Jean mendekati tembok pembatas lantai dua di depan kelasnya. Hari masih terlalu pagi. Jean telah ada lebih dulu di kampus. Malam tadi ia tidak bisa tidur pulas. Ia masih terbayang rangkaian kejadian pada masa lalunya yang membuatnya bermasalah.
Jean mulai bosan menunggu mahasiswa lain yang masuk lewat gerbang. Beberapa kali ia menguap karena masih mengantuk. Ia menggosok-gosok matanya hingga ia melihat seseorang masuk dari gerbang. Orang itu yang kemarin melihatnya secara ragu-ragu di gedung teater. Jean mencoba memfokuskan matanya pada orang itu. Ia mengenali kaca mata orang itu.
Orang itu tiba-tiba melihatnya. Ia terlihat terkejut melihat Jean yang sedang menatapinya. Dengan sigap ia mempercepat jalannya. Menyadari hal itu Jean segera pergi menghampiri orang itu sambil berlari dan berteriak.
“Hai, lo tunggu dulu! Gue mau ngomong!” Jean berjalan menuruni anak tangga.
Setibanya di bawah, Jean membungkuk dan tersengkal-sengkal sambil menatapi sekitarnya. Tidak ada siapa-siapa di sana. Orang itu menghilang. Keningnya tanpak berkerut karena kebingungan.
“Darr!!” Seseorang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang. Jean terkejut sambil memegang dadanya. Nafasnya kembali tersengkal-sengkal. Jean menatapi teman-temannya yang tertawa lepas melihatnya terkejut.
“Heh, lo berdua kurang kerjaan apa?” Nisa dan Gina saling bertatapan dan kemudian kembali tertawa. Jean hanya melihat mereka bergantian dengan kesal.
Gina terbatuk beberapa kali sebelum berbicara, “Segitu kagetnya lo?”
Nisa menarik nafasnya. “Jantung lo baik-baik aja, kan?”
“Gak lucu.”
“Ini gue serius. Lo ngejar siapa, sih?” Tanya Gina.
“Kepo aja lo,” Jean berjalan kembali ke kelasnya.
“E… ni anak songong,” Balas Gina bercanda.
“Udah, udah. Gue cape ni,” Ucap Nisa sambil meletakkan tangannya di bahu Gina dan sesekali tertawa pelan.
>>>>><<<<<
Saat jam kuliah berlangsung. Jean hanya menulis pada selembar kertas kosong dengan pandangan yang tak fokus pada apapun. Tapi tangannya bergerak sesuai dengan apa yang ia dengar. Pikirannya mulai dibayangi rasa penasaran yang semakin menumpuk.
Kaca mata.
Putih langsat.
Rambut rapih.
Kemeja putih.
Jeans hitam.
Sepatu mengkilap.
Seperti itulah bayangan orang misterius itu. Sulit baginya untuk mengenali wajah orang itu dengan jelas. Setiap kali melihatnya selalu dengan jarak berjauhan. Itu mengapa Jean mengejar orang itu.
Jean, Jean, Jean…
Tiba-tiba seseorang terbayang memanggilnya. Dengan berlahan Jean melihat kearah dosennya. Dan benar saja, dosennya memanggilnya.
“Tolong simpulkan apa yang saya terangkan tadi,” Dosennya kemudian membereskan barang-barangnya. Dengan tenang, Jean melihat tulisannya. Tanpa sadar di sana sudah ada beberapa ringkasan materi yang baru saja diterangkan dosennya.
“Jean, saya menunggu,” Ucap dosennya.
Jean melihat dosennya dan mengambil nafas berlahan, lalu mengucapkan apa yang ditulisannya. Soal menghafal Jean memang sangat unggul. Itu mengapa Jean sangat terlatih untuk berakting.
Dengan lancar Jean mengucapkan apa yang telah disimpulkan dalam otaknya tentang semua catatan tak teratur miliknya. Dosennya terlihat puas dengan kesimpulan yang dibuat Jean.
“Ok, Thanks,” Jean berhenti. “Kurang lebih kesimpulannya seperti itu. Sekian pelajaran dari saya,” Dosennya berjalan keluar dari ruang kelas.
Jean segera menarik nafas lega setelah dosennya keluar. Ia segera menundukkan kepalanya hingga menyentuh permukaan meja. Belum juga ia menenangkan diri. Ada sebuah panggilan.
“Jean Andita,” Panggil seseorang. Jean segera mengangkat kepalanya.
“Saya, pak,” Jean mengangkat tangan dan kemudian berdiri.
“Ada titipan surat untuk anda,” Orang itu mengeluarkan sebuah surat. Jean segera menghampiri orang itu.
Oleh Luthfita