-10-
Sore ini gue duduk sendiri di D'Coffee, udah rapi, udah wangi, tinggal nunggu Asti dateng. Gue pilih posisi duduk deket jendela, biar kalo Asti dateng gue langsung tau. Di meja paling pojok ada dua cewek lagi cekakak-cekikik, akrab banget. Di mejanya ada dua cangkir kopi plus sepiring kentang goreng yang mereka makan bareng-bareng. Padahal mungkin aja mereka pura-pura, bisa aja sebenernya mereka saling benci karena ngerebutin cowok yang sama. Tapi mereka rela nyembunyiin perasaan mereka masing-masing, cuma biar mereka bisa tetep temenan, main bareng, bisa curhat-curhatan, dan tetep keep in touch.
Seorang bapak-bapak berusia 50 taun-an berdiri di depan konter pembayaran, nyari-nyari sesuatu di dompetnya. Perawakannya tegap dengan perut sedikit buncit, rambutnya abu-abu menuju putih. Nggak lama kemudian dia ngeluarin uang seratus ribuan, terus dibayarkan ke Teh Yuni.
"Ambil aja kembaliannya." Kata bapak-bapak tersebut tanpa senyum.
Ah palingan juga cuma pura-pura ikhlas biar urusan cepet beres, salah satu pengaplikasian praktis dari bohong demi kebaikan. Cowok yang sedikit lebih tua dari gue, numpahin kopi di deket konter pembayaran, diliat dari seragamnya sih kayaknya pekerja magang.
"Kamu tuh gimana sih?! Masa bawa kopi segitu aja bisa tumpah? Pokoknya itu dipotong dari gaji kamu ya!" Teh Yuni ngomel-ngomel.
"I-Iya Bu." Kata pegawai magang itu. Iya di mulut, di hati iya juga nggak?
Diliat dari mukanya sih keliatannya cowok itu kecewa tuh gajinya dipotong, cuma ya mana bisa sih ngelawan bos. Apalagi dihadapkan sama Teh Yuni yang galak banget, dia cuma bisa pura-pura pasrah aja dipotong gaji. Memang ya, kadang bohong itu penting. Aaaah kok gue mikirnya jadi ngaco gini sih!
"Dan jangan panggil saya Ibu, panggil Teteh. Masih bohay begini masa dipanggil Ibu?!" Teh Yuni ngomel lagi terus nyamperin gue. "Kenapa kamu sendirian Rio? Mana itu si David sama si Jaka?" Tanyanya dengan logat sundanya yang khas.
"Yah biasa mereka mah kelayapan Teh."
"Terus kenapa atuh kamu nggak ikut kelayapan?"
"Saya kan nunggu pacar saya disini Teh, biasa lah anak muda."
"Bukannya dijemput atuh punya pacar teh, nggak perhatian pisan kamu."
"Bukan nggak perhatian Teh, dia lagi nyari tempat kuliah sama ibunya, kan udah mau lulus sekolah."
"Ohh iya iya." Teh Yuni ngangguk-ngangguk.
"Teh, menurut Teteh bohong itu baik nggak sih?"
"Ya enggak atuh, bohong mah salah."
"Tapi kan ada yang namanya bohong demi kebaikan."
"Heh Rio, bohongnya sendiri aja udah tidak baik, mana ada berbuat tidak baik untuk kebaikan." Teh Yuni terus duduk nemenin gue.
"Kalo bohong biar orang nggak sakit hati?"
"Ah tetep aja bohong mah bohong, bohong itu dosa, dosa itu masuk neraka, neraka itu panas, hiiiiyy." Teh Yuni bergidik. "Memang kadang kenyataan itu pait, tapi kalo dikasih gula mah yang pait juga jadi manis."
"Ah si Teteh mah malah bercanda."
"Eeeh bukan bercanda. Misalnya kopi, kalo Teteh bikinin kamu kopi pait pasti kamu minta ditambah gula, iya kan?"
"Iya."
"Nah berarti kamu teh udah tau caranya, untuk mengubah yang pait jadi manis. Sama aja kayak kenyataan, kalo pait ya kamu cari pemanisnya. Teh Yuni juga dulu waktu pernikahan pertama Teteh gagal, Teteh ngerasain kalo kenyataan itu pait. Tapi kemudian Teteh bikin kedai kopi ini, buat melupakan kepaitan itu. Eh akhirnya kedai ini berhasil mempertemukan Teteh sama suami Teteh yang sekarang. Intinya mah, untuk setiap yang pait pasti ada pemanisnya." Katanya sambil ngerapihin menu di meja gue.
"Ooh gitu ya Teh." Gue ngangguk-ngangguk.
"Emang kamu teh lagi bohong sama siapa sih? Jangan-jangan...sama Teteh ya?! Selama ini bilang kopi susu buatan Teteh enak, padahal mah enggak?"
