“…Saya mohon kepada setiap perwakilan dari semua regu-regu dalam teater ini berkumpul dan rapat kecil agar pengerjaannya lebih cepat.”
Beberapa orang berdiri dan menghampiri Rangga. Jean memalingkan pandangannya dengan malas. Dion menatap Jean dengan lembut dan ia tersenyum kecil pada Jean. Jean membalikkan pandangannya ke samping lainnya.
“Jean lo aja yang rapat gue males, nih.” Ucap Dias.
“Apalagi gue.” Jawab Jean malas.
“Lo aja. Nanti kak Rangga marah tu.”
“Gue ngantuk.” Jawab Jean sambil pura-pura mengantuk.
“Dias?” panggil Rangga. Dias menatap ke depan. Ia tersenyum pada Rangga dan menyolek Jean tak hentinya.
“Ah, dah dibilangin gue males.” Jean memaksakan bangun dan pergi menghampiri Rangga.
Jean duduk malas di dalam rapat kecil itu. Ia bahkan tidak memperhatikan apa yang dijelaskan oleh Rangga. Ia hanya duduk tertunduk dengan tangan yang menompang kepalanya. Yang lainnya begitu ribut bertanya kepada Rangga. Sedangkan yang lainnya yang tidak ikut rapat sibuk membayangkan dan mengobrol tentang drama musikal. Kondisi ini membuat Jean semakin malas. Ia menatap Rangga dengan tatapan kosong.
'Kak Rangga. Masih so leader dia. Ngak inget kalo udah pengsiun tiga tahun. Tiba-tiba datang ke sini dan langsung dianggap malaikat penolong aja. Katanya rapat singkat, ini mah sampai tengah malem juga gak akan selesai, kak. Semuanya serba dadakan, dan bikin gue gak yakin aja ini bakalan bagus. Tapi kalo di liat dari bayarannya sih lumayan. Tapi males juga harus banting tulang kayak gini.'
“Jean.” Panggil Rangga yang memudarkan lamunan Jean.
“Em…ada apa, kak?”
“Kamu ngerti?”
“Ngerti apaan?” Halis Jean nampak beradu.
“Gak, lagi pula aku belum ngejelasin apapun ke kamu.” Rangga tersenyum kecil. Beberapa orang yang ada tertawa kecil melihat tingkah Jean.
“Nyebelin.” Ucap Jean.
“Udah, deh. Kamu absen dulu.” Ucap Rangga sambil menahan tawa.
“Hah? Semua?”
“Ya gak semuanya. Maksudku-“
“Oh.” Potong Jean sambil pergi mengambil tasnya. Rangga berhenti tertawa, ia menatap kesal Jean yang berlalu pergi.
>>>>><<<<<
Jean mengeluarkan buku catatannya dan sebuah balpoin dari dalam tasnya. Ia menyobekkan kertas dan mulai mengabsen anggota kelompoknya. Jean melihat ke sana kemari mencari anggotanya.
“Dias, suruh kelompok kita kumpul dong. Lo kan ketuanya.” Jean berhenti menulis dan menatap Dias yang berada di sampingnya. Dias menepuk tangannya, lalu beberapa orang langsung menghampiri Dias. “Tu kan kalo gini cepet.” Jean melanjutkan mengabsen.
Ia melihat setiap orang yang ada dan mencatat nama-nama mereka. Sesekali ia bertanya kepada mereka. Ia menyusun nama itu dengan rapih dan memeriksa absenan itu kembali sebelum ia serahkan kepada Rangga. Tetapi pada saat ia hendak berdiri, Rangga sedang berjalan menghampiri Jean.
“Gimana kamu udah absen semuanya?” Jean memberikan kertasnya kepada Rangga. Rangga bergerak turun dan duduk di antara mereka. “Ya, laki-lakinya kurang, nih.”
“Memangnya kita butuh berapa?” tanya Dias.
“Tujuh.” Rangga menatap kepada semua.
“Yah, kita cuman ada berlima, kak.” Jawab salah satu diantara anggota laki-laki.
“Kita kurang satu orang lagi siapa, ya?” Rangga menerawang kesetiap penjuru ruangan.
“Katanya tujuh orang tapi kok nyari satu orang, sih? Harusnya dua orang lagi.” Jean kebingungan.
“Aku kan bakalan ikut main.” Jawab Rangga enteng.
Dias tiba-tiba mencengkram kuat tangan Jean dan terus menatap Rangga. Jean mengerti kenapa Dias tiba-tiba seperti itu. Ia pasti merasa gerogi karena ia berpikir akan berpasangan dengan Rangga yang merupakan mantan pacarnya. Jean segera melepaskan genggaman tangan Dias. Ia memalingkan pandangannya pada Dion yang sedang berdiskusi dengan temannya.