Read More >>"> Petrichor (Langit) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Petrichor
MENU
About Us  

Senja yang merona selalu saja menjadi magnet bagi mata untuk berlama-lama menatap langit. Warnanya yang bersemu kemerahan, seolah menunjukkan bahwa ia malu ditatap sedemikian rupa oleh berpasang-pasang bola mata. Banyak yang mencintai senja, hingga mereka rela menanti di tempat-tempat terindah untuk memotret sebuah momen bersamanya.

Di antara para pecinta senja yang tak terbilang itu, gadis berbalut seragam putih abu itu salah satunya. Di antara lapangnya puncak sebuah bangunan di suatu sudut kotanya, ia menjadi satu-satunya makhluk bernyawa di sana. Meski binar matanya tak menyiratkan hal yang sama. Ransel coklat yang digendongnya, sudah terhempas tak berdaya di samping tubuh kecilnya. Kedua tangan memeluk sepasang kaki yang ditekuknya, kepalanya sedikit menengadah. Memandang lepas pada cakrawala yang tak terbatas, yang sedang asyik mempertontonkan kombinasi warna dengan cantik. Biru, putih, kuning, jingga, serta warna-warna lain yang ia tak tahu apa sebutan yang lebih tepatnya.

Gemerisik angin berhembus dengan jahil. Menarik-narik ujung jilbab putihnya hingga membuatnya bergerak-gerak mengikuti arah geraknya. Entahlah, mungkin ia sedang beredar, berkeliling menyampaikan pesan pada teling-telinga penanti kabar. Daun-daun yang mengigil karena sentuhannya, menimbulkan bunyi-bunyian yang khas. Sepertinya momen ini dapat dikatakan sebagai perpaduan yang pas bagi para pujangga untuk menghasilkan karya yang puitis nan romantis.

Namun, tidak begitu bagi gadis yang sekarang duduk seorang diri. Keberadaannya di sana bukan untuk merangkai sebait puisi, bukan pula untuk menyulam kata dalam satu paragraf prosa. Ia hanya sedang mencari teman untuk berdiam diri. Untuk mendengarkannya dalam sunyi. Teman untuk menyimak celotehan-celotehan yang ia teriakkan hanya dalam hati.

Puncak gedung di samping rel kereta itu, menjadi salah satu tempat yang dia tuju untuk pelarian. Meski sebenarnya ia takut pada ketinggian, namun setidaknya di tempat ini ia dapat memandang lapangnya atap bumi itu tanpa terhalang. Bagi Aina Farzana, si gadis pertengahan remaja itu, langit selalu mengingatkannya pada sosok sang Ayah yang kini entah berada di bawah langit yang mana.

Langit. Bukan sekedar nama untuk atap bumi, namun juga nama bagi sesosok manusia yang senantiasa memberikan naungan bagi dirinya. Menjadi pelindung bagi keluarganya. Sosok yang selalu menjadi peneduh saat terik maupun hujan. Menanamkan keyakinan bahwa hidup harus memiliki sebuah tujuan yang jelas. Menumbuhkan harapan bahwa apapun yang terjadi pada hidup adalah skenario terbaik dari sutradara yang mengatur kehidupan yang ia perjalankan.

Ia ingat pada sore itu. Suatu sore yang menjadi kali pertama ia berkenalan dengan langit berhias warna jingga. Saat itu usianya hampir memasuki angka dua belas. Katanya usia peralihan dari masa anak-anak menuju masa remaja, yang juga sebagai masa transisi menjadi dewasa. Hari itu, ia masih mengenakan kemeja putihnya yang dipadukan dengan rok berempel berwarna merah. Kaki kecilnya menekuk menyembunyikan wajah yang dibanjiri air mata. Pundaknya naik turun senada dengan isakan yang tak kunjung berhenti. Punggungnya bersandar pada sebuah sudut yang terbentuk oleh lemari baju dan dinding kamarnya. Ruangan di dalamnya sudah tak beraturan. Selimut, bantal, guling, dan buku-bukunya berhamburan di lantai, menjadi korban amukan pemiliknya.

Di waktu yang sama, seorang wanita paruh baya duduk mematung. Pandangannya kosong menatap gelas di hadapannya yang tak lagi berisi. Hatinya menangis melihat putri kecilnya meluapkan kemarahannya. Namun, apalah dayanya. Kenyataannya saat itu ia harus rela menggoreskan kecewa di hati anak kesayangannya.

