Setelah melalui berbagai macam kesialan hari ini, akhirnya Damar sampai di rumahnya dengan selamat. Harusnya perjalanan dari sekolah ke rumahnya hanya tiga puluh menit, tapi nyatanya perjalanan pulangnya molor hingga satu jam. Alahasil, Damar sampai rumah hampir jam lima sore. Memang ini bukan pertama kali ia pulang terlambat, tapi tidak pernah sampai sesore ini.
“Assalamualaikum!”
Damar membuka pintu rumah sembari melepas sepatunya. Ia menghela napas, tubuhnya benar-benar lelah. Setelah meletakkan sepatu di rak, Damar langsung masuk.
“Assalamualaikum! Ma!” panggilnya lagi karena tidak mendengar suara mamanya. Merasa heran dengan kondisi rumah yang sepi, akhirnya Damar berkeliling memeriksa seluruh ruangan. Kemana mama?
“Ma! Ma!”
Damar menyusuri area ruang tv tempat favorit mamanya setelah kamar mandi. Tidak ada. Kemudian ia menuju ruang makan dan dapur, tetapi tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan mamanya.
“Iiissh...mama kemana, sih!”
Merasa kesal dan lelah Damar lantas menuju kulkas dan mengambil botol air minum. Ia meneguknya sampai tetes terakhir tanpa sempat duduk.
“Aaahhh...”
Rasa lega dan sejuk langsung membanjiri tenggorokkannya. Selain Mang Udin, bertambah satu lagi pahlawannya hari ini, yaitu air minum ini.
“Mama kemana, ya?” gumamnya.
Tiba-tiba suara pintu terbuka membuat Damar langsung berlari untuk melihat siapa yang datang. Akhirnya orang yang ia cari dari tadi muncul juga. Sang mama, terlihat sedang menutup pintu.
“Mama?”
“Damar!” Seketika mamanya langsung berhambur memeluk Damar. Pelukan mamanya terasa sangat kuat hingga membuat Damar kesulitan bernapas.
“Damar! Kamu kemana aja? Ya ampun, mama khawatir banget. Kenapa baru pulang? Hiks...” rentetan pertanyaan langsung terlontar dari wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu disela isak tangisnya.
“Iya, Ma. Damar bisa jelasin, tapi lepasin dulu. Damar susah napas.”
“Oh, maaf.” sadar akan pelukannya terlalu erat, sang mama langsung melespaskan Damar.
“Sekarang coba kamu jelasin ke mama, kamu dari mana?” cecar mamanya dengan kesal. Air mata terlihat masih merembes di pipinya.
“Mama nangis?” tanya Damar heran. Damar tidak menyangka reaksi mamanya akan seekstrem ini bahkan sampai menangis. Ini pertama kalinya Damar melihat mamanya menagis karena mengkhawatirkannya. Bukannya sang mama tidak pernah menangis sebelumnya, pernah. Apa lagi kalau berat badannya naik dan di saat bersamaan dia harus menghadiri arisan ibu-ibu komplek. Tapi menangis karena mengkhawatirkannya, rasanya baru kali ini.
“Emang kamu lihat mama ngapain? Ketawa?”
“Hehe...Damar heran aja. Mama nangis karena Damar biasanya karena lemak.”
“Kamu ini ngomong apa! Yang namanya orang tua kehilangan anaknya pasti khawatir, Mar. Apa lagi kamu anak mama satu-satunya.”
“Damar kan cuma telat bentar, Ma.” jawaban Damar langsung di hadiahi cubitan di perut oleh mamanya.
“Aw! Iya, Ma. Maaf.”
“Awas kamu kalau kayak gini lagi!”
“Iya, Ma.” sambung Damar seraya memberi senyum. Terlepas dari sikap mamanya yang kadang-kadang terlalu berlebihan, Damar tahu bahwa itu semua karena rasa cinta beliau padanya. Untuk itu Damar sangat bersyukur mempunyai seorang ibu seperti beliau. Bahkan jika fase reinkarnasi itu memang benar-benar ada, Damar ingin tetap bereinkarnasi sebagai kembali anak mamanya.
