Rangga terdiam dan meminum kembali minuman di tangannya. “Kamu punya hubungan apa sama Dion?”
“Gak ada apa-apa kak. Cuman temen biasa.”
“Terus ngapain kamu minjem jas hujannya segala? Emangnya kamu pernah ke rumahnya?”
“Enggak, dia yang ngasih pinjem jas hujan itu ke aku. Karena waktu itu hujan gede.”
“Kapan?”
“Pas kakak minta aku cari…”
“Oh…” potong Rangga. “Tapi, kalo kamu gak ada apa-apa ngapain Dion perhatian ke kamu?”
“Perhatian apaan?”
“Ya ngapain dia sampe ngasih pinjem jas hujan. Terus nanyain kamu kenapa tadi.”
“Ya wajar dong. Dia kan temen satu kuliahan aku. Dia juga temen satu kerjaan.”
“Kamu punya nomor teleponnya?”
“Punya.”
“Berapa kali dia ngirim pesan kekamu?”
“Sekali, itu juga dua hari yang lalu.” Rangga menghela nafasnya.
“Memangnya kenapa, kak?”
>>>>><<<<<
Rangga segera masuk ke dalam gedung teater. Di luar langit sudah mulai mendung dengan angin yang begitu kencang. Rangga segera menuju ruang latihan teater. Ia tidak ingin terlambat. Ketika ia membuka ruang latihan ia langsung disambut pak Agam.
“Pagi, Rangga. Sepertinya kau terlambat datang. Yang lainnya sudah mulai berlatih masing-masing tanpamu.”
Rangga hanya tersenyum. “Mereka sangat bersemangat bukan?”
Rangga mengangguk. “Dan aku tidak melihat kau dan Jean berlatih kemarin. Kenapa?” Rangga terdiam sejenak.
“Kemarin dia datangnya kesiangan, pak.”
“Lebih baik kau cepat berlatih, karena Jean telah menunggumu di ruang latihan dari tadi.” Ucap pak Agam sambil berjalan pergi meninggalkan Rangga.
Mendengar hal itu Rangga segera berlari kecil menuju ruang latihan. Ia mengira jika Jean akan datang terlambat lagi.
>>>>><<<<<
“Kakak pikir kamu udah latihan.” ucap Rangga setelah sampai di ruang latihan. Jean menatap ke arah Rangga.
“Nunggu kakak.” Jean kembali menatap handphonenya.
“Alesan.” Rangga duduk di samping Jean.
“Enggak. Ini serius, kak.”
“Udah hafal?”
“Em…. Kakak liat aja dulu.”
“Oke.” Jean berdiri dan menghadap Rangga. Rangga memperhatikan Jean.
“Ngeliatnya biasa aja, kak.”
“Emang biasa aja.”
Jean mengelus-ngelus pundaknya dan melihat orang-orang di sekitarnya, yang juga sedang berlatih. “Temenin dong, kak.”
“Eh… tadi PD-nya selangit. Sekarang…” Rangga berdiri.
“Apa?” potong Jean.
“Enggak.” Elak Rangga. “Kita coba dari awal. Awalnya itu gimana adegannya kakak lupa lagi.”
“Pelatihnya sendiri lupa.”
“Manusiawi, lah.”
Jean memperagakan adegan awal pada Rangga. Rangga mengerutkan dahinya, kebingungan melihat Jean. “Kayaknya gak gitu deh dialognya.”
Rangga mengambil naskah milik Jean yang berada diatas tas Jean. Rangga membaca naskah itu sekilas. “Tuh, kamu tadi gak sesuai naskah.”
“Manusiawi-lah, kak. Lagi pula gak beda jauh.”
“Ya udah. Kita pindah tempat, yuk.” Rangga menarik Jean keluar dari ruang latihan. Jean mengikuti Rangga.
>>>>><<<<<
Mereka berjalan menuju panggung. Rangga berhenti tepat di belakang panggung.
“Di sini aman.”
“Maksudnya aman?” Selidik Jean.
“Gak sumpek.” Rangga membaca kembali naskah itu. “Kamu udah hafal dialognya?”
“Tenang aja, kak.”
“Tenang tenang. Tadi juga kamu salah.” Jean tersenyum. “Oke, kamu masuk di bagian terakhir. Disinikan kakak jadi pelaku utama…”
“What?!” Jean terkejut.
“Liat dong naskahnya bener-bener.” Jean melihat kembali naskah drama miliknya.
“Oh, iya.”
“Ya udah, dinaskah kan kakak dulu terus nanti kamu dateng. Kakak mulai duluan berarti.” Rangga meletakkan naskahnya dan memulai latihan mereka.
Rangga harus beberapa kali membenarkan dialog dan gerakan Jean yang masih kaku.
>>>>><<<<<
Oleh Luthfita A.S.