Hening. Hanya hela napas yang menandakan ada dua orang dalam ruangan luas tersebut. Sean yang masih terdiam dan Flyn yang setia menunggunya bersuara.
Kebekuan mereka terpecah saat Aland masuk, berjalan cuek melewati ruang tamu sambil bersiul. Tanpa menoleh, melangkah santai menuju dapur. Seakan tak peduli dengan bossnya dan Flyn yang tengah serius.
Siulan Aland membangunkan syaraf dalam tubuh Sean. Membuatnya kembali menjejak dunia nyata, setelah tadi sempat larut dalam pikirannya sendiri. Berusaha mencerna penjelasan Flyn yang terasa tidak masuk akal baginya.
"Anda yakin dengan apa yang anda ucapkan?" Gumam Sean.
"Tentu, Sean. Semua jawabanmu dari test tertulis yang kuberikan selama beberapa jam tadi menegaskannya." Sahut Flyn sambil mengibas-ngibaskan lembaran kertas ditangannya.
"Tapi aku tak pernah takut pada apapun. Bahkan ketika aku harus hidup sendiri. Tanpa ibu atau kakekku."
Flyn mengangguk, penyangkalan Sean memang benar.
"Kau takut pada hal yang kasat mata. Tak bisa diraba, atau dilihat. Dan memang, kau tak pernah takut dengan kesendirianmu. Justru merasa nyaman dengan itu."
"Lalu?"
"Ketakutanmu berlaku sebaliknya. Kau takut pada kebersamaan, perhatian, cinta dan kasih sayang dari orang lain. Philophobia."
"Tidak masuk akal." Sean mendengus sebal. Ia mengambil segelas lemon tea yang tersaji di atas meja, meminum seteguk sebelum melanjutkan,
"Selama ini aku baik-baik saja tanpa perlu hal-hal yang anda sebutkan tadi. Lagi pula.... "
"Seorang philophobia, tidak akan mampu menatap langsung pada objek penyebab phobianya. Memandangnya dalam waktu yang cukup lama." Flyn memotong perkataan Sean. Membuat pria itu sontak terdiam. Tangannya mencengkram gelas dengan sangat erat.
"Merasa takut, berkeringat dingin, tubuh gemetar, sesak napas, ingin kabur dari sana, bahkan pada kasus yang ekstrim bisa menyebabkan pingsan."
Cecaran penjelasan dari Flyn benar-benar membuat Sean mematung dengan wajah pias. Ia bahkan tak sadar jika psikiater berambut putih itu sudah berpindah di sampingnya, mengambil gelas dalam genggaman Sean dan meletakkan di meja.
"Tepat sekali ya?" Flyn terkekeh pelan melihat ekspresi datar dan dingin di wajah Sean menghilang. Sementara yang ditanya hanya mengangguk pasrah. Kepalanya tertunduk lemah.
"Masih tetap bertahan dengan 'aku baik-baik saja'?" Seakan belum puas, Flyn melanjutkan. Dan mendapat gelengan pelan dari Sean.
"Anda benar, aku tidak baik-baik saja setelah mengenalnya."
"Good boy...." Pelan, Flyn menepuk pundak Sean. Membuat pria itu kembali mendongak sambil bertanya
"Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Ada tiga hal yang bisa kau pilih.
Pertama, Hypnotheraphy. Aku bisa membantu dengan memberikan sugesti positif. Tapi aku tidak yakin ini akan berhasil. Melihat bagaimana pola pikir dan kemampuan istimewa yang kau miliki, photographic memory."
"Opsi kedua?"
Flyn yang duduk di sebelah Sean mengerutkan dahi. Berpikir selintas.
"Flooding, Exposure Treatment yang ekstrim. Kau akan dihadapkan secara langsung untuk menghadapi, menyentuh, memegang dan merasakan, berinteraksi langsung dengan sumber phobiamu. Sampai rasa takutmu hilang."
Bahu Sean terkulai, kepalanya bersandar di sofa.
"Dan membiarkan dia tahu, aku mengalami phobia?"
"Kau bisa menyembunyikannya."
"Tapi rasanya tidak adil. Seakan menjadikan gadis itu kelinci percobaan." Nurani Sean ternyata masih bekerja dengan baik. Membuat Flyn tersenyum simpul.
"Lalu apa yang ketiga?"
"Opsi ketiga, Desensitisasi Sistematis, lakukan pendekatan dengannya secara bertahap, perlahan. Namun hal itu biasanya memerlukan tekad yang sangat kuat dan memakan waktu yang agak lama." Penjelasan itu membuat Sean berpikir keras. Sementara Flyn terlihat santai. Ia mengambil sebuah eclair yang terhidang di atas meja dan melahapnya.
"Hmmmm.... ini enak. Siapa yang membuat?"
"Bibi Mer."
"Kau beruntung memiliki seseorang seperti dia di rumah ini. Sepeninggal kakekmu, tidak ada yang lebih bertanggung jawab selain Merydith."
"Bagaimana anda tahu?" Sean mengernyit heran.
"Aku sudah lama mengenalnya, Sean. Dia orang baik. Oh ya, opsi nomor berapa yang kau pilih?" Flyn kembali bertanya. Mengembalikan perhatian Sean pada masalahnya sendiri.
"Opsi ketiga, bukankah itu sama dengan opsi kedua?" Karena lelah duduk berjam-jam, Sean memutuskan berdiri. Melemaskan kaki dengan mondar-mandir di depan perapian.
"Tentu tidak, opsi ketiga lebih aman untuk kalian berdua. Dan lebih mudah dilakukan. Kau bisa mencoba berteman dengannya, dan hilangkan pikiran 'menjadikannya objek percobaan'. Biarkan semuanya berjalan seperti seharusnya."
Tapi rasanya, tidak akan semudah itu. Setidaknya bagi seorang Sean.
"Lalu, philophobia, apa anda tidak salah? Aku tidak mungkin bisa begitu saja jatuh cinta pada seseorang yang baru saja kutemui." Mata Sean menyipit penuh keraguan. Membuat Flyn terkekeh pelan.
"Sean.... Sean, kadangkala tak perlu waktu lama untuk jatuh cinta pada seseorang. Bahkan hanya dalam hitungan detik, semuanya bisa terjadi."
Impossible....
Tubuh tegak Sean berhenti di depan jendela lebar. Pandangannya mengarah ke halaman luas yang kosong.
Karena tak mendapat tanggapan, Flyn melanjutkan,
"Tapi kebanyakan dari kita, makhluk yang disebut pria ini, terlalu bodoh untuk mengetahui perasaannya sendiri. Lebih banyak menggunakan logika, sepertimu. Dan saat menyadari semuanya, bisa saja sudah terlambat."
Benarkah? Sepertinya mustahil.
Flyn menyusul langkah Sean. Berdiri di sampingnya dan mengamati raut wajah datar tanpa ekspresi milik Sean.
Pandang Sean masih terpaku di halaman. Entah bagaimana ia seakan melihat sosok seorang gadis disana. Memakai celemek stroberi dan tersenyum secerah matahari, yang membuat hatinya menghangat.
Beberapa detik yang amat berharga, ketika menemukan kelebatan ekspresi hangat di mata pemuda itu, tak ragu Flyn berucap,
"Aku berharap kau bukan termasuk dalam kategori pria bodoh itu, Sean."
Dengan bingung, Sean mengalihkan pandangan. Menatap lekat Flyn. Sementara yang dilihat hanya mengedikkan bahu dan berlalu. Sean mengacak rambutnya untuk ke sekian kali. Membuat semakin berantakan.