4. Kelabu, Kelabu, Kelabu, Kelabu, kemudian Biru, Hijau dan Jingga
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Dua burung berparuh biru dengan sayap berwarna warni terbang, berputar kemudian menungkik dan mendarat pada dipan yang sengaja diletakkan di depan rumah. Satu yang memiliki garis kuning pada paruhnya bercicit menyenandungkan musik pagi hari yang merdu. Mereka adalah burung Warn, salah satu hewan magis hanya bisa ditemukan di dataran Prawika.
Bersamaan dengan senandung burung Warn, seorang gadis kecil berusia dua tahun berjalan dengan kaki pendeknya. Tangannya yang berlipat-libat akibat terlalu banyak lemak berusaha meraih pengangan pintu yang berada 30 cm di atasnya. Mulut mungil nya terus mengomel memanggil Burung Warn yang berada di depan rumah.
Tidak lama, seorang wanita berjalan menghampiri gadis kecil tersebut. Ia menggendong dengan penuh kasih kemudian membawa gadis dengan rambut ikal tipis itu ke luar. Ia menengadah memperhatikan awan kelabu yang mulai berdatangan mengepung desa bahkan seluruh kota. Burung Warn yang sebelumnya riang seketika hening dan berhambur ke sarang di sebuah pohon mangga.
"Selamat ulang tahun Lovita sayang," ucapnya sembari mencium pipi gembil putrinya. "Sudah tiga tahun, Lovita sudah besar ... tidak terasa sudah dua tahun persembahan untuk penyihir di Hutan Hidup dilakukan," sambungnya dengan suara lirih.
Wanita dengan gaun abu-abu memeluk putrinya erat. Ia memperhatikan lalu-lalang penduduk yang berjalan menuju Sungai Kristal. Hatinya teriris saat mengingat bahwa dua belas tahun yang akan datang putrinya lah yang akan menjadi pengorbanan demi keselamatan umat manusia.
Dari dalam rumah, seorang pria ke luar dan langsung memeluk istri serta putrinya. "Selamat ulang tahun pelangi cinta Ayah," bisiknya lirih sembari menggelitil perut Lovita.
Gelak tawa Lovita membawa keceriaan. Terbukti dengan senyum tipis yang mengembang di bibir Tuan dan Nyonya Darka. Pun dengan Burung Warn yang kembali terbang. Beberapa penjaga desa berjalan ke arah keluarga kecil tersebut. "Manisnya gadis kecil ini." Salah satu dari mereka yang memiliki pipi sangat cekung berhenti. Kumis tebalnya terangkat bersama senyum bahagia saat melihat Lovita. "Mari Tuan, Nyonya, kalian harus segera menuju Sungai Kristal. Pengorbanan akan segera dilakukan." Si Penjaga Desa mempersilakan keluarga Darka berjalan terlebih dahulu.
Melalui jalanan berbatu selebar 2 meter, Nyonya Darka terus menuntun putri kecilnya yang berjalan dengan riang. Awan kelabu semakin tebal, bahkan sinar matahari sudah kesulitan untuk menembus sehingga membuat suhu menjadi turun dan suasana menggelap.
Setibanya di tujuan, tampak penduduk dari seluruh desa bahkan kota berkumpul di tepi Sungai Kristal. Pada jembatan kayu berlumut tampak tiga Patroli Kota, seorang wanita tua bergelambir--Nyonya Ann yang merupakan perwakilan desa Karteng, di sebelah kirinya ada kakek tua dengan kulit berwarna merah muda, ia adalah Tuan Parwi, salah satu tetua desa Racama dan terakhir seorang Kakek dengan janggut sepanjang 45cm berwarna putih, Tuan Sindu, Tetua desa Lossa. Ketiga manusia tua itu menuntun gadis berkucir dua yang baru saja berulang tahun ke-15 enam hari yang lalu.
Mereka menyeberangi jembatan dengan hati-hati. Suara decitan terdengar tiap kali mereka melangkah. Semua penduduk memanjatkan doa pada hutan agar semua berjalan dengan lancar. Ini merupakan tahun kedua penyihir menginginkan persembahan untuk Hutan Hidup setelah setahun lebih memberikan teror kelabu yang sangat menyiksa.