Derit pintu menarik kesadaran sang ibu. Seorang lelaki muncul tak lama kemudian. Menghampiri dirinya yang tak sedikit pun beranjak menyambut suaminya.

“Ada apa? Mana Farza?” tanyanya kemudian. Matanya menyapu sekeliling ruangan.

“Ngambek” Kirana mengisyaratkan keberadaan Farzana dengan dagunya.

Tanpa meminta penjelasan, Langit menghela langkahnya menuju kamar sang putri. Membuka pintunya perlahan. Langkahnya terhenti di ambang pintu. Memindai sekitar sebelum menghampiri Farzana yang masih anteng dengan posisinya. Ada sedikit perih yang menusuk relung hatinya. Sepertinya bagi ayah mana pun, kesedihan anaknya adalah luka bagi dirinya.

“Farza...” lirihnya seraya membelai kepala sang anak dengan penuh kasih. Lembut. Tak ada respon. Wajah Farzana masih saja terbenam di balik kedua kakinya.

“Ikut Ayah, yuk...” Rayuan sang ayah berhasil membawa kepalanya terangkat. Menampilkan mata beningnya yang memerah. Senyum sang ayah menyambutnya, membawa serta anggukan tanda setuju pada ajakan yang baru saja ditawarkan kepadanya. Tangan kecilnya menyambut uluran tangan besar di hadapannya. Sebuah tangan yang selalu menjanjikan perlindungan dimana pun dan sampai kapanpun.

“Bun, kita jalan-jalan dulu ya...” pamit Langit pada Kirana.

“Hati-hati...” katanya dengan sebuah anggukan kecil yang mengiringi langkah dua orang kesayangannya.

Tiga puluh menit waktu yang dihabiskan Langit untuk membelah jalanan kota dengan motor maticnya. Membawa putrinya menikmati senja di sebuah puncak gedung. Keduanya berdiri di sebuah tepiannya yang dipagari besi setinggi pinggang. Keduanya masih membisu menatap matahari yang siap kembali ke peraduan. Menjemput gelap yang menjadi pertanda malam.

“Indahkan...?” tanya sang ayah retoris. Sang anak masih setia dengan bungkamnya. Meski isak hanya tinggal meninggalkan jejak sendu di kedua netranya.

Perlahan langit menggelap. Dimulai dari bagian timur menuju ke barat, hingga seluruhnya menggelap. Bulan mulai terbit, diikuti bintang yang satu persatu mulai berkerlip. Mereka beranjak dari tempatnya, menuju sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari gedung itu.

Usai menunaikan sholat maghib, sang ayah tidak lantas mengajaknya kembali pulang. Mereka masih menikmati suasana malam yang baru saja mengganti siang. Keduanya duduk pada tangga kecil di selasar masjid. Selain masjid, di area itu juga terdapat beberapa gedung lainnya. Secara keseluruhan area itu di fungsikan sebagai pusat kegiatan islam di Jawa Barat. Di tengah-tengah area, terdapat lahan terbuka yang cukup luas. Terdapat dua menara berdiri bersama pohon-pohon palem di sekitarnya. Lantainya dilapisi keramik, sehingga akan tetap bersih meski musim hujan.

“Za, coba lihat langitnya...” katanya tanpa melepaskan pandangan dari objek yang begitu jauh dari jangkauannya. Farzana mengikuti pandangan sang ayah. Menyapu layar hitam yang membentang sejauh mata memandang. Sebuah bulatan penuh dengan cahaya yang benderang menjadi objek sentral dan bintik-bintik kecil yang berkerlipan menjadi penghiasnya.

“Kamu tahu za, mengapa semua yang ada di sana bisa terlihat indah dari sini?” Tak ada jawaban. Namun Langit tahu, diamnya Farzana bukan dia mengabaikan perkataan sang ayah. Ia justru sedang menyoba menyelami, mencari jawab atas apa yang ditanyakan kepadanya. Pandangan Langit beralih pada sosok kecil di sampingnya, yang juga mengarahkan pandangan kepadanya. Matanya menyorotkan tanya “kenapa?”. Binarnya telah kembali, diliputi rasa takjub dan penasaran. Menciptakan sebuah lengkung senyum di wajah sang ayah.

