Rangga dengan tubuh yang lelah berjalan keluar dari kubikel Dea. Ia baru saja menyerahkan laporan kesiapan pembukaan cabang baru. Rangga menghentikan langkahnya di depan kubikel Jean. “Hei, serius amat.”
Jean terkejut menatap Rangga, lebih tepatnya pada penampilan Rangga. “Abis nguli bang?” canda Jean.
Rangga menghela napas. Ia berjalan masuk ke dalam kubikel Jean dan duduk di atas kursi plastik di samping Jean.
“Seminggu ini bulak-balik terus.”
“Kan sendiri yang bilang sanggup.” Jean kembali menatap layar laptop.
“Gimana kerjaannya?”
“Lancar.”
Rangga mengangguk pelan sebelum mengeluarkan ponselnya yang beberapa hari ini terbengkalai karena kesibukannya.
“Ada pementasan lagi?”
“Enggak, cuman lagi ada lomba gitu.”
“Bakalan ikut?”
Jean mengangkat bahunya. “Kurang tahu, tapi kalo aku sih gak bisa ikutan.”
“Kenapa?”
“Bentar lagi UAS.” Rangga menganggukkan kepalanya.
“Aku juga gak ikut kalo beneran jadi.”
“Kenapa?” Jean melirik Rangga. “Jangan ngikut-“
“Jangan geer,” Rangga menyolek ujung hidung Jean. “Aku belum ngestok barang, nyari pegawai, beresin toko, dan masih harus bulak-balik keluar kota karena belum nemu kost-an atau kontrakan. Jadi mustahil kalo mesti ikutan juga.”
Jean menganggukkan kepalanya. “Yaudah, sana balik! Katanya capek.”
“Atau mesti balik lagi?” Rangga menggelengkan kepalanya dan sedikit melakukan peregangan.
“Besok giliran Dea ke sana, dia mau liat toko sekalian mau wawancara kerja katanya,” jelas Rangga. “Eh! Hari minggu jalan-jalan yuk? Mumpung aku gak sibuk nih.”
“Jalan-jalan kemana?”
“Kemana aja kek, refresing nih.”
“Yaudah dirumah kakak aja biar gak terlalu kecapean. Senin kan ada rapat.”
Rangga buru-buru menggelengkan kepalanya. “Kalo di rumah ada Nisa yang bakal gangguin.”
“Eh! Tadi kamu gak mau aku kecapean?” Rangga menyondongkan tubuhnya pada Jean. “Ciee perhatian.”
“Apaan sih! Sana! Katanya mau istirahat.”
“Nanti aja abis makan siang.” Rangga melirik jam tangannya. “Makan di depan lagi, yuk?”
“Yaudah, sekarang kakak tunggung aja di mushola sekalian istirahat.”
“Bener nih?” tanya Rangga meyakinkan.
“Tumben-tumbenan kamu langsung mau biasanya mesti dipaksan dulu.”
Jean berdecak kesal ke arah Rangga. “Yaudah-“
“Aku tunggu di mushola, ya?” potong Rangga yang lasung melesat pergi dari kubikel Jean.
~
‘Kamu mau ikut pentas buat lomba nanti?’
Jean menghentikan kegiatan makannya sejenak. Ia memilih membalas pesan dari Dion.
‘Gak bisa, bentar lagi UAS. Kamu gak UAS?’
“Jean?” panggil Rangga. Jean hanya bergumam dan masih fokus pada ponselnya. “Kalo nanti aku ditugasin di luar kota berarti kita jarang ketemu dong.”
“Hm,” Jean kembali bergumam.
“LDR-an dong kita,” keluh Rangga sambil mengaduk makanannya tak minat.
“Hm.”
“Ish! Jawabnya hm-hm terus!” Rangga menatap ke arah Jean yang masih asik dengan ponselnya.
Ia menarik paksa ponsel Jean dan menatap layarnya. “Nungguin balesan dari Dion?” tanya Rangga sinis.
Jean menghela napas pelan. Ia tahu jika Rangga akan sangat sensitif jika melihat ia berinteraksi dengan Dion. “Baru kebuka juga.”
“Eh! Mau ngapai itu!” pekik Jean saat Rangga melakukan sesuatu pada ponselnya.
“Mau aku blokir!”
“Sembarangan,” Jean merebut kembali ponselnya. “Emang kenapa sih sampe harus blokir nomor Dion?”
“Dia itu caper sama kamu Jean.”
“Aku gak ngerasa tuh.”
“Iyalah. Sebagai lelaki-“
“Kakak juga caper pake banget. Berarti nomor kakak aku blokir aja?” potong Jean sembari memainkan ponselnya.
“Belain aja terus.” Rangga menjejal mulutnya dengan makanan karena kesal.
Jean menarik napasnya dalam. “Kakak sama Dion itu ada masalah apa sih? Setiap ketemu kayaknya ada dendam gitu.”
“Udahlah males gue.” Jean mengerutkan keningnya, melihat Rangga yang berenggut marah padanya.
~
Oleh Luthfita A.S.