“Anu aku tidak tahan melihatmu.” Ujar Eri pucat. Padahal cowok ini menyelamatkan hidupnya yang dibilang rumit. Eri melihat postur tubuhnya yang lumayan dan berotot. Eri meneguk ludah paksa. Pikiran Eri sedang kalut. Cowok bermata merah ini menyangga dan melewati batasan pintu. Cukup tinggi juga.
“Kenapa? Matamu terlihat iritasi ya?”
Eri mengangguk setuju. Cowok itu memandang Eri jenggah. Tidak suka keberadaan Eri yang mustahil hidup.
“Ceritanya kamu teman sekamarku? Kau yakin tidak salah alamat?” Tanyanya yang sekian kali. Eri menggeleng pelan lalu menyodorkan sebuah kunci pintu asrama yang tertera. Pandangannya teralih sebentar.
Apa benar ia punya cewek tanpa ekspresi menjadi teman yang tidak bisa akur nantinya. Pikiran dan tindakan si Eri tidak searah. Mata cokelat yang meredup bak mayat hidup memegang erat koper berukuran sedang.
Tubuhnya tidak bisa dibantah. Kepopulerannya belum berkembang sampai ke pelosok. Kemungkinan Eri tidak tahu gelar yang ia dapat. Gelar yang aneh sekaligus pantas untuk kerjaannya setiap hari.
"Aku tidak suka dengan kehadiranmu disini. Enyahlah!" Kata cowok itu dalam tatapan dingin ke arah Eri. Eri mengerjap sebentar. Pasalnya asrama kuliahnya tinggal dekat sama universitas favorit Eri. Pak satpam tadi memberikan kuncinya dan berakhir disini.
"Cih, aku biarkan kamu dengan syaratku" Eri membalikkan badan lalu mematung di tempat. Tangan besar menggapai tubuh Eri layaknya kapas. Bunyi pintu perlahan menutup.
.
.
.
'Tolong aku!!!' Batin Eri meringis. Lampu danger di kepala Eri sudah menyala.
Dangernya di kepala Eri melenyap seketika. Aura ruangan lebih pekat di balik pintu ini.
Eri menatap horor ruangan yang ditempati sebagai kamar asrama. Cukup mengerikan dan tidak bisa diterima oleh tuhan pastinya. Eri mendengus untuk jawaban. Dinding-dinding dipenuhi poster orang-orang dikasih silang berwarna merah dan belum. Benang-benang merah menghubungken ke arah tengah foto yang bertulis ‘orang yang diincar’.
Cowok itu merebahkan tubuh atletis di kasur bawah. Tangan miliknya mengarahkan ke atas.
Eri mengikuti gerakan jari telunjuknya. Kemudian, Eri memanjat tangga lalu menaruh tas. Sesekali merogoh di dalamnya, Sebuah kaos putih dan celana pendek diatas paha.
“Mau kemana kamu hah?”
“Tidak lihat aku mau mandi. Maaf sudah salah menilaimu di stasiun tadi.” Eri membungkuk hormat lalu berlalu pergi. Percakapan tidak penting seharusnya disudahi saja. Cowok itu bergelematuk gigi.
Perlakuan Eri sih sopan tapi menyebalkan. Tatapan Eri tidak mempunyai kehidupan sama sekali. Tindakan yang ia benci selamanya. Orang mati yang hidup di dunia nyata benar adanya.
“Senpai! Melamun?”
“Tidak, Aku tidak melamun. Apa-apaan matamu itu? Aku tidak suka pangkat yang membuat diriku 1 tahun lebih tua darimu, Brengsek!” Tubuhnya bergerak menghampiri Eri yang mengenakan kaos dengan rambut basah. Lingkaran handuk mengitari leher Eri manis.
“Aku tidak bisa menjawabnya.” Eri mengacuh keberadaan cowok itu dengan angkuh. Si lawan bicara sedang kesal sampai ke ubun-ubun. Kenaikan emosi yang memuncak disebabkan seorang cewek ajaib di depannya.
“Kamu menghindariku hah?”
“Itu hakku. Apakah kita ada hubungan yang dibina?” Pertanyaan Eri terlontar mengenai ulu hatinya yang terluka. Beberapa anak panah melayang cepat.
“Ja-Jangan bilang kamu tidak ada orang yang kamu sayangi?”
“Hm. Aku meminta izin keluar sebentar” Ujar Eri pelan. Cowok itu melepaskan pegangan lengan mili Eri yang tidak mau menjawab pertanyaan sebelumnya. Tatapan itu mengingatkannya seseorang.