Di seberang Sungai Kristal, para tetua tampak memanjatkan doa untuk persembahan mereka. Di dudukannya gadis tersebut pada sebuah pohon dengan diameter sekitar 2 meter dan tinggi tanpa batas yang tiba-tiba saja muncul di tengah padang rumput.
Dengan senyum getir, para tetua mundur dua langkah. Selama beberapa saat hanya keheningan yang memeluk semua orang hingga akhirnya sebuah akar gantung turun dengan cepat, melilit kemudian menarik gadis tersebut ke atas kemudian hilang di balik awan kelabu.
Tidak sampai di situ, ketegangan masih menggelayuti seluruh penduduk kota. Dalam diam, semua orang berharap persembahan tidak dikembalikan seperti tahun lalu yang menyebabkan kota diselimuti musim dingin yang mematikan.
Tiap satu detak jantung terasa begitu mencekam. Sedetik kemudian, gadis tersebut jatuh dalam kondisi tidak bernyawa. Luka besar menganga pada bagian dada dan perut. Para tetua yang melihat dari dekat bergidik.
Tinggalkan dia dan letakkan persembahan lain segera!
Sebuah suara tanpa wujud menggema dari dalam Hutan Hidup. Tanpa membuang waktu lagi, tiga patroli desa meletakkan berbagai jenis makanan yang sudah dengan persiapkan. Untuk terakhir kali, para tetua memanjatkan doa berharap persembahan yang mereka berikan dapat di terima oleh Hutan Hidup dan awan kelabu yang menggantung segera pergi serta membiarkan sinar matahari menghangatkan kota.
Seluruh penduduk sudah mulai meninggalkan tepian Sungai Krisal akan tetapi tidak dengan Lovita, balita lucu itu justru melangkah dengan kaki pendeknya menuju Sungai Kristal yang membeku.
"Lovita!" teriak Nyonya Darka penuh kekhawatiran. Beberapa orang yang mendengar jeritan wanita itu menoleh walau beberapa orang yang lain memilih segera kembali ke rumah.
Lovita berjongkok, jari mungilnya menyentuh permukaan es berwarna kelabu sembari meringis menunjukkan gigi kecilnya yang gupis. Para tetua yang masih berada di jembatan berhenti, "Lovita kau kah itu?" tanya Nyonya Annn dengan suara yang lemah lembut.
"Nyonya kata Mama klistal itu jelnih. Kenapa es ini sepelti langit? Lovita tidak suka." Lovita kecil memajukan bibirnya dan menggerutu menunjukkan ketidaksukaannya akan apa yang ia lihat.
Nyonya Ann menggeleng kemudian berjalan dan berjongkok mensejajari Lovita. Tulang tuanya berderak menimbulkan suara yang tidak enak di dengar. "Setelah penyihir di Hutan Hidup puas, semua akan kembali berwarna."
"Lovi ingin sekalang Nyonya, Lovi tidak suka ini." Lovita berdiri, ia mengentak-entakkan kaki pada tepian sungai yang turut tertutup es. Tidak lama kemudian sebuah benang cahaya berwarna biru merambat dari bawah permukaan es. Perlahan warna kelabu pada es menghilangkan digantikan warna biru berkilau yang sangat jernih.
"Sayang kau ya--" ucapan Nyonya Ann terpotong oleh derap langkah kakek tua di belakangnya.
"Dia puas," desis Tuan Parwi sebelum berlalu pergi. Pun dengan Tuan Sindu.
"Lovita mau mengendalikan warna?" tawar Nyonya Ann lembut.
"Mau Nyonya," jawab Lovita dengan penuh semangat.
"Pelajaran pertama, pangil say Nenek. Mengerti?"
Lovita memeluk Nyonya Ann dengan gembira, "Lovi mengerti, Nek!"
Keluarga Darka tersenyum melihat putrinya yang tampak sangat bahagia. Pasangan suami istri tersebut mempersilakan Nyonya Ann dan Lovita berjalan terlebih dahulu. Dedauan di sepanjang jalan tak luput dari tangan jahil Lovita yang selalu ingin menyentuhnya. Saat itu pula, benang cahaya berwarna hijau merambat menyingkirkan warna kelabu. Semakin banyak hingga benang cahaya jingga yang sangat terang terlihat menembus awan kelabu.
"Syukurlah tahun ini kita selamat."
Kerenn.
Comment on chapter 1. Lovita di bawah Pelangi