“Di tempat yang jauh di sana, bintang-bintang kecil itu besar. Mungkin beratus-ratus kali lebih terang dari apa yang kita lihat di sini. Namun jika kamu dekati, bintang-bintang itu justru akan membakar diri kamu. Suatu hari, di jenjang sekolah yang lebih tinggi, kamu pasti akan mempelajarinya. Begitupun dengan bulan. Pada waktu-waktu tertentu kamu bisa melihat bentuk bulan yang berbeda-beda. Kadang terlihat sabit, separuh, purnama seperti saat ini, bahkan tak terlihat sedikitpun. Suatu waktu, cahayanya terlihat benderang, adakalanya sedikit redup, kadang terlihat memerah tapi sesekali juga terlihat memucat...” Langit menjeda paparannya. Farzana menyimak dalam diamnya. Matanya kembali pada objek-objek kecil yang jauh di hadapannya.

“Semuanya terlihat begitu indah dari sini. Ketika kamu mendekat, apakah bulan akan terlihat seperti apa yang kamu lihat sekarang?” Sebuah gelengan refleks tercipta dari kepala Farzana.

“Mengapa? Karena angkasa ini luas. Karena pandangan kamu dari sini tidak terbatas. Karena kita bisa melihat sisi-sisi yang lain...” Langit kembali menjeda kalimat panjangnya. Memberi waktu untuk dirinya melihat respon sang anak.

Farzana adalah seorang anak yang cukup cerdas. Sejak kecil ia senang bertanya banyak hal pada kedua orang tuanya. Begitu pun dengan Langit, ia adalah sosok ayah yang luas pengetahuannya, seorang yang senang belajar pada banyak hal. Sehingga ia dapat mengimbangi putri kecilnya yang sudah haus ilmu sejak kecil.

“Begitu pun dengan kita, kamu adalah anak ayah yang cerdas. Cita-citamu besar. Bahkan kamu sudah buktikan dengan prestasi yang kamu capai melalui hasil ujian nasionalmu kemarin. Ayah yakin, suatu hari kamu akan menjadi bintang. Bintang yang cahayanya berkilauan. Bukan yang justru cahayanya akan membakar orang lain. Dan kamu akan berkilauan karena keluasan hati kamu. Keikhlasan kita. Bukan karena kesombongan kita. Karena pada akhirnya, kesombongan akan membakar diri kamu sendiri...”

“Senja yang tadi kita lihat, indah bukan? Tapi tidak lama kemudian, malam datang membawa gelap. Hidup kita ini tidak selamanya. Seperti bumi, berputar. Ada saatnya senang, ada waktunya sedih. Dan semua harus kita terima dengan baik. Karena apapun yang sampai kepada kita adalah yang terbaik dari Allah”

Seketika hening. Hembusan angin malam membelai keduanya.

“Yah...” sang putri kecil memecah kesunyian. Ia menanti sang ayah membalas tatapannya.

“Maaf... aku janji akan selalu nurut. Aku ga akan marah-marah lagi. Aku mau, sekolah di tempat yang udah ayah pilihkan...” katanya putus-putus. Kepalanya kembali tertunduk.

“Sini, Nak..” Tangan besar Langit melingkari bahu kecil Farzana. Menepuk-nepuk pundaknya. Menyalurkan kasih sayang yang tak berbatas.

“Terima kasih. Maafkan ayah, belum bisa memenuhi keinginan kamu untuk belajar di sekolah yang kamu harapkan. Bukan ayah tidak ingin menyekolahkan mu di tempat terbaik. Hanya saja, mungkin bukan sekarang waktunya...”

“Aku beneran ga apa-apa, ko...” sebuah senyuman terbit di kedua sudut bibirnya, menularkannya pada sang ayah. Hening kembali mendominasi, hingga panggilanNya menggantikan sunyi.

“Kita shalat Isya dulu, baru pulang...” Langit mengajak putrinya berdiri untuk segera memenuhi Pemilik semesta.

Sejak saat itu, layar biru yang membentang di ats bumi yang dipijaknya selalu menjadi objek pertama yang dilirik kedua matanya saat kakinya melangkah keluar. Langit selalu berhasil merayu kedua sudut bibirnya untuk menghasilkan selengkung senyum meski dengan air mata terurai. Langit pun selalu menang menyalakan kembali binar pada kedua netranya.

Begitupun saat ini. Ketika jiwa remajanya porak poranda. Ketika lagi-lagi ia harus terhenti di sebuah persimpangan. Lagi-lagi ia mengadu pada Pemilik Langit. Bukan bimbang untuk memilih sebuah jalan, karena toh ia memang tak memiliki pilihan lebih dari satu. Ia hanya butuh merengkuh oksigen lebih banyak untuk kembali menempuh perjalanan. Menyiapkan diri untuk setiap kejutan yang mungkin akan ia dapati. Mencari “tongkat” penopang kaki-kaki yang harus ia paksa untuk mendaki.

