia mengambil sebuah novel dari dalam tas, yang sejak beberapa hari lalu belum selesai dibaca.
Kedatangan seorang waiters yang membawa pesanan, segelas cokelat panas dan sepotong blackforest berhasil mengalihkan perhatian Kinan dari novel yang dibacanya.
Pikirannya kembali ke kejadian beberapa minggu lalu. Suatu ketika saat ia bersama seseorang di sini.
Diam-diam ia tersenyum. Lalu mendesah pelan. Berpikir, bahwa momen seperti itu tak akan terulang untuk kedua kali.
Kinan menenggok arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah setengah jam berlalu dan hujan belum juga reda. Ia mendesah lagi, bosan.
Seandainya dia ada disini.....
Gadis itu menggeleng pelan. Mengusir bayangan Sean yang semakin sering berseliweran di otaknya.
Tapi seakan tak mau bekerja sama, otaknya lagi-lagi mengingat pria itu. Ia bahkan memilih meletakkan novel dan membuka notebook.
Rasa penasaran atas pertanyaan Sean beberapa hari lalu mengusiknya. Ia ingin tahu, apa sebenarnya alasan pria itu, sampai rela menemuinya hanya untuk bertanya pendapatnya.
Setelah menyambungkan wifi yang terpasang di cafe dan memasang headset, ia kemudian masuk ke situs youtube.
Tangan Kinan mengetikkan satu nama secara cepat. Dan muncullah wajah pria yang akhir-akhir ini memenuhi pikirannya.
Kinan memilih sebuah judul yang cukup menarik, diantara ribuan yang lain. "The Different of Sean."
Suasana konser amal Sean beberapa hari lalu tersaji di depan mata. Membuatnya kagum dan berdecak. Ia tak pernah menghadiri konser semacam itu.
Stage besar, hall konser mewah dengan ribuan penonton, pencahayaan memukau, yang hanya menyorot sosok Sean di atas panggung. Ia bintang malam itu.
Sebuah ekspresi yang sangat familiar terekam jelas dalam bidikan kamera. Dingin dan angkuh. Sepadan dengan grand piano hitam di depannya.
Tegang, Kinan menunggu, menahan napas ketika Sean mulai meletakkan kesepuluh jarinya di atas tuts.
Perlahan, denting nada mulai mengalir.
Lalu, tanpa ia duga, wajah close up Sean memenuhi layar notebook. Membuat Kinan terkesiap, refleks menutup mulut.
Seraut wajah dengan ekspresi hangat dan senyumnya, sama seperti senyuman yang pernah ia lihat di tempat ini. Meski hanya sekilas, Kinan sangat mengingatnya.
Denting piano Sean masih mengalun. Begitu indah, meski Kinan tak tahu lagu apa yang Sean mainkan. Tapi ia menyukainya.
Rasa hangat membanjiri tubuh Kinan. Perlahan menelusup dalam hati. Matanya terpejam. Kelebat ingatan berputar di kepalanya. Hujan yang menderas dan kedua tangan yang saling bertautan. Entah mengapa, semuanya terasa begitu tepat.
Perlahan, Kinan akhirnya menyadari maksud dari pertanyaan Sean. Mengapa pendapatnya menjadi sangat penting bagi pria itu.
Karena untuk pertama kalinya, Sean bermain dengan hati. Tidak hanya menghapal, tapi juga merasakan.
Kinan kembali tersenyum saat melihat sosok Sean di layar notebooknya. Ekspresi angkuh dan dingin itu telah kembali.
Tapi Seulas senyum dan sorot hangat beberapa detik lalu cukup menjelaskan, jika ada sesuatu yang telah berubah dalam diri pria itu.
"Bisakah kita bertemu lagi?" Gumam Kinan. Jarinya mengetuk-ngetuk layar notebook. Berandai, jika yang ia ketuk adalah hidung mancung Sean di depannya.
-----------------------------------------------------------
"Melamun lagi, Boss?"
Sapaan dari suara yang tak asing memaksa Sean mengalihkan pandangan dari menatap hujan.
Aland di belakangnya. Sudah duduk santai di karpet tebal diantara tumpukan bantal. Membawa segelas cokelat yang masih mengepulkan asap.
"Aku tidak melamun. Dan sejak kapan kau di situ?" Penyangkalan Sean membuat Aland tersenyum.
Ia cukup yakin jika bossnya sedang melamun. Karena hampir semenit ia di situ, tapi Sean tak menyadari keberadaannya.
"Tidak melamun, tapi tidak tahu aku datang."
"Karena kau seperti hantu. Tak bersuara tiba-tiba ada." Nada sinis dan dingin dari Sean tak berpengaruh pada Aland. Dia sudah sangat terbiasa dengan mulut tajam bossnya.
"Cheerrsss..... "
Aland mengangkat cangkir cokelatnya. Di ikuti Sean.