"Eitt itu mah asli atuh, kopi susu buatan Teteh paling enak se-Bandung. Yang dijual di mall mah kalah sama buatan Teteh. Kalo nggak enak, saya nggak mungkin terus-terusan dateng ke sini atuh Teh."
"Ah kamu mah pinter ngerayu, pasti diajarin si Jaka. Udah ah, Teteh masih ada kerjaan." Katanya sambil berdiri.
"Eh terus kalo bohong sama orang yang disayang, pemanisnya apa Teh?"
"Ya minta maaf." Kata Teh Yuni berlalu pergi.
Bener juga kata Teh Yuni, bohong itu nggak baik, apalagi sampe bohongin orang yang gue sayang. Gue bakalan minta maaf, dan gue janji untuk nggak bohongin dia lagi. Gue mesti tega untuk bilang yang sebenernya ke dia. Meskipun itu bakal nyakitin dia, tapi dia berhak tau.
Kedua cewek yang tadi duduk di pojok baru aja keluar dari kedai, waktu gue liat Asti dateng sama nyokapnya. Begitu nyokapnya pergi, Asti masuk ke kedai. Nggak pernah gue kira, gue bakalan ngerasain perasaan kayak gini begitu ngeliat Asti. Jantung gue berdebar-debar, gue sulit berkata-kata. Waktu dia masuk ke kedai, dia langsung ngeliat gue.
"Hei, maaf ya lama nunggunya." Katanya sambil duduk.
"Gapapa kok. Gimana, udah ketemu kampus yang cocok?"
"Ada beberapa sih, cuma harus lebih selektif lagi. Pilih kampus kan nggak boleh sembarangan." Katanya, nggak lama kemudian teh Yuni dateng.
"Oh jadi ini pacarnya Rio, aduh cantik banget, geulis gini Yo kamu punya pacar teh." Katanya sambil ngusap-ngusap pundak Asti, Asti jadi senyum-senyum sendiri. "Mau pesen apa?" Tanya Teh Yuni.
"Itu..itu apa, minuman yang waktu itu kamu bawa?" Asti ngeliat gue, mukanya masih merah gara-gara dipuji Teh Yuni barusan.
"Hot chocolate, pake extra marshmallow." Jawab gue.
"Ooh oke." Teh Yuni terus nutup catetannya.
"Saya nggak ditanya Teh?"
"Ah kamu mah kopi susu." Katanya, gue nyengir.
Begitu Teh Yuni pergi, gue langsung buka pembicaraan, nggak boleh gue tunda-tunda lagi.
"Ti." Kata gue.
"Hmm?" Ekspresi mukanya polos, matanya membulat lucu.
"Sebenernya selama ini aku belom sepenuhnya jujur sama kamu."
"Maksudnya?"
Gue menghela nafas. "Duh..gimana bilangnya ya?"
"Coba tenang dulu, tarik nafas lagi, bilang pelan-pelan."
"Ti.."
"Iya sayang." Asti senyum lebar.
Anjriiiiit, lagi situasi kayak gini dia malah lucu begini, makin susah gue bilangnya. Sebenernya hubungan gue sama dia udah manis kok, terus kenapa juga gue mesti bikin pait lagi. Nggak lama kemudian Teh Yuni dateng bawain pesenan gue sama Asti.
Sambil nyimpen gelasnya di meja, Teh Yuni bilang "Niiih, kopi susu buat si Rio, hot chocolate buat si cantik. Tanpa pemanis buatan, hehehe." Teh Yuni lalu pergi.
Pemanis buatan. Itu kali ya, yang gue masukin ke dalem hubungan gue sama dia. Manis tapi buatan, indah tapi cuma pura-pura.
"Ti..sebenernya waktu di lab komputer, aku nggak ada niat buat nembak kamu." Oke, dengan kalimat itu, gue udah nggak bisa mundur lagi.
Asti diem, mimik mukanya aneh. Perpaduan antara bingung, kaget, dan marah secara bersamaan. "Kamu lagi bercanda ya?" Katanya.
"Aku serius."
"Nggak lucu loh."
"Memang nggak niat ngelucu."
"Kalo kamu mau ngerjain aku, ulang taun aku masih lama, April mop udah kelewat juga." Nadanya polos banget.
"Ti, please..aku nggak bercanda."
Dia diem sebentar. "Kalo nggak niat nembak, tulisan di monitor itu maksudnya apa?" Meskipun suaranya masih terdengar tenang, matanya mulai berkaca-kaca.
"Itu...sebenernya buat Rena. Aku nggak memperhitungkan kalo si Budi bakalan ngegeser absen satu urutan, jadi kamu yang duduk disitu."
"Kamu serius?"
"Emangnya muka aku keliatan nggak serius?"
"Kenapa nggak bilang dari awal?"
"Aku udah mau bilang, di depan kelas. Tapi kamu seneng banget waktu itu, mana tega aku Ti."
"Lebih tega lagi kamu bohong sama aku selama empat bulan ini." Dia diem sebentar sambil menggigit bibirnya. "Jadi..kamu sebenernya suka sama Rena, bukan sama aku?" Air matanya mulai turun, gue ngangguk mengiyakan dengan perasaan berat.
