Apa yang paling kau suka dan yang paling kau benci? Jika pertanyaan itu dilontarkan kepadamu, mungkin kau akan berpikir beberapa saat, lalu mulutmu akan menjawab dua hal atau lebih. Jawaban hal paling kau suka dan hal yang paling kau benci, sesuai dengan pertanyaannya. Tapi lain halnya jika kau menanyakan ini pada Damarwangsa Sutedjo. Siswa cupu berkacamata dan berbadan tambun itu pasti akan menjawab pertanyaan itu dengan satu jawaban ringkas, tidak lebih. Sekolah. Damar pasti akan menjawab seperti itu. Menurutnya satu jawaban itu sudah sangat mewakili semuanya. Hal paling disukainya adalah sekolah karena ia bisa mendapat nilai bagus dalam pelajaran Matematika dan juga dapat melihat Alena dengan mata coklatnya. Alena adalah cewek pertama dan terakhir yang selalu ingin ia lihat setiap hari di sekolah. Apa Alena juga berpikiran sama seperti Damar? Melihat sikap acuhnya kepada Damar, tentu saja jawabannya tidak. Pun hal yang paling Damar benci adalah sekolah. Bukan tanpa alasan, menjadi bahan bullyan bukan hal menyenangkan di sekolah. Sebenarnya, jenis bullyan yang diterima Damar bukanlah termasuk yang ekstrem. Bukan jenis bullyan yang bisa menyebabkan jiwa dan raganya sakit hingga muncul keinginan untuk bunuh diri. Lebih tepatnya, teman sekelas atau kakak kelasnya selalu menempatkan Damar dalam situasi yang bisa dikatakan sial. Damar, sudah terbiasa dengan hal itu.
Sama seperti saat ini, tempat duduknya dikepung oleh beberapa cowok teman sekelasnya yang sedang melotot padanya. Padahal, dia baru saja datang dan duduk tapi memang dasar, nasib sial tidak mengenal ruang dan waktu. Damar hanya terdiam sambil menatap mereka satu per satu.
“Ada apa,ya?” tanya Damar takut-takut.
“Mana buku PR kamu? Sini!” sahut Rendy, salah satu siswa yang berbadan cukup kekar. Selain hobi olahraga, Rendy juga kapten tim futsal kelas mereka. Dengan kata lain, Rendy adalah salah satu cowok idola di sekolah ini. Kalau dipikir-pikir besar badan Rendy dan Damar tidak jauh berbeda. Hanya saja badan Rendy kekar karena otot sedangkan Damar karena lemak.
“PR?”
“Iiisshh, jangan pura-pura amnesia. Kita tau, kamu pasti udah siap. Mana? Cepetan!” potong Dion tidak sabar. Bagi Damar, Dion ini termasuk tipe manusia yang kelak sangat cocok bekerja menjadi ajudan setia. Selalu mengekor kemana pun Rendy pergi dan melakukan apa pun yang Rendy perintahkan. Sudah seperti hukum alam, di suatu tempat pasti akan ada tipe manusia seperti ini. Kadang Dion mengingatkan Damar pada tokoh pembantu jahat dalam sinetron yang selalu mamanya tonton setiap malam.
“Iya, cepetan!”
“Mana?”
“Woi, cepetan!”
Ocehan mendesak para siswa cowok itu tentu saja membuat Damar tak berdaya. Ia lantas mengeluarkan buku PR Matematika dari dalam tas. Secepat kilat, buku itu langsung disambar Rendy.
“Thanks, entar dibalikin.” Ucap Rendy yang langsung pergi ke tempat duduknya dan otomatis gerombolan cowok tadi mengekor di belakangnya.
Dengan berat hati, Damar harus merelakan buku PR Matematika hasil kerja kerasnya malam tadi dicontek berjamaah. Menolak juga percuma, apa lagi melawan? Bisa-bisa ia dikerjai habis-habisan saat di kantin nanti. Ditambah lagi Alena pasti akan melihat. Sakitnya mungkin tak seberapa, tapi malunya pasti luar biasa.
“Woi!” sebuah suara mengagetkan Damar yang tengah melamun.
“Ngapain? Ngelamun?” ujar Gilang teman sebangkunya. Gilang dan Damar sudah sebangku dari kelas satu. Bisa dibilang Gilang adalah satu-satunya teman yang paling dekat dengannya.
Damar langsung memberengut kesal karena terkejut.
“Idih, ngambek? Kayak cewek.”
“Berisik!”
“Hahaha.”
Damar ingat betul waktu pertama kali ia berkenalan dengan Gilang. Cowok berkumis tipis itu langsung berhambur duduk di sebelahnya tanpa basa basi. Sebagai anak baru, tentu saja Damar merasa canggung tapi sebaliknya, Gilang malah nyengir cengengesan dengan kumis tipisnya. Damar juga heran mengapa Gilang yang baru saja tamat SMP wajahnya sudah ditumbuhi bulu kumis? Bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal yang
Makasih...^^. Ikutin lanjutannya terus yaa...jangan lupa like nya hehe...
Comment on chapter Siapa Kamu?