***
“Jadi, dari mana saja tadi kamu? Mama bilang, kamu hilang?” tanya papa Damar sambil menyuap makanan ke mulutnya.
Damar dan orang tuanya sedang makan malam . Sudah menjadi aturan wajib dikeluarga Damar bahwa sesibuk apa pun, mereka harus menyempatkan diri untuk makan malam bersama. Mengingat aktifitas papanya yang bekerja di kantor sebuah perusahan elektronik ternama sangat sibuk, maka makan malam bersama dimanfaatkan sebagai waktu berkumpul untuk saling berbagi cerita. Apa lagi papanya baru saja mendapat promosi jabatan sebagai asisten manager.
“Nggak hilang kok, Pa. Mama aja yang berlebihan.” jawab Damar.
“Berlebihan apanya? Kamu sih, Mar belum ngerasain gimana jadi orang tua.” sanggah sang mama. Sisa-sisa perasaan kalut sore tadi rupanya masih menghantui pikiran mamanya. Bagaimana tidak, Damar anak semata wayannya hilang bak ditelan bumi tanpa diketahui keberadaanya.
“Iya deh, Ma. Maaf.”
“Mama tuh heboh nelepon papa ke kantor katanya kamu hilang. Papa juga jadi ikutan panik.”
“Soalnya hp kamu dihubungi nggak aktif, Mar. Kan mama jadi kepikiran macem-macem. Lagian, kalau sebelumnya kamu bilang pulangnya bakal terlambat pasti mama nggak akan panik, Mar.”
Jelas saja mamanya tidak bisa menelepon Damar karena hp nya ketinggalan di rumah dalam keadaan non aktif karena sedang di charge.Damar baru ingat hp nya tertinggal saat sudah sampai di sekolah tadi pagi.
“Hp Damar ketinggalan. Hehe...” ujar Damar sambil nyengir cengengesan.
“Memang kamu ngapain aja sampe pulang sore banget?” kali ini papanya bertanya sambil menyuap daging kepiting saus padang ke mulut. Ini adalah salah satu makanan kesukaannya.
Damar berhenti makan kemudian menatap papanya yang sedang khidmat menghisap cangkang kepiting seolah papanya akan menemukan harta karun di dalamnya. Mana mungkin Damar menceritakan kesialan yang menimpanya di sekolah, bisa-bisa mamanya akan bereaksi lebih ekstrem lagi. Apa lagi kalau mamanya sampai tahu kalu ia dituduh sebagai orang mesum yang masuk ke toilet cewek, bisa dipastikan mamanya langsung datang ke sekolah untuk mengintrogasi Pak Rizal. Seperti saat kelas satu dulu, karena tidak sengaja terjatuh saat pelajaran olahraga, mamanya langsung datang ke sekolah padahal Damar hanya menderita luka memar di lutut. Sejak itu Damar sadar, menjadi anak tunggal bukan perkara gampang!
“Mar? Kok ngelamun?” tegur mamanya.
“Iya, tadi telat karena ada pelajaran tambahan.” jelasnya..
Dengan hati yang sedikit menciut Damar terpaksa berbohong. Bukan maunya sengaja berbuat dosa, tapi ini juga demi kebaikan semua pihak. Ketimbang dia harus terjebak dalam lautan dramatisasi mamanya, rasanya sedikit berbohong adalah solusi terbaik. Damar yakin, Tuhan pasti bisa memahami dilema yang dihadapinya.
***
Damar meregangkan semua otot-ototnya dengan nikmat di ranjangnya. Baginya tempat terbaik untuk melepas lelah setelah mengalami kesialan adalah kasur dan bantal. Seandainya ada aturan sekolah yang mengijinkan siswa untuk membawa ranjang portable, maka Damar pasti akan menjadi siswa pertama yang melakukannya. Sembari menatap langit-langit kamar, terlintas sesuatu di pikirannnya.
Alena.
Wajah cantik Alena langsung memenuhi sel-sel otaknya. Bagaimana bisa Tuhan menciptakaan manusia sesempurna Alena? Seulas senyum langsung mengembang di bibirnya.