"Iya, dulu. Tapi begitu aku pacaran sama kamu, lama-lama aku bisa lupain Rena. Sampe akhirnya aku.."
"Hebat ya kamu, udah bisa bikin aku percaya kalo selama ini kamu memang sayang sama aku. Kamu anterin aku pulang, dengerin aku curhat, pijitin tangan aku, nengokin aku bawa minuman, semua itu untuk apa?" Katanya dengan suara parau.
"Ti, aku ngaku aku salah. Tapi aku minta maaf, aku janji nggak akan bohong lagi, sekarang aku beneran sayang sama kamu."
"Nggak usah bilang sayang lagi, please. Nanti aku jadi makin nggak bisa ngelepas kamu." Asti menunduk, air matanya menggenang di kacamatanya.
"Ngelepas aku? Maksud kamu?"
"Ya ngelepas kamu, bagian mana yang nggak jelas? Itu kan maksud kamu bilang ini ke aku? Biar kamu bebas dari semua kepura-puraan kamu, biar kamu bisa deketin Rena lagi."
"Bukan itu maksud aku Ti. Aku mau jujur mulai sekarang, aku mau pacaran sama kamu tanpa kepura-puraan."
"Mana bisa Yo, mana bisa aku jalanin hubungan sama orang yang berbulan-bulan bohongin aku? Kamu pikir aku bisa segampang itu maafin kamu?"
"Jadi menurut kamu, kita mesti putus?"
"Menurut kamu?" Asti terisak. "Coba pikir Yo, selama ini hubungan kita tuh nggak nyata. Semuanya cuma pura-pura."
"Aku udah nggak pura-pura lagi Ti, sekarang perasaan aku ke kamu beneran. Bukan pura-pura, bukan kebohongan."
"Kita tetep harus putus." Dia bener-bener udah nggak bisa nahan air matanya lagi.
"Ti, aku nggak mau putus, aku mau nebus semua kesalahan aku, maafin aku Ti, maaf!"
"Terus abis itu apa? Aku harus nerusin hubungan ini dengan nerima kenyataan, kalo aku ini sebenernya cuma sebuah kesalahan? Cuma orang yang kebetulan duduk di posisinya Rena, gitu? Walaupun kamu bilang kalo kamu sekarang sayang sama aku, tapi kita memang harus putus. Kalo dulu kamu bisa dengan gampangnya ngebiarin aku masuk ke hidup kamu karena sebuah kesalahan, harusnya gampang juga dong ngelepasin aku?"
"Ya nggak se-simple itu lah. Rasa sayang itu datang karena terbiasa, memang dulu aku pura-pura, tapi lama-lama jadi sayang beneran."
"Cukup Yo, cukup." Katanya dengan suara parau, diusapnya air mata yang turun ke pipinya. "Udah aku bilang, jangan pernah kamu ngucapin kata sayang lagi."
Gue ngangguk. Ternyata memang sekuat apapun gue berusaha, gue nggak mungkin bisa mempertahankan dia. Gue akan lebih jahat lagi kalo terus maksa Asti, putus memang jalan satu-satunya. "Oke, kita putus. Aku nggak akan maksa kamu lagi."
"Makasih..buat semuanya. Biarpun cuma pura-pura tapi kamu udah baik banget sama aku selama ini." Asti sedikit maksain senyum, gue cuma ngangguk. "Sekarang aku mau pulang." Katanya sambil terisak lagi.
"Biar aku anter ya."
"Nggak usah, aku bisa minta jemput mama." Dia mulai nangis lagi.
"Ya udah, biar aku aja yang pulang. Sambil nunggu mama kamu, kamu tetep mesti coba hot chocolate-nya. Sekali lagi aku minta maaf."
Gue bangun dari tempat duduk gue, terus jalan ke arah Teh Yuni. Ninggalin Asti yang masih nangis begitu aja. Sampe tiba-tiba Asti manggil, gue balik badan dan...
PLAK! Sebuah tamparan yang nggak keras-keras amat tapi nyakitin dan ngagetin mendarat di pipi kiri gue. Oke. Asti marah. Nggak ada yang bisa gue bilang dan gue lakuin lagi. Gue balik badan terus melangkah pergi dari Asti.
"Teh, maaf itu kopi susunya nggak saya minum, bukannya nggak enak."
"Iya, Teteh ngerti. Itu nggak apa-apa ditinggalin sendiri?" Katanya sambil ngasih bon ke gue.
"Gapapa Teh." Sambil gue ngeluarin dompet, gue masih bisa denger isak tangis Asti. Dan gue cuma bisa menghela nafas, sadar nggak ada lagi yang bisa gue lakuin. "Ada juga ya, pemanis yang pait." Kata gue sambil berlalu pergi.
* * *
Mantap nih wajib dibaca
Comment on chapter 1