Tahun ajaran baru 2005-2006.
Tahun ini adalah tahun yang membuat dada Mysha berdebar penuh semangat karena Ia akan resmi menyandang predikat sebagai Siswi SMA. Sesuai dengan cerita orang, masa SMA adalah masa dimana manusia dianggap berada dalam peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Proses menjadi dewasa ini selalu digambarkan sebagai proses yang penuh warna, cerita, serta pengalaman tak terlupakan. Mysha pun merasa tidak sabar untuk menyambut pengalaman macam apa yang akan menantinya tiga tahun ke depan. Hal yang sebenarnya agak aneh karena Mysha adalah tipikal anak yang sangat cuek dan tidak acuh terhadap lingkungan sekitarnya.
Mysha mudah disalahpahami sebagai orang yang tak-pedulian karena mudah melupakan hal-hal penting seperti nama orang yang baru berkenalan atau hari ulang tahun kerabat. Padahal Mysha sebenarnya amat perhatian. Hanya saja, apa yang dianggap Mysha penting selalu berbeda dengan apa yang dianggap orang lain penting. Bagi Mysha, orang yang dilupakan namanya itu selalu diingatnya sebagai “Tante teman Mama yang suka memberikan cemilan bikinan sendiri”, atau si “Anak kelas 1 SMP yang punya banyak teman senior”. Ia tidak peduli bahwa Tante itu adalah chef selebriti terkenal bernama Mourine Fransiska. Ia juga tidak peduli kalau si junior kelas 1 itu adalah anak pejabat daerah dan itulah yang membuatnya terkenal sampai-sampai anak-anak populer seangkatan Mysha berebut ingin mendekatinya. Mysha selalu kesulitan menjelaskan tentang dirinya sendiri, membuatnya banyak menutup diri. Tapi bukan berarti dia tidak peduli. Bukan berarti juga dia penyendiri. Begitu ada orang yang siap berdiskusi sesuai minat Mysha, tentu Mysha akan layani mengobrol. Apalagi Mysha termasuk anak yang memiliki banyak minat di berbagai bidang, meskipun ada satu bidang yang paling Ia sukai sejak Ia mampu mengenal aksara: Menulis. Mysha bukan gadis yang pemurung, Ia justru memiliki banyak mimpi dan harapan. Ia berharap di sekolah barunya nanti Ia memiliki kesempatan untuk lebih aktif menulis dan menyebarkan tulisannya agar dapat dibaca banyak orang.
Mysha mengenakan seragam SMPnya untuk yang terakhir kali pagi itu. Ia bersiap menuju hari terakhir masa orientasi sekolahnya yang baru. Sekolah Bhakti Budaya adalah sebuah SMA swasta dekat rumah Mysha. Selain terakreditasi A, sekolah ini terkbukti melahirkan lulusan-lulusan unggul. Mysha tahu orangtuanya berharap Mysha mendapatkan akses pendidikan dan pergaulan yang baik dengan memasukkannya ke sekolah itu. Walaupun kebanyakan teman-teman SMPnya masuk ke sekolah lain, tapi Mysha tidak keberatan masuk sekolah tersebut. Mysha sempat melihat pamflet sekolah Bhakti Budaya dan menemukan bahawa di sekolah ini terdapat banyak sekali klub-klub ekstrakulikuler yang menarik. Berbeda dengan sekolah SMP Mysha yang hanya memiliki sedikit klub seni dan olahraga, padahal Mysha punya kecenderungan untuk lebih mendalami budaya dan sastra. Mysha sangat mengincar untuk bergabung dengan klub jurnalistik di sekolah barunya dan hari ini adalah hari pengenalan klub ekstrakulikuler sekolah.
Mysha harus mengakui bahwa Ia cukup salut dan sangat bersyukur dengan pilihan orangtuanya. Sekolah Bhakti Budaya adalah sekolah yang sangat bagus. Mungkin biaya pendidikannya di sekolah ini sangat mahal, tapi Mysha tidak pernah memikirkan terlalu jauh soal biaya. Baginya, hal itu biar menjadi urusan orang tuanya, toh mereka juga yang membuat keputusan untuknya dan Ia tinggal mengikuti saja. Tapi Mysha selalu percaya bahwa pilihan orang tuanya adalah keputusan terbaik baginya dan Adiknya, Naira.
Selama dua hari terakhir, masa orientasi sekolah Mysha lalui tanpa perploncoan ataupun menggunakan kekerasan fisik dan verbal. Sangat berbeda dari gaya orientasi sekolah menengah atas pada umumnya. Di SMA Bhakti Budaya, tiap siswa-siswi angkatan baru betul-betul diperkenalkan tidak hanya kepada lingkungan sekolah, tapi juga budaya sekolah. Meskipun mereka menjalani beberapa aktivitas dan diberikan tugas selama masa orientasi, tapi semua itu bukanlah bertujuan untuk mengerjai anak baru seperti perploncoan sekolah jaman dulu. Aktivitas yang dilakukan selama masa orientasi bertujuan untuk memperkenalkan Siswa-Siswi baru dengan guru dan senior mereka, serta membiasakan diri mereka dengan sistem dan suasana kelas di sekolah tersebut.
Hari ini adalah jadwal yang paling ditunggu-tunggu bagi Mysha. Mysha sedikit berdebar membayangkan apa yang akan Ia hadapi nanti. Dalam pikirannya sudah terbayang asyiknya bersekolah sambil bekerja dalam OSIS, berdialog dalam klub debat, berdiskusi dalam klub buku, serta tentu saja tujuan utamanya, menjadi penulis majalah sekolah di klub jurnalistik.
Setelah Mysha sarapan bersama keluarganya, Ia pun siap berangkat diantar Papa. Biasanya Mysha dan Naira diantar sekaligus ke satu sekolah. Tapi sejak dua hari lalu, rute perjalanan pagi Papa pun berubah. Naira diantar terlebih dahulu sampai ke depan gerbang sekolah seperti biasa, baru Papa mengantar Mysha sampai depan gang besar menuju sekolahnya sebelum akhirnya Papa berangkat ke kantor. Di hari pertama masa orientasi Mysha, banyak anak yang berjalan kaki dari depan gang besar tersebut sehingga Mysha malu kalau diantar sampai ke depan gerbang sekolah. Mysha yang takut terlihat terlalu mencolok dan menarik perhatian meminta Papa untuk mengantarnya sampai depan jalan besar menuju sekolahnya saja. Papa menuruti anak sulungnya mengingat daerah gang menuju sekolah Mysha juga sangat ramai. Mysha mencium pipi Papanya sebelum membuka pintu mobil.
“Dadah Papa!” Kata Mysha.
“Semangat sekolahnya ya, Sayang…” Balas Papa yang disambut pintu mobil yang menutup. Papa melihat punggung Mysha pergi menjauh, menuju sekolah. Setelah agak lama, akhirnya Papa kembali melanjutkan perjalanannya dengan semangat yang tak kalah. Mengantar kedua putrinya bersekolah setiap hari sungguh merupakan motivasi dan pemberi semangat terbesar untuk Papa agar sanggup menghadapi beratnya beban kerja seharian nanti.