“Ayah, Embun... aku rindu... Tuhan, kuatkan aku... Pada siapa lagi aku memohon kekuatan, selain kepadaMu yang Maha Kuat...”

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When I Was Young
8239      1654     11     
Fantasy
Dua karakter yang terpisah tidak seharusnya bertemu dan bersatu. Ini seperti membuka kotak pandora. Semakin banyak yang kau tahu, rasa sakit akan menghujanimu. ***** April baru saja melupakan cinta pertamanya ketika seorang sahabat membimbingnya pada Dana, teman barunya. Entah mengapa, setelah itu ia merasa pernah sangat mengenal Dana. ...
CATCH MY HEART
2451      907     2     
Humor
Warning! Cerita ini bisa menyebabkan kalian mesem-mesem bahkan ngakak so hard. Genre romance komedi yang bakal bikin kalian susah move on. Nikmati kekonyolan dan over percaya dirinya Cemcem. Jadilah bagian dari anggota cemcemisme! :v Cemcemisme semakin berjaya di ranah nusantara. Efek samping nyengir-nyengir dan susah move on dari cemcem, tanggung sendiri :v ---------------------------------...
Run Away
6668      1494     4     
Romance
Berawal dari Tara yang tidak sengaja melukai tetangga baru yang tinggal di seberang rumahnya, tepat beberapa jam setelah kedatangannya ke Indonesia. Seorang anak remaja laki-laki seusia dengannya. Wajah blesteran campuran Indonesia-Inggris yang membuatnya kaget dan kesal secara bersamaan. Tara dengan sifatnya yang terkesan cuek, berusaha menepis jauh-jauh Dave, si tetangga, yang menurutnya pen...
Rinai Hati
488      258     1     
Romance
Patah hati bukanlah sebuah penyakit terburuk, akan tetapi patah hati adalah sebuah pil ajaib yang berfungsi untuk mendewasakan diri untuk menjadi lebih baik lagi, membuktikan kepada dunia bahwa kamu akan menjadi pribadi yang lebih hebat, tentunya jika kamu berhasil menelan pil pahit ini dengan perasaan ikhlas dan hati yang lapang. Melepaskan semua kesedihan dan beban.
I have a dream
270      221     1     
Inspirational
Semua orang pasti mempunyai impian. Entah itu hanya khayalan atau angan-angan belaka. Embun, mahasiswa akhir yang tak kunjung-kunjung menyelesaikan skripsinya mempunyai impian menjadi seorang penulis. Alih-alih seringkali dinasehati keluarganya untuk segera menyelesaikan kuliahnya, Embun malah menghabiskan hari-harinya dengan bermain bersama teman-temannya. Suatu hari, Embun bertemu dengan s...
injured
1218      657     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
CAFE POJOK
3199      1077     1     
Mystery
Novel ini mengisahkan tentang seorang pembunuh yang tidak pernah ada yang mengira bahwa dialah sang pembunuh. Ketika di tanya oleh pihak berwajib, yang melatarbelakangi adalah ambisi mengejar dunia, sampai menghalalkan segala cara. Semua hanya untuk memenuhi nafsu belaka. Bagaimana kisahnya? Baca ya novelnya.
Hati Yang Terpatahkan
1846      839     2     
Romance
Aku pikir, aku akan hidup selamanya di masa lalu. Sampai dia datang mengubah duniaku yang abu-abu menjadi berwarna. Bersamanya, aku terlahir kembali. Namun, saat aku merasa benar-benar mencintainya, semakin lama kutemukan dia yang berbeda. Lagi-lagi, aku dihadapkan kembali antara dua pilihan : kembali terpuruk atau memilih tegar?
Move on
63      42     0     
Romance
Satu kelas dengan mantan. Bahkan tetanggan. Aku tak pernah membayangkan hal itu dan realistisnya aku mengalami semuanya sekarang. Apalagi Kenan mantan pertamaku. Yang kata orang susah dilupakan. Sering bertemu membuat benteng pertahananku goyang. Bahkan kurasa hatiku kembali mengukir namanya. Tapi aku tetap harus tahu diri karena aku hanya mantannya dan pacar Kenan sekarang adalah sahabatku. ...
Kisah yang Kita Tahu
5107      1446     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...