Sekolah SMA Bhakti Budaya memiliki 3 bangunan utama. Tiap bangunan merepresentasikan tingkatan pendidikan Siswa di sana. Saat memasuki gerbang sekolah, para siswa akan langsung dihadapkan pada lapangan olahraga yang besar dengan tiga tribun panjang di ketiga sisi lapangan. Permukaan lapangan tersebut dilapisi garis-garis dengan warna yang berbeda sebagai tanda pemakaian olahraga tertentu. Garis berwarna merah sebagai batas lapangan futsal, kuning sebagai batas lapangan bulu tangkis dan tenis, biru sebagai batas lapangan basket, serta hijau sebagai batas lapangan voli. Ring basket, net bulu tangkis dan gawang futsal tersedia di pinggir lapangan. Di sebelah kanan lapangan terdapat lahan luas untuk parkir mobil, motor dan sepeda dengan pos satpam di dekatnya. Satpam yang berjaga di pos tersebut tidak hanya bertugas mengamankan kendaraan siswa, tapi juga bertugas menutup gerbang tepat waktu dan melaporkan siswa-siswi yang telat dan masih berada di luar gerbang saat jam sekolah sudah dimulai.
Mysha menyebrangi lapangan dan memasuki bangunan 5 lantai di hadapannya. Bangunan tersebut adalah bangunan kelas satu. Mysha pun naik ke lantai dua dan masuk ke kelasnya yang diatur khusus untuk masa orientasi. Tidak seperti di SMP, di sekolah ini tiap anak duduk sendiri-sendiri di atas kursi yang menyatu dengan meja. Entah kenapa Mysha merasa nyaman dengan fasilitas itu. Membuatnya tidak perlu banyak berbasa-basi dengan teman sebangku. Ia cukup senyum kalau ada yang menatapnya dan membuka diri kalau ada yang mengajaknya berkenalan. Teman-teman sekelasnya sama bersemangatnya dengan Mysha menyambut masa SMA mereka, hanya saja ada beberapa yang lebih ekspresif dari Mysha dalam memperlihatkan antusiasme mereka. Mysha sangat bersyukur pada teman-teman yang ekspresif dan supel tersebut karena hal itu sebenarnya membantu Mysha untuk setidaknya nampak bersosialisasi dan mengobrol sana-sini.
“Pagi, Mysh!” Suara lantang Luna menyambut ketika Mysha siap duduk di kursinya. Mysha membalas dengan senyum lebar. Luna adalah salah satu teman supel yang Mysha sukai karena Ia sangat ramah dan informatif. Karenanya, Mysha jadi bisa mengingat beberapa nama teman sekelas yang jarak duduknya cukup dekat. Luna suka mengajak mereka berkumpul dan mengobrol bersama. Kadang mendiskusikan tugas dari senior, kadang juga untuk sekedar berbagi informasi seputar sekolah, senior dan guru-guru. Mysha kebanyakan hanya menjadi pendengar dan ikut tertawa kalau ada yang melempar gurauan. Tapi berkat ngumpul-ngumpul di waktu istirahat itu, Mysha jadi bisa saling kenal beberapa anak di kelasnya dan pada akhirnya mampu mengingat nama-nama mereka.
“Lo hari ini udah siap belom untuk liat presentasi sama demo klub ekskul?” tanya Luna pada Mysha.
“Hihihi… iyaaa… Di sini klub-nya banyak banget tapi seru-seru ya, bikin bingung milih,” Jawab Mysha antusias.
“Iyaaa… kita boleh gabung di lebih dari satu klub juga loh, Mysh,” Sahut Luna. Mysha suka geli tiap mendengar Luna menyebut namanya. Biasanya teman-temannya hanya memanggilnya “Mis.. Mis…” seperti berdesis di akhir suku kata nama Mysha. Tapi Luna tidak pernah ketinggalan akan huruf “H” ketika memanggil Mysha, membuat namanya terdengar lebih imut dari yang biasa Ia sadari.
“Oh ya? Bisa gabung lebih dari satu?”
“Iyaaaa… eh, tapi ngga boleh gabung di lebih dari dua klub sih,” Balas Luna yang langsung terkikik malu.
“Yaampun… tadinya gue pikir bisa gabung sampai lima atau enam klub gitu, Lun…” Jawab Mysha ikut tertawa.
“Yah, cuma boleh dua sih sayangnya. Katanya biar kita tetap fokus sama belajar. Soalnya kegiatan klub itu padat banget, Mysh. Apalagi kalau kita ikutan OSIS,” Luna pun lanjut menjelaskan.
“Ah, gue sih ngga kepingin masuk OSIS. Kayaknya super sibuk gitu. Ngga kebayang sambil ngurusin klub-klub dan acara sekolah, sambil belajar buat PR, belom kalo lagi ulangan…” kata Mysha sedikit berbohong. Ia takut terlihat terlalu bersemangat, tapi nanti tahu-tahu kehilangan minat.
“Gue mau sih ikutan OSIS, tapi katanya kalo anak kelas satu tugasnya suka tugas teknis yang berat-berat gitu. Terus ngga di anggep juga pendapatnya.” Luna mulai bergosip.
“Ih, kata siapa? Gosip banget lo…” Mysha sedikit menggoda Luna.
“Gue pernah ngga sengaja denger Kak Randy sama Kak Vira ngobrol pas hari pertama orientasi. Mereka kayaknya lagi mengenang masa-masa junior mereka gitu dan bersyukur sekarang mereka ngga jadi ‘kacung’ lagi, soalnya kan kepengurusan acara orientasi ini udah ngga sepenuhnya dipegang senior kelas tiga. Gituuu…” Meskipun Mysha tidak merespon, Ia menyimak dengan sungguh-sungguh cerita dari Luna. Kak Randy dan Kak Vira adalah Pembina kelas orientasi Mysha dan Luna. Mereka adalah senior kelas dua. Mendengar cerita Luna tentang mereka, Mysha malah menjadi ragu untuk bergabung dengan OSIS. Walaupun terlihat memiliki banyak kegiatan seru, nampaknya senioritas masih jadi isu yang berat di organisasi utama sekolah tersebut.
“… Kalo elo maunya masuk klub apa, Mysh?” Luna mencoba mencari suara Mysha agar obrolan mereka tidak nampak searah.
“Gue suka nulis sih, tapi penasaran sama klub buku dan klub debat.” Jawab Mysha masih dengan antusiasme yang sama di hatinya. Diam-diam Ia sangat penasaran dan mengincar klub jurnalistik. Tapi Ia merasa tidak perlu menceritakan keinginannya itu terhadap orang lain, takut nanti malah terjadi hal yang tidak diinginkan.
“Selamat Pagi Semua!” suara lantang Kak Vira terdengar mengisi kelas orientasi Mysha, tanda masa orientasi sudah mau dimulai kembali. Luna dan Mysha menghentikan obrolan mereka.