Mereka duduk berhadapan.
"Bagaimana projectmu?" Nada bicara Sean melunak. Memulai obrolan.
"Sejauh ini berjalan lancar, Boss. Aku sudah mengirim beberapa sample ke beberapa perusahaan. Semoga ada yang tertarik." Aland nyengir. Sangsi dengan perkataannya sendiri.
Beberapa bulan ini, Aland memang berkutat dengan game baru yang dibuatnya. Hanya Sean yang tahu tentang itu. Karena hanya mereka berdua yang memainkannya. Versi percobaan kata Aland.
"Aku yakin pasti ada."
"Terima kasih, Boss. Aku bisa menjadi seperti ini berkat bantuanmu."
"Bukan. Itu hasil kerja kerasmu, Al." Kata-kata Sean, yang dilontarkan sambil lalu seakan tak berarti apapun.
Tapi semua orang juga tahu, jika Aland tak bertemu dengan Sean, maka tak akan pernah ada Aland yang sekarang.
Sudah sejak lama, ia ingin melakukan entah apa, sebagai balasan kebaikan hati Sean. Sejak awal, Aland sudah memikirkan banyak hal. Tapi semuanya terhalang oleh Sean sendiri. Lelaki itu sempurna di mata Aland.
Bossnya itu jelas tak akan mau jika ia memberikan sebagian hasil projectnya, dia sudah terlalu kaya. Pekerjaannya sudah mapan sebagai pianis terkenal dan pemilik perusahaan cokelat warisan dari kakeknya.
Untuk pasangan hidup pun, Aland tak mungkin menjodohkan dengan salah satu teman atau kenalannya. Mereka semua terlalu biasa. Tak sebanding dengan Sean yang tiap harinya dikelilingi gadis-gadis kalangan kelas atas.
Ia seperti cahaya lampu yang mengundang jutaan laron mendekat. Tapi tak ada satupun yang berhasil menggapainya. Terbakar sebelum sampai.
Dan hingga saat ini, si boss masih memilih sendiri. Atau mungkin dugaannya selama ini benar, jika akhirnya sudah ada seseorang yang berhasil menaklukkan hatinya.
Aland mendengkus keras. Pikiran di otaknya tak akan pernah habis jika menyangkut Sean.
"Kau kenapa?" Sean refleks memandang Aland. Meletakkan sendokan blackforest di piring.
"Tidak, boss. Aku hanya memikirkan sesuatu."
"Tell me, aku membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku."
"Hmmm.... aku boleh bertanya, boss?"
"Katakan."
Ragu, Aland bertanya. Berharap pertanyaannya tepat untuk mengalihkan pikiran Sean dari entah apa.
"Apa boss tahu kabar Kinan sekarang?"
"Pertanyaanmu sangat tidak tepat. Dan kenapa menanyakan dia?"
Raut wajah Sean yang semula santai berubah tegang. Pandangan bersahabat beberapa saat lalu menghilang sudah.
Ekspresi Sean yang tak enak dilihat, membuat Aland menyesali pertanyaannya. Tapi ia sudah terlanjur bertanya. Jadi akan aneh jika tidak dilanjutkan.
"Aku hanya ingin tahu. Rasanya aneh saja, jika bertemu seseorang lalu tiba-tiba menghilang tanpa kabar. "
"Kau menyukainya?"
"Tentu saja, Boss. Dia gadis yang menyenangkan." Tanpa berpikir dua kali, Aland menjawab. Tapi ia langsung terdiam saat mendapat tatapan tajam dari Sean.
"Tunggu... tunggu, Boss. Bukan itu maksudku." Aland menelan ludah, menggaruk rambut yang tak gatal, kemudian melanjutkan,
"Maksudku, semua orang yang mengenal dia pasti menyukainya. Dia orang yang menyenangkan, suka mengobrol dan ceria. Tak hanya laki-laki, perempuan pasti juga menyukainya sebagai teman."
Sean menghembuskan napas lega. Tak sadar, jika hal itu tak luput dari pengamatan Aland.
"Boss tidak ingin tahu bagaimana kabarnya?"
"Untuk apa?" Seakan tak peduli, Sean menjawab. Tapi kata hatinya berbanding terbalik. Sebenarnya ia sangat ingin tahu kabar gadis itu.
"Bukankah boss sudah berteman dengan Kinan? Jadi tak ada salahnya menanyakan kabar seorang teman."
"Kami tidak berteman."
"Lalu, untuk apa boss datang ke rumahnya? Bertemu kakeknya?" Delikan tajam Sean disambut cengiran lebar Aland.
"Temui saja, Boss. Daripada mati penasaran." Aland tergelak sambil berlari menuruni gazebo. Ia bertindak cepat, sebelum Sean berpikir untuk melemparnya ke kolam renang di bawahnya.
"Sialan, kau Al!!" Teriakan Sean teredam hujan yang semakin deras.