“Damar?”
Suara merdu Alena terniang-niang di telinga Damar, membuat hatinya berbunga-bunga. Beginikah rasanya jatuh cinta? Sungguh membuatnya mabuk kepayang, menembus batas dan melampauinya.
“Oh, iya!”
Tiba-tiba Damar teringat sesuatu. Langsung saja ia melompat dari ranjang dan berjalan menghampiri meja belajarnya. Dia mengambil tasnya dan merogoh sesuatu di dalamnya. Diary merah yang ia temukan di gudang sekolah kini ada di genggamannya.
“Kenapa tadi aku masukin? Kira-kira punya siapa ya?” gumamnya. Damar kembali ke ranjang dengan membawa diary itu. Dia duduk bersila dan meletakkan diary itu di pangkuannya. Satu per satu halamannya kembali ia buka.
Damar melewatkan beberapa halaman yang sudah ia baca siang tadi. Membuka halaman berikutnya terdapat coretan tidak jelas. Lembar berikutnya lagi ada sebuah puisi cinta yang ditulis dengan tinta emas.
Mempesosanya kamu
Memancar sinar matamu
Memabukkannya senyummu
Membingkai indah di wajahmu
Aku di sini melihatmu
Tak berdaya atas rasa pengecutku
Yang menghujam setiap detak jantungku
Tersiksa akan kehadiranmu.
Akankah kau menyambutku
Akankah kau mengerti perasaanku
Aku takut kehilangannmu
Jika kuutarakan cinta ini padamu
Hati Damar langsung terenyuh setelah membaca puisi itu. Bukan karena hatinya melankolis, tapi karena puisi itu sangat identik dengan dirinya. Kenapa puisi ini seolah seperti mewakili perasaannya? Perasaannya pada Alena. Siapa pun yang menulis ini, pastilah nasibnya sama menyedihkannya seperti dirinya. Apa pemilik diary ini juga sering mengalami nasib sial seperti dirinya? Damar kembali membolak-balikkan satu per satu halaman diary itu, tidak ada nama, alamat atau tanggal yang tercantum. Rasa penasarannya semakin menjadi-jadi, siapa pemilik diary merah ini?
Selain puisi itu, Damar mendapati ada beberapa tulisan lainnya. Tulisan tentang cinta berupa kutipan-kutipan dari William Shakespeare.
“Tak ada salahnya mencari cinta, namun menerima cinta itu lebih baik.” -Twelfth Night, William Shakespeare.
“Menyedihkan, cinta tampak seperti surga, namun tak ubahnya neraka ketika kau mengalaminya.” -Romeo+Juliet, William Shakespeare
“Aku tak bisa menguntai kata cinta layaknya pujangga, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu.” -Hendy V, William Shakespeare
“Maafkan aku...yang terlalu mencintaimu.” -Othello, William Shakespeare
“Kenapa kutipan cinta ini semua sangat menyedihkan?” gumannya sembari mengerutkan dahi.
Tiba-tiba Damar menguap, sinyal bahwa tubuhnya butuh istirahat. Sebenarnya Damar masih ingin membaca diary ini, tapi apa daya tubuhnya sudah protes karena mendamba empuknya sentuhan kasur. Segera diletakkannya diary itu ke meja belajar dan ia pun langsung berbaring menarik selimut. Damar memejamkan mata dengan membawa wajah Alena, terperosok jauh ke dalam mimpi indahnya. Jika di dunia nyata Alena jauh dari jangkauannya, maka di dalam mimpi dipeluknya dengan erat.
***
Kriiiiinggg....
Suara jam waker mengejutkan Damar, dengan mata yang masih terpejam ia lantas meraba-raba meja nakas di samping ranjang. Segera ia memencet tombol off dan seketika suara berisik itu pun lenyap. Perlahan ia membuka mata, tubuhnya masih enggan beranjak. Sambil menatap langit-langit, ia mulai mengumpulkan kesadarannya mencoba mengingat kembali mimpi apa ia malam tadi. Lagi, senyumnya mengembang karena wajah Alena kembali terlintas di pikirannya pagi ini.