“Sebentar saja. Aku memberi waktumu 10 menit. Setelah itu, Kamu harus pulang atau pintu asrama ditutup olehku.” Eri mengangguk paham. Segera, Eri mengenakan jaket merah maron dan sepatu kets putih.
Suara pintu yang terbuka dan cowok mata merah mendengus.
“Apa yang dilakukan cewek itu malam-malam ini?” Tanyanya sendiri. Entah kenapa, Hatinya bergemuruh hebat disertai perasaan yang tidak enak akibat tingkah laku si Eri. Tubuh cowok itu beranjak dari tempat tidur lalu menyusul Eri keluar yang tidak punya tujuan.
“Awas saja kalau dia bikin kesalahan lagi.”
***
Jalanan trotoar sepi. Beberapa orang sedang bertegur sapa ketika teman-temannya bertemu atau bertatapan satu sama lain. Kontak yang mau dihindari dan tidak diinginkan. Kafe diujung jalan sangat ramai. Berbagai diskon agar mendapatkan perhatian para pelanggan kecuali Eri.
Eri tidak berminat sama sekali. Pikiran Eri sedang kacau mengenai teman kamar lawan jenis. Pasti ada cap teman kelas Eri yang baru di kuliah nantinya. Apalagi kalau tuh cowok sangat terkenal. Habislah riwayat Eri ketika memasuki jenjang pendidikan yang Eri emban.
Eri menatap langit malam yang ditemani bulan sabit. Tidak ada teman lain yang menghangatkan si bulan, Pikir Eri dalam diam. Eri mendudukkan diri di bangku taman sembari meminum kaleng kopi. Uapan nafas yang mengepul terlihat jelas.
Eri membayangkan dirinya menjadi uap tersebut. Ada dan hilang. Tanpa ada rasa ingatan untuk diingat oleh orang lain dengan orang lain. Hm... Senyuman terukir manis di wajah Eri.
Lebih baik begini.
Eri menyandarkan kepalanya di bangku tersebut lalu memejamkan mata. Menikmati dan meresapi udara dingin,Gemerisik daun-daun dan tebaran bunga sakura yang mekar. Ritme alam yang menyejukkan.
.
.
.
.
.
.
“Hei! Woi!!! Bangun...”
“.... E...E..Eri!!! Eri!!!”
Mata Eri membuka sedikit. Cahaya yang masuk di retina Eri tidak sesuai dengan kehendak. Bahu milik Eri diguncang hebat. Suara familiar yang mengkhawatirkan cukup membuat Eri kebingungan.
‘Apakah seseorang ini memberi perhatian yang dihindari diriku selama ini? Kenapa? Suara berat ini membuat aku kangen..’ Mata Eri membulat sempurna. Keterkejutan Eri kalah dari tindakan seseorang yang Eri kenal. Mata merah dan cowok itu....
Bibir tipisnya bertemu bibir ranum Eri. Kedua tangan besarnya melakukan pertolongan pertama. Wajah pucat Eri tidak bisa digolong orang yang sehat.
“Sudah aku duga kamu membuat kesalahan yang membuat orang lain khawatir tau!” Bentakan dari senpai mata merah itu,Eri tertegun dan berusaha mendorong. Tidak mau ditolong lagi kepada sesama manusia.
Cowok itu mendecih kesal lalu meneruskan pertolongan untuk Eri. Walaupun orang-orang melihat tindakan tersebut tercengang lalu menggelengkan kepala. Kembali perjalanan mereka ke tujuan.
“Mungkin mereka pasangan yang dimabuk cinta?”
“Wah... Cowoknya membantu pernafasannya kembali normal!!! Kyaa!!!”
Eri menahan lengan besar itu dengan pandangan mengabur. Cowok itu behenti. Ketika wajah Eri tidak memucat, Ia gendong ala brydal style. Semua tatapan mengarah ke mereka berdua kembali.
Eri melihat leher jenjang milik cowok itu mengeluarkan keringat dingin. Refleks, Tangan Eri menggapai pipi si cowok tersebut guna menghangatkan suhu tubuh.
“Tidak apa-apa aku kedinginan daripada kamu yang sekarat ingin mati malam ini. Eratkan peganganmu, Aku akan lari kencang.” Ucapan itu membuat Eri menaruh kepercayaan kepada teman sekamarnya.
“Hm... Arigatou!” Kata Eri menenggelamkan wajahnya ke ceruk leher si cowok sedangkan si empu berusaha melewati kerumunan orang-orang dan menggunakan jalan pintas.
BERSAMBUNG...