Dengan malas, Damar menyingkap selimutnya hendak beranjak, tapi dia merasakan sesuatu yang aneh. Tidak mungkin! Apakah dia masih bermimpi? Perlahan ia menoleh ke sisi kiri kasurnya, tepat di sanalah sumber keanehan itu.
“Aaah!!” teriak Damar terkejut hingga membuatnya langsung jatuh dari ranjang. Tanpa peduli dengan bokongnya yang sakit mencium lantai, Damar hanya melongo dengan mata melotot sambil memandangi ranjangnya.
ADA SEORANG GADIS DI RANJANGNYA!
“Eemmm...berisik!” desah gadis asing itu sambil menarik selimut dan tidur lagi.
Damar melongo tidak percaya, bagaimana bisa ada gadis di kamarnya? Satu ranjang bersamanya? Bahkan satu selimut?
BAGAIMANA BISA!
Dengan panik mata Damar melihat ke segala sudut kamar, napasnya terdengar memburu. Ia mencoba mengingat kembali kejadian malam tadi. Tidak, Damar yakin ia hanya masuk seorang diri ke kamar. Secepat kilat ia langsung lari menuju pintu, terkunci. Tentu saja, karena dia sendiri yang menguncinya malam tadi dan pintu kamarnya memang selalu terkunci saat ia tidur. Mustahil ia lupa menguncinya. Jadi, dari mana gadis itu bisa masuk? Mata Damar langsung beralih ke jendela kamarnya yang terpasang jeruji besi kokoh. Tidak masuk akal!
Damar sudah mengambil ancang-ancang untuk membuka pintu dan memanggil mamanya. Tapi sebuah pikiran terlintas di otaknya, bagaimana bisa ia memberi tahu mamanya kalau ada seorang gadis di kamarnya? Bagaimana nanti reaksi mamanya? Damar pulang telat saja mamanya sudah khawatir sampai menangis apa lagi melihat hal seperti ini, Damar yakin mamanya pasti akan pingsan.
“Hallo! Selamat pagi!” spontan Damar langsung menoleh dan mendapati gadis itu sedang tersenyum padanya.
“Si-sia-pa kamu!” teriak Damar. Tangannya makin erat mencengkram kenop pintu.
Pintu kamar Damar tiba-tiba terbuka hingga menyebabkan Damar terpental jatuh ke lantai.
“Damar! Ngapain kamu di situ?” seru mamanya heran saat mendapati putranya terduduk di lantai dengan ekspresi aneh. Tadinya mamanya bermaksud untuk membangunkan Damar.
Damar yang tadinya panik menjadi semakin panik karena melihat mamanya. Inisiatif otaknya langsung merespons, sepersekian detik, Damar merangkak dan memeluk kaki mamanya. Layaknya penjahat yang memohon ampun pada polisi.
“Ma, ampun! Damar minta ampun! Bukan salah Damar, Ma. Damar nggak tahu kenapa dia bisa masuk, Ma. Sumpah, Ma! Damar nggak bohong.”
“Mar, kamu kenapa? Kamu mimpi?” tanya mamanya kebingungan.
“Damar nggak tau kenapa dia masuk, Ma. Sumpah!”
“Dia? Dia siapa?”
Damar langsung melepas pelukannya dan mendongak. Heran dengan respons mamanya, Damar kembali menoleh ke ranjangnya. Gadis itu masih di sana, namun sekarang dia berdiri di sisi ranjang. Rasa aneh langsung menyeruak di hati Damar.
“Mar!” tegur mamanya.
“Mama, ng-gak li-hat di-dia di-di-sana?”
“Dia siapa? Kamu mimpi atau gimana?” ujar mamanya panik melihat wajah Damar yang memucat.
Damar merasa kepalanya seperti terhantam benda keras. Pandangannya mulai kabur, ia merasa akan jatuh dari ketinggian.
“Mar! Damaaar!”
Teriakan mamanya mulai terdengar samar di telingan Damar. Seketika semua menjadi gelap.
*Jangan lupa like nya ya guys! Komentar, kritik dan saran sangat saya butuhkan. Terima kasih.
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?